ArticlePDF Available

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

Authors:

Abstract

Character education has been an educational model offered to overcome the moral problem of children in Indonesia. This links with an increase of juvenile delinquency in society. Ki Hadjar Dewantara as one of the national education figures had contributed a lot to the progress of education in Indonesia. In this research, researcher studies about the thoughts of Ki Hadjar Dewantara about education lingking with character education. The result is the thoughts of Ki Hadjar dewantara lead to the importance of the role of the environment, the place where the character is formed, the spirit of leadership and mutual assistance, and the growth of love to the culture of the nation in order to form the successor generations of a good nation in terms of character. Keyword: Pendidikan Karakter, Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar Dewantara.
192
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KONSEP PEMIKIRAN
PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
Irwansyah Suwahyu
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract: Character education has been an educational model offered to overcome
the moral problem of children in Indonesia. This links with an increase of juvenile
delinquency in society. Ki Hadjar Dewantara as one of the national education figures
had contributed a lot to the progress of education in Indonesia. In this research,
researcher studies about the thoughts of Ki Hadjar Dewantara about education
lingking with character education. The result is the thoughts of Ki Hadjar dewantara
lead to the importance of the role of the environment, the place where the character
is formed, the spirit of leadership and mutual assistance, and the growth of love to the
culture of the nation in order to form the successor generations of a good nation in
terms of character.
Keyword: Pendidikan Karakter, Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar
Dewantara.
Abstrak: Pendidikan karakter telah menjadi sebuah model pendidikan yang
ditawarkan dalam mengatasi masalah moral anak di Indonesia. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya kenakalan remaja di masyarakat. Ki Hadjar Dewantara sebagai
salah seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia telah
banyak memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap kemajuan pendidikan di
Indonesia. Di dalam penelitian ini peneliti mengkaji pemikiran-pemikiran Ki Hadjar
Dewantara tentang pendidikan yang memiliki hubungan terhadap pendidikan karakter.
Hasilnya adalah pemikiran-pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengarahkan
kepada pentingnya peran sebuah lingkungan, tempat dimana karakter itu akan
dibentuk, jiwa kepemimpinan dan saling membantu satu sama lain, serta tumbuhnya
cinta kepada budaya bangsa agar dapat membentuk generasi-generasi penerus bangsa
yang baik.
Kata Kunci: Character Education, Thought of Education of Ki Hadjar Dewantara, Ki
Hadjar dewantara.
A. PENDAHULUAN
Zaman sekarang adalah zaman asosiasi antara Timur dan Barat, yakni zaman
adanya hubungan dan percampuran kultur Timur dan kultur Barat. Tidak ada evolusi
(kemajuan) yang tak disertai kemunduran dalam sesuatu hal, baik lahir maupun batin.
Adapun baik dan kejamnya suatu kemajuan adalah tergantung pada pihak yang
mengalaminya (Ki Hadjar Dewantara, 2013: 3). Pendidikan merupakan salah satu
jembatan yang dilalui oleh sebagian manusia dalam menentukan arah kehidupannya.
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 193
Pendidikan diharapkan mampu mengarahkan kehidupan anak nantinya di masyarakat
yang dinamis. Penyimpangan perilaku dan budi pekerti yang terjadi pada seseorang
akan terkena sanksi atau ancaman hukuman oleh lingkungan masyarakatnya (Nurul
Zuriah, 2007: 3).
Sehingga dengan pendidikan yang bermutu, yang menyeimbangkan antara akal
dan jiwa diharapkan para peserta didik mampu diterima serta membangun nilai
kebaikan di masyarakat yang majemuk. Pendidikan menjadi salah satu unsur yang
paling vital dalam menjaga agar bangsa Indonesia ini tetap utuh dan berada dalam
martabat yang tinggi. Dengan pendidikan, anak-anak penerus bangsa ditentukan arah
hidupnya di masyarakat. Karena dengan pendidikan pula diharapkan seorang anak
mampu berkembang secara lahiriah maupun batiniyahnya. Kehidupan yang lurus
mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma yang terarah kepada kondisi kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat adalah kehidupan yang berkarakter (Prayitno
dan Belferik Manullang, 2011: 4). Karakter yang kuat perlu menjadi akar yang tertancap
dalam diri seorang anak. Di Indonesia sendiri, pendidikan menjadi sentra pembangunan
SDM nya. Hal ini dapat terlihat dari perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia
dari zaman ke zaman yang terus mengalami kemajuan. Salah seorang tokoh pendidikan
nasional di Indonesia yang dianggap sangat berjasa terhadap kemajuan pendidikan dan
meletakkan benih-benih pendidikan yang bermoral adalah Ki Hadjar Dewantara.
