Available via license: CC BY-SA
Content may be subject to copyright.
Ilmu Ushuluddin, December 2017, hlm.161-178 Vol. 16, No. 2
p-ISSN 1412-5188/ e-ISSN 2549-3752
RETHINKING
PEMIKIRAN A. MUKTI ALI
(Pendekatan
Scientific-Cum-Doctrinaire
dan
Konsep
Agree in Disagreement
)
Muna Hayati
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Diterima tanggal 14 November 2017 / Disetujui tanggal 29 Desember 2017
Abstract
This biographical reseach discusses about A. Mukti Ali, a Moslem intellectual from Cepu. It describes the
role of A. Mukti Ali in Islamic studies that cannot be underestimated. There are two keywords that can be
associated with it, namely the comparison of religion and religious research. It offers the so-called agree in
disagreement (agreement in disagreement) in order to realize the harmony of life among religious people. The
purpose of the expression is that religion is different from one another, but in addition, there are equations.
Based on the understanding of similarities and differences, inter-religious dialogue must be implemented.
Then he also offers religious research that emphasizes two things at once: the first is the importance of Islamic
normative teaching, the second is the assertion that religious researches which only rely on normative stock
will not be able to understand the actual phenomenon of Islam and Muslims, therefore other sciences become
demands and not can again be underestimated.
Kata kunci: etika, kebaikan, kebahagiaan.
Pendahuluan
Sebelum munculnya pembaruan pemikiran dalam menumbuhkan sikap terbuka
terhadap perbedaan, situasi intern umat Islam Indonesia diwarnai dengan pengajaran
keagamaan yang lebih terpaku pada fikih. Pengajaran agama hanya terbatas pada tokoh-
tokoh tertentu. Akibatnya, pemahaman dan pemaknaan agama terbatas pada paham tertentu
secara sempit dan parsial serta muncul kecenderungan fanatisme kelompok yang berlebihan.
Di samping itu, tradisi keilmuan yang menonjol terpusat pada tokoh-tokoh tertentu,
pengembangan tradisi menghafal dan eksplanasi buku-buku tokoh tertentu. Hal tersebut
jelas tidak mendorong munculnya pemahaman keagamaan yang modern, terbuka, sesuai
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
162
dengan konteks situasi dan kondisi umat serta tidak mencerminkan watak agama yang
universal.
1
Dalam situasi sebagaimana digambarkan di atas, telah melahirkan seorang
pembaru, yaitu A. Mukti Ali, pribadi yang mampu mensintesiskan: sintesis antara ketaatan,
kesalehan dan kecendekiaan; sintesis antara saintifik dan doktriner; sintesis antara ulama dan
intelektual; dan sintesis antara tradisional dan moderen, hal inilah yang seringkali terlontar
ketika menggambarkan sosok A. Mukti Ali. Ia seorang cendekiawan muslim Indonesia yang
memiliki reputasi nasional dan internasional, yang telah memberikan banyak sumbangan
berharga untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada umumnya, terlebih
khusus Ilmu Perbandingan Agama yang menjadi keahliannya.
2
Sebagai tokoh yang menekankan pentingnya pemahaman keagamaan secara tepat
dengan mengenalkan pendekatan yang bersifat scientific-cum-doctrinaire, yaitu memadukan
pendekatan normatif dengan historis-sosiologis-antropologis-psikologis, A. Mukti Ali,
bersama Harun Nasution, dianggap sebagai peletak dasar model-model pendekatan dalam
studi Islam yang berkembang di PTAI atau Indonesia pada umumnya.
3
Ia juga merupakan
tokoh penting peletak dasar dialog dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
4
Obsesinya adalah ingin membangkitkan dialog antaragama dalam rangka menghilangkan
kecurigaan antar umat beragama. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan untuk
menumbuhkan toleransi terhadap perbedaan agama.
5
Biografi A. Mukti Ali
A. Mukti Ali memiliki nama kecil Boedjono, lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu
pada tahun 1923 dalam keluarga yang berkecukupan. Desa tempat tinggalnya dulu terkenal
sebagai daerah saudagar. Ayahnya, H. Abu Ali merupakan saudagar tembakau terbesar di
Cepu, seorang yang sangat takzim kepada para ulama atau kyai. Ibunya bernama H.
Khadidjah, adalah seorang ibu rumah tangga, sekaligus penjual kain.
