ArticlePDF Available

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan mengenai regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry. Kemampuan regulasi emosi pada remaja tidak muncul dengan sendirinya tetapi diperoleh dari proses interaksi dengan lingkungannya terutama keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan regulasi emosi remaja. Relasi yang baik antara remaja dan orang tua serta saudaranya membuat remaja berperilaku lebih positif dan memiliki regulasi emosi yang lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry. Siblings rivalry merupakan suatu kondisi di mana seorang individu tidak dapat menerima kehadiran individu lain dalam suatu keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer yaitu remaja yang mengalami sibling rivalry. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dan pembahasan penelitian menunjukkan bahwa subjek sering bertengkar dengan saudaranya. Selain itu, subjek merasa bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tuanya. Ketika subjek dan saudaranya melakukan kesalahan maka orang tuanya hanya akan memarahi subjek. Orang tua subjek juga sering membanding-bandingkan subjek dengan saudaranya. Subjek dalam penelitian ini memiliki regulasi emosi yang cukup baik meskipun relasi subjek dengan orang tua dan saudaranya kurang baik. Kata kunci: Regulasi Emosi, Sibling Rivalry.
LAPORAN PENELITIAN
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI SIBLING
RIVALRY
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen Pengampu: Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., M.Psi.
Disusun Oleh :
Kelompok 8 – Psikologi Kelas C
1. Kristianni (G0120080)
2. Nadhila Elsa Khairani (G0120099)
3. Nina Aninda Sari (G0120106)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan mengenai regulasi emosi
pada remaja yang mengalami sibling rivalry. Kemampuan regulasi emosi pada
remaja tidak muncul dengan sendirinya tetapi diperoleh dari proses interaksi
dengan lingkungannya terutama keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam
perkembangan regulasi emosi remaja. Relasi yang baik antara remaja dan orang
tua serta saudaranya membuat remaja berperilaku lebih positif dan memiliki
regulasi emosi yang lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry.Siblings rivalry
merupakan suatu kondisi di mana seorang individu tidak dapat menerima
kehadiran individu lain dalam suatu keluarga.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara. Sumber data dari penelitian ini adalah
sumber data primer yaitu remaja yang mengalami sibling rivalry. Berdasarkan
hasil analisis data yang dilakukan dan pembahasan penelitian menunjukkan
bahwa subjek sering bertengkar dengan saudaranya. Selain itu, subjek merasa
bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tuanya. Ketika
subjek dan saudaranya melakukan kesalahan maka orang tuanya hanya akan
memarahi subjek. Orang tua subjek juga sering membanding-bandingkan subjek
dengan saudaranya. Subjek dalam penelitian ini memiliki regulasi emosi yang
cukup baik meskipun relasi subjek dengan orang tua dan saudaranya kurang baik.
Kata kunci: Regulasi Emosi, Sibling Rivalry.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas proposal penelitian
yang berjudul “Regulasi Emosi pada Remaja yang Mengalami Sibling Rivalry
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari proposal penelitian ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Selain itu, proposal
penelitian ini juga bertujuan untuk dijadikan pedoman bagi peneliti dalam
melaksanakan penelitian.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nugraha Arif Karyanta,
S.Psi., M.Psi. selaku dosen mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang peneliti tekuni.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini.
Peneliti menyadari, proposal penelitian yang peneliti tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
peneliti nantikan demi kesempurnaan proposal penelitian ini.
Surakarta, 20 April 2022
Peneliti
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL xii
ABSTRAK 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
Landasan Teori 7
Remaja 7
Regulasi Emosi 8
Siblings rivalry 10
Penelitian Terdahulu 12
BAB III METODE PENELITIAN 13
Jenis Penelitian 13
Waktu dan Tempat Penelitian 13
Subjek Penelitian 13
Desain Penelitian 13
Variabel Penelitian 14
Definisi Operasional Variabel Penelitian 14
Teknik Pengumpulan Data 14
Teknik Analisis Data 15
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 17
Deskripsi Hasil Penelitian 17
Pembahasan 20
BAB V PENUTUP 22
Kesimpulan 22
Implikasi 22
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 26
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), masa remaja merupakan
fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
berlangsung dalam rentang usia 10-19 tahun. Sedangkan, menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) remaja berlangsung
dalam rentang usia 10-24 tahun dan belum menikah. Masa remaja adalah
masa pencarian jati diri sehingga masa ini penuh dengan problematika dan
dinamika. Selain itu, pada masa remaja juga sering diwarnai dengan
ketidakstabilan emosi (Nur dan Ekasari, 2008). Remaja yang gagal dalam
mencari jati dirinya akan mengarah pada perilaku menyimpang yang disebut
dengan kenakalan remaja (Prasasti, 2017).
Kasus kenakalan remaja di Indonesia dari tahun ketahun selalu
mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (dalam
Fitri dan Oktaviani, 2019) kenakalan remaja di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 6325 kasus, pada tahun 2014 mencapai 7007 kasus, dan pada tahun
2015 mencapai 7762 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa dari tahun
2013-2015 kasus kenakalan remaja di Indonesia mengalami peningkatan
sebesar 10,7%. Kasus kenakalan remaja yang terjadi diantaranya adalah
pencurian, pembunuhan, pergaulan bebas, dan narkoba. Tidak hanya di
Indonesia, kasus kenakalan remaja di negara lain juga terbilang tinggi.
Berdasarkan data dari Juvenile Justice Statistics, kasus kenakalan remaja di
Amerika Serikat pada tahun 2019 mencapai 722.600 kasus. Kasus-kasus
kenakalan remaja yang terjadi merupakan akibat dari ketidakstabilan remaja
dalam mengelola emosinya (Darmawati dan Yuniar, 2018). Artinya remaja
melakukan kenakalan remaja karena ia memiliki regulasi emosi yang tidak
terkontrol (Haniyyah, Tarma, dan Mulyati, 2019).
Regulasi emosi merupakan kemampuan secara fleksibel yang dimiliki
seseorang untuk mengendalikan emosi yang ia rasakan dan kemudian
menampilkan emosi tersebut sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham
dalam Nasution dan Septiani, 2017). Dengan regulasi emosi, seseorang
4
belajar untuk mengendalikan atau mengurangi emosi negatif serta
mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk dan Fouts, 2002
dalam Nasution dan Septiani, 2017). Kemampuan regulasi emosi pada remaja
tidak muncul dengan sendirinya tetapi diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungannya terutama keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan
tempat untuk anak berkembang dari segi fisik, psikis, sosial, emosi, dan
spiritual (Goleman, 2000 dalam Khaerunisa, 2020). Orang tua berperan untuk
memberi contoh, membimbing, dan menjelaskan nilai atau aturan yang
berlaku di masyarakat (Nasution dan Septiani, 2017). Selain orang tua,
saudara juga berperan penting pada regulasi emosi remaja. Kehadiran saudara
dapat membuat remaja berperilaku positif yaitu senang dan menyayangi
saudaranya. Hal ini dikarenakan ia merasa bahwa ia memiliki teman dan tidak
kesepian. Sebaliknya, kehadiran saudara dapat membuat remaja berperilaku
negatif yaitu membenci saudaranya atau menganggap saudaranya sebagai
saingan. Hal ini dikarenakan ia merasa terancam dan takut apabila kasih
sayang orang tuanya akan terbagi. Fenomena ini disebut dengan sibling
rivalry.