Konsep pendidikan yang diangkatpun adalah sinergitas antara berbagai macam
unsur-unsur dalam nilai pendidikan yang maksimal pada perkembangan anak, baik itu
akal maupun jiwanya karena melihat kondisi Indonesia pada masa itu yang baru
mendapatkan kemerdekaan, dimana tujuan dari pendidikan di Indonesia yaitu untuk
mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk
negara dan masyarakat (Sumarsono, 1986:147). Berbeda dengan masa sekarang di mana
kesulitan di dalam pendidikan adalah membangun karakter yang baik terhadap setiap
anak.Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya (Heri Rahyubi, 2012:1). Allah telah
menganugerahkan kemampuan manusia untuk berpikir dengan adanya akal yang
diberikan. Namun terkadang akal yang diberikan oleh Tuhan tidak dapat digunakan
secara maksimal untuk berpikir melihat
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha
kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga
anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh
Irwansyah Suwahyu
194 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
kemajuan lahir batin menuju ke arah adab. Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan
adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama
hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter
seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi. Atas dasar itulah
sangat penting untuk melihat sebuah teori-teori yang terdapat dalam dunia pendidikan
yang akan menambah khasanah ilmu pengetahuan seseorang. Sehingga dalam penelitian
ini, akan dibahas tentang pendidikan karakter dalam konsep pemikiran pendidikan Ki
Hadjar Dewantara.
B. RIWAYAT HIDUP KI HADJAR DEWANTARA
Ki Hadjar Dewantara yang sebelumnya bernama Raden Mas Suwardi
Suryaningrat, lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 (Hasbullah, 2013: 266). Ia
berganti nama pada usia 39 tahun. Dialah pendiri Perguruan Tinggi Nasional Taman
Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 (Moh. Yamin, 2009: 168). Saat genap berusia 40
tahun menurut hitungan Tahun Caka, setelah berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya (Zulfahmi, diakses 11 November 2016). Suwardi berasal dari lingkungan
keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam
III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian
sempat melanjutkan pendidikannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di
beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial
(Wikipedia, diakses 11 November 2016).
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial
dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Konggres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi
olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi
multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 195
Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya juga.
Tanggal 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara kemudian mendirikan Taman Siswa
yang awalnya bernama National Onderwijs Instituut (Moh. Yamin, 2009: 169). Dalam
perkembangannya, Taman Siswa mendapat banyak tekanan dari pemerintah kolonial
Belanda pada waktu itu. Seperti pada tahun 1934-1936, adanya kebijakan politik dari
pemerintah Belanda yaitu Orderwijsverbod (larangan mengajar). Jumlah guru yang
menjadi korban akibat keluarnya surat itu berjumlah 60 orang, bahkan ada cabang
Taman Siswa yag ditutup selama satu tahun (Moh. Yamin, 2009: 170). Pada masa
sebelum kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara pindah ke Jakarta karena diangkat menjadi
salah satu pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) bersama dengan Ir. Soekarno, Bung
Hatta, dan Kiai H. Mas Mansoer. Keempat tokoh tersebut disebut Empat Serangkai.
Tahun 1944, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Naimubu Bunkyoku Sanjo (Kepala
Kebudayaan). Pasca kemerdekaan, ia menjadi menteri PPK, anggota dan wakil ketua
Dewan Pertimbangan Agung, anggota Parlemen, dan mendapat gelar doktor honoris
causa (doktor kehormatan) dalam ilmu kebudayaan dari UGM tanggal 26 Desember
1956. Ki Hadjar Dewantara meninggal di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 (Moh.
Yamin, 2009: 171).
C. PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, karakter berarti sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak’
(Saptono, 2011: 17). Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai, yang
menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan (Fatchul Mu’in, 2016: 160). Secara konseptual, lazimnya, istilah ‘karakter’
dipahami dalam dua kubu pengertian. Pengertian pertama, bersifat deterministik. Di sini
karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah
teranugerahi atau ada dari sejak dulu (given). Dengan demikian, ia merupakan kondisi
yang kita terima begitu saja, tak bisa kita ubah. Ia merupakan tabiat seseorang yang
bersifat tetap, menjadi tanda khusus yang membedakan antara orang yang satu dengan
lainnya. Pengertian kedua, bersifat non deterministik atau dinamis. Di sini karakter
dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi
kondisi rohaniah yang sudah given. Ia merupakan proses yang dikehendaki oleh
Irwansyah Suwahyu
196 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
seseorang (willed) untuk menyempurnakan kemanusiaannya (Saptono, 2011: 18).
Karakter memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut (Fatchul Mu’in, 2016: 161-162).
a. Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu pada saat orang lain sedang
melihat kamu” (character is what you are when nobody is looking).
b. Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan (character is
the result of values an beliefs).
c. Karakter adalah sebuah kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua
(character is a habit that becomes second nature).
d. Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh orang lain
terhadapmu (character is not reputation or what others think about you).
e. Karakter bukanlah seberapa baik kamu daripada orang lain (character is not
how much better you are than others).
f. Karakter tidak relatif (character is not relative).
Pendidikan karakter menurut Lickona merupakan suatu usaha yang disengaja
untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai-nilai etika yang inti. Lickona juga membagi komponen-komponen
karakter yang baik sebagai berikut (Thomas Lickona, 2013: 98): Pengetahuan Moral,
Perasaan Moral, dan Tindakan Moral. Inti daripada pembagian ini adalah untuk
memetakan daripada sebuah proses dalam pembentukan karakter. Dimana semuanya
dimulai dari sebuah pengetahuan tentang hal-hal yang baik. Setelah itu, ada sebuah
perasaan yang muncul sebagai efek dari pengetahuan tadi. Dari kedua hal ini, kemudian
muncul sebuah keinginan untuk menerapkannya dalam perbuatan sehari-hari yang pada
akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Pendidikan karakter akan menumbuhkan jiwa yang
baik pada diri tiap individu karena pembentukan karakter akan menghasilkan sebuah
generasi yang baik dalam mencapai keutuhan diri dalam hubungan dengan individu
dengan Tuhan dan juga manusia.