6
1
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), 8.
2
Kata Pengantar dalam Djam’annuri (ed.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), xiv-xvi.
3
Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam; Teori, Metodologi, dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2010), 120.
4
Faisal Ismail, “Mukti Ali, Peletak Dasar Dialog dan Kerukunan”, Kedaulatan Rakyat, 30 Mei 2011.
5
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 8.
6
M. Damami dkk, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan” dalam Djam’annuri
(ed.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat, 4-6.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
163
Boedjono kecil yang memiliki saudara sebanyak enam orang, tiga pria dan tiga
wanita, hidup dalam suasana perdagangan yang mendidik orang untuk mandiri dan tidak
diatur oleh orang lain. Ayahnya selalu mengajarkan kepada putera-puterinya untuk berusaha
menjadi orang yang berkecukupan, karena kemiskinan merupakan penghambat sekian
banyak keinginan kita. Mereka dibentuk menjadi pribadi yang tidak menjadi beban bagi
orang lain, justru harus menjadi penolong bagi yang membutuhkan. Falsafah inilah
kemudian mempengaruhi pandangannya dalam mendidik anak-anaknya, termasuk A. Mukti
Ali. Dia tidak membatasi anak-anaknya hanya untuk mempelajari ilmu agama saja, tetapi
juga mempelajari ilmu-ilmu lain menjadi suatu keharusan. Bagi ayahnya, yang terpenting
adalah anak-anaknya menjadi orang yang berkecukupan dan saleh hidupnya. Suasana desa
yang penuh keakraban dan kesederhanaan, serta suasana hidup berdagang dan suasana
agamis di masa kecilnya inilah yang membentuk kepribadian Boedjono muda di kemudian
hari.
7
Mukti Ali merupakan sosok intelektual Muslim yang visioner, pluralis, disiplin, serta
sangat menghargai ilmu.
8
Pada masa kecilnya, sebagaimana kebiasaan di zaman dulu, pagi
hari, anak-anak belajar pendidikan formal, dan sorenya diisi untuk mengaji di surau atau
rumah kyai terdekat. Hal ini pulalah yang dijalani oleh Boedjono kecil. Pada pagi hari dia
sekolah di sekolah Belanda, dan sore harinya mengaji kepada Kyai Usman di Cepu. Selepas
lulus dari ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaar Examen), dia dikirim oleh ayahnya ke
Pondok Pesantren Tremas, Pacitan.
9
Selepas menyelesaikan pendidikannya di pesantren, A. Mukti Ali mendaftarkan
dirinya di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta sebagai mahasiswa pendengar. Setelah
STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), A. Mukti Ali kemudian meneruskan
studinya di Fakultas Agama.
10
Belum lagi studinya di UII rampung, ia disuruh oleh ayahnya
untuk menunaikan ibadah haji. Ia kemudian berencana untuk menuntut ilmu di Mekkah,
dan mengambil konsentrasi Sejarah Islam di Fakultas Bahasa Arab Universitas Karachi
Pakistan. Ia berhasil memperoleh gelar doktor pada tahun 1955, setelah lima tahun lamanya
berada di Pakistan. Ketika mempersiapkan kepulangannya ke tanah air, A. Mukti Ali
7
M. Damami dkk, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 4-6.
8
Azyumardi Azra & Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politi (Jakarta: PPIM, 1989),
273.
9
Ketika nyantri di pesantren inilah penggantian namanya terjadi. Pada suatu ketika, salah seorang kyai
di Tremas, yaitu Kyai Abdul Hamid Pasuruan yang nama kecilnya sebelum menjadi seorang kyai adalah Abdul
Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono dan menyuruhnya untuk mengganti namanya dengan Abdul
Mukti. Sejak itulah dia mengubah namanya menjadi Abdul Mukti Ali yang diambil dari nama gurunya dan
potongan nama ayahnya. M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 7-9.
10
M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 22.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
164
mendapatkan kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa dari Asia Foundation untuk
melanjutkan studi di McGill University, Montreal, Kanada. Ia kemudian mendaftar di
Institute of Islamic Studies.
