ArticlePDF Available

Preservation Efforts of Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Based on Tri Hita Karana by Balinese Community

Authors:

Abstract and Figures

Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) has been widely used as traditional medicine by the Balinese ethnic community. Up to now, the raw materials for traditional medicines from E. horsfieldii are harvested directly from their natural habitat. It is feared that it will interfere with its sustainability. The Balinese ethnic community has a culture known as the Tri Hita Karana (THK) concept, which means there is a balance in the relationship between humans and God, nature, and with fellow humans. This study aims to identify the use of E. horfieldii and its conservation efforts based on THK. This research was carried out in communities living around Bedugul, Bali. The method of data collection was done by participatory observation and semi-structured interviews. The research informants were 33 people with a purposive sampling method. The criteria are based on the level of knowledge and use of E. horsfieldii. Data were analyzed and interpreted descriptively. The results of this study indicate that E. horsfieldii has been widely used to treat various diseases and is practiced by many traditional healers (balian). However, people also use it for treatment without a standardized dose. This causes the measure of its use is very diverse. Harvesting of E. horsfieldii is carried out by the community while still observing the principle of sustainability according to the THK philosophy. Harvesting of E. horsfieldii is mostly done for individual needs. Although there has been a practice of buying and selling E. horsfieldii, harvesting has not resulted in over-exploitation. Efforts to conserve E. horsfieldii have been carried out by the community, especially the balians by trying to cultivate it, although they still fail. In addition, the conservation of E. horsfieldii is carried out by the Bali BKSDA with efforts to maintain the habitat of E. horsfieldii in forest areas.
Content may be subject to copyright.
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
48
UPAYA PELESTARIAN PRANAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.)
BERBASIS TRI HITA KARANA OLEH MASYARAKAT BALI
PRESERVATION EFFORTS OF PRANAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.)
BASED ON TRI HITA KARANA BY BALINESE COMMUNITY
1
Rubangi Al Hasan1*, Krisnawati2 dan Anita AD Rahayu3
1Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional
Gedung Widya Graha, Lt.6. Jl. Gatot Subroto No 10, Jakarta Selatan 12710
2,3Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional
Kebun Raya Bogor, Jl. Ir. H. Juanda No 13, Kota Bogor Jawa Barat 16122
*E-mail: rubhasan@yahoo.com
Diterima: 9 September 2021; Direvisi: 21 September 2021; Disetujui: 5 Mei 2022
ABSTRAK
Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) telah banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat
Etnis Bali. Bahan baku obat tradisional dari bahan E. horsfieldii hingga saat ini dipanen langsung dari habitat alaminya.
Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kelestariannya. Masyarakat Etnis Bali memiliki budaya yang dikenal dengan
konsep Tri Hita Karana (THK) yang bermakna adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam,
dan dengan sesama manusia. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pemanfaatan E. horsfieldii dan upaya
pelestariannya berbasis THK. Penelitian ini dilaksanakan pada komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar Bedugul,
Bali. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatif dan wawancara semi terstruktur. Informan
penelitian berjumlah 33 orang dengan model penentuan sampel dilakukan secara purposive. Kriterianya didasarkan pada
tingkat pengetahuan dan pemanfaatannya atas E. horsfieldii. Data dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa E. horsfieldii telah banyak digunakan untuk mengobati beragam penyakit dan
dipraktikkan oleh banyak pengobat tradisional (balian). Meskipun demikian, masyarakat juga menggunakannya untuk
pengobatan tanpa adanya dosis yang terstandar. Hal ini menyebabkan takaran penggunaannya sangat beragam.
Pemanenan E. horsfieldii dilakukan oleh masyarakat dengan tetap mengindahkan prinsip kelestariannya sesuai falsafah
THK. Pemanenan E. horsfieldii sebagian besar dilakukan untuk kebutuhan individu. Meskipun sudah ada praktik jual
beli E. horsfieldii, namun pemanenannya tidak sampai mengalami eksploitasi berlebihan. Upaya pelestarian E.
horsfieldii telah dilakukan oleh masyarakat, khususnya para balian dengan cara berusaha membudidayakannya,
meskipun masih menemui kegagalan. Selain itu, pelestarian E. horsfieldii dilakukan oleh BKSDA Bali dengan upaya
tetap menjaga habitat E. horsfieldii di kawasan hutan.
Kata kunci: Euchresta horsfieldii, balian, upaya pelestarian, obat tradisional
ABSTRACT
Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) has been widely used as traditional medicine by the Balinese ethnic
community. Up to now, the raw materials for traditional medicines from E. horsfieldii are harvested directly from their
natural habitat. It is feared that it will interfere with its sustainability. The Balinese ethnic community has a culture
Editor: Anita Mayasari, S.Hut, M.Sc
Korespondensi penulis: Rubangi Al Hasan* (rubhasan@yahoo.com)
Kontribusi penulis: RAH: kontributor utama berkontribusi dalam desain penelitian, penelitian lapangan, analisis data,
interpretasi hasil analisis data, menulis draft pertama manuskrip dan merevisi draft pertama; KK:
kontributor utama berkontribusi dalam desain penelitian, penelitian lapangan, analisis data,
interpretasi hasil analisis data, menulis draft pertama manuskrip dan merevisi draft pertama;
AADR: kontributor utama berkontribusi dalam desain penelitian, interpretasi hasil analisis data,
menulis draft pertama manuskrip dan merevisi draft pertama manuskrip. Semua penulis
menyetujui versi akhir dari naskah ini.
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
49
known as the Tri Hita Karana (THK) concept, which means there is a balance in the relationship between humans and
God, nature, and with fellow humans. This study aims to identify the use of E. horfieldii and its conservation efforts
based on THK. This research was carried out in communities living around Bedugul, Bali. The method of data collection
was done by participatory observation and semi-structured interviews. The research informants were 33 people with a
purposive sampling method. The criteria are based on the level of knowledge and use of E. horsfieldii. Data were
analyzed and interpreted descriptively. The results of this study indicate that E. horsfieldii has been widely used to treat
various diseases and is practiced by many traditional healers (balian). However, people also use it for treatment without
a standardized dose. This causes the measure of its use is very diverse. Harvesting of E. horsfieldii is carried out by the
community while still observing the principle of sustainability according to the THK philosophy. Harvesting of E.
horsfieldii is mostly done for individual needs. Although there has been a practice of buying and selling E. horsfieldii,
harvesting has not resulted in over-exploitation. Efforts to conserve E. horsfieldii have been carried out by the
community, especially the balians by trying to cultivate it, although they still fail. In addition, the conservation of E.
horsfieldii is carried out by the Bali BKSDA with efforts to maintain the habitat of E. horsfieldii in forest areas.
Keywords: Euchresta horsfieldii, balian, preservation effort, traditional medicine
PENDAHULUAN
Pengobatan tradisional bagian yang tidak
terpisahkan dalam budaya pengobatan masyarakat
Indonesia. Pengobatan tradisional di Indonesia
sebanyak 30,4 % pada tahun 2013 (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2013), dan mengalami
peningkatan menjadi 31,4 % pada tahun 2018 (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).
Pengobatan tradisional dilakukan oleh pengobat
tradisional yang dikenal dengan sebutan dukun di
Jawa (Woodward, 1985, 2011; Sartini dan Ahimsa-
Putra, 2017) balian di Bali (Grange-Piovesan, 1995),
belian di Lombok (Sahidu et al., 2013; Bennet, 2016)
sandro di Sulawesi (Nuraini, 2016), dan berbagai
istilah lokal lain di Indonesia. Sejalan dengan temuan
RISKESDAS, masyarakat Etnis Bali juga menjadikan
pilihan berobat kepada balian sebagai pilihan pertama,
daripada berobat ke rumah sakit atau tenaga kesehatan
modern (Muryani et al., 2018; Suardika, 2019). Dalam
prakteknya, balian menggunakan beberapa sumber
bahan obat yang berasal dari pohon, binatang, air, dan
kekuatan magis dari balian itu sendiri (Suatama et al.,
2019).
Kehidupan masyarakat Etnis Bali secara umum
didasari atas falsafah Tri Hita Karana (THK) (Artana,
2014). Tri Hita Karana menekankan bahwa dalam
proses berkehidupan, manusia diminta menjaga
harmoni hubungan antara manusia dengan
penciptanya yakni Tuhan Yang Maha Esa
(parhyangan), manusia dengan sesamanya
(pawongan), serta manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya (palemahan), sebagai satu kesatuan yang
utuh (Widiana, 2019). Hubungan yang harmonis dan
seimbang dalam THK menjadi konsep dasar yang
digunakan masyarakat Etnis Bali dalam pencegahan
dan penyembuhan penyakit. Melalui balian,
masyarakat menanyakan sumber penyakit yang
diderita, apakah dari Tuhan, manusia atau alam. Hal
tersebut merupakan bentuk upaya mereka untuk
menjaga keseimbangan sesuai dengan konsep THK
(Triyono dan Herdiyanto, 2017).
Pemanfaatan tumbuhan obat secara turun-
temurun merupakan kearifan lokal yang sejalan
dengan pesan dalam THK yang berisi tentang
keseimbangan hidup dari hubungan manusia dengan
lingkungan (Wirani et al., 2020). Esensi kearifan lokal
adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian
alam, religiusitas, subjektivikasi manusia dan
konstruksi pada persembahan, harmoni, kebersamaan
dan keseimbangan untuk kebahagiaan berkelanjutan
(Windia dan Wiguna, 2013). Salah satu jenis
tumbuhan yang sudah digunakan oleh para balian
untuk pengobatan adalah pranajiwa (E. horsfieldii)
(Sutomo dan Mukarromah, 2010). Pemanfaatan E.
horsfieldii di Bali untuk pengobatan tradisional telah
dikenal dan terdokumentasikan dalam usada, yakni
manuskrip tentang ramuan dan teknik pengobatan
secara tradisional (Suardiana, 2018). Biji dari jenis
tumbuhan ini dipercaya sebagai bahan pembangkit
stamina pria (afrodisiak) (Oktavia et al., 2017; Darma
et.al., 2019), sebagai anti bisa ular dan mengobati
penyakit TBC (Sutomo dan Mukarromah, 2010).
Beberapa penelitian juga menunjukkan E. horsfieldii
berpotensi sebagai antibakteri (Prihantini et al., 2018),
antitumor, menurunkan kolesterol (Priyadi et al.,
2018), antioksidan, menghambat alpha-glukosidase
(potensi untuk antidiabetes) (Prihantini et al., 2019),
dan mencegah stres oksidatif (Gunawan et al., 2016).