D. TRIPUSAT PENDIDIKAN
Melalui pembaharuan terhadap model pawiyetan (pesantren) yang diproyeksikan
sebagai sistem nasional dan berorientasi pada nilai budaya, kebangsaan, dan kerakyatan,
lahirlah Taman Siswa. Dalam model ini, mencakup tiga wilayah pendidikan yang
dikenal dengan “Tripusat Pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara, seorang guru
ibarat sumur yang jernih (sumber keilmuan yang harus ditimba), sedangkan seorang
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 197
siswa ibarat musafir yang kehausan. Oleh karena itu, bukan guru yang harus datang ke
sekolah-sekolah mendidik siswa, melainkan para siswa yang harus mendatangi rumah
guru, untuk menimba ilmu dan pengalaman darinya (Muhammad Thobroni dan Ali
Musthofa, 2013: 277).
Tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ialah, “di dalam hidupnya
anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting
baginya, yaitu: alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda (Ki
Hadjar Dewantara, 2004: 70). Hal ini yang kemudian dikenal dewasa ini dengan nama
tripusat pendidikan atau trilogi pendidikan.Trilogi pendidikan yang dimaksud oleh Ki
Hadjar Dewantara adalah bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu
menjadi motor pembentukan karakter dan mentalitas anak (Moh. Yamin, 2009: 184).
Tiga unsur di atas memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam membentuk karakter
yang ada pada diri seorang anak (Moh. Yamin, 2009: 186). Pertama, pendidikan
informal atau pendidikan keluarga sangatlah penting untuk membentuk kepribadian
anak. Karena menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa rasa cinta, rasa bersatu, dan lain-lain
perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat bermanfaat terhadap
berlangsungnya pendidikan, terutama pada pendidikan karakter yaitu terdapat pada
hidup dalam keluarga yang sifatnya kuat dan murni yang tidak akan sama dengan
pendidikan yang ada di tempat lain (Ki Hadjar Dewantara, 2004: 71).
Sehingga pendidikan dalam keluarga harusnya mampu menjadi pondasi yang kuat
yang ada dalam diri anak dalam kehidupan yang akan dilaluinya kelak. Menurut Hadi
Sutrisno dalam Moh. Yamin, “membina anak merupakan salah satu tugas yang
menggereja. Pendidikan di dalam keluarga menjadi suatu hal yang penting dan pokok,
sementara di sekolah pendidikan hanya sebagai tambahan karena pendidikan di sekolah
hanya berlangsung beberapa jam saja” (Moh. Yamin, 2009: 188). Sehingga, peran
keluarga begitu vital dalam perkembangan anak. Di dalam ajaran Islam, terdapat banyak
hadis-hadis Nabi tentang pentingnya memberikan pendidikan akhlak bagi anak dalam
kelurga. Peran anggota keluarga sangat dibutuhkan, terutama ayah dan ibu dalam
membantu tumbuh kembang anak ke arah yang positif.
Kedua, alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa
berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta
pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Ketiga, alam pemuda atau alam
kemasyarakatan merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri
Irwansyah Suwahyu
198 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
mengembangkan potensi dirinya. Beberapa hal yang menarik tentang keterangan Ki
Hadjar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan yaitu:
a. Tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja
b. Ketiga pusat pendidikan tersebut harus berhubungan seakrab-akrabnya
c. Bahwa alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan
memberikan pendidikan budi pekerti, agama dan laku sosial
d. Bahwa perguruan sebagai balai wiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan
pendidikan keterampilan
e. Bahwa alam pemuda (yang sekarang diperluas menjadi lingkungan/ alam
kemasyarakatan) sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak atau
karakter dan kepribadiannya
f. Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara ialah usaha untuk menghidupkan,
menambah dan memberikan perasaan kesosialan sang anak
Pandangan yang demikian ini, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang
perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses
pembentukan karakter anak. Justru beliau memandang pendidikan sebagai suatu proses
yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengetahui
kewajiban masing-masing, atau kewajibannya sendiri- sendiri, dan mengakui hak pusat-
pusat lainnya yaitu: alasan keluarga untuk mendidik budi pekerti dan laku sosial. Alam
sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa secara
seimbang. Sedangkan alasan pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasaan diri
dalam pembentukan watak atau karakter.
E. TEORI TRIKON
Selain tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan ajaran
Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan
nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan
konvergensi.
a. Dasar Kontinuitas
Dasar kontinuitas berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu
sifatnya continue, bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan
kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai
baru, garis kemajuan suatu bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus
dari garis asalnya. Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 199
suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan
menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi,
kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina
karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.
b. Dasar Konsentrisitas
Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus
bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan
disekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi
mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan diterima, setelah dicerna dan
disesuaikan dengan kepribadian bangsa. Hal ini merekomendasikan bahwa
pembentukan karakter harus berakar pada budaya bangsa, meskipun tidak
tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik dan selaras
dengan budaya bangsa.
c. Dasar Konvergensi
Dasar konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa,
bersama- sama bangsa lain diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai
kebudayaan kesatuan umat dunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian
atau identitas bangsa masing- masing. Kekhususan kebudayaan bangsa
Indonesia tidak harus ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia (Moh.
