ArticlePDF Available

Respon Masyarakat terhadap Fenomena "Childfree" (Studi Kasus influencer Gita Savitri)

Authors:

Abstract

This study aims to describe the public's response to the Childfree phenomenon which has recently become a trend due to influencer Gita Savitri's comments. Childfree itself is used for someone who does not want to have children. This lifestyle is inversely proportional to the pattern that occurs in Indonesia. Where religious and customary factors in Indonesia strongly recommend having children even if only one. This study used a qualitative approach with phenomenological type. The results obtained that the community provides responses in the form of cognitive, affective and behavioral which are divided into two perspectives, namely socio-cultural and religious perspectives. The response of society when viewed from a socio-cultural perspective that the status and existence of women in the past was seen from how many children she could bear children, and the pattern that occurred in Indonesia for married couples to have children even if only one. Then if viewed from a religious perspective that having offspring is a recommendation in Islam is not an obligation. So that childfree is not included in the category of prohibited acts, because every married couple has the right to plan and manage their home life including having children. Keywords: Phenomenon, childfree, Community response
Diterima: 2023-04-10 Direvisi: 2023-05-17 Disetujui: 2023-05-19 36
Volume 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629, E-ISSN: 2579-3314
Akreditasi Ristekdikti No: 21 EKPT/2018
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/cakrawala
Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree" (Studi Kasus
influencer Gita Savitri)
Intan Leliana1, Ita Suryani2, Achmad Haikal3, Rio Septian4
1Universitas Bina Sarana Informatika
e-mail: intan.ila@bsi.ac.id
2Universitas Bina Sarana Informatika
e-mail: ita.its@bsi.ac.id
3Universitas Bina Sarana Informatika
e-mail : achmad.aik@bsi.ac.id
4Universitas Bina Sarana Informatika
e-mail : rio.rse@bsi.ac.id
Cara Sitasi: Intan L, Ita S, Achmad H, Rio S, (2023) Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree"
(Studi Kasus influencer Gita Savitri), 2023 23(1), 36-43 Retrieved from https://doi.org/10.31294/jc.v19i2
Abstract - This study aims to describe the public's response to the Childfree phenomenon which has recently
become a trend due to influencer Gita Savitri's comments. Childfree itself is used for someone who does not want
to have children. This lifestyle is inversely proportional to the pattern that occurs in Indonesia. Where religious
and customary factors in Indonesia strongly recommend having children even if only one. This study used a
qualitative approach with phenomenological type. The results obtained that the community provides responses in
the form of cognitive, affective and behavioral which are divided into two perspectives, namely socio-cultural and
religious perspectives. The response of society when viewed from a socio-cultural perspective that the status and
existence of women in the past was seen from how many children she could bear children, and the pattern that
occurred in Indonesia for married couples to have children even if only one. Then if viewed from a religious
perspective that having offspring is a recommendation in Islam is not an obligation. So that childfree is not
included in the category of prohibited acts, because every married couple has the right to plan and manage their
home life including having children.
Keywords: Phenomenon, childfree, Community response
PENDAHULUAN
Fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga
sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami
realitas. Sebagai mana adanya dalam kemurnianya.
Terlepas dari kelebihan dan kekuranganya
fenomenologi telah memberikan kontribusi yang
berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, dengan
mengembalikan peran subjek yang salama ini
dikesampingkan oleh pradigma positivistiksaintistik.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajianya
secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan
tidak berprasangka konsepsi-konsepsi maupun
sebelumnya, oleh karena itu kaum fenomenologi
dipandang sebagai rigourous science (ilmu yang
ketat).(Dawud, 2019)
Plato mendefinisikan fenomenologi sebagai studi
tentang struktur pengalaman, atau struktur kesadaran.
Menurut plato, fenomenologi merupakan studi
tentang “fenomena” tentang penampilan sejumlah hal
yang muncul dari kesadaran pengalaman dari orang
lain, termasuk bagaimana cara kita memberikan
makna terhadap hal-hal yang mengemuka dari dalam
pengalaman tersebut. Apa yang kita alami terhadap
orang lain termasuk presepsi (mendengar, melihat,
mencium, meraba dan lainnya) hal percaya, Tindakan
mengingat, memutuskan, menilai, merasakan,
mengevaluasi adalah pengalaman dari tubuh kita
yang terdeskripsi secara fenomenologis. (Dawud,
2019)
Fenomena Childfree yang akhir akhir ini menjadi
trend karena komentar influencer Gita Savitri di
media Sosial. Gita Savitri atau yang biasa disebut
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
37 Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree"
dengan panggilan Gitasav mendeklarasikan dirinya
sebagai penganut Prinsip Childfree (menikah tanpa
memiliki anak) dalam pernikahannya. Gitasav dan
suaminya Paul Partohap menikah pada Agustus 2018,
sepakat dengan suaminya ingin hidup berdua saja
tanpa kehadiran anak, mereka memilih Childfree
karena khawatir jika tidak bisa bertanggung jawab
dan akan menimbulkan luka bagi anaknya. (Bening,
2021).
