PreprintPDF Available

Ratio Decidendi dan Kaidah Yurisprudensi

Authors:
Preprints and early-stage research may not have been peer reviewed yet.

Abstract

Istilah ratio decidendi sangat dikenal dalam konteks sistem hukum common law. Secara harfiah istilah tersebut berarti "alasan untuk menjatuhkan putusan" (the reason for the decision). Format dari ratio decidendi di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Dalam sistem common law, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa. Kata 'serupa' di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta-fakta di sini harus merupakan fakta-fakta material (the material facts), yang memang dipakai sebagai basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada kesimpulan. Jadi, ada bagian deskriptif dari ratio decidendi itu yang harus dilihat dan kemudian diperbandingkan antara perkara terdahulu dan perkara yang tengah dihadapi sekarang. Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat, maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih dan memilah putusan-putusan terdahulu, yang notabene telah diklaim sebagai yurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakim yang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi pada perkara terdahulu dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengah dihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidah yurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itu dilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewati dimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwa kaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. -- Tautan: https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH
YURISPRUDENSI
Oleh SHIDARTA (Maret 2019)
Apa itu
“ratio decidendi”
? Istilah ini sangat dikenal dalam konteks sistem hukum
common law
. Secara harfiah istilah tersebut berarti “alasan untuk menjatuhkan
(the reason for the decision)
.
Ratio decidendi,
menurut Michael Zander
dalam bukunya
‘The Law Making Process’
(2004), dapat diartikan sebagai
“A
proposition of law which decides the case, in the light or in the context of the
material facts”
(Suatu proposisi hukum yang memutuskan suatu kasus dilihat dari
sudut atau dari konteks fakta-fakta material).
Jadi, format dari
ratio decidendi
di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam
suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat
pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau
implisit. Hal ini mengingatkan kita pada definisi lain tentang
ratio decidendi
dari
Sir Rupert Cross dalam buku
‘Precedent in English Law’
(editor J.W. Harris, 1991)
yang menyatakan,
“Any rule expressly or impliedly treated by the judge as a
necessary step in reaching his conclusion”
(
Setiap aturan yang tersurat atau
tersirat yang diterapkan oleh hakim sebagai langkah yang perlu dalam mencapai
kesimpulan). Kata “rule” (aturan) di sini mohon dibaca dalam perspektif sistem
common law
di Inggris,!sehingga bukan semata aturan perundang-undangan,
tetapi lebih sebagai proposisi hukum buah dari pertimbangan rasional sang hakim.
Dalam sistem
common law
, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum
utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa.
Kata ‘serupa’ di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta
yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta-fakta di sini harus
merupakan fakta-fakta material
(the material facts)
, yang memang dipakai sebagai
basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada
kesimpulan.
Jadi, ada bagian deskriptif dari
ratio decidendi
itu yang harus dilihat dan kemudian
diperbandingkan antara perkara terdahulu dan perkara yang tengah dihadapi
sekarang. Sebagai contoh, pada putusan terdahulu,
ratio decidendi
yang dibangun
oleh hakim berbunyi: “Setiap penumpang kereta api adalah konsumen yang wajib
mendapat pergantian kerugian secara penuh atas kerusakan barang miliknya akibat
peristiwa anjoknya kereta dari relnya terlepas dari ada atau tidaknya kehati-hatian
penumpang di dalam mengemas barang tersebut.” Di sini terliihat fakta-faktanya
adalah: (1) pihak yang berhadapan di dalam kasus ini adalah penumpang kereta api
dan perusahaan kereta api; (2) objek gugatan penumpang adalah bagasi tangannya
yang rusak; (3) penyebab kerusakan menurut perspektif penumpang adalah karena
anjoknya kereta dari relnya; (4) ada sanggahan dari perusahaan kereta api bahwa
barang itu rusak karena penumpang memang tidak mengemasnya dengan hati-
hati.
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-y...