11
Selama menuntut ilmu di Kanada, ada satu program perkuliahan yang sangat
diminati olehnya, yaitu tentang Pemikiran Islam Modern yang diasuh oleh Prof. Wilfred
Cantwell Smith. Ada dua poin yang membuat A. Mukti Ali tertarik dengan cara pengajaran
Prof Smith, pertama adalah metode penyajian perkuliahan, dan kedua adalah caranya dalam
melakukan analisis. Smith melakukan aplikasi pendekatan komparatif (perbandingan), yaitu
dengan melihat sesuatu dari berbagai aspek. Inilah yang disebut dengan pendekatan holistik.
Lewat cara analisis Smith ini, akhirnya A. Mukti Ali menemukan metode ilmu yang dicari-
carinya selama ini. Akhirnya dalam dua tahun ia berhasil menyelesaikan program masternya
pada tahun 1957 dan memperoleh gelar Master of Arts (M.A.), lalu kemudian ia pulang ke
tanah air.
12
Metodologi studi agama yang terinspirasi dari Smith diakui oleh Mukti Ali telah
mengubah jalan pikiran bahkan sikapnya dalam memahami hidup, terutama terkait dengan
metodologi studi agama serta perhatiannya terhadap problem kerukunan antarumat
beragama. Hal ini kemudian dia perkenalkan dan kembangkan sekembalinya ke Indonesia,
baik ketika bertugas sebagai dosen maupun Menteri Agama.
13
Mukti Ali merupakan penulis yang kreatif dan produktif yang setidaknya telah
menghasilkan tigapuluh karya ilmiah. Ia mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama
“Jajasan Nida” yang diambil dari nama puteri kesayangannya, Nidatul Hasanah, untuk
mempublikasikan sejumlah karyanya. Diantara sejumlah karyanya adalah sebagai berikut:
Asal Usul Agama, Ilmu Perbandingan Agama dan Metodosnya, Ke-Esaan Tuhan dalam Alqur’an,
Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi
Agama Islam, The Spread of Islam in Indonesia, An Introduction to the Government of Acheh’s
Sultanate, Pelbagai Persoalan Islam di Indonesia Dewasa Ini, Agama dan Pembangunan di Indonesia,
Ibn Khaldun dan Asal Usul Sosiologi, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Dialog Antaragama,
dan Beberapa Pertimbangan tentang Peningkatan Mutu IAIN dan Kurikulum.
14
Sesampainya di Indonesia pada tahun 1957, A. Mukti Ali bekerja di Djawatan
Pendidikan Agama Departemen Agama sambil mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, IAIN
Jakarta, Universitas Islam Djakarta (UID) dan IKIP Muhammadiyah. Ketika IAIN Jakarta
11
M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 25-27.
12
M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 28-29.
13
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 21-22.
14
Faisal Ismail, “Paving the Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony: Following
Mukti Ali’s Path” Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 50, No. 1, 2012 M/1433 H, 159.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
165
berdiri, ia diangkat menjadi Sekretaris Fakultas Adab pada tahun 1960 dan kemudian pada
tahun 1961 ia diminta untuk membuka Jurusan Perbandingan Agama sebagai salah satu
jurusan yang ada di Fakultas Ushuluddin lalu ia pun menjadi Ketua Jurusannya.
15
Selang beberapa lama, pada tahun 1964 A. Mukti Ali dipindah ke IAIN Yogyakarta
dan menjadi Wakil Rektor Bidang Akademis Urusan Ilmu Pengetahuan Umum. Selain
mengajar di IAIN, dia juga mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), IKIP Negeri
Yogyakarta, Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta, AKABRI Magelang, AU
Adisucipto, dan SESKAU Bandung. Hingga pada tahun 1971, A. Mukti Ali diangkat
menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.
16
Pemikiran A. Mukti Ali
Dari sekian banyak pemikiran A. Mukti Ali, ada dua hal yang menjadi fokus dalam
pembahasan tulisan ini, yaitu mengenai pendekatan scientific-cum-doctrinaire atau metode
sintesis dalam memahami agama Islam serta mengenai Ilmu Perbandingan Agama dan
konsep agree in disagreement.
1. Metodologi Ilmu Agama Islam
a. Fenomena Dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Masa modern merupakan suatu tonggak peradaban manusia yang berbeda dari
masa-masa sebelumnya, yaitu klasik dan tengah. Masa modern utamanya ditandai oleh
pandangan hidup sekuler yang berawal dari pertarungan antara kaum gereja dan kaum
ilmuwan di Eropa Barat. Paham sekuler tersebut mendasarkan pemikirannya pada
konsep: agama urusan gereja, politik urusan negara.