Euchresta horsfieldii merupakan tumbuhan obat
yang masuk dalam kategori langka (Darma et al.,
2019; Ningsih, 2016). Selama ini, masyarakat
memanfaatkan tumbuhan ini langsung dari hutan
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
50
tanpa adanya budidaya. Perbanyakan dari biji atau
stek juga masih mengalami kegagalan karena sifatnya
yang sulit berkecambah dan berakar (Sutomo dan
Mukarromah, 2010). Status langka dan eksploitasi di
alam dapat mengancam kelestarian jenis ini pada
habitatnya. Oleh karena itu, upaya pelestarian E.
horsfieldii melalui konservasi baik in-situ maupun ex-
situ perlu dilakukan.
Sebagai bahan obat tradisional yang telah
terdokumentasikan dalam usada dan potensi E.
horsfieldii sebagai tumbuhan obat, informasi tentang
pemanfaatan, pemanenan, dan upaya pelestariannya
sangat diperlukan dalam rangka pengembangan jenis
ini ke depan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi pemanfaatan, pemanenan, dan
upaya pelestarian E. horsfieldii dengan pendekatan
filosofi THK. Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi atau bahan pendukung
bagi pengembangan E. horsfieldii sebagai obat yang
diiringi dengan upaya pelestariannya berbasis kearifan
lokal di Bali.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2018,
kemudian dilakukan kunjungan ulang ke lapangan
pada Februari 2020. Lokasi penelitian yaitu beberapa
desa di sekitar kawasan hutan di Bedugul, Bali yang
menjadi habitat E. horsfieldii. Kawasan hutan ini
berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA) Bali. Secara
administratif, lokasi penelitian berada di dua
kabupaten yaitu Kabupaten Tabanan dan Kabupaten
Buleleng. Di Kabupaten Tabanan, lokasi penelitiannya
berada di Kecamatan Baturiti, sementara di Kabupaten
Buleleng ada di Kecamatan Banjar dan Sukasada. Ada
lima desa di Kecamatan Baturiti yang menjadi lokus
penelitian, yaitu Desa Baturiti, Desa Angsri, Desa
Antapan, Desa Batunya, dan Desa Candikuning
(8°14'30" 8°30'07" LS, 114°54'52" 115°12'57"
BT). Topografi Kecamatan Baturiti berupa lereng atau
punggung bukit dengan ketinggian 500 – 1.000 m dpl,
curah hujan 230,42 mm, suhu udara 30°C dengan luas
area 839,33 km2 (BPS Kabupaten Tabanan, 2021a,
2021b). Lokasi penelitian di Kabupaten Buleleng
berada di Desa Munduk (Kecamatan Banjar), Desa
Wanagiri dan Desa Pancasari (Kecamatan Sukasada)
(8°3'40" – 8°23'00" LS, 114°25'55" – 115°27'28" BT).
Topografi di ketiga desa tersebut berupa dataran
rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0
1.000 m dpl. Curah hujan pada daerah-daerah tersebut
rata-rata >100 mm dengan suhu udara 27°C dan
kelembaban udara rata-rata 72 82 % (BPS
Kabupaten Buleleng, 2021a, 2021b, 2021c).
Dari aspek keberagamaan, mayoritas penduduk
Kabupaten Tabanan dan Buleleng (lebih dari 90 %)
memeluk agama Hindu (Kementerian Dalam Negeri,
2021). Menurut Prena dan Pekerti (2019), agama
Hindu merupakan agama yang dekat dengan alam.
Banyak acara keagamaannya dilakukan di alam
terbuka. Seperti halnya keberadaan hutan yang berada
di sekitar desa, secara langsung atau tidak, terjadi
interaksi antara manusia sebagai makhluk budaya,
dengan lingkungannya. Salah satu ajaran Hindu yang
melekat adalah paham Tri Hita Karana yang mengatur
keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Masyarakat Hindu di Bali juga memandang bahwa
keberadaan hutan adalah suci dan keramat, karena
itulah hampir pada setiap hutan pasti ada bangunan
pura, baik pura yang berfungsi sebagai tempat suci
untuk mengenang jasa para pemimpin umat Hindu
yang pernah datang ke Bali maupun pura
yang lingkupnya lebih kecil. Bangunan pura ini dapat
pula hanya berupa pelinggih (tempat pemujaan) yang
sangat diyakini kesuciannya (BKSDA Bali, 2020).
Kawasan hutan di sekitar Bedugul (Danau Beratan,
Buyan dan Tamblingan) yang terletak di Kabupaten
Tabanan dan Buleleng merupakan cagar alam yang
perlu dijaga dan dilestarikan keanekaragaman
tumbuhannya karena dari 181 jenis tumbuhan, empat
di antaranya memiliki status langka, salah satunya
adalah E. horsfieldii (Darma et al., 2019).
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
51
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Sumber: Peta RBI skala 1:25.000 dan koordinat lokasi penelitian
Informan Penelitian
Informan yang diwawancarai sebanyak 33 orang
yang terbagi ke dalam beberapa kategori. Pengelola
kawasan hutan (BKSDA Bali) sebanyak tiga orang;
tokoh masyarakat sebanyak dua orang; pemburu E.
horsfieldii sebanyak 13 orang; pengguna E. horsfieldii
sebanyak 12 orang; dan balian sebanyak tiga orang.
Secara umum karakteristik informan penelitian ini
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Informan penelitian dideskripsikan berdasarkan
aspek usia, pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin.
Pada aspek usia, sesuai dengan parameter yang
dipakai Kementerian Kesehatan pada tahun 2009
(Amin dan Juniati, 2017), informan berada pada
rentang usia remaja (12 25 tahun) sampai dengan
lanjut usia (>46 tahun). Sebagian besar informan
berasal dari golongan lanjut usia. Pemilihan informan
ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa telah
terjadi erosi budaya yang mengakibatkan pengetahuan
dan pemanfaatan atas tumbuhan secara tradisional
juga mengalami penurunan (Sujarwo et al., 2014).
Dari sisi pendidikan yang dicapai oleh informan,
secara umum masuk kategori rendah dengan
didominasi pendidikan SD dan SMP. Sementara itu
dari jenis pekerjaan paling banyak berasal dari petani
baik petani lahan kering berupa tanaman hortikultura,
maupun lahan basah (sawah). Bedugul merupakan
kawasan yang subur dan mempunyai intensitas hujan
yang tinggi. Pekerjaan informan lain adalah PNS yang
merupakan pimpinan dan staf pada BKSDA Bali. Di
samping itu terdapat juga informan yang berprofesi
sebagai balian. Dari sisi jenis kelamin, informan
didominasi oleh informan berjenis kelamin laki-laki.
Perempuan hanya menempati porsi sebanyak 21 %.
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
52
Tabel 1. Profil informan penelitian
Deskripsi
N
%
Usia
Remaja (12 – 25)
1
3
Dewasa (26 – 45)
12
36.4
Lansia (> 46)
20
60.6
Jumlah
33
100
Pendidikan
Tidak Tamat SD
1
3
SD
13
39.4
SMP
12
36.4
SMA
4
12.1
S1
3
9.1
Jumlah
33
100
Pekerjaan
Petani
20
60.6
Nelayan
2
6.1
Guru
1
3
Pemandu Wisata
1
3
PNS
3
9.1
Balian
3
9.1
Mangku/Pemimpin
Adat
2
6.1
Pelajar
1
3
Jumlah
33
100
Jenis Kelamin
Laki-laki
26
78.8
Perempuan
7
21.2
Jumlah
33
100
Sumber: data primer
Dari sisi persebaran informan di tingkat desa,
dapat dideskripsikan sebagai berikut: di Desa Baturiti
sebanyak tiga (3) orang, Desa Angsri sebanyak dua (2)
orang, Desa Antapan sebanyak enam (6) orang, Desa
Batunya sebanyak tiga (3) orang, Desa Candikuning
sebanyak lima (5) orang, Desa Wanagiri sebanyak
empat (4) orang, Desa Pancasari sebanyak tiga (3)
orang, dan di Desa Munduk sebanyak tujuh (7) orang.
Persebaran informan di tiap desa memiliki
keberagaman dalam hal jumlah. Hal ini disebabkan
oleh pemilihan informan yang dilakukan secara
snowball, jadi bukan dilihat pada proporsi pada tiap
desa. Informan dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan dalam kategori dan kriteria sebagai
berikut: (1) Pengelola kawasan hutan yaitu BKSDA
Bali yang terdiri dari tiga orang yang mewakili satu
dari manajemen puncak, satu dari manajemen di
tingkat tapak, dan satu lagi pelaksana di lapangan; (2)
Pemburu E. horsfieldii, yakni mereka yang melakukan
perburuan E. horsfieldii baik untuk dikonsumsi
maupun untuk tujuan lain. Penggalian informasi
terhadap pemburu E. horsfieldii dilakukan sampai
mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan;
(3) Pengguna E. horsfieldii, yakni mereka yang
mengkonsumsi E. horsfieldii baik untuk pengobatan
maupun untuk keperluan lain. Penelusuran informasi
terkait pengguna E. horsfieldii juga dilakukan sampai
memperoleh semua informasi yang diperlukan; (4)
Tokoh masyarakat sebanyak dua orang dipilih yang
memiliki pemahaman terhadap pranata adat dan
pengobatan tradisional. Tokoh masyarakat yang
disasar adalah tokoh informal seperti pemangku; (5)
Balian, yakni orang yang memiliki kemampuan untuk
melakukan pengobatan. Tiga orang balian dipilih
dengan mempertimbangkan pokok pada
kemampuannya dalam pengobatan tradisional
menggunakan E. horsfieldii.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan
beberapa metode. Pertama, metode observasi
partisipatif. Teknik ini dilakukan dengan peneliti ikut
terlibat dalam proses pemanenan E. horsfieldii,
praktek pengobatan E. horsfieldii, dan mengamati
bagaimana E. horsfieldii digunakan oleh masyarakat.
Kedua, wawancara semi terstruktur, yakni wawancara
dengan menggunakan panduan wawancara namun
dimungkinkan untuk melakukan penambahan di luar
pertanyaan untuk menggali kedalaman informasi.
Dalam melakukan wawancara, peneliti melakukan
penjelasan terkait dengan tujuan penelitian dan
meminta kesediaan informan untuk diwawancarai. Ini
sesuai dengan prinsip Free, Prior and Informed
Consent (FPIC) atau prinsip persetujuan bebas tanpa
paksaan (International Society of Ethnobiology,
2006).
Terkait dengan aspek yang digali dalam
wawancara, masing-masing pihak memiliki
penekanan yang berbeda. Informan dari pihak
pengelola kawasan lebih ditekankan pada bagaimana
kebijakan pengelolaan dan konservasi E. horsfieldii.
Indikatornya didasarkan pada apakah kebijakan yang
selama ini dijalankan mendukung dalam konservasi E.
horsfieldii, atau sebaliknya. Bagi pemburu E.
horsfieldii ditekankan pada praktek perburuan E.
horsfieldii dan melihat tren perkembangannya.