Keputusan untuk Childfree pasangan itu
menimbulkan pro dan kontra dan beragam respon
dikalangan masyarakat. Childfree sendiri digunakan
untuk seseorang yang tidak ingin memiliki anak. Pola
hidup ini berbanding terbalik dengan pola yang
terjadi di Indonesia. Dimana faktor agama dan adat di
Indonesia sangat menganjurkan untuk memiliki anak
meski hanya satu. Childfree menjadi gaya hidup atau
pandangan pernikahan yang memutuhkan tidak
memiliki anak mengalami tren peningkatan
khususnya pada generasi milineal di Indonesia.
(Khasanah & Ridho, 2021).
Istilah Childfree itu sendiri masih terdengar asing di
masyarakat kita, akan tetapi di negara-negara besar
seperti Amerika Serikat, istilah tersebut sudah umum
dikenal luas oleh masyarakat. Berdasarkan laporan
dari National Survey of Family Growth tak kurang
15% Wanita dan 24% laki-laki memutuskan untuk
tidak ingin memiliki anak (Muhammad Hanif, 2021)
dikutip pada laman https://www.gooddoctor.co.id.
Sementara survey dari General Social Survey (GSS)
pada tahun 2001 di kanada mengungkap bahwa 7%
orang di Kanada berusia 20-34 tahun, mewakili
434.000 orang menyatakan berniat tidak memiliki
anak (Stobert & Kemeny, 2003).
Kata Childfree dalam kamus Merriam Webster
diartikan sebagai tanpa anak;
dalam kamus Macmillan Childfree digunakan untuk
menggambarkan seseorang
yang memilih untuk tidak punya anak dan kamus
Collins mengartikan Childfree sebagai tidak punya
anak, tanpa anak, terutama karena sukarela pasangan
tersebut (Tunggono, 2021)
Childfree bergerak dari upaya dasar kependidikan
masyarakat tentang tidak menjadi orang tua sebagai
pilihan hidup yang sah, meningkatkan kesadaran
tentang masalah yang terkait dengan kelebihan
populasi, dan mengadvokasi mereka yang membuat
pilihan untuk bebas anak (Blackstone, 2019) Dapat
dikatakan kondisi lain yang disebut childless bisa
dikatakan lebih mendapat pemakluman dibandingkan
Childfree karena childless merasa terpaksa (secara
fisik atau biologis) sedangkan Childfree merupakan
sebuah pilihan gaya hidup (Corbett, 2018).
Dimensi ketidakberanakan yang paling sulit untuk
didefinisikan adalah dimensi “sukarela” dan “tidak
sukarela” antara mereka yang dengan senang hati
memutuskan untuk tidak memiliki anak pada usia dini
dan mereka yang sangat menginginkan anak tetapi
tidak dapat mengatasi ketidaksuburan. (Chrastil,
2019). Memiliki bayi adalah sebuah keajaiban luar
biasa bagi sebagian orang tapi itu tidak berlaku untuk
semua orang. Childfree memungkinkan untuk
memiliki identitas positif dari diri sendiri sebagai
pembuat keputusan yang otonom, rasional, dan
bertanggung jawab sedangkan penolakan terhadap
pilihan tersebut bagi seseorang yang tidak dapat
memilih Childfree (karena berbagai alasan) memiliki
identitas tanpa cela terkait penyimpangan dari norma
menjadi orang tua.
Corinne Maier paling tidak membagi alasan
seseorang memilih childfree dalam lima kategori:
Pribadi, Psikologis dan Medis, Ekonomi, Filosofis,
dan Lingkungan Hidup (Tunggono, 2021) Baik
dalam kasus childfree maupun childless, biasanya
yang akan lebih banyak dicurigai mengalami
kemandulan adalah perempuan sebagai pemilik
rahim meskipun laki-laki sebenarnya juga berpotensi
mengalami gangguan kesehatan yang sama . Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa pilihan untuk
childfree dengan berbagai alasannya justru
bermasalah karena penyebab utama merebaknya
fenomena childfree adalah perubahan orientasi nilai,
kegagalan psikologis dan ekonomi, karirisme, dan
trauma psikologis anak. Namun, sebuah penelitian
lain menemukan bahwa para pelaku childfree justru
merasakan dampak positif, seperti kepuasan hidup
yang tinggi dan rasa ketahanan yang kuat, meskipun
mereka juga melaporkan kesadaran akan stigma yang
terkait. dengan status mereka sebagai bukan ibu.
Bahkan untuk Sebagian besar penelitian, monopause,
primonopause, dan mencapai usia paruh baya tidak
membangkitkan perasaan menyesal atas keputusan
mereka karena hidup childfree (Delyser, 2012)
Pada penelitian Childlessness in the United States
(Frejka, 2017) memberikan pernyataan bahwa
keputusan untuk Childfree meningkat 20% di tahun
2000-an. Peningkatan ini berlandaskan masalah
keluarga dan pertimbangan pengasuhan anak di
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
Intan Leliana1, Ita Suryani2, Achmad Haikal3, Rio Septian4
38
kemudian hari serta didukung dengan fakta bahwa
keputusan tersebut didasari kesulitan ekonomi dan
tekanan psikologis yang berpengaruh pada kehidupan
keluarga. Pada penelitian tersebut para psikolog dan
dokter di Amerika menjelaskan bahwa alasan
pasangan suami istri tidak memiliki anak adalah
alasan subjektif mereka sendiri.