Sibling rivalry adalah rasa permusuhan dan rasa kecemburuan antar
saudara kandung sehingga memunculkan suasana yang menegang diantara
keduanya (Thompson, 2003 dalam Khaerunisa, 2020). Sibling rivalry
biasanya terjadi karena anak merasa bahwa orang tuanya lebih perhatian
kepada saudaranya dibandingkan pada dirinya (Sopiah, Utami, dan Roswita,
2013). Ketika remaja mengalami sibling rivalry mereka akan cenderung
memunculkan perilaku agresi yang biasanya menunjukkan regulasi emosi
yang buruk. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait hal tersebut dengan judul “Regulasi Emosi pada Remaja yang
Mengalami Sibling Rivalry”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat menjadi bahan untuk kajian dan diskusi mengenai
regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry. Selain itu,
hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu psikologi.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini memberikan informasi mengenai regulasi emosi pada
remaja yang mengalami sibling rivalry. Oleh karena itu, diharapkan
penelitian ini mampu membantu orang tua untuk membangun regulasi
emosi yang baik pada anak dengan mengatasi sibling rivalry yang terjadi
pada anak-anaknya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Remaja
Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin adolescene berarti to grow
atau to grow maturity (Golinko, 1984, Rice, 1990 dalam Jahja, 2011).
DeBrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa
kanak-kanak dan dewasa (Saputro, 2018).
Selain itu, Papalia dan Olds menyatakan bahwa masa remaja
merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir
pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Sedangkan, Anna
Freud mengungkapkan bahwa pada masa remaja terjadi proses
perkembangan, meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan
perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan
dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita
merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Saputro, 2018).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan tiga kriteria konseptual
kepada siapa remaja itu sendiri yang mencakup konsep biologis, psikologis,
dan sosial ekonomi. Pertama, individu yang berkembang saat pertama kali, ia
menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat individu tersebut
mencapai kematangan seksual. Kedua, individu yang mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari masa anak-anak ke masa
dewasa. Ketiga, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang lebih mandiri (Saputro, 2018).
Masa remaja ini biasanya memiliki ciri-ciri khusus. Gunarsa &
Gunarsa, dan Mappiare menyatakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri dari
masa remaja, yaitu:
Masa remaja awal. Individu biasanya duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama. Ciri-cirinya yaitu keadaan tidak stabil, lebih
emosional, memiliki banyak masalah, masa yang kritis, mulai tertarik
7
kepada lawan jenis, muncul rasa kurang percaya diri, dan suka
mengembangkan pikiran baru, gelisah, suka berkhayal, dan suka
menyendiri.
Masa remaja madya (pertengahan), di mana individu biasanya duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas. Ciri-cirinya yaitu sangat membutuhkan
teman, cenderung bersifat narsistik, berada dalam kondisi keresahan dan
kebingungan karena pertentangan yang terjadi dalam diri, berkeinginan
besar untuk mencoba segala hal baru, dan keinginan menjelajah ke alam
sekitar yang lebih luas.
Masa remaja akhir. Ciri-cirinya yaitu beberapa aspek psikis dan fisiknya
mulai stabil, terjadinya peningkatan dalam berfikir realistis memiliki
sikap pandang yang sudah baik, lebih matang dalam cara menghadapi
masalah, ketenangan emosional bertambah, lebih mampu menguasai
perasaan, sudah terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi,
dan lebih banyak perhatian terhadap lambang-lambang kematangan
(Saputro, 2018).
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja
merupakan masa pada fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Tubuhnya mungkin sudah tampak dewasa, tetapi apabila
diperlakukan seperti orang dewasa, remaja akan gagal menunjukan
kedewasaannya. Pengalamannya mengenai masa dewasa masih sangat
kurang sehingga pada masa remaja sering terjadi adanya adanya konflik,
kegelisahan, kebingungan, dan pertentangan. Cara remaja dalam memandang
peristiwa yang dialami akan menentukan perilakunya dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa tersebut. Dalam menghadapinya, seorang remaja juga
membutuhkan kemampuan untuk dapat mengontrol emosinya.
2.1.2 Regulasi Emosi
Regulasi emosi merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk
menghalangi perilaku yang tidak tepat akibat kuatnya emosi negatif dan
positif yang dirasakan (Haniyyah et al., 2019). Thompson (1994) menyatakan
bahwa regulasi emosi adalah suatu proses intrinsik (pengaruh regulasi pada
perasaan individu) dan ekstrinsik (pengaruh regulasi pada lingkungan) yang
8
bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Selain
itu, Gross dan Thompson (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu
strategi yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar untuk
mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari
respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku (Hasmarlin, 2019).
Gyurak, Gross dan Etkin (2011) menyatakan konstruk regulasi emosi
dengan penekanan pada proses eksplisit dan implisit. Regulasi emosi secara
eksplisit didefinisikan sebagai proses yang memerlukan upaya sadar untuk
inisiasi dan menuntut beberapa tingkat pemantauan selama implementasi, dan
terkait dengan beberapa tingkat wawasan dan kesadaran. Regulasi emosi
secara implisit ini dibangkitkan secara otomatis oleh stimulus itu sendiri dan
berjalan sampai selesai tanpa pemantauan dan dapat terjadi tanpa wawasan
dan kesadaran (Hasmarlin, 2019).
Sementara itu, Gratz dan Roemer (2004) mengungkapkan bahwa
terdapat empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan
regulasi emosi individu. Pertama, acceptance of emotional response
(penerimaan emosi), di mana individu memiliki kemampuan untuk menerima
suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak malu merasakan
emosi tersebut ketika menghadapi suatu permasalahan. Kedua, strategies to
emotion regulation (strategi regulasi emosi), di mana individu yakin dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara
yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan
diri setelah merasakan emosi yang berlebihan. Ketiga, engaging in goal
directed behavior (keterlibatan perilaku bertujuan), di mana individu mampu
untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga tetap
dapat berkonsentrasi, berpikir, dan melakukan sesuatu dengan baik. Keempat,
control emotional responses (kontrol respon emosi), di mana individu mampu
untuk mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang
ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara) sehingga
individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan
respon emosi yang tepat (Hasmarlin, 2019).
9
Oleh karena itu, kontrol emosi yang dimiliki setiap individu sangat
penting dalam mengatur regulasi emosi dari individu tersebut. Apabila
kontrol emosi individu cenderung kurang, maka regulasi emosinya akan
buruk. Begitu juga sebaliknya, apabila kontrol emosi yang dimiliki individu
cenderung baik, maka regulasi emosi individu tersebut akan baik juga.
2.1.3 Siblings rivalry
Siblings rivalry merupakan suatu kondisi di mana seorang individu
tidak dapat menerima kehadiran individu lain dalam suatu keluarga. Hal ini
bisa terjadi karena individu tersebut merasa tersaingi dengan kehadiran
anggota keluarga baru tersebut, baik dari segi kasih sayang maupun perhatian
dari orang sekitar, khususnya orang tua (Haniyyah et al., 2019). Menurut
Soendjojo (2000), sibling rivalry atau sibling conflict adalah persaingan
kakak adik dalam satu keluarga yang disebabkan karena adanya perbedaan
reaksi yang berbeda dari orang-orang di sekelilingnya, khususnya reaksi ayah
dan ibunya. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa orang tua pilih
kasih. Sikap tersebut menumbuhkan rasa iri di dalam hati dan permusuhan
yang akan mempengaruhi hubungan antar saudara kandung yang negatif,
yaitu munculnya berbagai pertentangan dengan saudara kandung (Waluyo &
Purwandari, 2010).