Sementara itu bagi pengguna, lebih ditekankan pada
bagaimana manfaat dan khasiat E. horsfieldii bagi
pengobatan penyakit. Selanjutnya, bagi tokoh
masyarakat, difokuskan pada bagaimana pandangan
dan kebijakan di tingkat lokal terkait konservasi E.
horsfieldii. Bagi balian, perhatian dicurahkan pada
praktek dan teknik pengobatan menggunakan E.
horsfieldii.
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
53
Informan yang akan diwawancarai dipilih
menggunakan metode stratified purposive sampling
(Denzin dan Lincoln, 2009). Metode ini digunakan
untuk menentukan kelompok informan yang akan
disasar dalam penggalian informasi. Metode ini,
selanjutnya akan membantu untuk menentukan siapa
dan pihak mana saja yang terlibat dalam pemanfaatan
E. horsfieldii sebagai obat tradisional yang kemudian
akan dipilih sebagai informan.
Analisis Data dan Uji Validitas Data
Analisis data dilakukan dengan melakukan
interpretasi atas hasil wawancara mendalam dan
observasi partisipatif dengan informan penelitian.
Hasil interpretasi kemudian dinarasikan secara
deskriptif. Untuk menjamin data yang dianalisis valid,
peneliti melakukan uji validitas data. Uji validitas
dilakukan dengan teknik triangulasi atau upaya
melakukan cross-check baik dari metode
pengumpulan data, maupun dari sumber
data/informan penelitian (Denzin dan Lincoln, 2009).
Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan pada kedua
level tersebut.
Triangulasi metode dilakukan dengan
membandingkan hasil wawancara terhadap informan
pengguna E. horsfieldii dengan hasil observasi di
mana peneliti menyaksikan sendiri bagaimana balian
melakukan pengobatan terhadap pasien atau pengguna
E. horsfieldii. Triangulasi sumber data dilakukan
dengan membandingkan hasil wawancara terhadap
balian dengan hasil wawancara terhadap pengguna
atau pasien balian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanfaatan E. horsfieldii Oleh Masyarakat
Berdasarkan beberapa studi sebelumnya, E.
horsfieldii ditemukan tumbuh pada rentang ketinggian
yang berbeda, yaitu 1.000 – 2.000 m dpl (Sutomo dan
Mukarromah, 2010), 1.300 – 2.400 m dpl (van Stenis,
2006) dan 1.401 1.512 m dpl (Krisnawati et al.,
2018). Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa
E. horsfieldii hidup pada ketinggian diatas 1.000 m dpl
(Gambar 2.a). E. horsfieldii tumbuh pada kemiringan
lereng landai hingga agak curam pada tipe tanah
berstruktur granuler, ketebalan seresah 3 – 5 cm, suhu
dan kelembapan rata-rata 17 23°C dan 69 90 %
dengan pH tanah asam (Krisnawati et al., 2018).
Menurut Backer dan van den Brink (1963), E.
horsfieldii merupakan perdu dengan percabangan
batang agak jarang, daunnya majemuk berbentuk
lonjong (Gambar 2.b). Bentuk bunga E. horsfieldii
adalah tandan, majemuk dan berwarna putih, mekar
tidak serentak dan belum ada yang melaporkan
perantara penyerbuknya (Gambar 3). Menurut Tirta
et.al. (2010), lama waktu kuncup sampai dengan
mekar adalah 60 – 75 hari. Bunga gugur bersamaan
dengan munculnya bakal buah dan tidak semua
kuntum bunga berhasil membentuk bakal buah. Buah
yang ditemukan dalam 1 tandan berkisar antara 1 – 20
buah dengan waktu 130 150 hari waktu dari bakal
buah sampai dengan matang. Fase pembentukan
bunga pranajiwa terjadi pada bulan Mei Juli dan
pembentukan buah matang yang siap dipanen pada
bulan Agustus September (Ekasari, 2011). Warna
buah E. horsfieldii adalah hijau dan jika sudah masak
berwarna ungu kehitaman seperti yang terlihat di
lapangan.
Di alam, E. horsfieldii tumbuh secara
mengelompok (Lemmens dan Bunyapraphatsara,
2003). Di lokasi penelitian, pranajiwa banyak yang
rebah, menjalar dan di tiap ruas batangnya
menghasilkan rimpang, sehingga pertumbuhan
pranajiwa hanya di sekitar tempat tumbuhnya saja.
Kondisi tersebut menghasilkan pola distribusi
mengelompok. Menurut Rosentreter et al., (1988),
pola distribusi spesies yang mengelompok
mempunyai pengertian bahwa keberadaan individu
pada suatu titik akan meningkatkan peluang adanya
individu lain pada suatu titik yang lain di sekitarnya.
Pola penyebaran terbentuk dari tumbuhan yang hidup
secara alami pada suatu tempat, membentuk suatu
kumpulan di mana setiap individu menemukan
lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, berasosiasi dan berinteraksi sehingga
terbentuk suatu derajat keterpaduan.
Pada aspek pemanfaatan, temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagai sarana pengobatan, E.
horsfieldii dapat digunakan baik dengan dikonsumsi
langsung maupun dengan terlebih dahulu diracik
menjadi ramuan khusus untuk obat. Secara umum,
masyarakat lebih banyak mengkonsumsinya dengan
diolah terlebih dahulu dan diracik menjadi ramuan
yang siap digunakan. Bagian tanaman E. horsfieldii
yang dapat digunakan untuk pengobatan sangat
beragam mulai dari akar, batang, daun, biji, sampai
kulit batang. Dalam penggunaannya, bagian tumbuhan
itu dapat digunakan sendiri, diracik dengan bagian lain
dari tumbuhan E. horsfieldii, maupun diracik dengan
bahan lain selain E. horsfieldii. Beragam informasi
mengenai penyakit yang dapat diobati dengan E.
horsfieldii dan penggunaannya oleh pengguna tersaji
dalam Tabel 2, sementara untuk penggunaannya oleh
balian dapat dilihat di Hasan dan Krisnawati (2018).
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
54
Gambar 2 (a). E. horsfieldii
Gambar 2 (b). Buah E. horsfieldii
Berdasarkan pengalaman para pengguna,
misalnya dalam upaya mengobati rematik, terdapat
beberapa perbedaan dalam meracik ramuan E.
horsfieldii. Pertama menggunakan ramuan yang
berasal dari beragam bahan yakni daun E. horsfieldii,
tiga butir beras (Oryza sativa), daun turi (Sesbania
grandiflora), sambiloto (Andrographis paniculata),
dan sembilan butir buah kemiri (Aleurites moluccana).
Sementara itu, teknik yang lain adalah murni
menggunakan tumbuhan E. horsfieldii, namun dengan
mengambil dari seluruh bagian tanaman yakni akar,
batang, daun (muda), dan tiga buah biji E. horsfieldii.
Pemanfaatan E. horsfieldii banyak dilakukan
dengan mengkombinasikannya bersama tumbuhan
atau bahan lainnya. Para balian sendiri berpendapat
bahwa khasiat E. horsfieldii akan lebih efektif ketika
ditambahkan dengan ramuan lainnya. Sebagai contoh,
pada kasus pengobatan penyakit rematik, E.
horsfieldii akan lebih efektif digunakan jika
dikombinasikan dengan beberapa bahan lain yang
mempunyai efek anti inflamasi atau anti rematik
seperti beras hitam, daun sambiloto, daun turi atau
buah kemiri. Khasiat masing-masing bahan alam
dapat dikonfirmasi dari beberapa temuan sebelumnya.
Beras khususnya beras hitam memiliki efek anti
inflamasi (Min et al., 2010). Daun sambiloto memiliki
kemampuan untuk mengurangi rematik dan kerusakan
sendi (Li et al., 2017). Demikian juga daun turi
berpotensi sebagai anti inflamasi (Loganayaki et al.,
2012). Ekstrak buah kemiri juga berpotensi untuk
mencegah pertumbuhan bakteri yang memicu rematik
(Mpala et al., 2017). Pada penelitian ini, kemiri
dimanfaatkan untuk pengobatan luar tubuh, yakni
dengan dioleskan. Penggunaan luar tubuh dipandang
lebih aman dibandingkan penggunaan secara oral
karena ekstrak buah kemiri bersifat racun (Quintão et
al., 2019).
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
55
Euchresta horsfieldii sendiri secara saintifik
terbukti memiliki bahan aktif berupa senyawa
isoflavonoid yang potensial sebagai agen penurun
lipid yang biasanya muncul pada penderita rematik
(Susiarti et al., 2018). Pengujian lain bahkan
menunjukkan bahwa selain flavonoid, bagian akar E.
horsfieldii juga terdapat senyawa alkaloid, tanin,
saponin, dan terpenoid (Prihantini et al., 2018). Daun
E. horsfieldii mempunyai aktivitas antioksidan (Dewi
et al., 2017) dan meningkatkan aktivitas enzim
superoksida dismutase sebanyak 34,93 kali (171,44
%) dan kadar glutathione peroxidase sebanyak 9,76
kali (41,80 %) (Gunawan et al., 2017). Enzim
superoksida dismutase dan glutathione peroxidase
merupakan enzim yang memainkan peran utama
dalam memerangi kerusakan sel dalam badan dan
dapat mereduksi hidroperoksida kolesterol, ester
kolesterol, lipoprotein, dan fosfolipid (Sen et al.,
2010).
Sementara itu, dilihat dari aspek takaran atau
dosis dalam pengobatan, terdapat informasi yang
beragam dalam penggunaan E. horsfieldii. Dalam
perspektif pengobatan modern, pengobatan atas suatu
penyakit didasarkan pada takaran yang dikenal dengan
dosis. Dosis dimaknai sebagai takaran yang paling
efektif untuk dikonsumsi dan memberikan efek
farmakologis yang optimal. Sementara itu, pada
praktek pengobatan tradisional, dosis pengobatan
sebenarnya juga sudah cukup dikenal. Namun
demikian dosis yang disediakan tidak didasarkan pada
kajian dan pengujian ilmiah. Dosis dan aturan pakai
dalam penggunaan E. horsfieldii pada masyarakat
sekitar Bedugul cukup beragam. Secara umum
masyarakat menggunakan E. horsfieldii dengan
takaran atau dosis maupun satuan yang tidak
terstandar, jika dipandang dalam terminologi farmasi
modern. Meskipun demikian, takaran yang dipahami
secara kolektif baik di tingkat para pengobat
tradisional maupun di tingkat masyarakat telah
digunakan. Takaran yang muncul lebih didasarkan
pada tradisi turun-temurun yang diwariskan secara
lisan. Standar takaran antar satu pengobat tradisional
dengan yang lain memiliki keberagaman didasarkan
pada pengalaman masing-masing.
