ArticlePDF Available

PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU PADA PERANCANGAN MADU PLAYHOUSE UBUD BALI

Authors:

Abstract

Children's learning ability, driven by the child's willingness to learn. This willingness is supported by a safe and comfortable space to explore, such as a Child Friendly City. In realizing a Child Friendly City, it is necessary to have Child Friendly Schools. Behavioral architecture approach will help assess a child's growth-learning space that is comfortable and safe. The purpose of this study was to examine the Design of Honey Playhouse, a Waldorf School in Ubud Bali, as well as the benefits of social or practical values, namely child-friendly design and learning methods. The theory used is Behavioral Architecture, and the Waldorf Learning Method. This study uses a qualitative approach. The collection technique was carried out by interviews, field observations, and online and offline documentation. The results showed that the behavioral architectural approach was carried out from the design concept to the finalization of the design, which in the end the school design grew together with school students.
37
Jurnal Patra |
JURNAL PATRA | ISSN 2684-947X | E-SSN 2684-9461
Vol.5 No.1-Mei 2023 | jurnal.idbbali.ac.id/index.php/patra
Publishing: LPPM Institut Desain dan Bisnis Bali
PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU PADA
PERANCANGAN MADU PLAYHOUSE UBUD BALI
Teresia Hanna Sanjaya1, I Gede Mugi Raharja2, I Nyoman Larry Julianto3*
1,2,3Prodi Desain Program Magister, Institusi Seni Indonesia Denpasar
e-mail: teresiahannasanjaya@gmail.com1, mugi5763@gmail.com2,
*email korespondensi : larryjulianto@isi-dps.ac.id3
INFORMASI ARTIKEL
A B S T R A C T
Received : Januari, 2023
Accepted : April, 2023
Publish online : Mei, 2023
Children's learning ability, driven by the child's willingness to learn. This
willingness is supported by a safe and comfortable space to explore, such
as a Child Friendly City. In realizing a Child Friendly City, it is necessary to
have Child Friendly Schools. Behavioral architecture approach will help
assess a child's growth-learning space that is comfortable and safe. The
purpose of this study was to examine the Design of Honey Playhouse, a
Waldorf School in Ubud Bali, as well as the benefits of social or practical
values, namely child-friendly design and learning methods. The theory
used is Behavioral Architecture, and the Waldorf Learning Method. This
study uses a qualitative approach. The collection technique was carried
out by interviews, field observations, and online and offline
documentation. The results showed that the behavioral architectural
approach was carried out from the design concept to the finalization of
the design, which in the end the school design grew together with school
students.
Keywords: School, Behavioural Architecture, Waldorf, Bali
A B S T R A K
Kemampuan belajar anak, dipacu dengan kemauan anak untuk belajar.
Kemauan (willingness) ini didukung dengan ruang untuk bereksplorasi
yang aman dan nyaman, seperti Kota Layak Anak. Dalam mewujudkan
Kota Layak Anak, diperlukan adanya Sekolah Ramah Anak. Pendekatan
arsitektur perilaku akan membantu mengkaji ruang tumbuh - belajar anak
yang nyaman dan aman. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji
Perancangan Madu Playhouse, sebuah Sekolah Waldorf di Ubud Bali, serta
sebagai manfaat nilai sosial atau praktis, yakni metode perancangan dan
pembelajaran yang ramah anak. Teori yang digunakan adalah Arsitektur
Perilaku, serta Metode Pembelajaran Waldorf. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan dilakukan
dengan wawancara, observasi lapangan, dan dokumentasi online maupun
offline. Hasil penelitian menunjukkan pendekatan arsitektur perilaku
38
Jurnal Patra |
dilakukan dari konsep perancangan hingga finalisasi desain, yang pada
akhirnya rancangan sekolah itu bertumbuh bersama dengan murid - murid
sekolah
Kata Kunci: Sekolah, Arsitektur Perilaku, Waldorf, Bali
PENDAHULUAN
Lingkungan menjadi faktor penting bagi anak, untuk
tumbuh dan belajar. Hal ini dikarenakan anak
anak menghabiskan 1/3 waktunya untuk sekolah,
yang pada akhirnya akan berdampak pada masa
depannya. Hertzberger (2008) menyatakan bahwa
lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap
proses belajar anak, khususnya impresi dan
persepsi terhadap sebuah lingkungan menentukan
ekspektasi dan kualitas tertentu dalam keseharian
anak. Lingkungan yang bermakna dapat menjadi
stimulus untuk pembelajaran anak.
Pendapat ini ditekankan oleh artikel American
Association Art Therapy (ATTA), dimana interior
dan arsitektur jika diterapkan dengan benar, dapat
menjadi rehabilitasi, mempengaruhi tumbuh -
kembang seorang anak. Setiap fase pertumbuhan
anak itu unik dan memiliki kebutuhan tersendiri.
Memahami perilaku pengguna, hingga
menyesuaikan pada proses bertumbuh anak,
diharapkan menghasilkan rancangan yang sesuai
dengan karakter anak dan pola kegiatan anak.
Sehingga kenyamanan dan keamanan anak
terpenuhi, tetapi juga kenyamanan pengguna lain
yang berbeda usia dari anak (seperti guru, cleaning
service, dan pengguna sekolah lainnya).
Metode pendidikan Waldorf, dalam sekolah
alternatif merupakan kurikulum yang
mengedepankan anak dalam prosesnya belajar dan
mengajar. Pendidikan alternatif ini, fokus pada
aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan
keterampilan tangan para murid. Namun, kriteria
perancangan untuk pembelajaran metode waldorf
belum ditemukan.
Berdasarkan Waldorf World List 2021, terdapat
dengan 1251 sekolah Waldorf dan sekolah Rudolf
Steiner di 70 negara, serta TK Waldorf 1915 di lebih
dari 59 negara (Daftar Dunia Waldorf 2019).
Namun, di Indonesia, metode Waldorf masih
tergolong baru. Di Indonesia, hanya terdapat 1
sekolah Taman Kanak Kanak (yang terdaftar).
Madu Playhouse merupakan sekolah dengan
metode pendidikan Waldorf di Ubud Bali, dengan
jenjang Kindergarten, SD kelas 1 sampai SD kelas 3.