Dalam pengertian lain, siblings rivalry didefinisikan sebagai
persaingan antara saudara kandung untuk mendapatkan cinta, kasih sayang,
dan perhatian dari salah satu atau kedua orang tua atau untuk pengakuan atau
keuntungan lain. Fenomena sibling rivalry ini bersifat universal. Apabila
masalah ini ditangani dengan baik, maka hal ini akan menjadi persaingan
yang sehat antar saudara kandung yang akan mengarah pada pemerolehan
sosial, keterampilan interpersonal dan kognitif yang penting untuk
perkembangan anak. Namun, apabila terjadi kesalahan dalam penanganan,
persaingan saudara dapat menyebabkan masalah psikologis di kemudian hari
(Hayes, 2008).
Millman dan Schaifer mengungkapkan bahwa siblings rivalry
biasanya terjadi antara dua anak atau lebih yang usianya berdekatan, biasanya
antara usia 1-3 tahun. Siblings rivalry akan lebih terlihat ketika usia mereka
10
3-5 tahun dan terjadi lagi pada usia 8-12 tahun. Siblings rivalry ini lebih
sering terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama, khususnya perempuan.
Sementara itu, Bakwin menyatakan bahwa siblings rivalry cenderung lebih
sering terjadi ketika anak memiliki jarak usia antara 2-4 tahun. Pada usia ini,
anak menjadi sadar akan kasih sayang orangtuanya. McNemey dan Joy
mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman yang beberapa orang
Amerika, dilaporkan sebanyak 55% mengalami persaingan dalam keluarga
dan rentang usia antara 10-15 tahun merupakan kategori tertinggi (Waluyo &
Purwandari, 2010).
Siblings rivalry ini merupakan proses berkelanjutan yang juga terjadi
ketika individu tersebut menginjak remaja dan dewasa. Roos dan Milgran
(dalam Bank; Kahn; & Michael, 1997) mengungkapkan bahwa saudara
kandung yang menginjak remaja dan dewasa dapat menggunakan
kekuatannya untuk membantu ataupun menyakiti saudaranya yang lain dalam
tiga area pribadi yaitu prestasi dan sukses, seksual dan kecantikan, hubungan
sosial dengan teman-teman, orang lain dan saudara yang lainnya (Waluyo &
Purwandari, 2010).
Selain itu, Purbo (2004) menyebutkan bahwa ciri-ciri dari siblings
rivalry adalah mengganggu atau menyakiti saudaranya, rewel, selalu minta
diperhatikan agar dapat mengalihkan perhatian orang tua dari saudaranya,
cengeng, mudah marah dan meminta segala sesuatu yang sama dengan yang
diberikan orang tuanya pada saudaranya (Waluyo & Purwandari, 2010). Ciri
khas yang sering muncul pada siblings rivalry ini, yaitu egois, suka berkelahi,
hiperaktif, suka merusak, memiliki kedekatan khusus dengan salah satu orang
tua, mengalami gangguan tidur, kebiasaan mengigit kuku, dan menuntut
perhatian lebih banyak (Sains, 2009). Disisi lain, Hurlock (1996) menyatakan
bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi siblings rivalry, yaitu
jenis kelamin saudara kandung, jumlah saudara, perbedaan usia, urutan
posisi, sikap orang tua, jenis disiplin, dan pengaruh orang luar (Waluyo &
Purwandari, 2010).
Siblings rivalry mengakibatkan dampak negatif di dalam keluarga
karena dapat memperburuk keharmonisan di dalam keluarga. Perselisihan
11
yang terjadi juga berdampak kepada psikologis keluarga, di mana orang tua
akan merasakan kesedihan karena anak-anaknya tidak dapat harmonis dan
akur. Boyle (2004) juga mengungkapkan bahwa siblings rivalry
mengakibatkan regulasi emosi yang buruk. Peristiwa yang dialaminya dapat
menimbulkan rasa dan perilaku yang buruk, seperti mendendam, adanya rasa
dengki sesama saudara, ingin melukai saudaranya, dan merasa bahwa saudara
kandungnya adalah musuh di dalam keluarga (Haniyyah et al., 2019).
Oleh karena itu, siblings rivalry ini sebaiknya dihindari agar tidak
menimbulkan suatu dampak buruk ataupun hal-hal yang tidak diinginkan.
Peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat memengaruhi munculnya
siblings rivalry tersebut.
2.2 Penelitian Terdahulu
Peneliti menemukan beberapa penelitian mengenai siblings rivalry
dan regulasi emosi pada remaja. Salah satunya yaitu dari Syadza Haniyyah
(2019) yang berjudul Hubungan Sibling Rivalry Dengan Emotional
Regulation Remaja. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif
yang menggunakan teknik saturation sampling. Penelitian ini juga
menggunakan metode survei yang dilakukan pada 36 murid Sekolah
Menengah Atas di Jakarta. Instrumen sibling rivalry yang digunakan dalam
penelitian ini sesuai dengan teori Setiawati & Zulkid (2007), yaitu anak emas,
iri hati, mencari perhatian lebih, tempramen, dan keinginan menang dari
saudaranya. Instrumen ini terdiri dari 32 butir pernyataan. Selanjutnya, untuk
variabel regulasi emosi disesuaikan dengan teori Goleman (2004), yaitu
strategis to emotional regulation,engaging in goal directed behavior,control
emotional responses,acceptance of emotional yang terdiri dari 32 butir
pernyataan. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat korelasi negatif dan
hubungan yang signifikan antara siblings rivalry dengan regulasi emosi
remaja, dimana semakin tinggi siblings rivalry yang dialami seorang remaja
maka akan semakin rendah cara remaja dalam mengontrol emosinya (regulasi
emosi).
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian “Regulasi Emosi pada Remaja yang Mengalami Sibling
Rivalry ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yang memahami
fenomena-fenomena yang terjadi dari segi perilaku, tindakan, dan motivasi.
Pendekatan kualitatif berdasarkan fenomenologis menuntut
pendekatan yang holistik yang artinya menyeluruh, mendudukkan suatu
kajian dalam suatu konstruksi ganda. Melihat objek dalam konteks ‘natural’
alamiah apa adanya bukan komersial.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
a. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai sejak dikeluarkan izin
penelitian dalam kurun waktu kurang lebih 20 hari.
b. Tempat Penelitian
Penelitian ini melakukan wawancara dimana menggunakan aplikasi
(online).
3.3 Subjek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ini, subjek penelitian berupa manusia atau
sebagai narasumber yang mengetahui masalah dan juga terlibat langsung
dengan masalah. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja dengan rentang
usia 10-24 tahun yang memiliki kakak/adik dan mengalami sibling rivalry.
3.4 Desain Penelitian
Peneliti mencari data-data valid yang dapat digunakan dalam
penelitian sebagai bahan dalam pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan
ditanyakan kepada narasumber untuk pengumpulan data.
Pada tahap pelaksanaan penelitian, peneliti akan meminta izin kepada
narasumber agar dapat melakukan wawancara, dalam tahap ini peneliti dapat
mengumpulkan data-data, dan peneliti menggunakan metode wawancara.