17
Secara umum, modernisme yang ditandai oleh sekularisme dipandang
mengancam eksistensi agama, tak terkecuali agama Islam. Hal ini antara lain dapat dilihat
dalam dunia pendidikan, yang merupakan sarana stratregis untuk masa depan umat,
salah satunya dalam karya Yadullah Kazmi yang berjudul Islamic Education: Traditional
Education or Education of Tradition? Kazmi memberikan gambaran adanya dikotomi dalam
dunia pendidikan antara ilmu agama dan ilmu umum yang kemudian menjadi ciri di
hampir seluruh dunia Islam termasuk Indonesia.
18
Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama
itu dilandaskan pada tawhidiq system, yaitu menempatkan Allah Swt. sebagai awal dan
15
M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 29-30.
16
M. Damami, “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan”, 30-31.
17
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: SUKA Press, 2013), 63.
18
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 67.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
166
akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, integrasi dilakukan antara ilmu agama, seperti
antara ayat yang tertulis dalam al-Qur’an (qawliyah) dengan ayat yang tidak tertulis
(kawniyyah). Pada masa awal Islam, integrasi keduanya selalu menjadi ciri kegiatan
akademik para ilmuwan Islam, begitu juga sejumlah pemikir Barat. Sayangnya, masa
Barat modern membawa kegiatan akademik dan intelektual pada penekanan pentingnya
yang kawniyyah dan seringkali menafikan yang qawliyyah.
19
Umat Islam lebih banyak
terekspos dengan literatur Barat yang dikotomik dan menekankan pada positivisme dan
empirisme dan sedikit sekali yang mengenal kegiatan akademik dalam tradisi Islam yang
bersifat integratif antara kawniyyah dan qawliyyah. Akibatnya, kegiatan penelitian saat ini
lebih dipahami sebagai kegiatan di lapangan dan jarang sekali yang berangkat dari ayat-
ayat al-Qur’an.
20
Akhirnya inilah yang disebut dengan paham sekulerisme.
Perkembangan sekularisme seperti disebut di atas telah melahirkan sejumlah
kekhawatiran dan kemudian muncul sejumlah antisipasi terutama menyangkut relasi
agama dan ilmu yang perlu dibangun kedepan. Berdasarkan situasi dan kondisi global
saat ini, abad ke-21 cenderung dilihat sebagai pembalikan (turning-point) dari masa
modern dan sebagian orang menyebutnya sebagai post-modern atau anti-tesa terhadap
masa modern. Post-modern ditandai dengan kembalinya agama ke dalam semua aspek
kehidupan. Pemisahan agama dengan aspek kehidupan manusia semakin dikritisi,
bahkan dikotomi ilmu dan agama serta ilmu agama dan ilmu umum dipandang tidak lagi
relevan.
21
Problem dikotomi ilmu, menurut Fazlur Rahman, tidak dapat diselesaikan hanya
dengan mensejajarkan apa yang selama ini disebut dengan ilmu agama dan ilmu umum.
Persoalan dikotomi ini bagaikan lingkaran setan. Untuk keluar dari lingkaran setan,
diperlukan upaya untuk memisahkan secara tegas antara Islam normatif pada satu sisi
dan Islam historis pada sisi lain. Ketika mencoba memahami pikiran Rahman ini, Simuh
-dalam tulisannya yang berjudul Masalah Dikotomi dalam Pendidikan Agama- mengatakan
bahwa kesulitan yang dialami dalam pendidikan agama selama ini adalah kegagalannya
dalam membawa peserta didik dari berpikir Islam normatif menuju Islam historis, yang
ia maknai sebagai pendidikan Islam dengan berpikir ilmiah. Simuh kemudian menyebut
scientific-cum-doctrinaire yang diajukan oleh A. Mukti Ali sebagai langkah kongkret dalam
implementasi pemikiran Rahman.
22
19
Itulah yang seringkali dikenal dengan empirisme atau positivisme: yang ada, yang nyata dan yang
benar itu hanyalah yang bisa diindera dan dirasakan (mahsusi) dan menolak yang gaib atau metafisik (ma’quli).
Lihat: Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 84.
20
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 84.
21
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 76.