Beragamnya takaran dalam pengobatan
menggunakan E. horsfieldii dan bahan tradisional
yang lain kemudian memunculkan pandangan bahwa
tidak ada standar baku dalam dosis pengobatan.
Sebagai contoh, salah satu informan penelitian
menggambarkan mengenai aturan pakai dalam
mengobati darah rendah. Dosis yang diberikan dalam
pengobatan darah rendah adalah dengan 1 biji buah
pranajiwa, ditambah dengan akar pranajiwa”.
Di sini tidak dijelaskan dengan baik berapa banyak
akar yang disediakan. Aturan konsumsinya pun tidak
selalu memberikan kejelasan tentang berapa takaran
yang dapat dikonsumsi dan toleransi atas dosis yang
diberikan. Hal ini menepiskan anggapan dosis tersebut
tidak akan memiliki efek samping dan aman
dikonsumsi. Menurut Sari (2006) peracikan secara
tradisional menggunakan takaran sejumput,
segenggam atau pun seruas, sulit ditentukan
ketepatannya. Satuan gram yang dapat digunakan
dalam takaran dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya efek yang tidak diharapkan. Batas antara
racun dan obat dalam bahan tradisional tipis.
Pemberian dosis yang tepat dapat menjadi obat dan
jika berlebih dapat menjadi racun. Dengan demikian
pengetahuan dan pengalaman balian sangat berperan
penting dalam pengobatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2017) mengeluarkan peraturan tentang pedoman
formulasi obat tradisional. Peraturan ini dikeluarkan
sebagai pedoman dalam penggunaan obat tradisional
yang begitu beragam dalam pemanfaatannya. Akan
tetapi, peraturan ini ternyata hanya mengandung
himbauan kepada masyarakat agar dalam
memanfaatkan pengobatan tradisional untuk
mengikuti para pengobat tradisional yang sudah ahli
dalam pembuatan ramuan dan pengaplikasiannya bagi
pengobatan.
Di samping teknik pengobatan oleh balian,
bagian lain yang penting untuk dikupas adalah tentang
bagaimana posisi balian dalam konteks tradisi
pengobatan dan konteks sosial masyarakat Bali.
Sebagaimana diketahui, balian telah menjadi bagian
penting dalam praktek pengobatan tradisional di Bali.
Balian tidak hanya memiliki kemampuan dalam
pengobatan, namun ia juga memiliki posisi yang
penting dalam strata sosial masyarakat Bali.
Kemampuan pengobatan yang dimiliki juga menjadi
sarana bagi balian untuk mencapai strata sosial yang
lebih tinggi (McCauley, 1984). Balian mampu
melakukan komodifikasi atas modal kultural,
simbolik, dan ekonomi yang dimiliki untuk meraih
keuntungan ekonomi yang lebih besar (Suatama et al.,
2019). Dalam penelitian ini, salah seorang balian
merupakan pemangku yang merupakan ketua banjar
(pemimpin adat pada komunitas setingkat desa).
Ketika pemangku ini memiliki kemampuan sebagai
balian, maka kedudukannya dalam masyarakat
semakin kuat dan superior atas anggota masyarakat
yang lain.
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
56
Kemampuan pengobatan yang diperoleh balian
bisa didapatkan dari beragam cara, salah satunya
melalui usada yang merupakan naskah dari daun
lontar berbahasa Jawa Kuno. Balian memiliki
kemampuan khusus membaca teks usada yang
sekaligus di dalamnya terdapat teks mantra yang
diucapkan dalam pengobatan terhadap pasien
(McCauley, 1988).
Tabel 2. Informasi dari pasien tentang penyakit yang dapat disembuhkan dengan E. horsfieldii
Jenis penyakit
Penyiapan
Dosis dan aturan pakai
Pantangan
Pengguna (n:12)
Rematik
Daun E. horsfieldii,
beras 3 biji, daun turi,
sambiloto, kemiri 9 biji
Dioleskan di bagian sakit
satu kali, setelah mandi
pagi
Tidak bersamaan
obat kimia
2
Rematik
Akar, batang, daun
muda, buah 3 biji
Dioleskan di bagian sakit
satu kali, setelah mandi
pagi
Tidak bersamaan
obat kimia
2
Kurang stamina
Buah E. horsfieldii 5 biji,
0,5 kg kopi
Ditumbuk dicampur kopi,
untuk persediaan tiap hari,
diminum
Tidak ada
1
Kurang stamina
Buah E. horsfieldii 1 biji
Ditumbuk, dibikin kapsul
diminum sehari 1 kali
Jika darah normal,
makan E. horsfieldii
bikin tekanan darah
naik dan pusing
1
Kulit gatal
1 batang, daun, dan 1
buah E. horsfieldii
direbus
Minum 2x sehari, pagi dan
sore
Makan babi guling
2
Muntah
5 helai daun dan 1 buah
E. Horsfieldii
Direbus kemudian
diminum
Tidak bersamaan
obat kimia
2
Darah rendah
Buah 1 biji, akar E.
horsfieldii
Direbus kemudian
diminum
Tidak bersamaan
obat kimia
1
Asam urat
Akar, batang dan daun E.
horsfieldii
Ditumbuk dioleskan di
bagian sakit satu kali,
setelah mandi pagi
Tidak bersamaan
obat kimia
2
Tipus dan
komplikasi
Buah E. horsfieldii 3 biji,
sambiloto
Diminum 2x sehari,
¼ gelas
Gula merah, kacang,
susu, coklat
1
Badan bengkak
Daun turi, beras 3 biji,
sambiloto, buah kemiri 9
biji
Dioleskan interval satu
minggu
Tidak ada
1
Sakit kepala
Buah E. horsfieldii dan
sambiloto
Ditumbuk dan direbus.
Diminum 2x sehari 1 gelas
Dalam kondisi
normal, tensi darah
naik
1
Dubur panas dan
sakit perut
Buah E. horsfieldii 7 biji
Direbus dan diminum
2x sehari ½ gelas
Makan daging
1
Kepala pusing
menahun
Akar, batang, buah dan
daun E. horsfieldii
diracik dengan 600
macam bahan
dimasukkan dan
dicampurkan ke botol
berisi minyak wangi
Direndam selama 1
minggu, setelah siap,
masukkan 3 tetes ke dalam
½ gelas air putih,
diminum 2x/hari
Tidak ada
1
Pemanenan E. horsfieldii
Pemanenan E. horsfieldii telah dilakukan baik
oleh masyarakat biasa maupun oleh balian. Secara
umum pemanenan E. horsfieldii dilakukan oleh orang
yang terbiasa masuk ke hutan. Pengetahuan informan
terhadap E. horsfieldii sangat dipengaruhi oleh
intensitas ke hutan. Ini sebagaimana diungkapkan oleh
pemburu E. horsfieldii, Bapak IK: Yang sering ke
tengah hutan tahu itu purnajiwa (pranajiwa-pen),
kalau jarang, tidak tahu itu.”(IK, 2018).
Bagian yang dipanen sebagian besar adalah buah
atau biji E. horsfieldii. Bagian lain tidak begitu banyak
dipanen karena terkait dengan kepercayaan
masyarakat bahwa bagian yang dipandang paling
memiliki khasiat adalah buahnya. Kriteria buah yang
dipanen adalah buah yang sudah tua, dicirikan dengan
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
57
warnanya yang sudah berubah menjadi hitam. Selain
itu, dalam upacara keagamaan khusus terkadang
membutuhkan E. horsfieldii secara utuh.
Dalam pemanenan kendala yang dihadapi oleh
pemburu adalah habitat tumbuh E. horsfieldii yang
berada di ketinggian lebih dari 1.000 m dpl, dan secara
umum berlokasi di tengah hutan, tempat yang sukar
dijangkau dan terkadang berada pada topografi lahan
yang curam, sebagaimana temuan Sutomo dan
Mukarromah (2010). Kendala lain yang diungkapkan
oleh beberapa petani pemburu, bahwa tumbuhan E.
horsfieldii sudah langka, sementara karakteristik fisik
jenis tumbuhan ini hampir sama dengan jenis
tumbuhan lain sehingga sulit diidentifikasi dan dicari.
Pihak BKSDA Bali sendiri menyebutkan bahwa E.
horsfieldii tergolong sudah langka, keberadaannya
hanya dijumpai pada titik-titik tertentu (Gambar 4).
Meskipun demikian, jumlah dan persebarannya dinilai
masih terjaga, stabil, bahkan bertambah.
Gambar 4. Persebaran E. horsfieldii
Sumber: Balai Konservasi Sumberdaya Alam Bali (BKSDA Bali), 2018.
Pemanenan E. horsfieldii dilakukan oleh
masyarakat pada bulan Juni sampai Agustus. Dalam
sekali panen masyarakat rata-rata mendapatkan 10
15 buah E. horsfieldii, namun ada juga yang mampu
memanen hingga 200 300 buah. Masyarakat rata-
rata memburu E. horsfieldii untuk konsumsi pribadi.
Meskipun demikian, ada juga pemburu yang menjual
hasil buruannya. E. horsfieldii dijual dengan harga
Rp1.000 Rp5.000/buah bahkan sampai
Rp20.000/buah tergantung pembeli.
Penjualan E. horsfieldii dilakukan dengan dua
alasan. Pertama, sebagai bentuk balas jasa. Hal
tersebut merupakan fakta kultural yang tidak memiliki
motif mendapatkan keuntungan (Hanson, 2015).
Biasanya dilakukan bagi orang dekat yang meminta
untuk dicarikan E. horsfieldii di hutan. Pada praktik
penjualan sebagai balas jasa, penjual biasanya
mematok harga yang sangat murah, yaitu Rp1.000 per
buah atau bahkan kurang dari itu. Sebagian besar
permintaan E. horsfieldii berasal dari orang sekitar.
Kedua, penjualan dengan motif ekonomi. Di
samping dijual ke tetangga, penjualan juga dilakukan
kepada orang dari luar daerah yang sengaja datang
untuk mendapatkan E. horsfieldii. Pengenaan harga
kepada mereka yang datang cenderung lebih mahal,
dengan harga mencapai Rp5.000 Rp20.000 per
buah. Dari sini terlihat bahwa sudah terdapat
masyarakat yang melakukan penjualan buah E.
horsfieldii dengan motif ekonomi.
Upaya Pelestarian E. horsfieldii
Upaya pelestarian E. horsfieldii telah dilakukan
baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Di tingkat
masyarakat, upaya pelestarian sangat terkait dengan
falsafah THK. Hasil wawancara di tingkat masyarakat
menunjukkan bahwa upaya pelestarian E. horsfieldii
dilakukan dengan beberapa cara.