Penelitian dengan tema Childfree telah banyak
dilakukan, diantaranya adalah Miwa Patnani, Bagus
Takwin dan Winarni Wilman Mansour yang
melakukan studi penelitian empiris mengenai
dampak ketidakadaan anak dalam sebuah pernikahan.
Penelitian yang menggunakan pendekatan
fenomenologi ini menghasilkan sebuah temuan
bahwa adanya anak dalam sebuah pernikahan
memberikan dampak positif bagi pasangan suami
istri.(Patnani et al., 2021)
Mengenai masalah childfree yang diungkapkan oleh
Gitasav, hal tersebut banyak memunculkan respon
dari masyarakat. Jalaludin Rahmat, respon adalah
suatu kegiatan (activity) dari organisme itu bukanlah
semata-semata suatu Gerakan yang positif, setiap
jenis kegiatan yang ditimbulkan oleh suatu
perangsang dapat juga disebut respon. Secara umum
respon atau tanggapan dapat diartikan sebagai hasil
atau kesan yang didapat (ditinggal) dari pengamatan
tentang subjek, peristiwa atau hubunganhubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan-pesan. (Rakhmat, 2018)
Masyarakat secara etimologis berasal dari bahasa
Arab musyarak” yang artinya hubungan atau
interaksi. Masyarakat adalah kelompok manusia yang
tinggal dan hidup di suatu wilayah dan membentuk
sebuah sistem, dimana interaksi yang terjadi adalah
antara individu-individu yang ada dalam kelompok
tersebut. Masyarakat memiliki ciri-ciri (Dadan,
2019) yakni;
a. Berada pada wilayah tertentu
b. Hidup secara berkelompok
c. Terdapat suatu kebudayaan
d. Terjadi perubahan dalam masyarakat
e. Terdapat interaksi sosial
f. Terdapat pemimpin
g. Terdapat stratifikasi sosial
Respon masyarakat dapat dilihat dari tiga indikator
yaitu respon kognitif (pengetahuan), yaitu melihat
pengetahuan masyarakat terhadap apa yang telah
diketahuinya. Jika suatu masyarakat memiliki
pemahaman yang baik tentang sesuatu, maka lebih
mudah untuk menjelaskan dan menggambarkan apa
yang telah dipelajari. Pengetahuan yang dimiliki
masyarakat dapat menghasilkan gambaran yang
dapat dengan mudah diteliti dan terungkap makna dan
maknanya.(Rosyidah & Listyaningsih, 2019)
Respons afektif (perasaan) meliputi penerimaan,
kepekaan, dan reaksi seseorang terhadap objek yang
diamati dan dirasakannya. Padahal, setiap orang
dalam masyarakat memiliki penilaian atau reaksi
yang berbeda-beda. Beberapa orang menerimanya,
beberapa orang menolaknya, dan beberapa orang
bahkan tidak peduli sama sekali, mengabaikan
beberapa hal yang mereka rasa tidak terlalu penting
bagi mereka. Sensasi memainkan peran penting
dalam kehidupan manusia dan dalam merasakan
kepekaan atau ketersediaan terhadap rangsangan
sesuatu atau memperhatikan rangsangan itu.
Respon motorik (tindakan) meliputi tindakan nyata
atau perilaku nyata, seperti tingkah laku dan aktivitas.
Seseorang yang sudah memiliki pengetahuan dan
dapat langsung merangsang segala sesuatu yang
diamati dan dirasakan secara otomatis bertindak
dalam perilaku atau membentuk kebiasaan baru
karena pengetahuan dan rangsangan (perasaan) yang
sudah diketahui.
Respon masyarakat dapat dikatakan sebagai reaksi,
persepsi, dan evaluasi seseorang terhadap
pengetahuan dan fakta yang diketahui dengan
mengamati dan merasakan suatu objek. Gambaran
respon dipelajari dari fakta dan pengetahuan
masyarakat yang mengeksekusi langsung terhadap
objek. Berdasarkan penelitian ini, subjek penelitian
adalah Gitasav.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik
membahas mengenai bagaimana respon masyarakat
terkait fenomena Childfree pada pernyataan yang
disampaikan influencer Gita Safitri. Dengan
demikian, diharapkan diperoleh hasil mengenai
respon masyarakat terkait pernyataan Gitasav yang
banyak menuai pro dan kontra di masyarakat.
Dan pernyataan yang diutarakan oleh influencer
Gitasav mengenai Childfree menjadi ramai dan
menuai kontroversi. Berdasarkan hal tersebut maka
muncul identifikasi masalah yakni :
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
37 Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree"
Bagaimana respon masyarakat terkait fenomena
Childfree pada pernyataan yang disampaikan
influencer Gita Safitri ?