Terdapat 3 jurnal yang diteliti, yaitu Sekolah Non-
Formal bagi Anak Jalanan dengan Pendekatan
Arsitektur Perilaku, Kajian Penerapan Konsep
Arsitektur Perilaku Pada Fasilitas Sekolah Luar Biasa
Negeri 07 Jakarta, dan Perencanaan Dan
Perancangan Sekolah Anak Usia Dini Di Surabaya
Tema: Arsitektur Perilaku. Tetapi di antara berbagai
jurnal tersebut tidak ada yang membahas
mengenai metode Waldorf, serta perancangannya.
Sehingga penelitian ini adalah penelitian yang baru.
Dengan merujuk pada permasalahan penelitian,
ada dua bagian pertanyaan penelitian yang menjadi
rumusan permasalahan, yaitu:
1) Bagaimana penerapan dari pendekatan
arsitektur perilaku dalam perancangan
sekolah?
2) Bagaimana hubungan pendekatan arsitektur
perilaku dapat diterapkan pada Sekolah
Waldorf Madu Playhouse?
Jurnal Patra | 39
METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data adalah metode
pengumpulan kualitatif, melalui wawancara
interview dan observasi lapangan. Metode
analisa data penelitian yang digunakan adalah
penelitian terapan melalui pendekatan
deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dimulai
dengan menguraikan dat terkait dengan
sekolah, kreativitas, anak, dan arsitektur
perilaku. Sumber data primer didapat melalui
tinjauan pustaka, jurnal ataupun artikel terkait,
serta data observasi lapangan untuk studi kasus.
Kumpulan data tersebut dianalisis antara kaitan
dari arsitektur perilaku serta metode pendidikan
waldorf yang diterapkan pada perancangan
Madu Playhouse.
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan metode gabungan
kualitatif dan kuantitatif. Dimana berdasarkan
Sumartono (2017), metode analisa data
penelitian yang digunakan adalah menjawab
berbagai persoalan untuk memahami dan
mendeskripsikan sudut pandang partisipan.
Penelitian terapan melalui pendekatan
deskriptif kuantitatif juga digunakan dalam
mengkaji. Penelitian ini dimulai dengan
menguraikan dat terkait dengan sekolah,
kreativitas, anak, dan arsitektur perilaku.
Sumber data primer didapat melalui tinjauan
pustaka, jurnal ataupun artikel terkait, serta
data observasi lapangan untuk studi kasus.
Kumpulan data tersebut dianalisis antara kaitan
dari arsitektur perilaku serta metode pendidikan
Waldorf yang diterapkan pada Madu Playhouse.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Landasan Teori
Menurut Mangunwijaya (1988), arsitektur
perilaku adalah arsitektur yang manusiawi,
mampu memahami dan mewadahi berbagai
macam perilaku dalam kehidupan manusia, baik
itu perilaku pencipta, perilaku pengamat, serta
perilaku alam sekitarnya. Laurens (2004), dalam
buku Arsitektur dan Perilaku Manusia,
mengungkapkan bahwa manusia membentuk
bangunan dan bangunan membentuk manusia.
Dalam bukunya, pendapat ini pertama kali
dikemukakan oleh Winston Churchill (1933)
yaitu, “We shape our building; then they shape
us.”.
Haryandi (2014) menambahkan, bahwa
pendekatan dalam arsitektur perilaku,
menekankan keterkaitan dialetik antara ruang
dengan manusia dan masyarakat, yang
menghuni ruang tersebut. Hubungan antara
tingkah laku dan lingkungan manusia, serta
penyesuaiannya, dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Perubahan tingkah laku agar sesuai dengan
lingkungan. Perubahan ini bisa dilakukan
secara bertahap, dikarenakan sifat manusia
yang mampu belajar dari pengalaman dan
beradaptasi pada lingkungan. Penyesuaian
ini dapat terjadi, sebab manusia bisa
dididik, dilatih dan belajar menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang masih asing.
2) Perubahan lingkungan agar sesuai dengan
tingkah laku. Pada dasarnya, manusia selalu
berusaha memanipulasi lingkungan, agar
sesuai dengan kondisi dirinya atau situasi
dan keadaan yang diinginkannya. Proses
manipulasi lingkungan agar sesuai dengan
pola manusia melibatkan tingkah laku
mendesain atau merancang.
Gambar 1. Relasi Desain dan Arsitektur Perilaku
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
pentingnya memperhatikan kondisi dan situasi
lapangan serta karakteristik user/pengguna
adalah tahapan pertama dalam penerapan
arsitektur perilaku pada perancangan.
Kumpulan analisa data penerapan arsitektur
perilaku berpedoman pada empat prinsip, yakni
memperhatikan kondisi dan perilaku
penggunaPenerapan arsitektur perilaku pada
perancangan berpedoman pada empat prinsip
desain arsitektur, yakni:
1) Memperhatikan kondisi dan perilaku
pengguna.
2) Lingungan dan manusia mampu untuk
saling berkomunikasi.
3) Mewadahi aktivitas pengguna dengan
nyaman aman dan menyenangkan.
4) Memenuhi nilai estetika, komposisi, dan
estetika bentuk.
Keempat prinsip tersebut diterapkan pada
komponen perancangan, dengan meliputi
pengolahan zona kegiatan, gubahan massa,
tampilan estetika interior dan fasad bangunan.
Dalam pendekatan perancangan arsitektur
Jurnal Patra | 40
sekolah dasar, pendekatan perancangan ini
sesuai dengan metode pendidikan waldorf.
Metode pendidikan Waldorf digagas oleh Rudolf
Steiner pada tahun 1861 sampai 1925. Rudolf
Steiner merupakan seorang filsuf, arsitek,
spiritualis berkebangsaan Austria. Berangkat
dari premis bahwa manusia sejatinya adalah
makhluk spiritual dan harus dididik secara
holistik supaya bisa menjalankan amanat
selama hidupnya di bumi. Dimana, manusia
mempunyai tiga poros yang harus
dikembangkan, yakni tangan, hati dan kepala.
Dengan istilah threefold human being. Tangan
dan kaki di poros bawah untuk melambangkan
aktivitas, berkegiatan, dan bekerja yang
dipimpin oleh kehendak. Hati ada di poros
tengah, merujuk pada sistem ritmik,
pernapasan, peredaran darah, juga pencernaan,
tempatnya kegiatan mengolah rasa
berlangsung. Serta, kepala atau sistem syaraf-
indra ada di poros atas, melambangkan aktivitas
berpikir.