13
Setelah mendapatkan data-data yang dibutuhkan, selanjutnya peneliti
akan melakukan analisis data serta mengkaji lebih dalam dari data-data yang
sudah didapatkan sehingga mudah dipahami kepada orang-orang.
Laporan disusun dengan sistematis dan mudah dimengerti, selain itu
laporan harus mencangkup dalam persiapan, pelaksanaan, dan analisis data.
3.5 Variabel Penelitian
- Variabel Terikat
Variabel terikat atau dependent variable yang digunakan dalam
penelitian ini adalah regulasi emosi pada remaja.
- Variabel Bebas
Variabel bebas atau independent variable yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sibling rivalry.
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Regulasi emosi pada remaja adalah kemampuan untuk menanggapi
tuntutan yang sedang berlangsung pengalaman dan berbagai emosi
dengan cara yang bisa ditoleransi secara rasional dan cukup fleksibel
untuk memungkinkan reaksi spontan, termasuk kemampuan untuk
menunda reaksi spontan yang diperlukan.
b. Sibling rivalry merupakan kompetisi antar saudara kandung yang
dimulai dengan rasa cemburu, iri, dan bersaing dalam mendapatkan
sesuatu.
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data diperlukan langkah-langkah dalam
pengumpulan data-data, yaitu :
1. Wawancara
Menurut Robert Kahn dan Channel wawancara adalah pola khusus dan
interaksi dimulai secara lisan untuk tujuan tertentu, dan difokuskan pada
daerah konten yang spesifik dengan proses eliminasi dari bahan-bahan
yang tidak ada hubungannya secara berkelanjutan. Tujuan dari
14
wawancara itu sendiri adalah memperoleh informasi secara langsung
guna menjelaskan suatu hal atau situasi dan kondisi tertentu,
memperoleh data agar dapat memengaruhi situasi atau orang tertentu,
dan melengkapi suatu penyelidikan ilmiah (Zainal, 2010).
3.8 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang
diperoleh adalah data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan
bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam
kategori-kategori/struktur klasifikasi. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian kualitatif mencakup transkrip hasil wawancara, reduksi data,
analisis, interpretasi data dan triangulasi. Dari hasil analisis data yang
kemudian dapat ditarik kesimpulan. berikut ini adalah teknik analisis data
yang digunakan oleh peneliti:
1. Reduksi Data
Reduksi data sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data
berlangsung terus-menerus, Selama pengumpulan data berlangsung,
terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode,
menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis
memo.
2. Triangulasi
Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga
dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu
triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran
peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif. Tujuan
umum dilakukan triangulasi adalah untuk meningkatkan kekuatan
teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari sebuah riset.
3. Menarik Kesimpulan
Ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan, seorang penganalisis
kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan,
15
pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab
akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan “final” akan muncul
bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan,
pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang
digunakan, kecakapan peneliti, dan tuntutan pemberi dana, tetapi sering
kali kesimpulan itu telah sering dirumuskan sebelumnya sejak awal.
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.Deskripsi Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis data hasil wawancara dengan beberapa subjek
diperoleh hasil penelitian sebagai berikut.
4.1.1 Perasaan saat memiliki saudara
Memiliki saudara merupakan hal yang menyenangkan untuk sebagian
orang, sedangkan untuk sebagian lainnya mereka tidak merasa bahwa hal
tersebut menyenangkan.
“Senang tetapi di sisi lain tidak juga, senang karena ada teman untuk main
dan tidak senang karena terkadang perhatian mama sama ayah jadi terbagi.”
“Tidak terlalu, karena menurut saya mungkin semisalnya saya tidak
mempunyai saudara pun tidak akan berubah jauh situasinya saat saya
mempunyai saudara seperti saat ini.”
4.1.2 Hubungan sibling rivalry
Hubungan siblings rivalry umumnya ditandai dengan pertengkaran
atau perselisihan antar saudara.
“ Sering, yang memulai pertengkaran kadang dia kadang aku.”
“Untuk saat ini bertengkar itu jarang semenjak kami sudah memasuki bangku
smp dan sma, tetapi biasanya kami hanya adu argumen karena biasanya
kakak saya tidak pernah mau argumennya disanggah sampai berujung saya
yang mengalah karena sudah capek duluan biasanya.”
4.1.3 Sikap dan perlakuan orang tua
Menurut Soendjojo (2000), sibling rivalry adalah persaingan kakak
adik dalam satu keluarga yang disebabkan karena adanya perbedaan reaksi
yang berbeda dari orang-orang di sekelilingnya, khususnya reaksi ayah dan
ibunya.
a. Perlakuan orang tua terhadap anak ketika di rumah.
“Sama aja sih, cuma lebih sering belain adikku tapi kadang juga kalau lagi
berantem sama adikku belain aku, sesuai situasi dan siapa yang salah.”
17
“Menurut sudut pandang saya, orang tua saya memperlakukan saya dengan
saudara saya itu berbeda. Hal-hal seperti saat sakit batuk, flu atau sekedar
sakit kepala saudara saya cenderung sangat dipedulikan dan diperhatikan
tetapi saat saya sakit tidak pernah saya merasa diperlakukan seperti itu
biasanya hanya menasehati untuk tidur dan istirahat. Hal lain juga dapat
terlihat saat sehari-hari dirumah saudara saya seperti lebih dilayani oleh
orang tua saya dalam hal apapun, sedangkan saya jarang untuk diperlakukan
seperti itu kalau tidak benar2 sakit sampai tidak bisa bangun dari tempat
tidur misalnya. Dan terakhir pada saat saat saudara saya mendapatkan suatu
pencapaian dalam bidang akademik maupun non akademik sekecil apapun
sangat diapresiasi sedangkan saya tidak merasa seperti itu.”
b. Sikap orang tua saat anak melakukan kesalahan.
“Aku dan adikku sama-sama dimarahin.”
“Saat saudara saya melakukan kesalahan orang tua saya biasanya memarahi
dan dinasehati tetapi kemudian dianggap angin berlalu saja, tetapi kalau saya
melakukan kesalahan selain saya dimarahi dan dinasehati biasanya hal
tersebut akan terus diungkit serta disangkutpautkan terus menerus dengan
berbagai macam hal yang terjadi pada saya.”
c. Pihak yang lebih sering dimarahi orang tua.
“Aku, karena mungkin lebih nakal dari adik aku dan aku sering main
handphone jadi dimarahin.”
“Sebenarnya saudara saya tetapi, biasanya pun saat saudara saya yang
berbuat salah pun kadang orang tua saya akhir-akhir ini lebih sering
meluapkan marahnya kepada saya.”
4.1.4 Regulasi emosi
Sibling rivalry ini dapat mengakibatkan buruknya keharmonisan suatu
keluarga. Bahkan, emosi individu yang memiliki perselisihan dengan
saudaranya dapat menjadi tidak teratur. Hal ini yang disebut dengan regulasi
emosi. Biasanya, kondisi sibling rivalry yang terjadi di dalam suatu keluarga
akan memengaruhi regulasi emosi dari individu terkait.
a. Sikap dan perasaan saat bertengkar dengan saudara.
18
“Aku diemin aja terus kalau dia nangis aku bahagia dan malah aku ledekin.”
“Perasaan saya jujur sedih, lebih ke merasa bersalah dan biasanya sikap
yang saya ambil adalah mengalah saja dan mengubah kembali ke suasana
seperti tidak ada sesuatu yang terjadi diantara kita.”
b. Cara mengatasi pertengkaran atau perselisihan dengan saudara.