Yamin, 2009: 188).
Dari pernyataan diatas bahwa dalam mengembangkan karakter dan membina
kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas)
menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus memiliki dan
membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas).
Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang masuk, harus bersikap
terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak menghilangkan identitas sendiri. Sehingga
masyarakat muda Indonesia tidak hanya ikut berperan serta memanfaatkan teknologi
yang ada, akan tetapi juga ikut menggunakannya ke arah yang positif dan tidak ikut
terpengaruh terhadap hal-hal negatif yang ada. Inilah hal yang ingin dicapai di dalam
pendidikan karakter, yaitu mengikuti perkembangan zaman, namun tidak terbawa arus
zaman.
Irwansyah Suwahyu
200 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
F. TRILOGI KEPEMIMPINAN
Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat
adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Seorang pemimpn harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi
bawahan atau anak buahnya. Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin
harus mampu memberikan suri teladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sebagai
seorang pemimpin harus memiliki sikap dan perilaku yang baik di segala langkah dan
tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buahnya atau bawahannya (Moh.
Yamin, 2009: 194).
Ing Madyo Mangun Karso adalah seorang pemimpin di tengah kesibukannya
harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota
bawahannya. Oleh karenanya, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan
inovasi- inovasi di lingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih
kondusif dan dinamis untuk keamanan serta kenyamanan kerja. Demikian pula dengan
Tut Wuri Handayani artinya memberikan dorongan moral atau dorongan semangat,
sehingga seorang pemimpim harus memberikan dorongan mora dan semangat kerja dari
belakang. Secara tersirat berarti seorang figur pemimpin yang baik adalah yang tidak
hanya dapat menjadi suri tauladan atau panutan bagi bawahan, tetapi juga harus mampu
menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar bawahan
bisa melaksanakan tugas- tugas dan tanggung jawabnya secara utuh dan bukan paksaan,
atau bukan karena mendapatkan tekanan maupun ancaman tertentu dari atasan.
Hal tersebut sama halnya ketika konsep tersebut dimasukkan dalam dunia
pendidikan sebagaimana yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara. Semboyan dalam
pendidikan yang beliau pakai adalah Tut Wuri Handayani. Semboyan ini berasal dari
ungkapan aslinya yakni, Ing Ngarsa Sun Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani. Namun, ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam
masyarakat umum. Arti ketiga semboyan tersebut secara lengkap adalah Tut Wuri
Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan),
Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan
prakarsa dan ide), dan Ing Ngarsa Sun Tulada (di depan, seorang pendidik harus
memberi teladan atau contoh tindakan baik) (Moh Yamin, 2009: 194-195).
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak
didik mencari jalan sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini
merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun.
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 201
Kemajuan anak didik, dengan membiarkan hal seperti itu, akan menjadi sebuah
kemajuan sejati dan hakiki. Namun, kendatipun begitu, membiarkan mereka berjalan
sendiri, bukan berarti tidak diperhatikan atau dipedulikan, pendidik harus mengawasi
kemanakah mereka akan menempuh jalan. Pendidik hanya mengamati, memberi
teguran, maupun arahan ketika mereka mengambil jalan yang salah dan keliru. Oleh
karena itu, dengan menggunakan gagasan Ki Hadjar Dewantara, seorang pendidik harus
mencerminkan sosok yang disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak
didiknya. Seorang pendidik harus memiliki sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh
anak didiknya dengan sedemikian rupa dikemudian hari kelak, baik di lingkungan
sekolah, keluarganya, maupun masyarakatnya. Pendidikan diharapkan menjadi sosok
yang mampu mengubah karakter anak didik dari beringas dan nakal menjadi lemah
lembut dan penuh kesantunan tinggi. Perilaku dalam mendidik di ruangan kelas pun
harus menampilkan sikap diri yang betul-betul membawa kebaikan perilaku sehari-hari
bagi kehidupan anak-anak didiknya.Baik dan buruknya perilaku seorang anak didik
bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan pengajaran
dalam melakukan interaksi sosial baik dalam kelas di sekolah, maupun masyarakat serta
keluarganya (Moh. Yamin, 2009: 196).
Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita
jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Corak pendidikan
menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional
pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki
kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. Hal ini penting untuk
menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya perbedaan. Pemikiran
pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional. Pada awalnya muncul dalam
rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional yang
berdasarkan pada kebudayaan sendiri.
Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan
Nasional. Hal ini diinsyafi benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan
kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu.
Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan
selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan
pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk
membangun karakter bangsa. Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya
Irwansyah Suwahyu
202 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
sebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat
banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu: memberi contoh
(voorbeelt); pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran (wulang-wuruk);
laku (zelfbeheersching); pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa).
Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk membangun
karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan pembiasaan sangatlah
tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Begitu juga pengajaran (wulang-
wuruk) yang disertai contoh tindakan (laku) akan mempermudah peserta didik dalam
menginternalisasi nilai-nilai positif, sebagai bentuk perwujudan karakter. Apalagi
disempurnakan dengan pengalaman lahir dan batin maka menjadi sempurnalah karakter
peserta didik.
G. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN
PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA
Ki Hadjar Dewantara telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa teori-teori tentang pendidikan yamg telah
disebutkan di atas telah memberikan gambaran tentang besarnya perhatian Ki Hadjar
Dewantara terhadap pendidikan. Pendidikan karakter yang mulai menjadi perhatian
beberapa ahli pendidikan saat ini, diharapkan menjadi sebuah terobosan baru dalam
memberikan sebuah hal yang baik bagi para remaja saat ini yang mulai tergerus oleh
kenakalan remaja yang sering disajikan di berbagai media. Karakter yang baik mulai
hilang seiring dengan perkembangan zaman. Berbagai macam kasus yang
mempertontonkan tentang kebrutalan perilaku sebagian remaja menghadirkan sebuah
kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai luhur yang baik bagi para generasi muda bangsa
Indonesia.
Pendidikan karakter yang saat ini sedang diterapkan dalam proses kehidupan
berbangsa dan bernegara yang teraplikasikan di sekolah-sekolah sebenarnya telah sesuai
dengan pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Tripusat Pendidikan, di mana
sebuah lingkungan pendidikan yang telah dipetakan oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi
tiga bagian, menjadi tempat para individu untuk berkembang. Ki Hadjar Dewantara
menyebutkan bahwa tiga tempat tersebut, keluarga, sekolah dan juga masyarakat
menjadi tempat yang sangat mempengaruhi karakter seseorang, karena di lingkungan
itulah mereka akan memainkan perannya masing-masing.
Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ISSN 1410-0053 203
Saat di rumah, seseorang akan berinteraksi dengan anggota keluarga. Di sini,
penanaman nilai-nilai yang baik akan sangat menentukan karakter seorang anak.
Orangtua dan anggota keluarga lainnya memiliki perannya masing-masing terhadap hal
itu. Dari rumah, anak akan berangkat ke sekolah, yaitu sebuah lingkungan baru yang
berbeda dengan lingkungannya di rumah. Di sekolah, dia akan menghadapi situasi yang
berbeda dengan lingkungannya di rumah. Di sekolah sifatnya lebih luas baginya untuk
bergaul, akan tetapi pergaulan dengan teman sebayanya. Di sinilah guru memainkan
peran untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan pada diri anak. Setelah dari rumah dan
sekolah, terdapat lingkungan yang terbuka dan lebih luas, yaitu masyarakat. Di
lingkungan masyarakat ini, anak akan banyak mengalami dan melihat secara langsung
realita kehidupan yang terjadi. Di sinilah diharapkan anak mampu mengaplikasikan
nilai-nilai kebaikan yang telah didapatnya di rumah dan juga di sekolah. Inilah ketiga
lingkungan yang disebut sebagai formal, informal dan non formal menurut Ki Hadjar
Dewantara. Ketiga lingkungan inilah yang akan sangat mempengaruhi pembentukan
karakter dari seorang anak.
Teori Trikon atau dikenal dengan kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi
memiliki tujuan untuk membentuk sebuah karakter yang kuat yang berasal dari budaya
bangsa. Mempelajari kebudayaan bangsa sebagai sebuah hal yang penting untuk terus
diajarkan kepada anak sangat cocok dengan kehidupan saat ini yang mendapatkan
banyak pengaruh yang berasal dari luar. Trilogi Kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara
mengajarkan sebuah semangat gotong royong atau kerjasama dalam mencapai sebuah
tujuan. Pembentukan karakter tidak mengambil peran satu pihak saja. Berbagai macam
unsur sangat berperan di sini. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Ki Hadjar
Dewantara sangat penting dalam pembangunan sebuah karakter.
H. KESIMPULAN
Sesuai dengan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara,
bahwa pendidikan saat ini, harusnya mampu memberikan manfaat nyata bagi
perkembangan peserta didik. Hal ini seperti yang telah ditunjukkan oleh Ki Hadjar
Dewantara pada masa pra dan pasca kemerdekaan dengan Taman Siswanya yang
memperjuangkan pendidikan yang seutuhnya yang harus dibangun dalam diri peserta
didik. Sinergitas yang kuat antara keluarga sebagai atap pertama bagi tumbuh kembang
anak diharapkan mampu memberikan bekal kebaikan yang kuat dan tertanam dalam diri
anak sebelum kemudian masuk ke sekolah sebagai sebuah lembaga formal. Lalu
Irwansyah Suwahyu
204 Insania, Vol. 23, No. 2, Juli Desember 2018
lingkungan masyarakat yang baik akan menjadi pelengkap kehidupan anak menjadi
terarah terhadap tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Guru sebagai fasilitator pun harusnya mampu menjadi teladan bagi para peserta
didiknya dikarenakan dalam dunia pendidikan formal seorang guru memegang kendali
terhadap perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setidaknya guru mampu
memberikan stimulus yang kuat yang dibutuhkan seorang peserta didik dalam proses
pendidikannya. Terakhir, konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara juga memberikan
kita sinyal besar bahwa sejauh manapun seseorang belajar maka dia tidak boleh
melupakan akar budaya bangsanya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjar Dewantara . 2013. Kebudayaan (II), cet. ke-5. Yogyakarta: UST Press.
Hadjar Dewantara. 2004. Pendidikan, cet. ke-3. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Hasbullah. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. ke-11. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Mestoko, Sumarsono, dkk. 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, cet.
ke-2. Jakarta: Balai Pustaka.