Konsep tentang manusia ini dikembangkan
menjadi landasan kurikulum pendidikan
waldorf. Kurikulum pendidikan ini,
menitikberatkan pada kreativitas dengan tujuan
untuk memahami sifat alami anak-anak. Dimana
pada permulaan masuk sekolah, anak anak
membutuhkan lingkungan nyaman untuk
membantu pengembangan kecerdasan
emosional, sosial dan kognitif. Sehingga,
membuat mereka tidak merasa tergesa gesa
dalam memahami suatu pembelajaran.
Berdasarkan metode Waldorf, masa hidup
seorang anak terbagi menjadi 3 tahap
perkembangan dengan jangka 7 tahun.
Kurikulum belajar-mengajar harus disesuaikan
dengan kekhasan setiap tahap perkembangan
ini, yakni:
1) Tahap pertama: Usia 0 7 tahun
Anak baru saja lahir dan tiba di Bumi, rohnya
baru tiba di raga miliknya, maka aktivitas
utamanya adalah berkenalan dan bereksplorasi
dengan lingungan dan semua indranya.
Dibutuhkan keyakinan tentang dunia yang baik,
aman, agar anak berani menjelajah bebas untuk
mengenali dunia baru.Pada tahap ini, imitasi
atau meniru sambal bermain menjadi cara
belajar paling efektif. Repetisi atau pengulangan
dan konsistensi, diperlukan agar anak dapat
secara otomatis menirukannya. Pembelajaran
anak di fase pertama perlu ditata dalam ritme
yang teratur (harian, mingguan dan tahunan).
Ritme rutin akan membantu anak merasa aman.
Kemudian anak juga butuh waktu untuk
bermain bebas yang melimpah, baik di dalam
ruangan dan di luar.
2) Tahap kedua: Usia 7 14 tahun
Anak mulai siap masuk kegiatan terstruktur. Jika
di tahap sebelumnya anak menumbuhkan
kehendak (will), maka pada tahap ini anak
mengenal dan mengolah rasa (feeling). Selama
periode ini, proses pengajaran paling efektif
terpenuhi jika perasaannya disentuh dan daya
kreatifnya dihidupkan. Itu sebabnya
pembelajaran diantarkan melalui pendekatan
imajinatif dan artistik sehingga anak terbiasa
menghasilkan keindahan.Kurikulum Waldorf
untuk periode ini kaya dengan kisah dongeng,
fabel, mitologi, dan biografi menggugah para
tokoh sejarah. Orangtua perlu
mengintegrasikan kegiatan mendongeng
(storytelling), drama, gerak, warna-warni, dan
musik, sehingga setiap materi pelajaran terasa
hidup di hati anak.
3) Tahap ketiga: Usia 14 21 tahun
Periode ini menandai berkembangnya
kemandirian intelektual anak. Setelah
imajinasinya terpupuk dan terolah matang, anak
mengembangkan akal (thinking) yang kreatif. Di
tahap ini, penting bagi anak dihadapkan pada
pemikiran tentang “dunia yang
benar/jujur”.Anak didorong untuk belajar dari
kisah hidup orang-orang yang memiliki renjana
(passion) di bidangnya, mendekat pada sosok-
sosok yang memiliki buah pikiran yang otentik
sebagai sumber inspirasi. Informasi yang
didapatkan itu akan jadi bahan olahan di kepala
ana, memberinya pertimbangan-pertimbangan
dalam hidup. Di usia ini, anak makin diberikan
banyak otonomi atas arah pendidikan mereka
sendiri sambil terus dibimbing oleh orang-orang
dewasa yang punya kepakaran di bidangnya.
Pembelajaran dalam pendidikan Waldorf
dilakukan dengan menyelaraskan 3 R, yaitu:
1) Ritme: Kegiatan dilakukan selaras sesuai
ritme kehidupan.
2) Repetisi: Kegiatan dilaksanakan berulang-
ulang selama rentang waktu tertentu
sehingga menjadi sesuatu yang melekat.
3) Rasa takzim: Membangun respek dan
memberi makna pada hal yang sedang
dikerjakan, dan kepada makhluk hidup
serta lingkungan.
Jurnal Patra | 41
Pembahasan
Berdasarkan teori yang ada, penulis meneliti
mengunakan studi kasus Madu Playhouse,
sebuah sekolah non-formal di Ubud, Bali.
Gambar 2. Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Sekolah Madu Playhouse diinisiasi sejak tahun
2015, didirikan pada tahun 2016, tetapi
perancangan sekolah Madu Playhouse baru
dimulai tahun 2021. Jumlah murid yang ada di
Madu Playhouse adalah 42 murid. Jumlah guru
adalah 8 guru tetap dan 2 guru traine. Lokasi
Madu Playhouse, bersebelahan dengan Mana
Earthly Paradise, dimana perancangan sekolah
Madu Playhouse menggunakan material bambu
sama seperti Mana Earthly Paradise. Bambu ini
merupakan material yang paling sering
ditemukan dalam lingkungan Madu Playhouse,
serta material yang kokoh dan biayanya murah,
sehingga digunakan sebagai material utama.
Gambar 3. Lokasi Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Berdasarkan teori yang ada, studi kasus Sekolah
Waldorf Madu Playhouse, untuk menganalisa
pendekatan arsitektur perilaku pada sekolah,
maka penelitian akan dikaji menjadi 3 bagian,
yaitu membahas mengenai karakteristik murid,
penerapan kurikulum Waldorf dan kondisi
eksisting sekitar Sekolah Waldorf Madu
Playhouse.
1) Karakteristik Murid
Terdapat 5 bangunan terpisah, yang disesuaikan
berdasarkan kebutuhan dan karakteristik
pengguna sekolah tersebut, yaitu guru, murid,
cleaning service. 5 Bangunan terpisah itu adalah
ruang kelas 1 SD dan 2 SD, Hall dan ruang kelas
3 SD, perpustakaan, toilet dan dapur, serta
ruang kelas kinder. Saat masuk disambut
dengan bangunan kelas 1 SD dan 2 SD di depan,
di sebelahnya terdapat aula/hall bersama
dengan kelas 3 SD di atasnya. Di sisi kiri
bangunan kelas 3 SD, terdapat toilet bersama
dan dapur, sedangkan di paling ujung terdapat
kelas untuk murid TK atau Kinder.