22
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 87.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
167
b. Metode dalam Memahami Agama Islam
Dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Agama Islam, A. Mukti Ali
pertama-tama mengungkapkan betapa pentingnya sebuah metodologi dalam sejarah
pertumbuhan ilmu. Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan Eropa
menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Akan tetapi,
keadaan tersebut kemudian berubah menjadi kebangkitan revolusioner yang multi-fase
dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah hidup serta kehidupan manusia dan
sosial. Ali Syari’ati menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan
stagnansi di Eropa adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles.
23
Kita melihat sejarah peradaban Yunani melahirkan banyak orang jenius dalam
abad ke-4 dan ke-5 sebelum masehi. Umat manusia sangat terpengaruh oleh pemikiran-
pemikiran mereka hingga saat ini. Akan tetapi, seluruh Athena tidak sanggup untuk
menciptakan roda; sedangkan dalam Eropa modern seorang teknisi biasa yang bahkan
tidak dapat memahami tulisan-tulisan Aristoteles dan murid-muridnya telah
menciptakan ratusan karya-karya orisinal. Hal ini terjadi karena mereka telah
menemukan metode berpikir yang benar. Dengan menggunakan metode yang benar,
orang yang kecerdasannya biasa saja mampu menemukan kebenaran; sedang pemikir-
pemikir jenius tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya tersebut apabila tidak
mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-
masalahnya. Berangkat dari pandangan di atas, maka A. Mukti Ali menyatakan bahwa
kita harus mencari metode yang paling baik dalam mempelajari Islam.
24
Islam merupakan agama yang multi-dimensi, sehingga satu metode saja tidak
dapat dipilih untuk mempelajari Islam. Islam memiliki dimensi yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dipelajari dengan menggunakan metode
filosofis, dimensi yang berkaitan dengan masalah kehidupan manusia di muka bumi yang
dipelajari dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam, dimensi yang berkaitan dengan
pembentukan masyarakat dan peradaban yang dipelajari dengan menggunakan metode
historis dan sosiologis, serta dimensi-dimensi lainnya. Oleh karena Islam adalah agama,
maka metode-metode di atas harus ditambah dengan metode doktriner. Singkatnya,
mempelajari Islam dengan segala aspeknya tidak cukup dengan menggunakan metode
ilmiah saja, tidak cukup pula hanya dengan jalan doktriner saja.
25
23
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 27-28.
24
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, 28-29. Orang yang dapat menemukan metode berpikir
yang benar akan dapat menemukan kebenaran. Kejeniusan seseorang akan sia-sia jika ia tidak mengetahui
metode yang benar dalam melihat sesuatu dan dalam memikirkan masalah. Lihat Taufik Abdullah dan Rusli
Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 44-45.
25
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, 31-32.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
168
Berdasarkan pengamatan A. Mukti Ali, selama ini pendekatan terhadap agama
Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli ilmu pengetahuan –termasuk dalam hal ini para
orientalis- mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitiannya
tersebut menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh, yang mereka
ketahui hanya segi-segi luar dari Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa
memahami ajaran Islam dengan cara doktriner dan dogmatis, sering sekali tidak
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Akibatnya,
penafsirannya tersebut sulit diterapkan di masyarakat. Inilah yang menyebabkan orang
lain memiliki kesan bahwa Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan masa
kini. Untuk itulah maka menurutnya harus dipergunakan pendekatan menyeluruh
terhadap agama yang disebut scientific-cum-doctrinaire, atau yang disebut juga dengan
pendekatan integral, holistik, komprehensif, religio-scientific, ilmiah-agamais, serta sintesis
26
sesuai pernyataan A. Mukti Ali:
Pendekatan terhadap agama sekarang ini ada dua, dan akan saya tambahkan lagi
sehingga menjadi tiga. Yang pertama adalah scientific, bagaimana mendekati
agama secara ilmiah, yaitu dengan pendekatan antropologis, sosiologis, historis,
atau filosofis. Yang didapat adalah tingkah laku orang beragama. Pendekatan
pertama ini saya tolak karena tidak cocok. Pendekatan kedua adalah secara
dogmatis yaitu yang ada pada umumnya digunakan di pesantren-pesantren.
Mengapa begini? Mengapa begitu? Sebab al-Qur’an maupun Hadis bilang begitu.