“Berbaikan, aku ngajak minta maaf duluan, tapi jarang lebih seringnya aku
biarin aja nanti juga baikan sendiri.”
“Untuk cara mengatasinya saya biasanya menghindari percakapan atau topik
pembicaraan yang memancing ke arah perbedaan argumen diantara kita,
selain itu saat mengajak bercanda/ngobrol juga melihat situasi dan mood
saudara saya.”
c. Sikap saat diganggu saudara.
“Aku marah dan kadang tak pukul dia, habis itu diem-dieman.”
“Kalau saya diganggu dalam keadaan "good mood" saya cenderung senang
dan kadang melayaninya tetapi saudara saya jarang sekali mengganggu saya,
sebaliknya saat saya diganggu dalam keadaan "bad mood" saya akan
mendiamkannya dan kalau sudah kelewat batas saya akan memarahinya.”
d. Tanggapan saat saudara diberi hadiah oleh orang tua.
“Biasa aja dan gak iri juga.”
“Kalau masalah barang, saya tidak terlalu mempermasalahkannya selama
kebutuhan saya terpenuhi dengan baik.”
e. Sikap dan perasaan saat dibanding-bandingkan dengan saudara.
“Itu sering itu, tapi aku biasa aja soalnya kayak aku pikir itu becandaan aja
dan udah biasa jadi gak marah bahkan kadang juga dibanding-bandingin
sama temenku.”
“Sebenarnya sakit hati kalau dibanding-bandingkan dalam bidang akademik
maupun karir/cita-cita, tetapi diluar itu jika dibanding-bandingkan menurut
saya bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Kemudian sikap yang saya
ambil adalah saya biasanya lebih ke diam memendam semuanya saja dan
berusaha menjadikan perbandingan itu sebagai motivasi walaupun sulit untuk
direalisasikan.”
19
4.2. Pembahasan
4.2.1 Hubungan Sibling Rivalry
Berdasarkan hasil wawancara, kedua subjek merasa bahwa mereka
tidak terlalu senang atas kehadiran saudaranya. Hal ini dikarenakan, subjek
merasa bahwa perhatian kedua orang tua mereka menjadi terbagi. Selain itu,
salah satu subjek berpikir bahwa ada atau tidaknya saudara tidak begitu
mempengaruhi hidupnya. Rasa tidak senang akan kehadiran saudaranya
menjadi salah satu penyebab subjek cukup sering terlibat perselisihan atau
pertengkaran dengan saudara mereka. Pada awalnya mungkin hanya terlibat
adu argumen seperti biasa, tetapi lama-kelamaan tidak ada pihak yang mau
mengalah. Akhirnya, adu argumen tersebut berubah menjadi sebuah
pertengkaran.
Kedua subjek mengalami sibling rivalry, yaitu kondisi di mana
seorang individu tidak dapat menerima kehadiran individu lain dalam suatu
keluarga. Secara tidak langsung, orang tua dapat menyebabkan terjadinya
hubungan sibling rivalry pada anak-anaknya. Sikap, perlakuan dan kasih
sayang yang diberikan oleh orang tua dapat memengaruhi hubungan
persaudaraan. Begitu juga dengan kedua subjek yang menyatakan bahwa
mereka cenderung mendapat perlakuan yang berbeda dari kedua orang
tuanya. Perhatian-perhatian kecil dan perlakuan yang diterima dari orang tua
mereka cenderung berbeda dengan saudaranya. Hal-hal seperti ini membuat
mereka merasa cemburu dan cenderung iri kepada saudaranya.
Perbedaan perlakuan tersebut juga termasuk saat subjek melakukan
suatu kesalahan. Saat melakukan suatu kesalahan, subjek akan menerima
luapan emosi dari orang tuanya. Mereka akan dimarahi dan dinasehati,
bahkan ketika kesalahan tersebut bukan dilakukan oleh subjek. Terkadang
kesalahan tersebut akan terus diungkit dan dikaitkan dengan hal-hal lain yang
akan membuat subjek merasa jengah dan kesal. Berbeda dengan hal tersebut,
saudaranya hanya akan mendapati omelan dan nasehat singkat dari kedua
orang tua ketika melakukan kesalahan. Bahkan orang tuanya mereka
terkadang terlihat tidak terlalu memperdulikan kesalahan yang telah dibuat
20
oleh saudaranya. Meskipun subjek dan saudaranya saling melakukan
kesalahan, tetapi subjek merasa bahwa orang tuanya hanya memarahi dia
sehingga terasa sedikit perbedaan perlakuan dalam hal tersebut.
4.2.2 Regulasi Emosi
Regulasi emosi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh
individu untuk mengontrol emosinya. Kemampuan ini akan berbeda pada
setiap individu, khususnya remaja. Remaja akan memiliki regulasi emosi yang
tidak teratur dan cenderung berubah, apalagi saat mereka sedang melewati
masa pubertas.
Berdasarkan pada hasil wawancara dengan subjek yang memiliki
hubungan sibling rivalry dengan saudaranya, mereka cenderung memiliki
emosi yang cukup stabil jika tidak diganggu oleh saudaranya. Akan tetapi,
saat sedang bertengkar, mereka akan saling mendiamkan dan menghindar satu
sama lain sehingga butuh waktu beberapa hari untuk dapat berbaikan kembali.
Subjek juga cenderung memilih mengalah daripada pertengkaran tersebut
terus berlanjut. Subjek berusaha untuk menghindari topik yang memicu
adanya perbedaan argumen.
Subjek juga mengatakan bahwa mereka tidak keberatan saat orang
tuanya memberikan hadiah ataupun barang tertentu kepada saudaranya selama
kebutuhannya sendiri masih tercukupi dengan baik. Mereka tidak merasa iri
atau cemburu hanya karena hadiah tersebut. Akan tetapi, hal yang sering
terjadi dalam sebuah keluarga adalah membandingkan pencapaian atau
kelebihan satu sama lain. Hal ini berlaku kepada mereka, di mana subjek
sering dibanding-bandingkan dengan orang lain, bahkan saudaranya sendiri.
Mereka menganggap hal tersebut adalah hal yang biasa dan sering terjadi.
Pada akhirnya, mereka hanya dapat diam dan membiarkan hal tersebut berlalu.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek memiliki hubungan
sibling rivalry yang tidak terlalu parah atau dapat dikatakan hubungan sibling
rivalry subjek berada pada tingkatan sedang. Hal ini dibuktikan dengan
perasaan dan perilaku mereka saat bersama dengan saudaranya. Mereka
merasa tidak terlalu senang memiliki saudara karena perhatian dari orang
tuanya menjadi terbagi. Mereka juga sering bertengkar dengan
masing-masing saudaranya, tetapi hanya sebatas adu argumen dan tidak ada
pertengkaran secara fisik yang serius.
Regulasi emosi pada subjek juga terbilang cukup stabil. Saat
pertengkaran terjadi, mereka berusaha untuk mengalah dan memilih untuk
diam serta menghindar. Hal ini dilakukannya untuk mengontrol dan
menenangkan emosinya agar subjek tidak melampiaskannya kepada
saudaranya. Akan tetapi, terdapat hal yang tidak dapat dihindari yaitu orang
tua subjek yang sering membandingkan pencapaian subjek dengan
saudaranya. Mereka tentunya merasa jengah dan kesal, tetapi hal tersebut
dijadikannya sebuah motivasi untuk meningkatkan prestasinya.