Gambar 4. Site Plan Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Pembagian zona ruang dilakukan berdasarkan
karakteristik dan kebutuhan anak. Kelas
Kindergarten
Gambar 5. Zoning Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Perancangan bangunan dimulai dari area
Kindergarten, sebuah ruang kelas untuk anak
usia 2 6 tahun berkumpul, bermain dan
belajar. Konsep “home away from home”
diterapkan dalam TK. Melatih anak dengan
ritme kehidupan sehari hari, membuat mereka
menjadi mandiri, eksploratif, kreatif dan
meningkatkan faktor penting “willingness” di
dalam diri mereka. Ruang kelas Kindergarten
merupakan satu satunya ruang kelas yang
Jurnal Patra | 42
memiliki toilet di dalam kelas, hal ini
dikarenakan kebutuhan anak di umur balita
yang membutuhkan perhatian khusus.
Berbagai furniture di dalam ruang kelas,
disesuaikan dengan ukuran balita, sehingga
mereka pun bisa memindahkan kursi dan meja
secara mandiri. Layout ruang kelas, berubah
ubah tergantung pada jadwal kelas di hari itu,
dengan mengikuti ritme harian dna ritme
mingguan sesuai metode pembelajaran.
Gambar 6. Layout Kelas Kindergarten
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Gambar 7. Suasana Kelas Kindergarten
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Selanjutnya, ruang Sekolah Dasar kelas 1 dan
kelas 2 berada di depan, dekat gerbang masuk.
Ruangan ini terletak dekat dengan lapangan
bermain sekolah, hall tempat berkumpul untuk
makan dan toilet. Dikarenakan adanya berbagai
kegiatan gabungan antara kelas 1 dan kelas 2,
terdapat pintu perantara antara kelas 1 dan
kelas 2. Furniture di kelas 1, mengikuti
perkembangan anak di umur tersebut, dimana
anak diajarkan untuk memiliki kemauan dalam
mengeksplorasi dan bertanggung jawab pada
dirinya sendiri. Maka dari itu, tempat duduk
tatami yang digunakan agar anak bisa melipat,
merapikan tempat duduknya masing masing
menjadi furniture utama di dalam kelas.
Sedangkan untuk murid kelas 2, anak mulai
diajarkan untuk fokus di bangku kelas, sehingga
anak anak memiliki tempat duduk dan
mejanya masing masing.
Gambar 8. Layout Kelas 1 dan Kelas 2
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Gambar 9. Suasana Kelas 1
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Murid murid kelas 3, merupakan murid
murid yang paling besar di Madu Playhouse.
Murid murid ini mulai diajarkan untuk fokus
pada pelajaran umum, dengan tetap mengikuti
ritme harian dan ritme mingguan Madu
Playhouse. Ruang kelas 3 berada di atas Hall
bersama, dimana Hall tersebut digunakan untuk
aktivitas seluruh murid di Madu Playhouse,
seperti untuk makan bersama, bermain
bersama, dan variasi variasi aktifitas lainnya.
Ruang kelas 3 yang berada di atas membantu
murid untuk lebih fokus, karena suara bising
tidak terdengar di ruangan yang lebih tinggi.
Sehingga suara di bawah tidak menganggu
ruangan di atas. Sama seperti ruang kelas 2,
dimana seluruh variasi yang dibutuhkan tersedia
dalam sebuah ruang kelas, furniture yang
digunakan juga dapat dipindah sesuai
kebutuhan kelas. Di belakang kelas terdapat
space untuk melakukan morning circle.
Jurnal Patra | 43
Gambar 10. Layout Kelas 3
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Gambar 11. Suasana Kelas 3
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Julianto (2019), dalam artikel “Interaktivitas
Warna Sebagai Rangsang Visual Pada Ruang
Belajar Siswa Sekolah Dasar Kelas 1 3 Di Kota
Denpasar” menyatakan bahwa keterlibatan
warna sebagai elemen pembentuk ruang dapat
menjadi interaktivitas, dan sangat dipengaruhi
oleh perkembangan psikologis anak.
Pendapatnya ditekankan di tahun 2021, dalam
artikel “Keterlibatan Ilustrasi Dan Warna
Sebagai Stimulus Visual Dalam Konsep ‘Interaksi
Ruang Belajar’ Pada Sekolah Dasar Kelas 13 Di
Bali”, bahwa keterlibatan illustrasi dan warna
sebagai elemen visual pada ruang belajar
diperlukan pada sekolah. Sekolah harus
memberikan rasa nyaman bagi para
penggunanya, yaitu guru dan siswa.
Hal ini diungkapkan dalam interaksi ruang kelas,
dimana terdapat berbagai warna warna cerah
di dinding kelas, display hasil karya murid yang
dipajang, serta papan tulis yang diberi gambar
berbeda dan berkaitan dengan pembelajaran
setiap harinya.
Gambar 12. Display
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Gambar 13. Warna Dinding Kelas
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Untuk menyesuaikan pada karakteristik
pertumbuhan murid, maka zona untuk umum,
seperti toilet dan hall bersama diletakan di
tengah tengah. Sehingga lokasi toilet dan hall
bersama, dekat dengan semua kelas dari
berbagai umur.
2) Penerapan Metode Waldorf
Dalam kurikulum pembelajaran anak anak di
Sekolah Waldorf Madu Playhouse, selalu
menggunakan ritme harian dan ritme mingguan.
Dimana terdapat main lesson diiringin dengan
berbagai pembelajaran lain. Siklus morning
circle, menciptakan ruang kosong secara
melingkar membantu dalam aktivitas mereka
dalam bernyanyi dan menari. Hal ini dilakukan
untuk melaksanakan 3R pedagogi Waldorf.
Ritme harian dan mingguan dapat terlihat
melalui jadwal pada tabel 1 dan 2. Jadwal ini
pada akhirnya membuat adanya kebutuhan
fleksibilitas di dalam ruang kelas, sehingga
furniture harus mudah dipindahkan (moveable).
Penerapan ritme dan repetisi dapat terlihat dari
bentuk atap atau fasad, jalanan yang
melengkung. Sedangkan penerapan rasa takzim
atau reverence terlihat dengan adanya
menyesuaikan bangunan pada lingkungan
Jurnal Patra | 44
sekitar, tidak menggunakan lahan produksi atau
lahan yang masih hidup untuk membangun
sekolah, dan tidak adanya pemotongan pohon,
serta penggunaan solar panel.