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
58
Pertama, dengan pengaturan dalam pemanenan.
Model pengaturannya antara lain: (1) tidak melakukan
pemanenan pada seluruh tumbuhan, hanya buahnya
saja. Jadi buahnya saja, buahnya sedikit, paling 3 4
(wawancara dengan Bapak P, 2018). Khasiat E.
horsfieldii yang dipahami masyarakat hanya ada pada
bagian buahnya. Oleh karena itu masyarakat hanya
memanen bagian buahnya saja. Bagian tumbuhan
yang lain tetap dibiarkan tumbuh. Dengan demikian
kelestarian tumbuhan ini tetap terjaga. (2) pemanenan
dilakukan pada buah yang sudah matang. Buahnya
saja yang dicari. Kalau sudah hitam baru dicari
(diambil), kalau masih hijau enggak (wawancara
dengan Bapak IPT, pemburu, 2018). Buah yang
dipanen adalah buah matang yang ditunjukkan dengan
warnanya yang sudah hitam. Pemilihan hanya pada
buah yang sudah matang didasarkan pada khasiat dari
tanaman ini. Buah yang dipandang berkhasiat adalah
buah yang sudah matang. Di samping itu buah yang
masih muda belum ada isinya. Kalau yang hijau
diambil, kosong isinya, ketika kering kosong isinya
(wawancara dengan Bapak P, pemburu, 2018).
Pemanenan pada buah yang sudah matang menjadikan
eksploitasi tidak dilakukan secara berlebihan.
Pemburu harus menunggu buah E. horsfieldii matang
dulu. Dengan begitu pemanenan akan terkendali. (3)
pemanenan hanya dilakukan pada musim tertentu.
Musim berbuah E. horsfieldii berlangsung antara
bulan Juni Agustus. Ya musim tertentu, antara bulan
enam sampai delapan, paling banyak bulan tujuh,
sudah ada yang hitam-hitam (wawancara dengan
Bapak PT, 2018). Oleh karena pemanenan hanya
dilakukan hanya pada buahnya dan dipilih hanya yang
sudah matang, maka pemanenan juga hanya dilakukan
pada musim di mana buah itu matang (Juni
Agustus). Dengan begitu, pada bulan lain, tumbuhan
ini dapat tumbuh dengan baik untuk regenerasi.
Di samping adanya cara pemanenan yang
memerhatikan kelestarian tanaman, ada juga awig-
awig dalam pemanenan yang dipegang oleh
masyarakat di sekitar habitat E. horsfieldii. Awig-awig
merupakan aturan informal yang disepakati bersama
oleh seluruh masyarakat. Awig-awig tersebut antara
lain: (1) pemanenan dilakukan untuk tujuan baik,
bukan untuk sesuatu yang buruk. Tanaman ini
dipercaya dapat meningkatkan stamina. Namun jika
kemudian stamina yang prima itu diperoleh untuk
tujuan menyakiti orang lain, sangat dilarang. Untuk
awig-awig poin pertama, seorang pemburu
menyatakan bahwa untuk sekedar berkata-kata yang
tidak baik pun dilarang. Jika itu dilakukan, maka
sudah bisa dipastikan tidak akan mendapatkan E.
horsfieldii. Ini diungkapkan oleh salah satu pemburu
yang pernah melakukan perburuan E. horsfieldii.
Kalau ngomong yang tidak-tidak, ngomong yang
aneh-aneh, bisa nggak menemukan. Ngomong yang
ngawur (wawancara dengan pemburu IPT, 2018). (2)
adanya sesaji yang dipersembahkan. Sesaji yang
dipersembahkan bisa lengkap dalam bentuk canang
(perlengkapan sesaji yang terdiri dari bunga tertentu
dan dupa, diletakkan dalam wadah dari daun kelapa
muda). Jika tidak tersedia, sekedar memberi sesajian
dalam bentuk permen pun bisa. (3) pemanenan tidak
dilakukan secara berlebihan. Artinya pemanenan
hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan, tidak boleh
sampai menghabiskan apa yang tersedia di alam.
Beberapa awig-awig yang ada masih dijalankan
oleh masyarakat, ini menunjukkan bahwa falsafah
THK dalam pelestarian E. horsfieldii masih berjalan
dengan baik. Adanya awig-awig yang berjalan ini
sejalan dengan temuan Hasan dan Krisnawati (2018).
Ketiga awig-awig tersebut ditemukan dan dijalankan
oleh masyarakat.
Awig-awig yang dijalankan sebagai bagian dari
upaya pelestarian E. horsfieldii juga sejalan dengan
temuan penelitian lainnya. Awig-awig poin 1 dan 2
misalnya, bisa dikontekskan dengan temuan di Tibet.
Pada masyarakat yang masih mengagungkan
kepercayaan dan spiritualisme terhadap alam seperti
dapat dijumpai di Tibet, terdapat upacara khusus
dalam pemanenan dan juga upacara untuk merayakan
panen. Perayaan itu sebagai bentuk komunikasi antara
manusia dengan Tuhan (Luo et al., 2009). Sementara
itu prinsip nomor tiga yakni pemanenan secukupnya,
juga berlangsung di Argentina. Pemanenan tidak
hanya dilandasi oleh penghargaan atas tumbuhan atau
satwa liar, namun didukung oleh asumsi
anthropomorfisme (menganggap kehidupan liar sama
seperti manusia) sehingga perlakuan terhadapnya pun
mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan (Martínez,
2013). Adanya konsep moral dan etika dalam
perburuan ini juga menjadi ciri dalam masyarakat
tradisional yang memungkinkan perburuan secara
berkelanjutan (Reo dan Whyte, 2012).
Kedua, upaya pembudidayaan. Dua balian telah
mencoba membudidayakan jenis ini, akan tetapi
belum menunjukkan keberhasilan. Balian Wayan
yang telah mencoba membudidayakan E. horsfieldii,
pada awalnya tanaman tersebut bisa hidup, namun
sayangnya tanaman tidak berbuah. Sementara itu,
balian Ahmad juga telah berupaya membudidayakan
E. horsfieldii. Ia mengambil biji E. horsfieldii di
hutan, kemudian ia tanam di kebun yang ia miliki.
Namun karena kurang terurus, kemudian pucuknya
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
59
menguning. Kondisi tersebut sejalan dengan temuan
Hasan dan Krisnawati (2018) di mana masyarakat
semakin yakin bahwa E. horsfieldii memang
habitatnya di hutan dan tidak dapat dibudidayakan di
luar habitatnya. Keyakinan ini salah satunya
diungkapkan oleh balian Wayan:
Tapi ini sayangnya nggak bisa pindah tempatnya,
pohonnya itu. Saya pernah pohonnya saya bawa
pulang, ndak mau (berbuah-pen). Mentik-mentik
(tumbuh) dia, tapi ndak ada buahnya. Fungsinya
nggak ada gitu, yang dicari kan buahnya, sama yang
melindungi di hutan (makhuk halus penunggu di
hutan-pen). Di hutan kan ada penunggunya jadi mau
berbuah (wawancara dengan balian Wayan, 2018).
Pernyataan tersebut mengafirmasi keyakinan
masyarakat bahwa tanaman ini tidak dapat tumbuh
selain di habitat tumbuhnya yakni di hutan. Keyakinan
ini tidak lepas dari dimensi sakral dari tanaman ini
yang masih diyakini oleh masyarakat. Masyarakat
meyakini bahwa pohon E. horsfieldii bisa muncul
buahnya karena adanya sang penunggu (makhluk
halus berwujud harimau).
Purnajiwa dipelihara harimau, rare angon. Cari yang
jatuh tidak ada, dimakan. Saya kalau mau cari
(purnajiwa) bawa sesaji, makanan atau permen atau
apa. Cari buah yang sudah hitam. Kalau masih hijau
tidak bisa dipakai, disimpan mengkerut dan habis
(wawancara dengan balian Wayan, 2018).
Purnajiwa susah didapat. Kita lewat satu tempat tidak
mesti ada, tapi orang lain bisa dapat di situ. Ini ada
penunggunya, macan. Waktu sama mba-nya (peneliti-
red) ke sana kan nyuruh cepat-cepat, karena ada yang
nunggu itu, besaar! (wawancara dengan balian
Ahmad, 2018).
Selain adanya awig-awig yang masih berjalan,
upaya pelestarian E. horsfieldii secara in-situ dan ex-
situ diharapkan dapat dilakukan oleh masyarakat.
Perbanyakan E. horsfieldii dapat dilakukan secara
vegetatif dan generatif. Secara vegetatif, hasil
penelitian Ardaka et al. (2011); Ekasari (2011); dan
Krisnawati et al. (2017) menunjukkan perbanyakan E.
horsfieldii khususnya dengan menggunakan stek
pucuk dapat menghasilkan persentase hidup lebih dari
80 % dan persen berakar 100 % dengan penambahan
zat pengatur tumbuh dan media perakaran campuran
arang sekam dan cocopeat dalam waktu lima bulan.
Krisnawati dan Rahayu (2018) melaporkan
perbanyakan E. horsfieldii secara generatif dapat
dilakukan dengan menggunakan biji. Metode
pengeringan dan media semai berupa campuran arang
sekam dan cocopeat mampu menghasilkan daya
kecambah hingga 80 %. Selain itu, biji E. horsfieldii
dapat berkecambah mulai 104 190 hari Setelah
Tanam (HST) pada skala laboratorium (Kuswantoro
dan Oktavia, 2019). Perbanyakan E. horsfieldii secara
vegetatif dan generatif berdasarkan penelitian-
penelitian tersebut membutuhkan waktu yang
lumayan lama dan masih dalam skala persemaian dan
laboratorium, belum sampai ke tahap penanaman di
lapangan.
Selain upaya pelestarian oleh masyarakat, upaya
ini juga telah dilakukan oleh pemerintah. Instansi
pemerintah yang menangani pelestarian E. horsfieldii
dalam hal ini adalah BKSDA Bali. Upaya pelestarian
yang dilakukan oleh BKSDA Bali tidak secara khusus
menjadi program tersendiri. Pelestarian menjadi
bagian dari program besar pada Balai KSDA Bali,
yang termasuk dalam upaya konservasi kawasan.
Salah satu upaya tersebut yaitu dalam bentuk
pengamanan kawasan dengan pengerahan tenaga
pengamanan sebanyak sembilan (9) orang yang terdiri
dari 4 polisi hutan dan 5 tenaga pengamanan lainnya.