Dengan demikian, individu dengan tingkat hubungan sibling rivalry
yang tidak terlalu parah akan memiliki regulasi emosi yang masih terbilang
cukup stabil. Mereka lebih memilih menghindar daripada melampiaskan
emosinya kepada saudaranya. Mereka juga masih mau untuk mengalah dan
memaafkan saudaranya saat pertengkaran terjadi sehingga hubungan
persaudaraan tersebut tidak terlalu renggang.
5.2 Implikasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, penelitian ini dapat memperkaya
penelitian kualitatif yang berkaitan dengan regulasi emosi pada remaja yang
mengalami sibling rivalry. Selain itu, hasil penelitian ini memiliki implikasi
teoritis dan implikasi praktis, sebagai berikut:
5.2.1 Implikasi teoritis
22
Relasi yang kurang baik antara remaja dengan orang tua dan
saudaranya tidak selalu membuat remaja memiliki regulasi emosi yang
buruk. Subjek dalam penelitian ini memiliki regulasi emosi yang cukup baik
meskipun mengalami sibling rivalry dan mendapatkan perlakuan yang
berbeda dari orang tuanya.
5.2.2 Implikasi praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi orang tua
dalam memperlakukan anak-anaknya dan membangun regulasi emosi yang
baik pada anak. Selain itu, dapat digunakan sebagai masukan untuk remaja
dalam memperlakukan saudaranya.
5.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat
diberikan beberapa saran sebagai berikut:
5.3.1 Bagi remaja yang mengalami sibling rivalry
Persaingan antara saudara kandung adalah hal yang mungkin tidak
dapat dihindari. Namun, persaingan tersebut dapat diatasi dengan cara yang
baik untuk keduanya. Sebaiknya remaja menerima kehadiran saudaranya
dengan senang sehingga akan menciptakan hubungan persaudaraan yang
lebih baik. Dengan demikian, saudara dapat menjadi tempat bercerita dan
support system terbaik untuk remaja.
5.3.2 Bagi orang tua remaja yang mengalami sibling rivalry
Orang tua dibingungkan jika melihat anak-anaknya bertengkar,
apakah harus membantu menyelesaikan masalah atau bahkan membiarkannya
saja. Melihat anak-anak bertengkar dapat membuat hati orang tua itu sakit
dan bisa merasa gagal dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Orang tua
sebagai pemegang peranan penting dalam sibling rivalry untuk itu sebaiknya
orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan adil. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan perlakuan dan kasih sayang yang proporsional
untuk setiap anak, tidak membanding-bandingkan anak satu dengan yang
lainnya, dan menghargai kelebihan dan kekurangan setiap anak.
23
5.3.3 Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat memberikan pandangan mengenai regulasi
emosi pada remaja yang mengalami sibling rivalry. Subjek penelitian ini
mengalami sibling rivalry dalam kategori sedang dan memiliki regulasi
emosi yang cukup baik. Bagi para peneliti yang tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut maka diharapkan untuk mencari
subjek yang mengalami sibling rivalry dengan kategori tinggi. Hal tersebut
bertujuan untuk mendapatkan gambaran regulasi emosi remaja yang
mengalami sibling rivalry dalam kategori tinggi. Dengan demikian, hasilnya
dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini sehingga diketahui apakah
terdapat perbedaan regulasi emosi pada remaja yang mengalami sibling
rivalry dalam kategori sedang dengan remaja yang mengalami sibling rivalry
dalam kategori tinggi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Darmawati, I., & Yuniar, D. (2018). Emotional Quotient Remaja Kota Bandung.
Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia,4(1), 52-59.
Fitri, R. P., & Oktaviani, Y. (2019). Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Kenakalan Remaja pada Siswa-Siswi MAN 2 Model Kota Pekanbaru.
Jurnal Kesehatan Ibnu Sina (J-KIS),1(01), 43-49.
Haniyyah, S., Tarma, T., & Mulyati, M. (2019). Hubungan Sibling Rivalry dengan
emotional regulation remaja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan
Pendidikan),6(01), 60-65.
Hasmarlin, H. (2019). Self-Compassion dan Regulasi Emosi pada Remaja
Self-Compassion and Emotion Regulation In Adolescence. Jurnal Psikologi,
1(2021), 148–156.
Hayes, D. (2008). Sibling rivalry. Contemporary Psychoanalysis,44(2), 280–288.
https://doi.org/10.1080/00107530.2008.10747153
Hockenberry, S. (2022). Delinquency Cases in Juvenile Court, 2019. US
Department of Justice, Office of Justice Programs.
Khaerunisa, R. A. (2020). Hubungan antara Sibling Rivalry dan Kecerdasan
Emosi pada Remaja Awal. Universitas Islam Indonesia
Nasution, I. N., & Septiani, D. (2017). Perkembangan regulasi emosi anak dilihat
dari peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Psychopolytan: Jurnal
Psikologi,1(1), 23-30.
Nur, I. F., & Ekasari, A. (2008). Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan
emosional pada remaja. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,
1(2), 15-31.
Prasasti, S. (2017, July). Kenakalan remaja dan faktor penyebabnya. In Prosiding
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling (Vol. 1, No. 1, pp. 28-45).
Saputro, K. Z. (2018). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja.
Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama,17(1), 25.
https://doi.org/10.14421/aplikasia.v17i1.1362
Sopiah, C., Utami, M. S. S., & Roswita, M. Y. (2013). Hubungan antara pola asuh
authoritarian dan kecerdasan emosi dengan sibling rivalry pada remaja awal.
PREDIKSI,2(1), 9.
Waluyo, Y., & Purwandari, E. (2010). Fenomena Anak Kembar: Telaah Sibling
Rivalry. Indigenous Jurnal Ilmiah Psikologi,12(02), 154–160.
25
LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Informed Consent
INFORMED CONSENT
(SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama* : ........................................................................
Jenis kelamin*: ........................................................................
Usia* : ........................................................................
Saya yang tersebut di atas menyatakan SETUJU dan BERSEDIA untuk terlibat
dan berpartisipasi aktif dalam proses wawancara yang diselenggarakan oleh
kelompok 8 dari Prodi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam kegiatan ini, saya telah menyadari, memahami, dan menerima bahwa:
1. Saya bersedia terlibat penuh dan aktif selama proses wawancara berlangsung.
2. Saya diminta untuk memberikan informasi yang sejujur-jujurnya sesuai
dengan pengalaman saya.
3. Identitas dan informasi yang saya berikan akan DIRAHASIAKAN dan hanya
digunakan untuk kepentingan akademik.
4. Saya menyetujui adanya perekaman data terkait informasi yang saya berikan,
baik berupa tulisan, rekaman percakapan audio, ataupun rekaman percakapan
audiovisual.
5. Guna menunjang kelancaran proses yang akan dilaksanakan, maka segala hal
yang terkait dengan waktu dan media wawancara akan disepakati bersama.
Dalam menandatangani lembar ini, Saya TIDAK ADA PAKSAAN dari pihak
manapun sehingga Saya bersedia untuk mengikuti proses wawancara ini dari awal
hingga selesai serta menerima segala hal terkait dengan pelaksanaan kegiatan ini.