METODOLOGI PENELITIAN
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif untuk
memperoleh gambaran respon masyarakat terhadap
fenomena childfree dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis. Alasan peneliti
mengadopsi metode penelitian kualitatif adalah ingin
mendeskripsikan, menjelaskan dan memahami
childfree dan berbagai komentar yang disampaikan
oleh masyarakat melalui media jaringan dengan
metode fenomenologi.
Tokoh yang menyusun konsep fenomenologi adalah
Alfred Schutz (Hanandita, 2022). Peneliti yang
menafsirkan tindakan, perilaku, dan keadaan pikiran
harus mampu menyesuaikan batasan pemikiran
ilmiah peneliti dengan orang lain yang merupakan
objek dan subjek penelitian, jelas Shutz. Dalam
proses pemaknaan, kesepakatan yang menentukan
bukanlah terjebak di antara tren ilmu sosial,
melainkan interpretasi sehari-hari antara peneliti dan
objek penelitian, yakni objek penelitian.(Hanandita,
2022)
Penelitian ini juga menggunakan jenis data mentah
dengan melihat data di media online. Data juga
diambil dari postingan Instagram Story Gita Savitri
Devi (@Gitasav) yang mencetuskan ide Childfree
muncul di Indonesia pada 14 Agustus 2021. Dan
peneliti juga memulai dengan menganalisis buku dan
jurnal yang diterbitkan terkait dengan isu bebas anak
global.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Segi Perspektif Sosial dan Budaya di Masyarakat
Indonesia
Dalam kehidupan sosial dan budaya, memutuskan
untuk tidak memiliki anak (childfree) merupakan hal
yang tabu dalam konteks budaya Timur. Keputusan
untuk tidak mempunyai anak, selain bertentangan
dengan kodrat manusia, berpendapat bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk melanggengkan kehidupan
melalui usaha dan usaha untuk mempunyai anak.
Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan
mengenai childfree yang menuai banyak komentar,
salah satunya pernyataan tentang childfree yang
diungkapkan dalam postingan Instagram reels oleh
influencer Gita Savitri, yang bermula saat seorang
netizen menanyakan rahasia awet muda Gitasv.
"Aku yang umur 24 kalah sama kak Git padahal udah
30. Awet muda banget si," tulis akun
@itsmeixxxxxx.
Gitasav menyatakan bahwa childfree ialah rahasia
dirinya awet muda. "Tidak punya anak adalah anti
penuaan alami. Kamu bisa tidur selama 8 jam setiap
hari, tanpa stres mendengar anak-anak berteriak. Dan
kapan kamu akhirnya mendapatkan kerutan, kamu
memiliki uang untuk membayar botox".
Gambar 1. Komentar childfree pada postingan akun
Instagram @Gitasav
39
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
Intan Leliana1, Ita Suryani2, Achmad Haikal3, Rio Septian4
58
Gambar 2. Komentar warganet menanggapi
pernyataan childfree Gitasav
Pernyataan Gitasaf menuai banyak kontroversi,
seolah menggambarkan orang yang anaknya tidak
muda lagi. Melihat dan mendengar pernyataan
Gitasav tersebut, Prof. Bagung Suryanto, M.Si, Guru
Besar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR),
menanggapi bahwa status dan keberadaan perempuan
di masyarakat pada masa lalu bergantung pada berapa
banyak anak yang dapat mereka miliki. Namun,
indikator tersebut saat ini berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Menurutnya, keberhasilan
perempuan tidak lagi diukur dari ranah keluarga,
tetapi berdasarkan indikator baru di ranah publik
seperti karier dan prestasi.
Gambar 3. Sumber News Unair, 2021
Kemudian menurut Nurul Fatonah mahasiswa
Program Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (Fatonah,
2021), Peneliti seperti Tomas Frejka (peneliti dan
penulis dari Childrens, USA) dan Tomas Sabotka
(peneliti dari Vienna Population Institute)
menjelaskan bahwa jumlah orang yang tidak ingin
punya anak meningkat setiap tahunnya. Selain itu,
semakin banyak negara maju yang bersikeras pada
pemikiran bebas anak semacam ini. Dalam penelitian
ini, sejumlah faktor yang mendorong orang memilih
Childfree. Keputusan seseorang untuk memilih
Childfree tentu menimbulkan stigma negatif di
masyarakat sekitar. Ini menciptakan tekanan sosial
pada pasangan karena mereka harus menerima
tanggapan dan kritik sosial. Ini juga menyangkut
keluarga besar dari pasangan yang mungkin tidak
menerima keputusan tanpa anak, karena orang tua
dari pasangan menikah secara alami menginginkan
anak atau cucu mereka memiliki keturunan.