Bagi saya yang ideal adalah menggabungkan keduanya, ilmiah plus doktriner. Ya
secara sosiologis tetapi juga Qur’ani, secara antropologis tetapi disertai
penjelasan Hadis, secara filosofis dan Qur’ani. Inilah pendekatan sintesis atau
integral yang saya kembangkan.
27
Pendekatan scientific-cum-doctrinaire yang ditawarkan oleh Mukti Ali
mengombinasikan pendekatan normatif dan pendekatan empiris dalam studi Islam.
Dengan menggunakan pendekatan ini, Islam dapat dianalisa dan diinterpretasikan secara
doktriner, historis dan empiris. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ia tidak
menggunakan pendekatan normatif semata dalam studi Islam karena karena pendekatan
ini hanya merujuk kepada teks-teks keagamaan dalam memahami Islam. Pendekatan
normatif seharusnya dikombinasikan dan diintegrasikan dengan pendekatan empiris,
26
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 1987), 322-323. Lihat juga A.
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, cet. IX (Bandung: Mizan, 1997), 79. Menurut Akh. Minhaji,
dalam metode doktriner akan melahirkan hasil yang maksimal jika penelitinya mengenal dan memahami ajaran-
ajaran Islam. Di sinilah pentingnya posisi perguruan tinggi agama dalam pelibatan dirinya dalam studi dan
penelitian agama. Lihat: Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam; Teori, Metodologi, dan Implementasi, 125.
27
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 98.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
169
dengan mempertimbangkan dan memahami kondisi sejarah, sosial dan budaya dalam
mempelajari dan menganalisis Islam dalam kehidupan masyarakat.
Ketika Islam datang dan mulai berinteraksi dengan kehidupan sebuah kelompok
masyarakat, tentunya mereka telah memiliki tradisi dan budaya karena mereka telah
terlebih dahulu ada di sana. Oleh karena itu, Islam, tradisi lokal dan budaya asli pribumi
berbaur dalam proses akulturasi. Dengan menggunakan pendekatan scientific-cum-
doctrinaire, Islam dapat dieksplorasi dari sejumlah pendekatan interdisipliner dan dari
sejumlah dimensi yang tidak dapat dipisahkan atau dipandang sebelah mata. Mukti Ali
menyebut pendekatan ini dengan pendekatan holistik.
28
Pada prinsipnya pendekatan scientific-cum-doctrinaire tersebut bukan merupakan
sesuatu yang baru, karena sudah dilakukan oleh para ulama dalam tradisi ilmu keislaman
sebelumnya yang dikenal dengan kajian asbabun nuzul yaitu mengkaji sebab-sebab
turunnya ayat al-Qur’an dikaitkan dengan kondisi lingkungannya, serta asbabul wurud
yaitu sebab-sebab lahirnya hadis. Sebagaimana diakuinya, A. Mukti Ali berupaya
mengembangkan pendekatan tersebut secara lebih lanjut dalam konteks yang lebih
luas.
29
Hal yang penting untuk dicermati adalah, dengan tidak mengabaikan pentingnya
Islam normatif, semua pihak hendaknya menyadari bahwa Islam itu sendiri telah hidup
bersentuhan dengan berbagai bidang, seperti politik, seni, budaya dan lain-lain. Oleh
karena itu, pemahaman Islam tidak hanya cukup dengan mempelajari ajaran-ajaran
normatif tetapi juga bagaimana Islam dipahami, diimplementasikan, sekaligus
sentuhannya dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, atau peradaban
pada umumnya sepanjang perjalanan sejarahnya. Hal ini sekaligus menuntut bekal ilmu
sosial dan juga ilmu budaya bahkan juga ilmu alam dalam upaya memahami Islam dan
umat Islam.
30
2. Kerukunan Hidup Umat Beragama
a. Pluralitas Sebagai Sebuah Keniscayaan
Kemajemukan atau pluralitas umat manusia merupakan suatu kenyataan yang
telah menjadi kehendak Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, jika dalam al-Qur’an Surat
al-Maidah ayat 13 disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, maka pluralitas itu meningkat
menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis
28
Faisal Ismail, “Paving the Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony: Following
Mukti Ali’s Path”, 163.
29
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1977), 65.
30
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, 88.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
170
terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan
berusaha untuk berbuat sebaik mungkin. Pluralitas sesungguhnya adalah sebuah aturan
Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan
atau diingkari.