1 of 5
20/03/22 12.00
Hakim di kemudian hari ternyata menghadapi kasus lain, yang walaupun secara
faktual berbeda, tetap masih berkaitan dengan sengketa hak konsumen. Di sini,
katakanlah konsumennya bukan penumpang kereta api, melainkan penumpang
pesawat terbang. Penumpang tersebut menggugat sebuah maskapai penerbangan
karena bagasi tangannya rusak akibat pesawat mengalami turbulensi di tengah
perjalanan. Apakah ada kesamaan fakta-fakta material dari dua perkara di atas?
Persamaan fakta dari kedua kasus itu kiranya lebih mengemuka daripada
perbedaannya. Walaupun berbeda jenis kendaraannya, keduanya adalah sama-
sama moda transportasi yang melayani masyarakat umum. Anjoknya kereta dari rel
dan turbulensi pesawat terbang juga dua peristiwa dengan karakteristik yang sama.
Setelah deskripsi dari dua perkara ini ditelaah, kita dapat melihat sikap hakim
terdahulu yang ternyata lebih berpihak kepada konsumen. Pertanyaannya adalah:
apakah sikap ini juga bisa digunakan dalam perkara yang baru ini? Di sini ratio
decidendi
menyentuh dimensi preskriptifnya. Pada perkara terdahulu, hakim
mengabaikan ada atau tidaknya fakta bahwa penumpang tidak berhati-hati saat
mengemas barang bawaannya. Jika barangnya berupa pecah belah, misalnya, maka
tidak ada keharusan bahwa konsumen harus menaruh busa di antara barang-
barang itu karena barang-barang itu seharusnya tetap aman (tidak rusak)
seandainya saja kereta api berjalan secara normal. Jadi, penyebab kerusakan bukan
karena faktor pengemasan, melainkan faktor anjoknya kereta dari rel.
Jika hakim memutuskan bahwa ruang lingkup dari proposisi pada perkara
terdahulu dapat dipertahankan, maka berarti ia sudah menyimpulkan bahwa
perkara yang tengah ditanganinya sekarang tetap menggunakan
ratio decidendi
mengikuti perkara terdahulu. Ia tidak beranjak dari
ratio decidendi
yang sudah ada
(stare decisis)
.
Oleh karena dua perkara di atas berangkat dari peristiwa konkret yang berbeda,
maka tentu tidak dapat dihindari pasti ada bagian-bagian dari fakta, atau bahkan
berimbas pula pada pertimbangan hakim terdahulu yang tidak ikut dijadikan
pertimbangan oleh hakim yang mengadili perkara serupa di kemudian hari. Hakim
perlu menyeleksi fakta berikut dengan pertimbangan hukumnya, dan memilih yang
benar-benar material dan relevan saja untuk diikuti. Bagian-bagian yang tidak
diikuti ini disebut dengan
obiter dicta (
bentuk jamak dari:
obiter dictum),
terkadang cukup ditulis singkat dengan kata “dictum”. Harap dicatat, bahwa
dictum
di sini tidak sama maknanya dengan
diktum
dalam arti
amar
!sebagaimana
lazim dikenal di dalam literatur hukum di Indonesia.
Menurut J. Myron Jacobstein dan Roy M, Mersky dalam
‘Legal Reserach
Illustrated’
(1990),”
The ratio decidendi and dictum are sometimes easly identified,
but more often the distinction is subject to interpretation. The determination of
what is the ratio decidendi, and what is dictum, is focus of legal analysis and is
often the critical point of legal argument.”
Mereka juga mengatakan bahwa
obiter
dicta
di dalam sistem
common law
memang tidak mengikat bagi hakim yang
menjatuhkan putusan serupa di masa depan, tetapi mungkin saja ia bersifat
persuasif. Hal ini terjadi karena apa yang dianggap !
obiter dicta
saat sekarang,
kemungkinan berkembang menjadi doktrin baru yang diikuti di masa mendatang.
Doktrin
the due care
(kehati-hatian yang saksama)!dapat saja sekarang menjadi
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-y...