Psikolog Klinis, Yenni Merdeka Sakti pada
tvonenews.com (Gustina, 2023) menjelaskan bahwa
infertilitas adalah keputusan pribadi, bukan karena
mengikuti tren. Jika Anda melihat dengan setiap
keputusan, itu bisa lebih baik. Namun, berdasarkan
kasus per kasus, ada penyandang disabilitas yang
belum siap memiliki anak. Dan mereka juga
mengatakan bahwa Childfree adalah keputusan yang
sangat personal, personal dan bisa dengan pasangan,
bahkan jawab Dr. Tri Rejeki Andayan, S.Psi, M.S
dari Fakultas Psikologi Sosial (FK) Universitas
Sebelas Maret (UNS). bahwa secara sosial budaya
dalam perspektif pengambilan keputusan tanpa anak,
salah satu pihak adalah keluarga besar, jadi bukan
hanya dua orang, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal
ini dikarenakan orang tua dari pasangan suami istri
tentunya memiliki keinginan atas pernikahan
anaknya, salah satunya adalah ingin memiliki cucu
yang akan melahirkan keturunan.
40
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
37 Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree"
Devia Rahmawati sebagai pengamat Sosial UI pada
interview Bersama CNN Indonesia, merepon tentang
childfree bahwa salah satu alasan perempuan
menolak punya anak adalah pandangan patriarki yang
masih mengakar kuat. Pandangan bahwa perempuan
yang harus mengurus anak sepenuhnya kadang kala
menjadi ‘beban’ tersendiri.
Gambar 4. Respon dari Pengamat Sosial Universitas
Indonesia pada CNN Indonesia
Respon juga muncul dari Instagram @kikysaputrii
sebagai seorang jebolan stand up komedi yang
dulunya pernah menjadi seorang guru ini merespon
Childfree dengan menulis “apapun pilihannya,
semoga itu adalah yang terbaik untukmu dan
kehidupanmu, yang menjadi salah adalah Ketika
merasa lebih baik atas pilihan orang lain”
Gambar 5. Postingan IG Kikysaputri dalam
merespon childfree
Segi Perspektif Agama di Masyarakat Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
mayoritasnya beragama Islam, dan di dalam syariat
agama Islam salah satu tujuan menikah adalah guna
mendapatkan keturunan. Keturunan ini dimaknai
dengan memiliki anak kandung dari hasil
pernikahan yang dilangsungkan antara laki-laki dan
perempuan. Dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat
diketahui bahwa memiliki keturunan adalah sebuah
anjuran dalam Islam bukanlah sebuah kewajiban.
Sehingga childfree tidak termasuk pada kategori
perbuatan yang dilarang, karena setiap pasangan
suami istri memiliki hak untuk merencanakan dan
mengatur kehidupan rumah tangganya termasuk
memiliki anak. Kendati demikian, meski tidak ada
ayat yang secara langsung melarang childfree,
sebagai manusia yang meyakini Allah SWT,
pilihan untuk childfree dapat dikatakan sebagai
pilihan yang tidak bijaksana karena Allah SWT
menjamin kelangsungan hidup setiap hambanya.
Gambar 6. Komentar warganet menanggapi
pernyataan childfree Gitasav
Konsep ketiadaan anak dalam kajian fikih dihadirkan
sebagai bentuk persetujuan untuk menolak lahir atau
munculnya seorang anak sebelum atau sesudah
potensi anak itu ada. Artinya, dengan tidak menikah
sama sekali, mereka mengingkari adanya anak
sebelum sperma masuk ke dalam rahim wanita.
Kedua, dengan tidak melakukan hubungan seksual
setelah menikah. Ketiga, tidak menumpahkan tinta
atau mani ke dalam rahim setelah memasukkan penis
ke dalam vagina, Keempat, menumpahkan mani di
luar 'azl atau vagina. Empat hal di atas pada
hakekatnya sama dengan pilihan tanpa anak yaitu
mengingkari adanya anak childfree sebelum ia dapat
ada Hukumnya boleh jika berarti mengingkari adanya
anak sebelum sperma masuk ke dalam rahim wanita.
41
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
Intan Leliana1, Ita Suryani2, Achmad Haikal3, Rio Septian4
78
KESIMPULAN
Bicara mengenai childfree di Indonesia memang
masih menjadi hal yang tidak wajar atau dianggap
tabu karena bertentangan dengan budaya masyarakat
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perspektif kultur
masyarakat yang masih menganggap pernikahan
adalah keputusan untuk memiliki keturunan. Sikap
masyarakat terhadap fenomena childfree, pro dan
kontra diperdebatkan di kalangan penduduk
Indonesia. Pada penelitian ini Respon masyarakat
terbagi atas dua sudut pandang, yaitu sosial budaya
dan agama.
Dari segi sosial budaya, masyarakat Indonesia masih
menganut sistem patriarki, artinya pada dasarnya
urusan anak berada di tangan mereka sendiri.