31
Berdasarkan ketentuan Tuhan tersebut serta adanya fakta bahwa Negara
Indonesia adalah merupakan negara kepulauan, maka faktor kemajemukan sosial-budaya
dan agama menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan dan diperhatikan dengan
seksama. Kondisi kemajemukan tersebut mengharuskan segenap komponen bangsa
berbuat sesuatu secara realistis untuk mencari dan menemukan titik pandang yang sama
di antara mereka. Hal itu perlu dilakukan karena setiap kelompok tentu akan melakukan
sesuatu berdasarkan prinsip dan pandangan masing-masing. Kondisi tersebut akan
menimbulkan perbenturan berbagai kepentingan dan tujuan yang dapat memicu konflik
dan perselisihan yang berkepanjangan.
32
Di samping faktor multikultural, problem krusial lainnya adalah cara
pemahaman agama. Problem ini akan selalu berlanjut karena adanya perbedaan yang
mendasar antara watak agama itu sendiri dengan realitas sosial. Agama bersifat absolut
karena bersumber dari realitas ontologis yang mutlak yaitu Tuhan, sementara manusia
bersifat relatif dan terbatas. Maka ketika agama dikonstruksi oleh manusia, kemutlakan
agama mengalami proses relativisasi, bahkan mungkin juga distorsi. Ironisnya, pada
proses konstruksi yang dihasilkan, sering diwarnai oleh klaim-klaim pemutlakan
sehingga dapat menyulut ketegangan dalam interaksi intern maupun antaragama. Watak
universal agama yang melewati batas geografis, bahasa, etnis, ideologi, dan sebagainya
tereduksi menjadi kepingan-kepingan pemahaman sedemikian rupa sehingga tampak
legitimate. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketegangan intern dan antar umat
beragama yang dapat berubah menjadi perselisihan dan konflik yang kontra produktif
serta merugikan, bahkan merusak agama itu sendiri.
33
Dalam rangka mencerahkan pandangan masyarakat Indonesia serta membentuk
sikap kritis, A. Mukti Ali memperkenalkan pendekatan scientific-cum-doctrinaire yang telah
dijelaskan sebelumnya. Pendekatan seperti ini akan membawa umat beragama pada
umumnya dan umat Islam pada khususnya untuk menerima wacana kemodernan dan
bersikap kritis, terbuka, toleran, simpatik terhadap kebebasan intelektual, peka terhadap
problem kemasyarakatan dan dialog antar umat beragama. Pada akhirnya akan tercipta
kerukunan hidup antar umat beragama yang sangat bernilai bagi bangsa Indonesia.
34
31
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), xviii-xx.
32
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xviii-xx.
33
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 216.
34
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, 31-32.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
171
b. A. Mukti Ali dan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Ada lima konsep pemikiran yang diajukan dalam rangka menciptakan kerukunan
dalam kehidupan umat beragama, yaitu:
1) Sinkretisme, yaitu suatu anggapan bahwa semua agama itu sama. Sinkretisme dalam
ilmu agama adalah berbagai aliran dan gejala yang hendak mencampurbaurkan segala
agama menjadi satu serta menyatakan bahwa semua agama pada hakikatnya sama.
Bentuk dan penganjur yang nyata dari sinkretisme di Indonesia adalah “kejawen”
yang memiliki berbagai nama serta organisasi sebagai bentuk gerakan kebatinan.
Pandangan mereka adalah bahwa segala konsepsi tentang Tuhan adalah aspek-aspek
dari Ilahi yang satu, yang supreme, tidak berkesudahan, kekal, dan segala bentuk
agama adalah aspek dari jalan besar yang menuju kebenaran yang satu.
35
2) Rekonsepsi, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasinya dengan agama lain. Agama adalah satu keinginan akan suatu cara
hidup yang benar yang berasal dari desakan alam semesta,yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan universal manusia. Oleh karena itu, perlu disusun agama
universal yang memenuhi kebutuhan segala manusia dan bangsa dengan jalan
rekonsepsi. Ke depan, agama-agama besar dunia terlihat bagaikan sungai-sungai
yang mengalir menjadi satu.
36
3) Sintesis, yaitu suatu usaha untuk menciptakan suatu agama baru yang unsurnya
berasal dari berbagai agama, dengan maksud agar setiap pemeluk agama merasa
bahwa sebagian dari agamanya telah menjadi bagian dari agama sintesis itu. Dengan
cara ini, kehidupan umat beragama akan menjadi rukun.