2 of 5
20/03/22 12.00
faktor yang menyelamatkan perusahaan pengangkutan dari kewajiban mengganti
kerugian pada penumpang yang barangnya rusak selama perjalanan. Oleh sebab
itu, misalnya, klarifikasi dan konfirmasi penumpang bahwa ia akan bertanggung
jawab secara pribadi atas keamanan bagasi tangannya atas kondisi apapun, saat ini
sudah cukup menjadi disklaimer yang membebaskan perusahaan dari tanggung
jawab mengganti kerugian. Apabila, misalnya, ada konsumen yang menggugat
dengan dalih bahwa secara faktual hukum pengangkutan penumpang di berbagai
negara sudah memberlakukan asas tanggung jawab mutlak
(strict liability)
, maka
dalih ini akan disingkirkan sebagai
obiter dicta
. Namun, bukan tidak mungkin di
kemudian hari hakim akan mengatakan bahwa teknologi sensor yang
dikembangkan saat itu telah mampu menyortir (dengan standar resmi) semua
barang yang dibawa oleh penumpang, sehingga akan tahu mana bagasi yang aman
dan tidak aman dibawa selama perjalanan. Jika tidak aman, penumpang akan
diwajibkan untuk mengasuransikan barang bawaannya. Dalam kondisi seperti itu,
apabila suatu barang sudah masuk ke dalam moda angkutan bersama penumpang,
maka perusahaan pengangkutan wajib untuk bertanggung jawab secara mutlak.
Dengan demikian, perihal yang semula dipandang sebagai
obiter dicta
, kini justru
diterima sebagai doktrin baru dan dialihkan oleh hakim menjadi
ratio decidendi
dan berimplikasi akan mengikat untuk diikuti oleh hakim-hakim berikutnya.
Dalam praktik di ruang pengadilan pun, khususnya tatkala suatu pengakuan
terdakwa dan/atau keterangan saksi ingin digali lebih jauh, para penegak hukum
yang memeriksa kasus itu cukup lazim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sekilas tidak berkaitan langsung dengan isu sentral dari perkara itu. Namun,
pertanyaan-pertanyaan demikian dapat saja dipandang “berguna” karena dari
rangkaian jawaban-jawaban itu bisa ditarik benang merah guna menambah
keyakinan majelis hakim nanti saat mereka mengambil kesimpulan dan
menjatuhkan putusan. Sebagai contoh, dalam sidang kasus pemerkosaan, hakim
mungkin saja bertanya bagaimana posisi tubuh perempuan ‘korban pemerkosaan’
ketika pelaku dan korban berhubungan badan: apakah ada di atas atau di bawah
tubuh pelaku. Pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak material untuk
membuktikan perbuatan itu pemerkosaan atau bukan
, sehingga kalaupun jawaban
terdakwa dan/atau saksi korban dimasukkan ke dalam putusan, maka jawaban
demikian termasuk ke dalam!
obiter dicta
.
Di Indonesia, istilah
ratio decidendi
memang tidak cukup populer digunakan.
Biasanya kita memakai terminologi lain yang agak mirip dengan itu, yakni kaidah
yurisprudensi. Apabila suatu putusan sudah diklaim atau diberi label sebagai
yurisprudensi, maka harus ada kaidah yurisprudensi yang bisa ditarik dari putusan
tersebut. Kaidah ini harus dapat diformulasikan sebagai proposisi dan di kemudian
hari akan menjadi premis mayor saat hakim menerapkannya dalam pengambilan
kesimpulan. Boleh jadi, proposisi yang dimaksud tidak benar-benar secara eksplisit
tertuang di dalam putusan tadi, namun seperti apapun cara hakim
mencantumkannya, proposisi ini tetap dapat diangkat dan diformulasikan kembali
sebagai sebuah premis.
Sebagai contoh, dalam putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan
dengan nomor perkara!144/Pid/1983/PT.Mdn, majelis hakim yang dipimpin
oleh!Bismar Siregar menjatuhkan putusan yang menghukum terdakwa Mertua Raja
Sidabutar karena melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP) terhadap saksi korban
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-y...
3 of 5
20/03/22 12.00
Katarina Br. Siahaan. Kaidah yurisprudensi yang penting dalam kasus ini ada pada
unsur “barang” yang dinyatakan oleh hakim telah diserahkan oleh saksi korban
kepada terdakwa. Faktanya, barang yang dimaksud adalah kegadisan dari si
korban.