pemikiran yang sama berperan dalam keputusan
untuk ibu dan anak. dewasa dan penuh kesadaran dan
harus melibatkan percakapan antara seorang pria dan
seorang wanita. Dalam diskusi tersebut, kedua belah
pihak, terutama perempuan, harus berbicara secara
terbuka tentang alasan keputusan tidak memiliki anak
tersebut. Pembenaran juga harus memuat alasan-
alasan mendasar yang kuat agar kedua belah pihak
tidak dirugikan. Selain itu, kemandulan sebenarnya
adalah pilihan pribadi yang tidak perlu dibicarakan
dan tidak perlu memprovokasi orang lain untuk
mengikuti pilihan yang dipilih. Oleh karena itu,
perempuan generasi muda harus memilih sesuai
dengan pilihannya, namun pilihan tersebut juga harus
berdasarkan alasan yang bijak dan masuk akal.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, jika dilihat dari segi
perspektif agama, secara eksplisit hukum childfree
adalah tidak haram, karena memang tidak ada ayat
Al-Qur'an dan hadis yang mewajibkan suami dan istri
untuk memiliki anak. Tetapi, di dalam ajaran Islam
terdapat anjuran agar mempunyai anak sebagai
generasi penerus keturunan, dengan alasan :
1. Memiliki keturunan (anak) adalah fitrah
manusia
2. Mendidik dan memiliki anak termasuk dalam
sunnah
3. Memiliki anak dapat mendatangkan rejeki
4. Memiliki anak dapat menjadi amal jariyyah
yang sangat berharga
REFERENSI
Bening, S. (2021). Selain Gita Savitri, Ini 6 Public
Figure yang Memutuskan untuk Childfree.
https://www.parapuan.co/read/532874233/sela
in-gita-savitri-ini-6-public-figure-yang-
memutuskan-untuk-childfree
Blackstone, A. (2019). Childfree by Choice: the
Movement Redefining Family and Creating a
New Age of Independence. JOUR.
https://www.researchgate.net/publication/3460
26464_Childfree_by_Choice_the_Movement_
Redefining_Family_and_Creating_a_New_Ag
e_of_Independence
Chrastil, R. (2019). How to Be Childless: A History
and Philosophy of Life Without Children.
Oxford University Press.
https://doi.org/https://doi.org/10.1093/oso/978
0190918620.001.0001
Corbett. (2018). Other than Mother: The Impact of
Voluntary Childlessness on Meaning in Life,
and the Potential for Positive Childfree Living.
International Journal of Existential Psychology
and Psychotherapy,.
Dadan, S. (2019). Representasi Perubahan Sosial
Dalam Desain Kaus Oblong Banyumasan.
Sosiohumaniora, 21(1), 83.
https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v21i1
.14602
Dawud, A. (2019). Buku Fenomenologi
Maraimbang-PDF (Issue February).
Delyser. (2012). At Midlife, Intentionally Childfree
Women and Their Experiences of Regret.
Clinical Social Work Journal,. 40, 1.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s10615-
011-0337-2
Fatonah, N. (2021). Fenomena Childfree, Tuai Pro
dan Kontra dalam Masyarakat.
Kompasiana.Com.
https://www.kompasiana.com/nurulfatonah858
6/6175cda9dfa97e4b69765672/fenomena-
childfree-tuai-pro-dan-kontra-dalam
masyarakat?page=3&page_images=1#google_
vignette
Frejka, T. (2017). Childlessness in the United States.
Demographic Research Monographs,
November 2016, 159179.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-44667-7_8
Gustina, S. (2023). Childfree Pilihan Pribadi
Pasangan, Begini Kata Psikolog Klinis.
https://www.tvonenews.com/daerah/sumatera/
101473-childfree-pilihan-pribadi-pasangan-
42
Cakrawala-Jurnal Humanioran dan Sosial , Vol 23 No. 1 Maret 2023
P-ISSN 1411-8629 E-ISSN 2579-3314
37 Respon Masyarakat Mengenai Fenomena "Childfree"
begini-kata-psikolog-klinis?page=all
Hanandita, T. (2022). Konstruksi Masyarakat
Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah Menikah.
Jurnal Analisa Sosiologi, 11(1), 126136.
https://doi.org/10.20961/jas.v11i1.56920
Khasanah, U., & Ridho, M. R. (2021). Childfree
Perspektif Hak Reproduksi Perempuan Dalam
Islam. Al-Syakhsiyyah: Journal of Law &
Family Studies, 3(2), 104128.
https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah.v3i2.345
4
Muhammad Hanif. (2021). Mengenal Konsep Child-
free: Menikah Tapi Tak Ingin Punya Anak.
https://www.gooddoctor.co.id/hidup-
sehat/info-sehat/mengenal-konsep-child-free-
menikah-tapi-tak-ingin-punya-anak/
Patnani, M., Takwin, B., & Mansoer, W. W. (2021).
Bahagia tanpa anak? Arti penting anak bagi
involuntary childless. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 9(1), 117.
https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260
Rakhmat, J. (2018). Psikologi Komunikasi : Edisi
Revisi. Simbiosa Rekatama Media.
Rosyidah, T., & Listyaningsih, L. (2019). Respon
Masyarakat Desa Racitengah tentang Peraturan
yang Mewajibkan Penggunaan Hijab di SMA
Negeri 1 Sidayu Gresik. Kajian Moral Dan
Kewarganegaraan, 7(2), 13751390.
Stobert, S., & Kemeny, A. (2003). Childfree by
choice Childfree by choice. Canadian Social
Trends, 69(91), 711. http://0-
search.ebscohost.com.aupac.lib.athabascau.ca/
login.aspx?direct=true&AuthType=url,ip,uid&
db=a9h&AN=10104919&site=ehost-live
Tunggono, V. (2021). Childfree and Happy. Buku
Mojok Group.