Gambar 14. Reverance Pada Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Tabel 1. Jadwal Kelas Kindergarten
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
MADU PLAYHOUSE WALDORF EDUCATIONAL APPROACH
KINDER SCHEDULE 2021 - 2022
WAKTU
SENIN
SELASA
RABU
KAMIS
JUMAT
08.30 09.30
Welcoming, Indoor Freeplay,Indoor Weekly Activity (Ritme Mingguan)
Free Drawing
Bread Making
Wet On Wet
Painting
Crafting
Beeswax
Molding
09.30 09.40
Pack Up Toys
09.40 09.50
Morning Circle
09.50 10.00
Washing Hands
10.00 10.15
Morning Tea and Snack Time
10.15 12.15
Outdoor Freeplay (Nature Walk)
12.15 12.30
Pack Up Toys and Clean Up
12.30 13.00
Lunch
13.00 13.20
Finger Games and Storytelling
13.30 14.00
Resting Time
14.00 14.30
Afternoon Snacks
Home
Tabel 2. Jadwal Kelas 1 SD
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
MADU PLAYHOUSE WALDORF EDUCATIONAL APPROACH
GRADE 1 SCHEDULE 2021 - 2022
WAKTU
SENIN
SELASA
RABU
KAMIS
JUMAT
09.00 - 09.30
Morning Circle (Song, Verse and Movement)
09.30 11.00
Main Lesson (Form Drawing, Language Arts, Nature Studies and Arithmetic)
11.00 11.15
Morning Tea
11.15 11.45
Play Time
11.45 12.15
Weekly Rhytm Activity
Music
Form Drawing
Knitting
Crafting
Free Drawing
12.15 12.30
Lunch Time
12.30 13.20
Playground Time
Home
13.20 13.45
Water Break
13.45 14.30
Weekly Rhytm Activity
Clay
Games/Beeswax
Watercolor
Bahasa Indonesia
Home
Jurnal Patra | 45
3) Kondisi Eksisting
Dalam tradisi masyarakat Bali, orientasi bagaimana
seseorang bernavigasi dan berintegrasi di dunia
dipandu oleh filosofi yang disebut Tri Hita Karana.
Filosofi ini berusaha mengintegrasikan hubungan
antara manusia dengan alam, dan antara masyarakat
dengan roh. Perancangan sekolah Madu Playhouse
yang berdasar Kurikulum Waldorf atau Steiner School
beresonansi dengan baik dengan Tri Hita Sesuai dengan
teori arsitektur perilaku, dimana tradisi atau budaya
lingkungan harus ditinjau dan disesuaikan, maka
filosofi Tri Hita Karana berjalan sejajar dengan metode
Waldorf. Maka dari itu, perancangan sekolah tidak
hanya sesuai dengan karakter pengguna tetapi juga
karakter lingkungan.
Seni merupakan bagian penting bagi masyarakat Bali.
Perancangan Madu Playhouse ini, dilakukan dengan
harapan membawa kembali integral dari kehidupan di
Bali melalui dunia pendidikan. Oleh sebab melalui seni
murid - murid menggunakan hati dalam proses belajar,
serhingga kecerdasan belajar berdasarkan pada
kekuatan kemauan untuk belajar murid itu sendiri atau
willingness dalam metode Waldorf. Seni juga
merupakan cara tradisional masyarakat di Bali untuk
belajar.
Lokasi Madu Playhouse, bersebelahan dengan Mana
Earthly Paradise, yang mayoritas menggunakan bambu
dalam perancangannya. Bambu merupakan material
yang paling sering ditemukan dalam lingkungan Madu
Playhouse, serta material yang kokoh dengan biayanya
murah, dan cepat dalam proses pengerjaan, sehingga
bambu digunakan sebagai material utama.
Gambar 15. Mana Earthly Paradise
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Proses perancangan Madu Playhouse dimulai dengan
natural, dimana perencanaan awal (planning), desain,
hingga realisasi konsep dilakukan sesuai metode
pendidikan Waldorf itu sendiri. Seperti pembuatan
maket dan gambar untuk perancangan, dilakukan
secara tradisional, tanpa menggunakan teknologi
digital.
Gambar 16. Maket Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Material yang digunakan oleh Madu Playhouse adalah
bambu, tanah liat dan material alami lainnya seperti
batu batuan, kerikil. Bentuk bangunan disusun
sedemikan rupa agar menerapkan ritme, tidak adanya
sudut dan bentuk yang melengkung sesuai metode
pendidikan Waldorf.
Gambar 17. Tampak Madu Playhouse
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Ketika murid masuk, murid harus melewati jalan kecil
kurang lebih berukuran 60 cm, yang memiliki got besar
di kedua sisinya. Jalan ini kedepannya akan menjadi
jembatan agar lebih aman bagi murid untuk pulang dan
masuk ke sekolah.
Jurnal Patra | 46
Gambar 18. Jalan Masuk Sekolah
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
Melalui penjabaran di atas, pendekatan arsitektur
perilaku pada Madu Playhouse sudah cukup
diterapkan. Dimana perancangan sekolah Madu
Playhouse pun bertumbuh seiring pertumbuhan murid.
Penggunaan material bambu tidak hanya dilakukan
karena kecepatan pengerjaan dan penyesuaian
lingkungan, tetapi juga memudahkan jika ada
bangunan yang harus dibongkar pasang. Seperti,
adanya perencanaan untuk membuat lantai 2 bagi
ruang guru di atas kelas 2.
Pendekatan arsitektur perilaku pada sekolah,
dapat terlihat sesuai dengan filosofi metode
pendidikan Waldorf itu sendiri. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa Filosofi Waldorf yang
diterapkan pada perancangan merupakan realisasi dari
teori arsitektur perilaku pada sekolah. Maka dari itu
filosofi itu bisa membantu meninjau akan pendekatan
arsitektur perilaku pada suatu sekolah.
Untuk mengkaji lebih detail, maka
berdasarkan standar ukuran ruang menurut Neufert,
berikut adalah data dari Madu Playhouse.
Tabel 3. Standar Ukuran Ruang
[Sumber: Teresia Hanna Sanjaya, 2022]
NO
RUANG
STANDAR NEUFERT
UKURAN RUANG DAN KRITERIA
SEHARUSNYA
1.
Pintu Masuk
Pintu Masuk 1,5m
Jembatan 3m x 1,5m
Terdapat ruang administrasi atau
lobby setelah pintu masuk. Kriteria
ruang administrasi berupa:
1 staff room (meeting room) 80
85 m2.
1 staff study (staff library) 100
105 m2, bisa dikombinasi sesuai
kebutuhan.
1 office untuk headteacher 20/25
m2. 1 office untuk deputy head 20
25 m2. 1 office guru 15 20 m2.
1 ruangan untuk caretaker 20 25
m2.
Terdapat lobby dan ruang administrasi:
Office, staff room dan staff library
menjadi satu, dikarenakan jumlah guru
masih sedikit, yaitu 100 m2.