*Kota, Tanggal
Partisipan,
*Scan tanda tangan
(*Nama Lengkap)
*Mohon diisi sesuai data pribadi partisipan
CP: (isi nama ketua kelompok & kontak yang bisa dihubungi)
26
Lampiran 2. Hasil wawancara
Subjek 1
Nama : A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 13 tahun
Pertanyaan
Jawaban
Apakah anda senang memiliki
saudara? Apa alasannya?
Senang tetapi disisi lain tidak juga, senang
karena ada teman untuk main dan tidak
senang karena terkadang perhatian mama
sama ayah jadi terbagi.
Apakah anda dan saudara anda
sering bertengkar? Lalu biasanya
siapa yang memulai pertengkaran
tersebut?
Sering, yang memulai pertengkaran
kadang dia kadang aku.
Bagaimana perasaan dan sikap
anda ketika anda dan saudara anda
bertengkar?
Aku diemin aja terus kalau dia nangis aku
bahagia dan malah aku ledekin.
Bagaimana cara anda mengatasi
perselisihan dengan saudara anda?
Berbaikan, aku ngajak minta maaf duluan,
tapi jarang lebih seringnya aku biarin aja
nanti juga baikan sendiri.
Bagaimana sikap anda saat
saudara anda mengganggu anda?
Aku marah dan kadang tak pukul dia,
habis itu diem-dieman.
Bagaimana orang tua
memperlakukan anda dan saudara
anda ketika di rumah?
Sama aja sih, cuma lebih sering belain
adikku tapi kadang juga kalau lagi
berantem sama adikku belain aku, sesuai
situasi dan siapa yang salah.
Bagaimana tanggapan anda jika
Biasa aja dan gak iri juga.
27
saudara anda diberi barang/hadiah
dari orang tua?
Bagaimana sikap kedua orang tua
saat anda dan saudara anda
melakukan kesalahan?
Aku dan adikku sama-sama dimarahin.
Di antara anda dan saudara anda,
siapa yang lebih sering dimarahi
oleh orang tua?
Aku, karena mungkin lebih nakal dari adik
aku dan aku sering main handphone jadi
dimarahin.
Bagaimana perasaan dan sikap
anda saat orang tua anda
membandingkan anda dengan
saudara anda?
Itu sering itu, tapi aku biasa aja soalnya
kayak aku pikir itu becandaan aja dan
udah biasa jadi gak marah bahkan kadang
juga dibanding-bandingin sama temenku.
Subjek 2
Nama : B
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Pertanyaan
Jawaban
Apakah anda senang memiliki
saudara? Apa alasannya?
Tidak terlalu, karena menurut saya
mungkin semisalnya saya tidak
mempunyai saudara pun tidak akan
berubah jauh situasinya saat saya
mempunyai saudara seperti saat ini.
Apakah anda dan saudara anda
sering bertengkar? Lalu biasanya
siapa yang memulai pertengkaran
tersebut?
Untuk saat ini bertengkar itu jarang
semenjak kami sudah memasuki bangku
smp dan sma, tetapi biasanya kami hanya
adu argumen karena biasanya kakak saya
28
tidak pernah mau argumennya disanggah
sampai berujung saya yang mengalah
karena sudah capek duluan biasanya.
Bagaimana perasaan dan sikap
anda ketika anda dan saudara anda
bertengkar?
Perasaan saya jujur sedih, lebih ke merasa
bersalah dan biasanya sikap yang saya
ambil adalah mengalah saja dan
mengubah kembali ke suasana seperti
tidak ada sesuatu yang terjadi diantara
kita.
Bagaimana cara anda mengatasi
perselisihan dengan saudara anda?
Untuk cara mengatasinya saya biasanya
menghindari percakapan atau topik
pembicaraan yang memancing ke arah
perbedaan argumen diantara kita, selain
itu saat mengajak bercanda/ngobrol juga
melihat situasi dan mood saudara saya.
Bagaimana sikap anda saat saudara
anda mengganggu anda?
Kalau saya diganggu dalam keadaan
"good mood" saya cenderung senang dan
kadang melayaninya tetapi saudara saya
jarang sekali mengganggu saya,
sebaliknya saat saya diganggu dalam
keadaan "bad mood" saya akan
mendiamkannya dan kalau sudah kelewat
batas saya akan memarahinya.
Bagaimana orang tua
memperlakukan anda dan saudara
anda ketika di rumah?
Menurut sudut pandang saya, orang tua
saya memperlakukan saya dengan saudara
saya itu berbeda. Hal-hal seperti saat sakit
batuk, flu atau sekedar sakit kepala
saudara saya cenderung sangat
dipedulikan dan diperhatikan tetapi saat
29
saya sakit tidak pernah saya merasa
diperlakukan seperti itu biasanya hanya
menasehati untuk tidur dan istirahat. Hal
lain juga dapat terlihat saat sehari-hari
dirumah saudara saya seperti lebih
dilayani oleh orang tua saya dalam hal
apapun, sedangkan saya jarang untuk
diperlakukan seperti itu kalau tidak benar2
sakit sampai tidak bisa bangun dari tempat
tidur misalnya. Dan terakhir pada saat saat
saudara saya mendapatkan suatu
pencapaian dalam bidang akademik
maupun non akademik sekecil apapun
sangat diapresiasi sedangkan saya tidak
merasa seperti itu.
Bagaimana tanggapan anda jika
saudara anda diberi barang/hadiah
dari orang tua?
Kalau masalah barang, saya tidak terlalu
mempermasalahkannya selama kebutuhan
saya terpenuhi dengan baik.
Bagaimana sikap kedua orang tua
saat anda dan saudara anda
melakukan kesalahan?
Saat saudara saya melakukan kesalahan
orang tua saya biasanya memarahi dan
dinasehati tetapi kemudian dianggap angin
berlalu saja, tetapi kalau saya melakukan
kesalahan selain saya dimarahin dan
dinasehati biasanya hal tersebut akan terus
diungkit serta disangkutpautkan terus
menerus dengan berbagai macam hal yang
terjadi pada saya.
Di antara anda dan saudara anda,
siapa yang lebih sering dimarahi
oleh orang tua?
Sebenarnya saudara saya tetapi, biasanya
pun saat saudara saya yang berbuat salah
pun kadang orang tua saya akhir-akhir ini
30
lebih sering meluapkan marahnya kepada
saya.
Bagaimana perasaan dan sikap
anda saat orang tua anda
membandingkan anda dengan
saudara anda?
Sebenarnya sakit hati kalau
dibanding-bandingkan dalam bidang
akademik maupun karir/cita-cita, tetapi
diluar itu jika dibanding-bandingkan
menurut saya bukan sesuatu yang perlu
dipermasalahkan. Kemudian sikap yang
saya ambil adalah saya biasanya lebih ke
diam memendam semuanya saja dan
berusaha menjadikan perbandingan itu
sebagai motivasi walaupun sulit untuk
direalisasikan.