PROFIL PENULIS
Intan Leliana S.Sos.I. MM, M.I.Kom Lahir Jakarta,
21 Desember,, Dosen di Program Studi Penyiaran
yang beralamat Alamat BSI Pemuda, Jalan Kayu Jati
5, Rawamangun, Jakarta Timur. Mengeyam S1 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Program studi Komunikasi Penyiaran Islam
Tahun 2009, S2 di Universitas BSI Bandung
mengambil Magister Manajemen 2013, dan S2
kembali dengan mengambil program Magister di
Universitas Sahid Jakarta
(Sekolah Pasca Sarjana USAHID) tahun 2021. Aktif
menulis untuk bidang komunikasi.
Ita Suryani, S.Sos, M.I.Kom
, mengenyam
pendidikan S1 Public Relations Universitas Budi
Luhur pada Tahun 2006, dan pendidikan S2
Marketing Communication Universitas Mercu
Buana Tahun 2012. Aktivitas saat ini sebagai
dosen Universitas Bina Sarana Informatika
dengan fokus pada bidang kehumasan/Public
Relations. Menghasilkan beberapa buku dan jurnal
ilmiah serta aktif sebagai narasumber pada
kegiatan pelatihan, webinar atau workshop di
bidang kehumasan/Public Relations.
Achmad haikal .MM,M.I.Kom
Lahir Jakarta, 24
Desember, 1989 Dosen di Program Studi
Penyiaran yang beralamat Alamat BSI Pemuda,
Jalan Kayu Jati 5, Rawamangun, Jakarta Timur.
Mengeyam D3 di Universitas BSI program Studi
Penyiaran dan S1 Program studi Komunikasi Di
Universitas BSI Bandung S2 di Universitas BSI
Bandung mengambil Magister Manajemen, dan
S2 kembali dengan untuk program Magister di
Universitas Sahid Jakarta (Sekolah Pasca Sarjana
USAHID). Aktif menulis untuk bidang
komunikasi.
Rio septian, M.M, M.I.Kom,
Lahir 02 Oktober
1989 di Lampung, sebagai dosen di Fakultas
Komunikasi dan Bahasa UBSI, mengenyam
pendidikan S2 Megister management di
Universitas BSI bandung tahun 2017 dan
pendidikan S2 magister ilmu komunikasi tahun
2021 Aktivitas saat ini sebagai dosen Universitas
Bina Sarana Informatika dengan fokus pada
bidang penyiaran/Broadcasting.
43
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Keputusan untuk childfree memunculkan stigma negatif dari masyarakat. Childfree dapat didefinisikan sebagai sebuah pandangan suami istri yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Childfree bukanlah istilah baru, banyak pasangan suami istri di negara-negara besar yang memilih keputusan tersebut. Keputusan dalam memilih childfree dalam kehidupan rumah tangga tidak lepas dari peran suami istri. Hal ini karena menyangkut hak-hak reproduksi mereka. Hak reproduksi antara suami istri ini telah dibahas dalam Islam. Berangkat dari fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis fenomena childfree dengan perspektif hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan (library research) dengan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi serta dilakukan analisis dengan metode deskriptif dan isi (content analysis). Memutuskan untuk childfree haruslah dibarengi dengan pemikiran yang matang dan penuh kesadaran. Keputusan memilih childfree merupakan salah satu pengaplikasian dari hak reproduksi yaitu hak menolak kehamilan. Untuk mewujudkan hak tersebut, konsep relasi mitra antara suami dan istri haruslah diterapkan dalam sebuah rumah tangga. Keputusan dalam memilih untuk childfree harus dibarengi dengan diskusi antara suami istri. Dalam diskusi tersebut kedua pihak harus terbuka terutama pihak perempuan tentang alasan keputusan childfree itu dilakukan. Dalam memberikan alasan tersebut juga harus disertai alasan dasar yang kuat sehingga tidak merugikan kedua pihak.
Article
Full-text available
Objektif: Studi empiris tentang dampak ketidakhadiran anak dalam perkawinan menunjukkan hasil berbeda yang diasumsikan berkaitan dengan perbedaan arti penting anak bagi tiap pasangan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui arti penting anak dan pengaruhnya pada perkawinan pasangan involuntary childless.Metode: Pendekatan kualitatif fenomenologi digunakan dengan metode pengambilan data berupa wawancara secara individual. Partisipan penelitian ini berjumlah 9 orang dengan kriteria involuntary childless, sudah menikah minimal selama 3 tahun dan belum pernah memiliki anak kandung. Analisis data dilakukan dengan interpretative phenomenological analysis (IPA)Temuan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran anak masih dianggap sebagai hal yang penting dalam perkawinan karena dianggap sebagai pemberian dari Tuhan, memberikan dampak positif pada kehidupan, memberikan manfaat bagi orangtua, dan memberi dampak positif pada pasangan suami istri.Kesimpulan: Nilai anak masih dipandang secara positif karena dinilai memberikan banyak manfaat, sehingga ketidakhadiran anak mempengaruhi perkawinan pasangan involuntary childless. Namun pasangan involuntary childless mampu melihat sisi positif dari ketidakhadiran anak sehingga tetap menilai perkawinannya sebagai perkawinan yang membahagiakan.