Adapun kelembagaan dan sumber daya manusia
(SDM) yang mendukung program konservasi kawasan
berupa pembentukan kelompok tani (KT) Konservasi
di Desa Candikuning, sementara itu di Desa Wanagiri
juga tengah diinisiasi pembentukannya. Khusus
terkait dengan program pengamanan kawasan,
terdapat Masyarakat Mitra Polhut (MMP) yang secara
umum ikut menangani masalah keamanan, dan
Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagai kelompok
masyarakat yang spesifik bergerak pada kebakaran
hutan. Baik MPP maupun MPA masing-masing
memiliki anggota sejumlah 30 orang (BKSDA Bali,
2019).
KESIMPULAN
Pemanfaatan E. horsfieldii oleh masyarakat Bali
khususnya balian dan masyarakat umum digunakan
untuk pengobatan beragam penyakit. Semua bagian
pranajiwa (akar, batang, daun dan buah) dipercaya
dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti
rematik, kulit gatal, muntah dan asam urat.
Pemanenan pranajiwa oleh masyarakat Bali masih
mengindahkan prinsip Tri Hita Karana yakni dengan
tetap menjaga harmoni dengan alam dan menerapkan
awig-awig, yaitu pemanenan untuk tujuan yang baik,
sesajen (persembahan) untuk penunggu tempat, dan
tidak over eksploitasi. Upaya ini didukung oleh
BKSDA Bali sebagai pengelola kawasan dengan
melakukan pengamanan untuk menjaga habitatnya di
alam.
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
60
SARAN
Penelitian ini merekomendasikan setiap
stakeholder untuk melakukan upaya konservasi ex-
situ E. horsfieldii. Selain itu, perlu memperkuat awig-
awig sesuai Tri Hita Karana dengan mengoptimalkan
pranata adat. Terkait pemanfaatan E. horsfieldii
sebagai obat, perlu penelitian lebih lanjut terhadap
khasiatnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Gipi
Samawandana, staf BKSDA Bali, dan informan di
Bedugul yang telah membantu penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Al, & Juniati, D. (2017). Klasifikasi kelompok
umur manusia berdasarkan analisis dimensi fractal
box counting dari citra wajah dengan deteksi tepi
canny. Jurnal Ilmiah Matematika, 2(6), 33–42.
Ardaka, I. M., Tirta, I. G., & Darma, Dw. P. (2011). Pengaruh
jumlah Ruas dan zat pengatur tumbuh terhadap
pertumbuhan stek Pranajiwa (Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benth. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,
8(2), 81–87.
Artana, I. W. (2014). Tri Hita Karana meningkatkan kualitas
modal manusia dari persfektif kesehatan. Piramida,
X (2), 100–105.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/v
w/18699
Backer, C. A., & van den Brink, R. C. B. (1963). Flora of
Java. Netherlands: N.V.P Noordhoff.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013).
Riset Kesehatan Dasar. In Ministry of Health
Republic of Indonesia (Issue 1).
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019.
Laporan Nasional Riseksdas 2018. Laporan
Penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.
Bennett, L. R. (2016). Indigenous healing knowledge and
infertility in Indonesia: Learning about cultural
safety from Sasak midwives. Medical Anthropology,
36(2), 111–124.
https://doi.org/10.1080/01459740.2016.1142990
BKSDA Bali. (2020). Cagar Alam Batukahu, Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Bali.
https://www.ksda-bali.go.id/kawasan-
hutan/kawasan-konservasi/cagar-alam-batukahu/.
Akses 11 November 2021.
BKSDA-BALI. (2019). Taman Wisata Alam Danau
Buyan – Danau Tamblingan.
https://www.ksda-bali.go.id/twabuyantamblingan/.
Akses 13 Oktober 2019
BPS Kabupaten Buleleng. (2021a). Kabupaten Buleleng
Dalam Angka 2021. BPS Kabupaten Buleleng.
BPS Kabupaten Buleleng. (2021b). Kecamatan Banjar
Dalam Angka 2021. BPS Kabupaten Buleleng.
BPS Kabupaten Buleleng. (2021c). Kecamatan Sukasada
Dalam Angka 2021. BPS Kabupaten Buleleng.
BPS Kabupaten Tabanan. (2021a). Kabupaten Tabanan
Dalam Angka 2021. BPS Kabupaten Tabanan.
BPS Kabupaten Tabanan. (2021b). Kecamatan Baturiti
Dalam Angka 2021. BPS Kabupaten Tabanan.
Darma, I., Priyadi, A., & Oktavia, G. (2019). Ethnobotany
study of communities of forest area around Buyan
and Tamblingan Lake, Buleleng, Bali.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/downlo
ad/49402/29386
Darma, IDP., Priyadi, A., & Rajif Iryadi. (2019). Studi
Etnobotani Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan
Bedugul Bali. Biotropic: The Journal of Tropical
Biology, 3(2), 96-104. doi:
10.29080/biotropic.2019.3.2.96-104.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds). (2009a). Handbook of
Qualitative Research (Terjemahan) (1st ed.).
Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi, N. W. R. K., Gunawan, I. W., & Puspawati, N. M.
(2017). Isolasi dan identifikasi senyawa antioksidan
golongan flavonoid dari ekstrak etil asetat daun
Pranajiwa (Euchresta horsfieldii Lesch Benn.).
Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied
Chemistry), 5(1), 26.
https://doi.org/10.24843/ck.2017.v05.i01.p04
Ekasari, I. (2011). Teknik perbanyakan Kijiwo (Euchresta
horsfieldii (Lesch.) Benn.) melalui stek pucuk.
Jurnal Teknologi Indonesia, 34, 8–16.
Grange-Piovesan, F. (1995). Therapeutic recourses in Bali:
A case study on the choice of medical practitioners.
Indonesia Circle. School of Oriental & African
Studies. Newsletter, 23(66), 109–123.
https://doi.org/10.1080/03062849508729842
Gunawan, I., Suastika, K., & Putra, A. (2016). Potential of
Euchresta horsfieldii Lesch Benn Leaf Extract
Prevent Oxidative Stress Through Decrease of
Malondialdehyde Levels and Profile Histopathology
Pancreatic Β-Cells I. World Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences, 5(1), 1340–1352.
www.wjpps.com
Gunawan, I. W. G., Puspawati, N. M., Rika Kumara Dewi,
N. W., & Oka Adi Parwata, M. (2017). Effect of
Euchresta horsfieldii lesch benn leaf extract on
increases enzyme activity of superoxide dismutase
and glutathione peroxidase in rats with maximum
physical activity. Journal of Pharmaceutical
Sciences and Research, 9(5), 578–582.
https://www.proquest.com/openview/c7797077b1c
4944265310ac338e955ed/1?pqorigsite=gscholar&c
bl=54977
Hanson, J. H. (2015). The Anthropology of Giving: Toward
A Cultural Logic of Charity. Journal of Cultural
Economy, 8(4), 1-20.
https://doi.org/10.1080/17530350.2014.949284
Hasan, R. al, & Krisnawati. (2018). Utilization of euchresta
horsfieldii by Balian in Bedugul, Bali Island.
Proceeding of SFEM 2018/IUFRO 04.02.02. The
International Symposium of SFEM2018/IUFRO
04.02.02. Combining multiple inventory techniques
and management science to preserve the forest
ecosystem for future generations (p158-163).
Nontou County.
Jurnal WASIAN Vol.9 No.1 Tahun 2022:48-62 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v9i1.6719
61
International Society of Ethnobiology. (2006). ISE Code of
Ethics (With 2008 addition).
http://ethnobiology.net/code-of-ethics/
Kementerian Dalam Negeri. (2021). Visualisasi Data
Kependudukan.
https://Gis.Dukcapil.Kemendagri.Go.Id/Peta/.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017).
(testimony of Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 187 Tahun 2017 Tentang
Formularium Ramuan Obat Tradisional Indonesia).
Krisnawati, Nandini, R., & Rahayu, A. A. D. (2018).
Karakteristik Tapak Pertumbuhan Pranajiwa
(Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn Pada
Habitatnya di Bali dan Lombok. Dalam
Wahyudiningsih, T.S., Siswanto, U., Widiyastuti, Y.,
Pramono, S., Wahyono, S., Pradipta, M.S.I.,
Nugraha, W.T., dan Laura, Y. (eds), Prosiding
Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia Ke 55:
Merawat Tumbuhan Obat Menuai Manfaat (p.122–
130). Magelang: LPPM-PMP Universitas Tidar.
Krisnawati, & Rahayu, A. A. D. (2018). Teknik
perkecambahan Pranajiwa (Euchresta horsfieldii).
In Aryadi Mahrus, Nugroho Yusanto, Basir, Natalina
Amino, & Rahmiyati (Eds.), Silvikultur Untuk
Produksi Hutan Lestari Dan Rakyat Sejahtera (pp.
576–584). Banjarmasin: Lambung Mangkurat
University Press.
Krisnawati, Rahayu Anita Apriliani Dwi, & Samawandana
Gipi. (2017). Pengaruh zat pengatur tumbuh
terhadap pertumbuhan stek pucuk Pranajiwa
(Euchresta horsfieldii). Dalam Diana Rita,
Sulistioadi Yohanes Budi, Karyati, Sarminah Sri,
Widiati Kusno Yuli, Kuspradini Harlinda, Sari Diah
Rakhmah, & Mulyadi Rachmad (Eds.), Mengatasi
Perubahan Iklim Terhadap Kelestarian Sumberdaya
Hutan dan Ekonomi Sumberdaya Hayati (p418–
427). Samarinda: Pusat Pengkajian Perubahan Iklim
Universitas Mulawarman.
Kuswantoro Farid, & Oktavia Gebby Agnessya Esa. (2019).
Studi tipe perkecambahan dan pertumbuhan anakan
Pinanga arinasae Witono dan Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benn. untuk mendukung upaya
konservasinya. Buletin Kebun Raya, 22(2), 105–
116.
http://publikasikr.lipi.go.id/index.php/buletin/article
/view/13
Lemmens, R. H. M. J., & Bunyapraphatsara, N. (2003).
Plant Resources of Southeast Asia (Vol. 3).
PROSEA (12).
Li, Z. zhong, Tan, J. peng, Wang, L. li, & Li, Q. hua. (2017).
Andrographolide benefits rheumatoid arthritis via
inhibiting MAPK pathways. Inflammation, 40,
1599–1605.
https://doi.org/10.1007/s10753-017-0600-y
Loganayaki, N., Suganya, N., & Manian, S. (2012).