Ruangan untuk care taker 20 25 m2.
2.
Ruang Kelas TK
74 m2
Ukuran ruang kindergarten yang
dibutuhkan 1,5 3m2/murid.
Ruangan penuh dengan
cupboards, toy racks, child-size
table and chairs, chalkboards, etc.
Untuk after school daycare
dibutuhkan 1,5 4m2/murid.
Jika ruangan kelas cukup besar,
dengan minimal ukuran 60 m2,
bisa digunakan untuk gymnasium
dan afternoon naps.
Ukuran pada Madu Playhouse sudah
sesuai, tetapi kurang space untuk dapur,
seperti konsep Waldorf yaitu “home away
from home”.
3.
Toilet TK
17 m2
WC dan washroom menggunakan
size untuk anak anak. WC jongkok
lebih aman bagi anak anak usia
balita.
Ukuran pada Madu Playhouse sudah
sesuai.
Jurnal Patra | 47
NO
RUANG
STANDAR NEUFERT
UKURAN RUANG DAN KRITERIA
SEHARUSNYA
4.
Ruang Kelas SD 1
28 m2
Floor area untuk kelas umum 1,8
2 m2/murid, sedangkan untuk open
plan 3 5m2 per murid. Dengan
ketinggian 2,7 3,4 m.
Kelas pada sekolah dengan
metode pembelajaran umum,
diperlukan 1 ruang per kelas,
dengan bentuk persegi, maksimal
32 murid.
Ukuran ruang 65 m2 - 70m2.
Di depan kelas pada sekolah
umum, terdapat papan tulis
dengan sliding panels, TV, radio,
tape recorder, dan lain lain.
Untuk ruangan berkelompok di
sekolah umum, diperuntukan bagi
berbagai kelas khusus seperti
kesenian, dsb.
Ruangan material pengajaran
sekolah umum, berukuran 12 15
m2.
Sekolah dengan ruang kelas
terbuka atau open plan, bisa
menjadi salah satu sarana yang
cocok bagi sekolah alternatif.
Untuk jumlah murid kurang lebih
100 murid, ruang yang dibutuhkan
3,4 m2- 4 m2/murid.
Posisi kelas diharapkan
menghadap Utara.
Jumlah murid kelas 2 SD adalah 8 murid.
Jika dibuat menurut kelas umum maka
ukuran minimum adalah 14m2, tetapi jika
dibuat sebagai open place, ukuran
minimum adalah 21,6m2.
Maka realisasi ukuran ruangan sudah
melebihi dari kriteria standar kelas umum
atau open plan.
5.
Ruang Kelas SD 2
48 m2
Jumlah murid kelas 2 SD adalah 8 murid.
Jika dibuat menurut kelas umum maka
ukuran minimum adalah 14m2, tetapi jika
dibuat sebagai open place, ukuran
minimum adalah 21,6m2.
Maka realisasi ukuran ruangan sudah
melebihi dari kriteria standar kelas umum
atau open plan.
6.
Ruang Kelas SD 3
42 m2
Jumlah murid kelas 3 SD adalah 8 murid.
Jika dibuat menurut kelas umum maka
ukuran minimum adalah 14m2, tetapi jika
dibuat sebagai open place, ukuran
minimum adalah 21,6m2.
Maka realisasi ukuran ruangan sudah
melebihi dari kriteria standar kelas umum
atau open plan.
7.
Hall Utama
50 m2 termasuk tangga.
Hall sebagai tempat berkumpul
disesuaikan dengan kebutuhan
sekolah, jika terdapat acara besar
bisa menggunakan gymnasium.
Jika berdasarkan jumlah pengguna Madu
Playhouse, yaitu 42 murid dan 10 guru, dan
menggunakan perbandingan ukuran 1m2
1,5m2 agar masih bergerak leluasa, maka
space yang dibutuhkan kurang lebih 50 m2
- 78 m2.
8.
Dapur
15 m2
Ukuran dapur 70 75 m2.
Dining room per 1 kelas 30 40
m2.
Ukuran dapur tidak bisa diperbandingkan,
karena masih memenuhi kebutuhan
sekolah Madu Playhouse, dengan jumlah
pengguna yang jauh berbeda daripada
sekolah umum.
9.
Toilet
Toilet seharusnya dipisah antara
murid laki laki, murid perempuan
dan guru laki laki, serta guru
perempuan.
Ukuran ruang tidak memiliki masalah,
tetapi jumlah dan privasi antara gender
yang berbeda tidak sesuai standar. Dimana
tidak ada perbedaan ruang antara toilet
Jurnal Patra | 48
NO
RUANG
STANDAR NEUFERT
UKURAN RUANG DAN KRITERIA
SEHARUSNYA
15 m2
Dengan satuan bilik:
2,8 m2 untuk toilet
sendiri.
5 m2 untuk toilet ibu
dan anak, serta shower
guru dan murid, serta toilet perempuan
atau laki laki.
10.
Perpustakaan
4 m2
0,35m 0,55 m2/murid.
Seharusnya, berdasarkan Standar Neufert,
perhitungan kebutuhan ukuran ruang
menjadi:
0,35m2 x 42 murid= 14,7m2
11.
Lapangan
551 m2
Gazebo 6 m2
Tempat Ibadah 15 m2
Gymnasium per 10 15 kelas,
mempunyai ruangan olahraga 15 x
27 m.
Lapangan olahraga tergantung
kebutuhan sekolah.
Kebutuhan ukuran gymnasium yaitu 405
m2 untuk 10 kelas, tetapi ukuran seluruh
lapangan bermain adalah 551 m2.
Sehingga, tidak ada tempat untuk
gymnasium, yang seharusnya menjadi
tempat krusial di sekolah.
Jika perbandingan standar, disesuaikan
dengan jumlah kelas di Madu Playhouse,
maka perhitungan ruang menjadi:
Untuk 4 kelas (Jumlah kelas saat ini):
108m2 - 162m2
Untuk 7 kelas (Kinder, Kelas 1 SD 6
SD):
189m2 - 284m2
12.
Tangga
Lebar 1 meter, dengan
lebar undakan 30 cm
dan ketinggian undakan
12 cm.
Untuk kapasitas 100 orang, lebar
tangga minimum 0,80 meter, atau 1,
25 meter dengan maksimum 2,5
meter.
Ukuran pada Madu Playhouse sudah
sesuai.