Article
Full-text available
Kaus oblong Banyumasan sering menampilkan situasi dan isu aktual dalam setiap desainnya, seperti persoalan pendidikan, politik, budaya dan dinamika sosial kemasyarakatan yang terjadi di Banyumas. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana representasi perubahan sosial yang dapat terbaca dalam desain kaus oblong Banyumasan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan semiotik dari Rolland Barthes. Data penelitian berupa desain kaus oblong Banyumasan merk Dablongan Clothing. Data tersebut dianalisis melalui dua tahap penafsiran, dimana penafsiran makna tataran pertama selanjutnya dijadikan pijakan dalam menafsirkan makna tataran kedua. Hasil penelitian menunjukan, bahwa sebagian besar desain kaus oblong Banyumasan merupakan representasi sekaligus kritik terhadap perubahan sosial di Banyumas. Perubahan sosial yang dimaksud antara lain tentang penataan kota yang tidak humanis; perubahan masyarakat agrarais menjadi kota industri; dan gaya hidup masyarakat Banyumas yang adaptif terhadap modernitas dalam hal konsumsi makanan-makanan bergaya barat.
Article
p> The main problem discussed in this article is to examine people's opinions about living without children after marriage through the construction that is formed in the community. This research was conducted because Indonesia is a pronatalist country, while the decision not to have children is a contradiction or something that is considered deviant. This study uses a qualitative method with data collection techniques through interviews. In the field, data is obtained that the decision not to have children is a form of habitualization in society. Couples who have passed the stage of marriage, then the next stage is to have children. This habitualization is in line with the Construction Theory proposed by Peter L. Berger. Keywords: Habitualization, Pronatalist, and Contrustion Abstrak Pokok permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah mengkaji pendapat masyarakat tentang hidup tanpa anak setelah menikah melalui kontruksi yang terbentuk di masyarakat. Penelitian ini dilakukan karena Indonesia merupakan negara pronatalis, sedangkan keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan sebuah pertentangan atau hal yang dianggap menyimpang. Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif dengan pendekatan fenomenologi menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Di lapangan diperoleh data bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan wujud dari habitualisasi di masyarakat. Pasangan yang telah melewati tahap pernikahan, maka tahap selanjutnya adalah memiliki anak. Habitualisasi tersebut sejalan dengan Teori Konstruksi yang dikemukakan oleh Peter L. Berger. Kata Kunci: Habitualisasi, Pronatalis, dan Konstruksi </p
Article
As a childfree woman, Dr. Amy Blackstone is no stranger to a wide range of negative responses when she informs people she doesn’t have–nor does she want–kids: confused looks, patronizing quips, thinly veiled pity, even outright scorn and condemnation. But she is not alone in opting out when it comes to children. More people than ever are choosing to forgo parenthood, and openly discussing a choice that’s still often perceived as taboo. Yet this choice, and its effects personally and culturally, are still often misunderstood. Amy Blackstone, a professor of sociology, has been studying the childfree choice since 2008, a choice she and her husband had already confidently and happily made. Using her own and others’ research as well as her personal experience, Blackstone delves into the childfree movement from its conception to today, exploring gender, race, sexual orientation, politics, environmentalism, and feminism, as she strips away the misconceptions surrounding non-parents and reveals the still radical notion that support of the childfree can lead to better lives and societies for all.
Book
Buku “Filsafat Fenomenologi: Suatu Pengantar” ini disusun untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan mahasiswa yang mengambil matakuliah “Filsafat Fenomenologi” secara langsung, maupun tidak langsung – misalnya da¬am matakuliah “Filsafat Modern, Filsafat Kontemporer dan Fenomenologi Agama”. Buku ini disusun sebagai langkah pembuka penulis untuk selanjutnya menulis buku “Fenomenologi Agama”, sehingga terdapat keterkaitan yang erat di antara keduanya. Sebab pembahasan mengenai Fenomenologi Agama di dalamnya menggunakan pendekatan filsafat fenomenologi.
Article
Based on the author’s exploratory qualitative study of the experiences at midlife of 15 intentionally childfree married or partnered women, this paper focuses on one finding and related themes. A constructivist grounded theory methodology guided data collection in many areas of midlife, including regret, menopause, and relationships. The data suggested that for most in the study, menopause, perimenopause, and reaching midlife did not awaken feelings of regret over their decision to live childfree. The author discusses implications for clinical work with childfree women at midlife.
Selain Gita Savitri, Ini 6 Public Figure yang Memutuskan untuk Childfree
  • S Bening
Bening, S. (2021). Selain Gita Savitri, Ini 6 Public Figure yang Memutuskan untuk Childfree. https://www.parapuan.co/read/532874233/sela in-gita-savitri-ini-6-public-figure-yangmemutuskan-untuk-childfree
How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children
  • R Chrastil
Chrastil, R. (2019). How to Be Childless: A History and Philosophy of Life Without Children. Oxford University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1093/oso/978