Evaluation of edible flowers of agathi (Sesbania
grandiflora L. Fabaceae) for in vivo anti-
inflammatory and analgesic, and in vitro antioxidant
potential. Food Science and Biotechnology, 21(2),
509-517.
https://doi.org/10.1007/s10068-012-0065-6
Luo, Y., Liu, J., & Zhang, D. (2009). Role of traditional
beliefs of baima tibetans in biodiversity
conservation in China. Forest Ecology and
Management, 257(10), 1995–2001.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2009.01.001
Martínez, G. J. (2013). Use of fauna in the traditional
medicine of native Toba (qom) from the Argentine
Gran Chaco region: An ethnozoological and
conservationist approach. Ethnobiology and
Conservation, 2(2), 1-43.
https://doi.org/10.15451/ec2013-8-2.2-1-43
McCauley, A. P. (1988). Healing texts and healing
techniques in indigenous Balinese medicine. Social
Science and Medicine, 27(8), 779–787.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0277-
9536(88)90230-4
McCauley, Ann. P. (1984). Healing as a sign of power and
status in Bali. Social Science and Medicine, 18(2),
167–172.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0277-
9536(84)90037-6
Min, S. W., Ryu, S. N., & Kim, D. H. (2010). Anti-
inflammatory effects of black rice, cyanidin-3-O-β-
d-glycoside, and its metabolites, cyanidin and
protocatechuic acid. International
Immunopharmacology, 10(8), 959-966.
https://doi.org/10.1016/j.intimp.2010.05.009
Mpala, L. N., Chikowe, G. R., & Cock, I. E. (2017).
Aleurites moluccanus (l.) Willd. Extracts Inhibit the
Growth of Bacterial Triggers of Selected
Autoimmune Inflammatory Diseases.
Pharmacognosy Communications, 7(2), 83–90.
https://doi.org/10.5530/pc.2017.2.12
Muryani, N. M. S., Winarni, I., & Setyoadi, S. (2018).
Balinese traditional treatment (Balian) in patients
with mental disorder. Belitung Nursing Jurnal, 4(4),
397–401.
https://doi.org/https://doi.org/10.33546/bnj.425
Ningsih, I. Y. (2016). Studi etnofarmasi penggunaan
tumbuhan obat oleh suku Tengger di Kabupaten
Lumajang dan Malang, Jawa Timur. Pharmacy,
13(1), 10–20.
http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/Pharmacy
/article/view/885
Nuraini, C. (2016). The intangible legacy of the Indonesian
Bajo. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya,
17(1), 1–18.
Oktavia, G. A. E., Darma, I. D. P., & Sujarwo, W. (2017).
Ethnobotanical study of medicinal plants in the area
around Buyan-Tamblingan. Buletin Kebun Raya,
20(1).
http://publikasikr.lipi.go.id/index.php/buletin/article
/view/56
Prena, G. das, & Pekerti, L. G. P. K. (2019). Aktivitas sosial,
aktivitas budaya dan agama terhadap dana pihak
ketiga Lembaga Perkreditan Desa (LPD) (Case
Kabupaten Tabanan Bali). Jurnal Ilmiah
Satyagraha, 2(2), 75–90.
https://doi.org/10.47532/JIS.V2I2.65
Prihantini, A. I., Krisnawati, K., Rahayu, A. A. D.,
Nugraheni, Y. M. M. A., & Samawandana, G.
(2018). Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri
Tumbuhan Pranajiwa (Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benn.). Jurnal Ilmu Kehutanan, 12(2), 223-
233. https://doi.org/10.22146/jik.40157
Upaya Pelestarian Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) Berbasis
(Rubangi Al Hasan, Krisnawati dan Anita AD Rahayu)
62
Prihantini, A. I., Krisnawati, K., & Setyayudi, A. (2019).
Antioxidant and alpha-glucosidase inhibitory
activities of Euchresta horsfieldii. Biofarmasi,
17(2), 61–64.
https://doi.org/DOI: 10.13057/biofar/f170202
Priyadi, A., Feng, C., Kang, M., & Huang, H. (2018).
Development of 10 single-copy nuclear DNA
markers for Euchresta horsfieldii (Fabaceae), a rare
medicinal plant. Applications in Plant Sciences,
6(9), 1-4.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/aps3.1178.
Quintão, N. L. M., Pastor, M. V. D., Antonialli, C. de S., da
Silva, G. F., Rocha, L. W., Berté, T. E., de Souza, M.
M., Meyre-Silva, C., Lucinda-Silva, R. M.,
Bresolin, T. M. B., & Cechinel Filho, V. (2019).
Aleurites moluccanus and its main active
constituent, the flavonoid 2″-O-rhamnosylswertisin,
in an experimental model of rheumatoid arthritis.
Journal of Ethnopharmacology, 6(9), 1-4.
https://doi.org/10.1016/j.jep.2019.02.014
Reo, N. J., & Whyte, K. P. (2012). Hunting and morality as
elements of traditional ecological knowledge.
Human Ecology, 40(1), 15-27.
https://doi.org/10.1007/s10745-011-9448-1
Rosentreter, R. (1988) Terrestrial Plant Ecology by M. G.
Barbour; J. H. Burk; W. D. Pitts. Journal of Range
Management, 41(3), 272.
https://doi.org/10.2307/3899191
Sahidu, A., Dharmawan, A., Satria, A., & Adiwibowo, S.
(2013). Belian dalam pemeliharaan kesehatan
perempuan Suku Sasak di saat kehamilan Shifting
role of Belian in maintaining the health of pregnant
women of Sasak. Masyarakat, Kebudayaan Dan
Politik, 26(1), 55–64.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/mkp58333a64b0f
ull.pdf
Sari, L. O. R. K. S. (2006). Pemanfaatan obat tradisional
dengan pertimbangan manfaat dan keamanannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, III (1), 1–7.
http://psr.ui.ac.id/index.php/journal/issue/view/72/s
howToc
Sartini, S., & Ahimsa-Putra, H. S. (2017). Redefining the
term of Dukun. Humaniora, 29(1), 46–60.
https://doi.org/10.22146/JH.22565
Sen, S., Chakraborty, R., Sridhar, C., Reddy, Y. S. R., & De,
B. (2010). Free radicals, antioxidants, diseases, and
phytomedicines: Current status and future prospect.
International Journal of Pharmaceutical Sciences
Review and Research, 3(1), 91–100.
https://www.globalresearchonline.net/journalconten
ts/volume3issue1/Article 021.pdf
Suardiana, I. W. (2018). Naskah pengobatan “Usada” di Bali
dan problematika pemurnian teks. Jurnal Kajian
Bali (Journal of Bali Studies), 8(2), 1–14.
https://doi.org/10.24843/JKB.2018.V08.I02.P01
Suardika, I. K. (2019). Pengobatan Tradisional Usada dan
Balian Budaya Bali (Kajian Ilmu Sosial Budaya).
Prosiding Seminar Nasional Fasilitasi Event
Kesejarahan 2019. dalam Ahmad (Ed)
“Pengembangan Kajian Etnomedisin dalam
Memperkuat Karakter Generasi Muda”. (p.53–57).
Kendari: Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu
Sosial Indonesia (HISPISI Sulawesi Tenggara).
http://repository.poltekkes-
kdi.ac.id/1453/1/Prosiding Seminar
Nasional.pdf#page=58
Suatama, I. B., Kumbara, A. A. N. A., & Dewi, A. A. S. K.
(2019). Commodification of usada bali: between
profit-oriented and negotiation of sasana balian.
International Journal of Social Sciences and
Humanities, 3(2), 136–144.
https://doi.org/10.29332/ijssh.v3n2.300
Sujarwo, W., Arinasa, I. B. K., Salomone, F., Caneva, G., &
Fattorini, S. (2014). Cultural erosion of balinese
indigenous knowledge of food and nutraceutical
plants. Economic Botany, 68(4), 426–437.
https://doi.org/10.1007/s12231-014-9288-1
Susiarti, S., Rahayu, M., & Rugayah. (2018). Diversity of
Indonesian Medicinal Plant in the lowland Forest,
Bodogol and Its Surrounding of Mount Gede-
Pangrango National Park, West Java. IOP
Conference Series: Earth and Environmental
Science, 166(1) (p.012021).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/166/1/012021
Sutomo, S., & Mukarromah, L. (2010). Autekologi
Purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.
(Fabaceae) di sebagian kawasan hutan bukit tapak
Cagar Alam Batukahu Bali. Jurnal Biologi, XIV (1),
24–28.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/BIO/article/view/5
86
Tirta, I. G., Ardaka, I. M., & Darma, D. P. (2010). Studi
fenologi dan senyawa kimia Pronojiwo (Euchresta
horsfieldii (Lesch.) Benn.). Buletin Penelitian
Tanaman Rempah Dan Obat, 21(1), 28–36.
Triyono, S. D. K., & Herdiyanto, Y. K. (2017). Konsep sehat
dan sakit pada individu dengan Urolithiasis
(Kencing Batu) di Kabupaten Klungkung, Bali.
Jurnal Psikologi Udayana, 4(02), 263–276.
https://doi.org/10.24843/JPU.2017.V04.I02.P04
van Steenis C G G J. (2006). Flora Pegunungan Jawa.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Widiana, I. W. (2019). Filsafat Cina: Lao Tse Yin-Yang
kaitannya dengan Tri Hita Karana sebagai sebuah
pandangan alternatif manusia terhadap pendidikan
alam. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3), 110–123.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23887/jfi.v2i3.2
2186
Windia, I., & Wiguna, W. (2013). Subak Warisan Budaya
Dunia. Denpasar: Udayana University Press.
Wirani, I. A. S., Paryatna, I. bagus M. L., & Aryana, I. bagus
P. M. (2020). Nilai Kearifan Lokal dalam Kumpulan
Cerpen ’Tutur Bali’Karya I Wayan Westa. Seminar
Nasional Riset Inovatif (p. 58-62). Singaraja: LPPM
Universitas Pendidikan Ganesha.
https://eproceeding.undiksha.ac.id/index.php/senari
/article/download/2102/1382
Woodward, M. (1985). Healing and Morality: A javanese
example. Social Science and Medicine, 21(9), 1007–
1021. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0277-
9536(85)90422-8
Woodward, M. (2011). The Javanese Dukun: Healing and
Moral Ambiguity. In: Java, Indonesia and Islam.
Muslims in Global Societies Series, Vol 3. 69-112.
Dordrecht: Springer. https://doi.org/10.1007/978-
94-007-0056-7_2
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn.) has been widely used as traditional medicine by the Balinese ethnic community. Up to now, the raw materials for traditional medicines from E. horsfieldii are harvested directly from their natural habitat. It is feared that it will interfere with its sustainability. The Balinese ethnic community has a culture known as the Tri Hita Karana (THK) concept, which means there is a balance in the relationship between humans and God, nature, and with fellow humans. This study aims to identify the use of E. horfieldii and its conservation efforts based on THK. This research was carried out in communities living around Bedugul, Bali. The method of data collection was done by participatory observation and semi-structured interviews. The research informants were 33 people with a purposive sampling method. The criteria are based on the level of knowledge and use of E. horsfieldii. Data were analyzed and interpreted descriptively. The results of this study indicate that E. horsfieldii has been widely used to treat various diseases and is practiced by many traditional healers (balian). However, people also use it for treatment without a standardized dose. This causes the measure of its use is very diverse. Harvesting of E. horsfieldii is carried out by the community while still observing the principle of sustainability according to the THK philosophy. Harvesting of E. horsfieldii is mostly done for individual needs. Although there has been a practice of buying and selling E. horsfieldii, harvesting has not resulted in over-exploitation. Efforts to conserve E. horsfieldii have been carried out by the community, especially the balians by trying to cultivate it, although they still fail. In addition, the conservation of E. horsfieldii is carried out by the Bali BKSDA with efforts to maintain the habitat of E. horsfieldii in forest areas.