Perlu dicatat bahwa “kegadisan adalah barang” bukanlah kaidah yurisprudensi
karena pernyataan itu adalah kesimpulan dari suatu silogisme. Kita membutuhkan
ratio decidendi, yaitu proposisi yang mengantarkan hakim Bismar Siregar untuk
sampai pada kesimpulan itu. Untuk itu, kita perlu mencari apa premis yang
dibangun oleh hakim untuk mendefinisikan kata “barang” dalam Pasal 378 KUHP
terkait dengan kasus yang sangat terkenal sekaligus kontroversial ini.
Kendati tidak secara eksplisit disebutkan, kita dapat menangkap bahwa Bismar
Siregar telah menetapkan suatu proposisi yang sangat menarik, yaitu bahwa semua
organ tubuh yang menyatu pada diri seseorang adalah barang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 378 KUHP. Pernyataan ini adalah sebuah proposisi yang
berfungsi sebagai premis mayor. Sebab, premis minor yang muncul kemudian
menyatakan bahwa kegadisan adalah organ tubuh yang menyatu pada diri
seseorang (dalam hal ini pada diri Katarina Br. Siahaan). !Konklusi dari silogisme
ini tidak bisa lain kecuali bahwa kegadisan adalah barang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 378 KUHP.
Putusan Bismar ini memang bukan sebuah yurisprudensi karena di kemudian
putusan ini dianulir oleh Mahkamah Agung. Namun, seandainya ia menjadi sebuah
yurisprudensi, maka kaidah yurisprudensinya terletak pada premis mayor itu,
bukan pada premis minornya. Dengan demikian, siapapun hakim yang mengadili
kasus serupa, dapat menggunakannya. Tidak lagi harus berkaitan dengan
kegadisan, melainkan bisa berupa organ tubuh yang lain. Konsekuensinya tentu
saja, organ tubuh seperti jantung dan ginjal pun adalah barang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 378 KUHP.
Apakah secara doktrin kita dapat dan patut memposisikan organ tubuh sebagai
suatu barang? Apakah organ tubuh sama dengan benda sebagai objek dari suatu
hubungan hukum seperti dikenal dalam Buku II KUH Perdata? Apakah kedekatan
‘bonda’
(berarti ‘kelamin’ dalam bahasa Tapanuli) bisa menjadi dasar
pembenaran untuk menganalogikannya dengan kata “benda” dalam konsep KUH
Perdata? !Pertanyaan-pertanyaan ini tentu mengusik nalar hukum kita.
Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat,
maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih dan
memilah putusan-putusan terdahulu, yang
notabene
telah diklaim sebagai
yurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakim
yang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi pada
perkara terdahulu dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengah
dihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidah
yurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itu
dilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewati
dimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwa
kaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. Tidak
layak suatu putusan disebut sebagai yurisprudensi apabila di dalamnya tidak dapat
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-y...
4 of 5
20/03/22 12.00
dilacak adanya penemuan hukum, baik yang memberi tafsir baru (melalui
interpretasi di luar tafsir gramatikal) atau menetapkan norma baru (melalui
konstruksi), yang berbeda dengan ketentuan dari berbagai sumber hukum yang
sudah berlaku saat ini.
Persoalan teknis yang dihadapi saat ini adalah hakim-hakim kita terkadang
mengalami kesulitan untuk mengakses putusan terdahulu itu secara lengkap.
Mereka hanya mendapati nomor putusannya dan sedikit potongan dari kaidah
yurisprudensi itu. Inilah yang kemudian mereka kutip dan ditampilkan dalam
putusannya. Potongan dari kaidah yurisprudensi itupun boleh jadi juga dikutip dari
buku atau putusan hakim lain yang juga mengutipnya secara tidak lengkap.
Bahkan, tidak mengherankan apabila nomor putusan terdahulu itupun ternyata
diketik secara keliru. Ironisnya, tidak banyak pihak yang berminat untuk melacak
akurasi dari kutipan-kutipan kaidah yurisprudensi tersebut dalam tumpukan
putusan-putusan hakim di Indonesia dewasa ini. (***)
RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-y...
5 of 5
20/03/22 12.00
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.