Jurnal Patra | 49
Melalui standar baku ukuran ruang, dapat dilihat
bahwa banyak bangunan di Madu Playhouse yang
belum memenuhi kriteria sekolah, seperti hall
utama sekolah yang belum sesuai pada standar
baku Neufert, toilet pemisah antara guru dan murid
serta gender laki laki dan perempuan. Walaupun
Madu Playhouse memenuhi kriteria pendekatan
Arsitektur Perilaku dan Metode Pendidikan
Waldorf, dari segi konsep dan pendekatan layout
atau zonasi ruang. Namun, lahan yang dibutuhkan
terlalu luas, sehingga ada berbagai ruangan yang
tidak bisa terpenuhi. Secara kuantitas kebutuhan
ruang sesuai standar ukuran ruang, banyak fasilitas
sekolah yang belum lengkap di Madu Playhouse.
Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat
penggabungan pendekatan perancangan art
therapy dan active learning dalam penerapan
arsitektur Sekolah Madu Playhouse, sebagai sebuah
kombinasi pendekatan desain, agar melengkapi
pertumbuhan perilaku anak. Hal ini dapat terlihat
dari, rancangan dibuat dengan menekankan
fleksibilitas ruang, mengedepankan stimulasi bagi
kreatifitas dan imajinasi anak, serta mengajak
murid untuk bergerak aktif dalam ritme harian dan
ritme mingguan di sekolah.
KESIMPULAN
Implementasi arsitektur perilaku pada desain
Sekolah Waldorf Madu Playhouse Ubud Bali sudah
dilakukan dalam perancangan yang ada. Hal ini
dikarenakan pendekatan arsitektur perilaku pada
sekolah, mempunyai dasar teori serupa dengan
filosofi metode pendidikan Waldorf. Dimana,
pedagogi Waldorf selalu mengedepankan karakter
dan perkembangan anak dalam konsep desainnya.
Melalui kerjasama dengan pedagogi holistik
Waldorf, sesuai dengan perkembangan untuk
kesehatan tangan, hati dan kepala, kepada alam,
masyarakat dan jiwa, sekolah dasar dikembangkan
dan bertumbuh bersama user/pengguna sekolah
dasar, yaitu murid - murid Madu Playhouse itu
sendiri. Sehingga penerapan arsitektur perilaku
yang terjadi, tidak hanya menyesuaikan kebutuhan
user tetapi juga bertumbuh bersama user.
Prinsip pendekatan arsitektur perilaku ini, juga
dipengaruhi oleh letak sekolah Madu Playhouse,
yaitu Ubud Bali. Ditemukan dalam hasil penelitian
bahwa, arsitektur Madu Playhouse menyesuaikan
prinsip Tri Hita Karana sesuai budaya Bali. Melihat
penerapan filosofi Tri Hita Karana dalam
perancangan sekolah Madu Playhouse, maka hal ini
dapat dijadikan penelitian lanjutan akan kaitan
filosofi Tri Hita Karana dan pendekatan arsitektur
perilaku.
Di sisi lain, banyak fasilitas sekolah dasar yang
masih belum lengkap dalam perancangan arsitektur
dan interior Madu Playhouse, yakni tidak adanya
ruang guru, ruang kepala sekolah, gudang,
perpustakaan, dan berbagai ruang lainnya yang
seharusnya memenuhi kebutuhan sekolah dasar.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anugrah, K.A. (2020). Sensory Design Pada
Arsitektur Sekolah Playgroup TK Jagad Alit
Waldorf, Bandung. Jurnal Riset Arsitektur Vol.
04, No. 04, 363-379.
[2] Cook, J.L., & Cook, G (2009). Child
Development: Principles and Perspectives.
2nd Edition. Pearson.
[3] Dahlin, Bo. (2017). The Relevance of Waldorf
Education. Rudolf Steiner
[4] David, Carol Simon Weisten dan Thomas G.
(1987). Spaces for Children: The Built
Environment and Child Development . New
York: Plenum.
[5] Diela, T. 2013. “Arsitektur Sekolah Harus
Berpijak Pada Kebiasaan Anak”.
https://properti.kompas.com/read/2013/11/0
8/1450567/Arsitektur.Sekolah.Harus.Berp%20
ijak.Pada.Kebiasaan.Anak, Diakses pada 08 Mei
pukul 14:50.
[6] Haryadi. (2014). Arsitektur, Lingkungan Dan
Perilaku: Pengantar Ke Teori, Metodologi Dan
Aplikasi. Gadjah Mada Univ. Press
[7] Havighrust. (1961). Human development &
Education. New York: David Mckay Co.
[8] Hertzberger, Herman (2008). Space and
Learning: Lessons in Architecture 3. 010
Publisher.
[9] Julianto, I. N. L. (2019, September).
Interaktivitas Warna Sebagai Rangsang Visual
Pada Ruang Belajar Siswa Sekolah Dasar Kelas
13 Di Kota Denpasar. In Sandyakala: Prosiding
Seminar Nasional Seni, Kriya, dan Desain. (Vol.
1, pp. 56-64).
[10] Julianto, I. N. L., & Artawan, C. A. (2021).
Keterlibatan Ilustrasi dan Warna sebagai
Stimulus Visual dalam Konsep ‘Interaksi Ruang
Belajar’ pada Sekolah Dasar Kelas 1–3 Di Bali.
Andharupa: Jurnal Desain Komunikasi Visual &
Multimedia, 7(2), 389400.
[11] KemmenPPPA. (2018). “Komitmen Gorontalo
Wujudkan Kabupaten Layak
Anak”.https://www.kemenppa.go.id/index.ph
p/page/read/29/1839/komitmen-gorontalo-
Jurnal Patra | 50
wujudkan-kabupaten-layak-anak-kla, Diakses
pada 08 Mei 2022 pukul 12.00.
[12] Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan
Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo.
[13] Minangwan. (2015). “Seminar Pendidikan
Nasional Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa”.https://dpr.go.id/doksetjen/dokume
n/minang wan-Seminar-Pendidikan-Nasional-
Mencerdaskan-Kehidupan Bangsa-
1466127558.pdf, Diakses pada tanggal 15 Mei
2022 pukul 08.30.
[14] Natasya, B. (2017). Sekolah Dasar Dengan
Metode Pembelajaran Aktif di Surabaya. Jurnal
Dimensi Arsitektur Vol. V, No. 1, 281-288.
[15] Neufert, E., Neufert, P. (2000). Architects' Data
Third Edition. Oxford: Blackwell Science.