31
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Masa remaja berada pada batas peralihan kehidupan anak dan dewasa. Tubuhnya tampak sudah “dewasa”, akan tetapi bila diperlakukan seperti orang dewasa remaja gagal menunjukan kedewasaannya. Pengalamannya mengenai alam dewasa masih belum banyak karena ia sering terlihat pada remaja adanya kegelisahan, pertentangan, kebingungan, dan konflik pada diri sendiri. Bagaimana remaja memandang peristiwa yang dialami akan menentukan perilakunya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa tersebut
Article
Full-text available
Individu mengalami berbagai perubahan emosi pada masa remaja. Emosi remaja yang cenderung meledak-ledak dan sulit dikendalikan apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah bagi remaja dan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, remaja membutuhkan kemampuan regulasi emosi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan self-compassion dengan regulasi emosi pada remaja. Alat ukur yang digunakan adalah skala self-compassion dari Neff (2003) dan skala regulasi emosi dari Gratz dan Roemer (2004). Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berstatus siswa SMA berjumlah 398 subjek yang diperoleh dengan melakukan teknik kuota sampling. Data dianalisis menggunakan teknik korelasi product moment yang menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,494 pada taraf signifikansi 0,000 (p<0.01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa self-compassion memiliki hubungan yang positif dengan regulasi emosi pada remaja. Selain itu, dengan melihat R2 diketahui bahwa self-compassion memberikan sumbangan efektif sebesar 24,4% terhadap regulasi emosi. Berdasarkan aspek-aspek pada self-compassion, diperoleh aspek common humanity memberikan sumbangan efektif paling besar terhadap regulasi emosi yakni 13,68%. Ditinjau dari perbedaan jenis kelamin, terdapat perbedaan regulasi emosi pada laki-laki dan perempuan. Namun, tidak terdapat perbedaan self-compassion antara laki-laki dan perempuan.
Article
Full-text available
ABSTRAK Kenakalan remaja didorong oleh ketidakstabilan remaja dalam mengelola emosi yang berujung pada perilaku kekerasan kepada teman sebaya maupun komunitas lainnya di sekitar remaja. Kecerdasan emotional menjadi indikator penting bagi remaja untuk bersikap dan berperilaku. Ketidakstabilan emosi dalam menghadapi berbagai masalah saat remaja dapat memicu remaja untuk menutupinya dengan perilaku negatif seperti, berkelahi, keras kepala, melamun, senang menyendiri, menggunakan obat terlarang atau minum-minuman keras dan tawuran. Penelitian dilaksanakan dengan desain deskriptif kuantitatif dengan penggembangan instrumen kuesioner emotional quotient dari berbagai teori oleh peneliti. Penelitian dilakukan terhadap 170 siswa SMA dengan teknik multistage sampling dari berbagai cluster wilayah utara, barat, timur dan selatan Kota Bandung untuk mengetahui tingkat emotional quotient (kecerdasan emosional) remaja. Hasil penelitian menunjukan menunjukan kecenderungan nilai yang hampir sama antara kecerdasan emotional tinggi dan rendah. Kecerdasan emosional tinggi sebesar 51.8% dan kecerdasan emosional rendah sebesar 48.2%. Dari ke lima aspek kecerdasan emosional terdapat dua aspek kecerdasan emosional yang dimiliki oleh remaja dalam kategori rendah yaitu dari 170 responden 96 orang (56.5%) diantaranya memiliki kemampuan mengelola emosi dalam kategori rendah dan dari 170 responden terdapat 101 remaja (59.4%) memiliki motivasi yang rendah. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu dukungan sosial, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, sosio-ekonomi keluarga dan jenis kelamin dari remaja. Hal ini menjadi masukan bagi perawat, keluarga serta pengelola pendidikan remaja untuk meningkatkan kenyamanan secara psikologis pada anak dalam mengenali emosi sendiri untuk meningkatkan kesehatan remaja si masa depan. ABSTRACT Juvenile delinquency can be driven by adolescents instability in managing emotions that lead to violent behavior to their peers and other communities. Emotional quotient is an important indicator for adolescents attitude and behavior. Emotional instability can trigger adolescents to cover up with negative behaviors such as, fighting, stubbornness, daydreaming, joy alone, using drugs or drinking and fighting. The research was carried out with quantitative descriptive and the questionnaire of emotional quotient is the conduct of the various theories by researcher.The study was conducted on 170 high school students with multistage sampling technique from various cluster of Bandung City to describe emotional quotient level of adolescent. Results showed a similar values between the high and low emotional quotient. the High was 51.8% and the low was 48.2%. Of the five aspects of emotional intelligence emotional intelligence there are two aspects in the low category of respondents 96 people (56.5%) of them have the ability to manage emotions in categories and low of 101 teens (59.4%) had low motivation.This is due to several factors like social support, family environment, socio-economic environment of the school, family and sex of teens. Nurse, family and school need to increase the comfort of psychologically on recognizing their emotional quotient to improve their health in the future.
Article
visit Easy Access to Juvenile Court Statistics for the most up to date statistics https://www.ojjdp.gov/ojstatbb/ezajcs/ or the Juveniles in Court section of the Statistical Briefing Book https://www.ojjdp.gov/ojstatbb/court/faqs.asp Counts and trends The number of delinquency cases handled in U.S. juvenile courts remained virtually unchanged from 2000 through 2007. An esti-mated 1.7 million delinquency cases were handled in juvenile courts nationwide in 2007. During the two decades since 1985, however, the juvenile court caseload has been anything but static. From 1985 through 1997, the number of delinquency cases han-dled climbed steadily (61%) and from 1997 through 2007, the delinquency caseload dropped 11%. Juvenile courts handled 44% more cases in 2007 than in 1985. This overall pattern of increase followed by decline and then lev-eling is the result of the trends of various offense categories com-bined. Public order offense cases increased steadily from 1985 through 2007 (142%). Person offense cases increased through 1997 (124%) and then leveled off. Drug law violation cases were relatively flat from 1985 through 1993 (increasing 17%), rose sharply (up 109% from 1993 through 1997), and then leveled off through 2005 (up just 1% from 1997 through 2007). Although these patterns were different, each showed generally increasing trends. In contrast, property offenses showed quite a different trend. Between 1985 and 1992, the number of property offense cases increased 26%. After 1992, the number of property offense cases declined steadily (down 38% from 1992 through 2007). Thus, property offenses were the one general offense category that showed an overall decline from 1985 through 2007 (down 23%).
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kenakalan Remaja pada Siswa-Siswi MAN 2 Model Kota Pekanbaru
  • R P Fitri
  • Y Oktaviani
Fitri, R. P., & Oktaviani, Y. (2019). Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kenakalan Remaja pada Siswa-Siswi MAN 2 Model Kota Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Ibnu Sina (J-KIS), 1(01), 43-49.
Hubungan Sibling Rivalry dengan emotional regulation remaja
  • S Haniyyah
  • T Tarma
  • M Mulyati
Haniyyah, S., Tarma, T., & Mulyati, M. (2019). Hubungan Sibling Rivalry dengan emotional regulation remaja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan), 6(01), 60-65.
Perkembangan regulasi emosi anak dilihat dari peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan
  • R A Khaerunisa
Khaerunisa, R. A. (2020). Hubungan antara Sibling Rivalry dan Kecerdasan Emosi pada Remaja Awal. Universitas Islam Indonesia Nasution, I. N., & Septiani, D. (2017). Perkembangan regulasi emosi anak dilihat dari peran keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Psychopolytan: Jurnal Psikologi, 1(1), 23-30.
Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional pada remaja. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi
  • I F Nur
  • A Ekasari
Nur, I. F., & Ekasari, A. (2008). Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional pada remaja. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 1(2), 15-31.
Kenakalan remaja dan faktor penyebabnya
  • S Prasasti
Prasasti, S. (2017, July). Kenakalan remaja dan faktor penyebabnya. In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling (Vol. 1, No. 1, pp. 28-45).