Prayitno dan Belferik Manullang. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan
Bangsa. Jakarta: Grasindo.
Rahyubi, Heri. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik.
Majalengka: Referens.
Thobroni, Muhammad, & Ali Mustofa. 2013. Belajar dan Pembelajaran
“Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan
Nasional”, cet. ke-2. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tim Dosen Ketamansiswaan. 2016. Materi Kuliah Ketamansiswaan. Yogyakarta: UST.
Yamin, Moh. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia “Belajar dari Paulo Freire dan
Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persefektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Wikipedia, “Ki Hadjar Dewantara”, dalam www.Wikipedia-Indonesia.com diakses
tanggal 11 November 2016.
Zulfahmi, “Latar Belakang Pemikiran Ki Hadjar Dewantara”, dalam www.blogspot-
Zulfahmi.com, diakses tanggal 11 November 2016.
... Saat ini, Pendidikan karakter yang didasarkan pada kearifan lokal dan budaya sangatlah penting. Ini didasarkan pada teori Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu Pendidikan bertujuan untuk menanamkan segala kekuatan alam pada anak-anak sehingga mereka dapat mencapai kesempurnaan hidup sebagai individu seutuhnya, sehingga menjadi warga negara yang baik dan bermanfaat bagi masyarakatnya (Suwahyu, 2018). Di era globalisasi ini, seringkali nilai-nilai lokal dan tradisional kita terabaikan atau tergantikan oleh budaya asing. ...
Article
AbstrakPendidikan karakter melalui kebudayaan lokal dapat membantu siswa memahami nilai-nilai seperti kerjasama, tanggung jawab, kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap lingkungan dan orang lain. Dengan mempelajari budaya dan tradisi lokal, siswa dapat belajar menghargai keberagaman, menerima perbedaan, dan membangun sikap inklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengembangan kebudayaan lokal Kebumen dalam membangun Pendidikan karakter siswa Sekolah Dasar khusunya siswa di SD N 1 Selogiri. Salah satu contoh kebudayaan lokal kebumen yang mampu membangun pendidikan karakter di SDN 1 Selogiri ini contohnya yaitu Wayang kulit. Metode penelitian ini adalah kualitatif, dan jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan kajian Pustaka. Kesimpulan dari analisis ini adalah Kebudayaan lokal ini berdampak baik bagi perkembangan karakter peserta didik dalam penerapannya. Karena itu, kebudayaan lokal memainkan peran penting dalam membentuk Pendidikan karakter peserta didik, ditunjukan dengan wayang kulit, bagian dari kebudayaan lokal Kebumen dapat membangun pendidikan karakter pada peserta didik di SDN 1 Selogiri melalui penggambaran watak dari tokoh pandawa dan filosofi dari pandawa.Kata kunci: Pendidikan karakter; kebudayaan lokal; sekolah dasar
... Hal senada diungkapkan oleh Said dalam penelitiaanya mengenai pendidikan di Malaysia menyebutkan bahwa untuk menciptakan pemimpin masa depan perlu adanya efektivitas evaluasi kompetensi baik para pendidik di swasta maupun negeri (Said et al., 2020). Permasalahan kualitas pendidikan Indonesia saat ini yakni peningkatan kenakalan remaja maka dari itu pentingnya pendidikan karakter untuk membentuk karakter baik bagi siswa Indonesia sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menyatakan pentingnya sebuah lingkungan untuk membentuk karakter sehingga menciptakan generasi penerus bangsa (Suwahyu, 2018). Dilihat dari pesepsi guru dan calon guru SD menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada dalam kategori cukup.(Aeni, ...
Article
Full-text available
Indonesia telah mengalami perubahan kurikulum dari semenjak kemerdekaan sebanyak 11 kali. Kurikulum di mulai dari Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikukum 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat dan terakhir Kurikulum Merdeka 2022. Perubahan yang terjadi tentunya terdapat reformasi di dalamnya. Masing-masing reformasi kurikulum sesuai dengan kebutuhannya mengikuti perkembangan zaman dari awal kemerdekaan hingga saat ini memasuki masa era industri 5.0. Penelitian ini menggunakan metode Study Literatur Riview (SLR) dengan menggunakan referensi yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reformasi kurikulum yang ada selama ini memberikan kontribusi terhadap kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Keywords: Reformasi, Kurikulum, dan kualitas pendidikan
... With education, human resources can gain knowledge that can be used to solved problems and form a smart and creative generation. Education consists of formal and informal processes that can be used as an investment in human resources to live life (Suwahyu, 2018). Education in Indonesia has the concept of the Father of Education, namely Ki Hajar Dewantara's Leadership Trilogy which consists of Ing Ngarsa Sung Tuladha (in front of setting an example), Ing Madyo Mangun Karsa (in the middle building will or intention), Tut Wuri Handayani (from behind encouraging) which provides a depiction of a leader (Habsa et al., 2018;Trisharsiwi et al., 2020;Arifin & Hermawan, 2022). ...