[16] Slavin, Robert E (2006). Educational Psychology
: Theory and Practice. Boston MA: Pearson
Education.
[17] Sthelik, Thomas. (2019). Waldorf Schools and
the History of Steiner Education. Palgrave
Macmillan.
[18] Sugiyono. (2017). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. CV. Alfabeta.
[19] Sumartono. (2017). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Pusat Studi Reka Rancang Visual dan
Lingkungan.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kebutuhan ruang belajar yang dapat berperan sebagai medium interaksi bagi anak usia Sekolah Dasar Kelas 1–3 di Bali. Adapun permasalahannya adalah kebutuhan sebuah konsep interaksi ruang belajar yang memberikan stimulasi visual dalam mendukung proses pembelajaran. Tujuan penelitian adalah menciptakan konsep interaksi ruang yang menghasilkan respon dari sebuah stimulus visual yang memiliki tahapan organisme (perhatian, pengertian, dan penerimaan) serta dapat mendukung capaian pembelajaran. Analisis kualitatif dengan metode prosedural dalam penelitian ini diawali dengan tahap pengumpulan data mengenai warna dan ilustrasi yang mampu memberikan efek rangsang visual bagi anak. Hasil analisis kemudian menjadi landasan berpikir dalam menciptakan sebuah konsep interaksi ruang belajar. Hasil penelitian menyatakan bahwa konsep interaksi ruang belajar harus memiliki nilai interaksi. Nilai tersebut dihasilkan melalui penerapan konsep interaksi ruang belajar yang bersifat tematik. Prinsip tematik mengacu pada upaya untuk meningkatkan motivasi serta menumbuhkan minat belajar anak dalam pencapaian tujuan pembelajarannya. Kata Kunci: anak sekolah dasar, Bali, interaksi, ruang tematik Abstract This research was motivated by the need for a learning space that can act as an interaction medium for elementary school-aged children in grades 1-3 in Bali. The problem is the need for a concept of learning space interaction that provides visual stimulation in supporting the learning process. The research objective is to create a spatial interaction concept that produces a response from a visual stimulus that has an organism stage and can support learning outcomes. In this research, qualitative analysis with procedural methods began with collecting data about colors and illustrations that can provide visual stimulation effects for children. The results of the analysis became the basis of thinking in creating a concept of learning space interaction. The outcome of the research stated that the concept of learning space interaction must have interaction value. This value emerges through the application of the thematic learning space interaction concept. Thematic principles refer to efforts to increase motivation and foster children's interest in learning in achieving their learning goals. Keywords: Bali, interaction, primary school children, thematic space
Article
Abstrak- Manusia adalah subjek utama arsitektur, dan arsitektur hadir sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan akan ruang untuk beraktivitas. Dalam hal ini, manusia sebagai subjek arsitektur tidak hanya mencakup orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Pada usia 3-5 tahun, anak-anak sedang dalam masa yang aktif dan berkembang. Mereka sedang dalam masa di mana rasa ingin tahu mereka besar, dan imajinasi mereka juga sedang berkembang. Karenanya, pengalaman multisensori merupakan sesuatu yang penting bagi mereka untuk berkembang baik secara fisik maupun mental. Pengalaman multisensori dapat dihadirkan melalui interaksi anak-anak dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar ruangan didukung oleh desain sensorik. Salah satu lingkungan di mana anak-anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya adalah sekolah. Sekolah Playgroup – TK Jagad Alit Waldorf Bandung adalah sekolah yang berbasis pendidikan multisensori yang didirikan sejak tahun 2015. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi aspek arsitektural apa saja yang dapat menghadirkan pengalaman multisensori bagi anak dan apakah pengalaman multisensori anak sudah terpenuhi atau belum. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, data diperoleh dari studi literatur, pengamatan langsung ke lapangan, serta dari wawancara terhadap guru-guru sekolah playgroup – TK Jagad Alit Waldorf Bandung. Diperoleh kesimpulan bahwa aspek arsitektural sekolah playgroup – TK Jagad Alit Waldorf Bandung memenuhi pengalaman multisensori anak, dengan sensori yang paling banyak terwadahi adalah sensori sentuhan. Terdapat empat sensori utama yang menjadi fokus pada kurikulum Waldorf, yaitu sentuhan, gerakan, keseimbangan, dan kehidupan. Pengalaman sensori itu dipenuhi lewat bentuk alat permainan yang menarik, serta penggunaan material yang cukup beragam. Penggunaan material tersebut tidak hanya menarik bagi indera peraba, tetapi juga bagi indera penglihatan. Tekstur material menjadi sesuatu yang menarik bagi anak-anak usia dini. Sensori lain yang berada dalam bagian empat sensori utama yang menjadi fokus anak-anak 0-7 tahun adalah gerakan anak-anak. Penyusunan furnitur membuat yang menciptakan ruang yang lapang menyediakan ruang yang cukup bagi anak-anak untuk bergerak dengan bebas.
Book
This book marks the centenary of the first Waldorf School, established by Rudolf Steiner in Stuttgart in 1919. With around 1,150 Waldorf Schools and over 1,800 Waldorf Kindergartens established in over 60 countries, this book examines and analyses how the initial impulse of Steiner education has grown over the last century to become a worldwide alternative movement in education. The author documents and compares the growth and development of Waldorf schools and Steiner-inspired educational institutions around the world, and determines the extent to which the original underpinning philosophy has been maintained against the contexts and challenges of contemporary global trends in education. Within such diverse international contexts, it is significant that the schools retain such a distinctive identity, and clearly redefine how ‘alternative education’ can be viewed. This comprehensive volume will be of interest and value to scholars of Steiner education and Waldorf schools as well as alternative education more widely.
Child Development: Principles and Perspectives
  • J L Cook
  • G Cook
Cook, J.L., & Cook, G (2009). Child Development: Principles and Perspectives. 2nd Edition. Pearson.
The Relevance of Waldorf Education
  • Bo Dahlin
Dahlin, Bo. (2017). The Relevance of Waldorf Education. Rudolf Steiner
Spaces for Children: The Built Environment and Child Development
  • Carol David
  • G Simon Weisten Dan Thomas
David, Carol Simon Weisten dan Thomas G. (1987). Spaces for Children: The Built Environment and Child Development. New York: Plenum.
Arsitektur Sekolah Harus Berpijak Pada Kebiasaan Anak
  • T Diela
Diela, T. 2013. "Arsitektur Sekolah Harus Berpijak Pada Kebiasaan Anak".