Article
Full-text available
The Ethnobotany study of society advantage knowing plant species that be used and this usefulness. This study purpose identification plant’s utilization and local wisdom in Bedugul area. This method is purposive sampling that based profession with interview to Dukun, Baten, housewife, Farmer, craftsmen and builder. Filed data were processed with quantitative to get the benefit index (BI) on 181 species. Top ten species have been the highest of BI such as: Musa paradisiaca (0.026718), Arenga pinnata (0.022901), Artocarpus integer (0.015267), Cocos nucifera (0.015267), Colocasia esculenta (0.015267), Curcuma domestica (0.015267), Schizostachyum brachyckadum (0.015267), Moringa oleifera (0.01145), Aleurites moluccanus (0.01145) & Allium sativum (0.01145). Four of them have rare status i. e: Borassus flabellifer, Alstonia scholaris, Eeucresta horsfieldii & Saurauia bracteosa. Bali culture which has reserved with conservation education (Tumpek Wariga ceremony, Wana Kertih & Danau Kertih) makes the environment sustainability.
Article
Full-text available
This study aimed to determine the existence of social activities, cultural activities, religious activities on third party funds LPD Tabanan Regency in 2017. The study was conducted in all LPD in Tabanan Regency. The method of determining the sample used in this study is the saturated sampling method and obtained 243 LPD that meet the criteria for sampling. The type of data used is in the form of quantitative data, namely LPD financial reports registered throughout Tabanan Regency. The analytical method used is the classic assumption test, multiple regression analysis, analysis of determination, F-Test and t-test. The results of this study indicate that social activities, cultural activities and religious activities have a significant positive effect on LPD third party funds. The implications of this research for rural credit institutions, strived to continue to improve the empowerment of third party funds for social, cultural and religious activities carried out in the village.
Article
Full-text available
Dukun, wong pinter, and other terms, commonly constitutes to the term of shamanism, are often interpreted in the same way. In particular, the dukun and wong pinter are generally understood as persons who have extraordinary or even supernatural powers, are capable of communicating with spirits and understanding the unseen, can generally help resolve issues faced by members of their communities, including illnesses, spiritual disturbances, lost items, unfortunate fates, etc. They are also predicated to charge to the patient and even willing to help witchcraft to harm other people. In fact, not all shamans have negative behaviors. In Temanggung, Central Java, though this general understanding is still common, there is distinction in the specific details and characteristics of the dukun and wong pinter. Dukun are often understood negatively, meanwhile the wong pinter has more positive connotations. Because of the different principle meaning the both terms should not be generalized and used appropriately and wisely. Improper use can cause discomfort in the community, and academically the both term actually refers to a completely different subject characteristics.
Article
Full-text available
Filsafat China adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari 3 filsafat dasar yang memengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia. Salah satu ajaran pada jaman Klasik filsafat china adalah “Yin Yang”. “Yin Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan atau yang secara harfiah artinya positif dan negatif, namun implisit mewakili makna yang sangat mendalam tentang dualisme yang saling bertentangan, namun saling melengkapi dalam menyokong kehidupan dan mekanisme universal, sehingga segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat “Yin” tertentu dan derajat “Yang” tertentu. Penerapan prinsip keseimbangan Yin Yang pada bangunan arsitektur modern seperti Phaeno Science Center di Wofsburg, Germany dan Hotel Marques de Riscal di Elciego, Spanyol terlihat pada penggunaan material yang saling berlawanan, antara yang solid dengan yang transparant, antara yang tegak dengan miring, antara yang memantulkan cahaya dengan yang menyerap cahaya. Di Bali, ada salah satu filsafat yang tidak jauh dengan filsafat Yin Yang, yaitu filsafat Tri Hita Karana. Salah bagiannya menjelaskan tentang Palemahan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Ajaran ini sudah muncul sejak kepemerintahan Majapahit. Namun Istilah Tri Hita Karana pertama kali diperkenalkan pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar.Kata Kunci: Filsafat Cina: Yin-Yang; Tri Hita Karana; Pendidikan Alam
Article
Full-text available
The purpose of this research is to understand and explain the discourse and practice of commodifying the usada Bali and negotiating the balian atmosphere in relation to economic interests. The method used is critical ethnography with qualitative analysis. This study found that the practice of commodifying usada Bali by balian was done by manipulating cultural capital, symbolic capital, and economic capital in the domains and dynamics of the habitus of usada Bali treatment to achieve economic goals. In medical practice, the balian people conduct negotiations in the gymnasium as a professional code of ethics in the midst of increasingly tighter competition in medical services. The findings of this study reflect the occurrence of mutual transformation in the practice of Balinese usada medicine due to the hegemony of modernity.
Article
Full-text available
This article examines Balinese text of usada genre as a basis for traditional medicine and as a model of the text purification. The importance of this study is done considering that in maintaining health or treating diseases, people consume chemical and herbal medicine as an alternative. Despite of the high prices of medicines and herbals, Balinese people rarely use herbal ingredients recommended in the usada text. Furthermore, usada texts that circulated in public contain many mistakes and consequently errors in selecting medicinal ingredients. This study uses qualitative data by comparing three texts from the Usada Cukil Daki manuscripts. The theory used to study is the traditional philology to get the case of incorrect copying of Balinese letter text to Latin letters. The results obtained indicate that there are many errors in the copy and wrong writing in the decrease in text.
Article
Pada era globalisasi ini, dengan perkembangan pengobatan medis yang semakin maju, masih banyak dari masyarakat yang tetap menggunakan pengobatan tradisional, yang dipercaya mampu mengobati berbagai penyakit. Menurut Asimo (1995) penggunaan pengobatan tradisional tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap pengobatan medis. Hal ini juga terlihat pada masyarakat Bali yang masih banyak menggunakan pengobatan tradisional. Gagasan tersebut didukung dengan pre-eliminary study yang menunjukan adanya ketergantungan terhadap pengobatan tradisional yang mengakibatkan keterlambatan pengobatan medis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi. Responden yang digunakan pada penelitian ini merupakan salah seorang kepala keluarga dengan kasus keterlambatan pengobatan medis, dengan dua orang informan untuk memperkuat data penelitian. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa konsep sehat dan sakit pada responden penelitian dipengaruhi oleh; 1) faktor biologis yakni pemahaman terhadap kondisi fisiologisnya; 2) faktor psikologis yang mempengaruhi responden terhadap konsep sehat dan sakitnya dan cara yang dilakukan untuk menjaga kesehatannya; 3) faktor sosial yakni pengaruh masyarakat dan keluarga terhadap konsep sehat dan sakitnya. Health seeking behavior responden terbentuk, karena dipengaruhi oleh perilaku yang dibentuk berdasarkan pengetahuan dan sikap responden serta health system model yang terdiri dari karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung, dan karakteristik kebutuhan yang juga dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, serta sosialnya. Berdasarkan hasil temuan tersebut didapatkan bahwa health seeking behavior responden dalam menggunakan pengobatan usada dan juga medis dipengaruhi oleh konsep sehat dan sakit yang dimilikinya. Kata Kunci: konsep sehat dan sakit, health seeking behavior, health system model
Article
Prihantini AI, Krisnawati, Setyayudi A. 2019. Antioxidant and alpha-glucosidase inhibitory activities of Euchresta horsfieldii. Biofarmasi J Nat Prod Biochem 17: 61-64. Euchresta horsfieldii, known as pranajiwa, is a medicinal plant that is widely grown in Bali and West Nusa Tenggara, Indonesia. Its seeds or fruits are commonly used for body freshness and stamina. The present study aimed to investigate the biological activities of leaves, root, stem, fruits, seeds of the E. horsfieldii. Antioxidant, alpha-glucosidase inhibitory activities and total phenolic compound were evaluated from methanolic extracts of all parts of E. horsfieldii. The result showed that leaf extract of E. horsfieldii exhibited the highest antioxidant activity with IC50 215.11±08.06 µg/mL. Meanwhile, the root extract had the highest alpha-glucosidase inhibitory activity and total phenolic compound with IC50 29.76±13.17 µg/mL and 763±0.01 mg GAE/100mg dry extract, respectively. In conclusion, the study suggested that E. horsfieldii is potential as natural source of antioxidant and alpha-glucosidase inhibitor agents.
Article
Ethnopharmmacological relevance Aleurites moluccana is used in folk medicine to treat pain, fever, asthma, hepatitis, gastric ulcer and inflammatory process in general, and the nut oil had been topically applied to treat arthritis and other joint pain, however the seeds are classified as toxic for oral use. Aim Faced with the need for new alternative to treat the symptoms and modify rheumatoid arthritis (RA) the aim of this work was to evaluate the effects of A. moluccanus’ leaves dried extract in rats and mice submitted to complete Freund adjuvant (CFA)-induced RA. Material and methods Wistar Rats and Swiss mice were submitted to CFA-induced RA in the right hindpaw. They received A. moluccanus extract (orally; p.o.), dexamethasone (subcutaneously), 2″-O-rhamnosylswertisin (p.o.) or vehicle (p.o.), from the 14th day after the CFA injection for up to 8 days. The mechanical hypersensitivity was evaluated using the von Frey filaments and the paw-oedema was measured using a plethysmometer. The rats’ injected hindpaw was used to perform the histological analysis. Results A. moluccanus was able to significantly reduce the mechanical hypersensitivity in both ipsi- and contralateral hindpaws of mice injected with CFA, in a dose dependent manner. Furthermore, the paw-oedema was progressively reduced by A. moluccanus. Similar results were obtained for the positive-control drug dexamethasone and the isolated compound 2″-O-rhamnosylswertisin. Besides the effects mentioned above, the extract was also effective to repair the joint damage in CFA-induced RA rats, including reduction of fibrosis, cartilage degradation and bone erosion scores. Conclusion These results together with the literature data reinforce the anti-hypersensitivity and anti-inflammatory activity of A. moluccanus extract. Part of the observed effects is due to the presence of the compound 2″-O-rhamnosylswertisin. The fact that the extract acted as a disease modifier point this herbal product as a promisor and safe tool to treat RA and other associated chronic diseases.