Article
Full-text available
This research aims to explain of applying Ing Ngarsa Sung Tuladha from Ki Hajar Dewantara’s Trilogy to the leadership of pottery & ceramics crafts SMEs “Dwiyanto Ceramic”, Azka Furniture Bantul SMEs, Rama Putra Motor Bantul SMEs and Community Learning Center (CLC) Ladang Lumadan. This community service method uses direct and remote observation with interview techniques trough the Zoom application. The concept used is the concept of Ing Ngarsa Sung Tuladha to help problems and solusions in leadership to achieve common goals. By conducting socialization and training offline and online. The results of the observation can implement the leadership attitude of Ing Ngarsa Sung Tuladha in pottery & ceramic craft SMEs “Dwiyanto Ceramic”, Azka Furniture Bantul SMEs, Rama Putra Motor Bantul SMEs, and Community Learning Center (CLC) Ladang Lumadan. With this collaboration, it was seen that ineffective leadership methods resulted in solutions with Ing Ngasra Sung Tuladha
Article
Keluarga merupakan lingkungan penting bagi pendidikan anak. Peran orang tua, terutama ayah, krusial dalam mendukung pencapaian akademik anak. Ketidakhadiran peran ayah (fatherless) dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis dan akademis anak. Artikel ini melaporkan hasil kajian sistematik artikel yang diterbitkan antara tahun 2014 dan 2024 dengan fokus pembahasan mengenai dampak ketiadaan peran ayah (fatherless) terhadap pencapaian akademik remaja. Kajian sistematik ini bertujuan untuk mengetahui dampak fatherless terhadap pencapaian akademik remaja. Penelitian ini menggunakan metode kajian sistematik yang mengikuti pedoman PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis) dan menggunakan pangkalan data internasional seperti Google Scholar dan PubMed serta pangkalan data nasional seperti SINTA dan Garuda. Terdapat 30 artikel yang diikutsertakan kemudian diseleksi dengan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Dari 30 artikel, terdapat 4 artikel yang memenuhi persyaratan. Dalam artikel tersebut ditemukan bahwa fatherless memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap pencapaian akademik remaja. Anak-anak yang mengalami fatherless menunjukkan prestasi kognitif yang lebih buruk, nilai ujian yang lebih rendah, dan tingkat kehadiran sekolah yang lebih sedikit. Ketiadaan peran ayah dapat berdampak merugikan pada pencapaian akademik remaja. Diperlukan intervensi yang komprehensif untuk mengatasi dampak fatherless dan mendukung remaja dalam mencapai potensi akademis mereka.
Article
Full-text available
The character and attitude of students is a very essential thing in education. The nature of education is not just transferring knowledge but must be able to change behavior or character for the better. The purpose of this study is to reveal how the teacher's strategy in fostering the character of students during online learning in the scope of SD/MI in the Kalibawang Kulon Progo area. This research was conducted using a qualitative approach, namely by collecting data at several State Elementary Schools (SDN) and Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ma'arif Kalibawang Kulon Progo, Yogyakarta, as well as various sources such as scientific journals, books, and other documents related to analysis of online learning and its impact on the development of attitudes and character of SD/MI students. The results of this study found that online learning is the best alternative as a breaker in the chain of the spread of the Covid-19 outbreak in schools, but still leaves other educational problems, namely the decline in student enthusiasm for learning, the decline in students' personality characters, and not achieving the subject matter completely. In rural areas (Kalibawang), Kulon Progo, there are several factors that lead to a decline in the personality character of students, including the teacher's lack of intense monitoring of student development due to online learning, the economic condition of the community, namely parents who are busy making a living so that children are not monitored. good educational development, as well as free association children can interact with whoever they want, so it affects the pattern of the character. Therefore, to overcome this, the school rolled out several programs, as well as building communication and cooperation with the parents of students to jointly monitor and supervise the growth and development of their children's education.
Article
This paper contains the results of a study on cultural criticism of school education morality. The school is a complete and structured educational center. The school becomes one of the complete educational centers and structures. As a whole, schools require mutual involvement between teachers and students to achieve certain goals. The integrity of the role is then supported by a structured process, starting from planning, implementation, to the process of monitoring and evaluation. The purpose of this research is to find out the criticism of the moral culture of school education according to Neil Postman and Azyumardi Azra, and to find out the construct of the idea of a culture of morality in school education according to Neil Postman and Azyumardi Azra. This study uses a type of qualitative research literature (Library Research). The method used in this study uses an interpretive approach, the researcher tries to reveal and identify the culture of morality in school education according to the thoughts of Neil Postman and Azyumardi Azra, so that all ideas, and the work of Neil Postman and Azyumardi Azra regarding Morals can be known. Sources of data in this study using two sources, namely, primary data sources and secondary data sources. Therefore, the sources of data collected in this study are documents related to the thoughts of Neil Postman and Azyumardi Azra about school education. The results in this study are that, in criticizing the culture of morality, Postman discusses at least five important things, including: In criticizing morality culture, Postman discusses at least five important things, including: (first) Teachers do not appear as top figures, (second) Children are not given critical thinking space, (thirth) The reality of rapidly developing technology, (four) Schools are only limited to fulfilling profession. Azra's thoughts on morality culture explain how education can liberate humans from physical work that shackles human nature to develop. Azra becomes exposed to his cultural critique of morality into several parts. (first) The orientation of education on the formation of artisans, (second) Education takes place in a schooling system. (thirth) Rigid school formalism.
Article
Full-text available
A parenting approach is used by Islamic boarding schools to raise generations with Islamic values. 24-hour complete life education is inextricably linked to the parenting approach used to mold the character of female students. This study aims to describe parenting patterns in shaping the character of female students, which includes parenting patterns in shaping the character of female students and methods for character development for female students at PMD Gontor Putri Campus 1. This study employs descriptive qualitative research methods. Interviews, observation, and documentation are all forms of data collecting, while strategies for data analysis include data reduction, data presentation, and conclusion-drawing. First, the study's findings indicate that there are four factors that influence parenting success and how it affects how female students behave. Second, in order for parenting styles to be successfully applied in developing students' character, a method must be used. The third strategy is to integrate three educational institutions (family, school, and community education) into one program to accomplish educational objectives in the development of female students' character. This strategy aims to create an integrative, comprehensive, and independent education system.
Article
Full-text available
This study aims to: 1) analyze the character of students in everyday life in SD IT throughout Southeast Aceh district. 2) analyzing the implementation of project-based learning in building the character of IT SD students in Southeast Aceh district. 3) analyzing the supporting and inhibiting factors of teachers in implementing project-based learning in order to shape the character of IT SD students in Southeast Aceh district. This research is a qualitative research that produces descriptive data. To examine the problems that have been formulated, literature study is used. The research data sources are in the upper groups: 1) The primary data in this study are data obtained from events in the research or from existing witnesses, such as interviews with school principals, teachers, and all relevant participants. 2) Secondary data in this study are documents, articles or relevant scientific work and others related to research. SDIT Aceh Tenggara District is diverse, some have good character such as honesty, discipline, courage, responsibility, and others, but there are also those who are not good, such as lying, lazy, and so on. 2) The implementation of Islamic Religious Education learning with the Project-Based Learning Model at SDIT Aceh Tenggara District is made up of several groups, usually 6 groups, but there can be less than 6 groups because it is adjusted to the number of students present when participating in Islamic Religious Education learning activities in class. So this makes students enjoy learning Islamic Religious Education, it can be seen that students have good motivation to learn in participating in debate activities even though some students are busy alone, some are playing alone, and so on, however, students and teachers remain enthusiastic in problem-based learning in the classroom. 3) Supporting factors in implementing project-based learning in building character at SDIT Aceh Tenggara include: a) Subject teachers who are professionals in their fields. b) There is student enthusiasm in participating in project-based learning, c) Positive student motivation, and adequate educational facilities. While the inhibiting factors include: a) Obstacles that arise from students are not many students who are able to think critically and do not dare to express their opinions. b) Teachers who do not understand the Project-Based Learning method. c) Lack of teacher motivation and enthusiasm in teaching, d) Lack of teacher ability to lead students to a problem. e) Barriers related to learning time.
Article
Full-text available
This study explores the role of Islamic education in shaping student character in the context of the modern era, particularly amidst the challenges of Industry 4.0. Utilizing a qualitative methodology with a literature review approach, this research delves into historical perspectives on character, Islamic viewpoints on human nature, and contemporary learner characteristics, especially among Generation Z. Character in Islamic education is conceptualized as an amalgamation of innate traits and environmental influences, as reflected in Islamic teachings and the tripod theory of education. The study uncovers four primary streams of character formation - Fatalistic-Passive, Neutral-Passive, Positive-Active, and Dualistic-Active, aligning with Islamic teachings on children's innate purity and environmental impact. The analysis reveals that the rapid technological advancements characteristic of Industry 4.0 pose significant challenges to student character, leading to moral and ethical dilemmas. Islamic education emerges as a crucial tool for instilling values such as sincerity and respect for teachers while internalizing Islamic values within familial settings. The study emphasizes the need for an integrated educational approach that balances academic pursuits with character development, adapting Islamic education to modern challenges while retaining its core values. It contributes to the discourse on education, highlighting the role of religious teachings in contemporary educational practices. Recognizing its limitations, the study suggests further research into the application and long-term impact of character education across diverse educational settings.
Kebudayaan (II), cet. ke-5
  • Hadjar Dewantara
Hadjar Dewantara. 2013. Kebudayaan (II), cet. ke-5. Yogyakarta: UST Press.
Pendidikan, cet. ke-3. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
  • Hadjar Dewantara
Hadjar Dewantara. 2004. Pendidikan, cet. ke-3. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. ke-11. Jakarta: RajaGrafindo Persada
  • Hasbullah
Hasbullah. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, cet. ke-11. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, cet. ke-2
  • Sumarsono Mestoko
Mestoko, Sumarsono, dkk. 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, cet. ke-2. Jakarta: Balai Pustaka.
Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa
  • Belferik Prayitno Dan
  • Manullang
Prayitno dan Belferik Manullang. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Grasindo.
Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik
  • Heri Rahyubi
Rahyubi, Heri. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik. Majalengka: Referens.
Belajar dan Pembelajaran "Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional
  • Muhammad Thobroni
  • Ali Mustofa
Thobroni, Muhammad, & Ali Mustofa. 2013. Belajar dan Pembelajaran "Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional", cet. ke-2. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Menggugat Pendidikan Indonesia "Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
  • Moh Yamin
Yamin, Moh. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia "Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persefektif Perubahan
  • Nurul Zuriah
Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persefektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.
Latar Belakang Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
  • Zulfahmi
Zulfahmi, "Latar Belakang Pemikiran Ki Hadjar Dewantara", dalam www.blogspot-Zulfahmi.com, diakses tanggal 11 November 2016.