37
4) Penggantian, yaitu pengakuan bahwa agamanya sendirilah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama-
agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama
dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu,
agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan cara ini
diharapkan terjadi kerukunan hidup beragama.
38
5) Setuju dalam ketidaksetujuan (agree in disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa
agama yang dia peluk, itulah yang paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui
bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat
perbedaan-perbedaan juga terdapat persamaan-persamaan. Pengakuan seperti ini
35
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
36
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
37
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
38
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
172
akan membawa kepada suatu pengertian yang baik yang dapat menimbulkan adanya
saling menghargai dan sikap saling menghormati antara kelompok pemeluk agama-
agama yang satu dengan yang lain.
39
Menurut A. Mukti Ali, konsep pertama (sinkretisme) tidak dapat diterima sebab
dalam ajaran Islam, Khalik (pencipta) adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang
diciptakan). Antara keduanya harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian
menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi.
Konsep kedua (rekonsepsi) juga tidak dapat diterima, karena dengan menempuh cara itu
agama tak ubahnya hanya merupakan produk pemikiran manusia semata. Padahal,
agama secara fundamental diyakini sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal
yang menciptakan atau menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk
dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya. Konsep ketiga
(sintesis) ditolak karena setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing
yang tidak secara mudah dapat diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama
terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
Konsep keempat (penggantian) juga tidak bisa diterima karena adanya kenyataan
bahwa sosok kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik
dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Pluralisme
kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan beragama, sudah menjadi watak dan
realitas masyarakat itu sendiri. Cara-cara penggantian sudah pasti tidak akan
menimbulkan kerukunan hidup umat beragama, tetapi sebaliknya justru intoleransi dan
ketidakrukunan yang akan terjadi; karena cara-cara tersebut akan mendorong seseorang
atau sekelompok orang untuk berupaya keras dengan segala cara (entah cara yang baik
atau yang tidak baik) untuk menarik orang lain menganut agama yang dia peluk.
Adapun konsep kelima (agree in disagreement) menurut A. Mukti Ali adalah jalan
paling baik untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Orang yang beragama
harus meyakini bahwa agama yang dia peluk adalah agama yang paling benar dan baik.
Dengan keyakinan itu, seseorang akan terdorong untuk berbuat sesuai dengan
keyakinannya. Setiap agama memang berbeda satu sama lainnya, tetapi di samping itu
juga ada persamaannya. Berdasarkan pengertian itu, timbul sikap saling menghormati
dan akan tercipta kerukunan hidup antar umat beragama. Prinsip ini merupakan
perwujudan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”.
40
Kerukunan antarumat beragama di Indonesia merupakan suatu kebutuhan
mutlak bagi Mukti Ali. Sebagaimana pernyataannya bahwa andaikata semua penduduk
39
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
40
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 143-148.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
173
Indonesia beragama Islam, tentu cara menghadapinya berbeda daripada kenyataan
sekarang ini, dimana ada ada penganut agama lain selain Islam di Indonesia, yakni
Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.
41
Makna kerukunan beragama menurut A. Mukti
Ali adalah suatu kondisi sosial di mana semua golongan dapat hidup bersama-sama
tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Masing-masing hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan
damai. Kerukunan hidup beragama tidak akan mungkin lahir dari sikap fanatisme buta
dan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Ia menegaskan bahwa
kerukunan dapat tercapai jika masing-masing pemeluk agama bersikap lapang dada satu
sama lainnya.
42
A. Mukti Ali mencoba menciptakan dan mengajarkan konsep tentang kerukunan
hidup beragama dengan ungkapan agree in disagreement. Maknanya adalah setuju dalam
ketidaksetujuan yang dilandasi rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan
keyakinan agama. Prinsip ini sepenuhnya membiarkan masing-masing komunitas agama
yang berbeda melaksanakan ajaran agamanya.
43
Untuk menyalurkan naluri akademiknya
tersebut, A. Mukti Ali memperkenalkan dan sekaligus mengajarkan Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia melalui tulisan maupun lembaga pendidikan, yaitu dengan
dibukanya Jurusan Perbandingan Agama di IAIN pada tahun 1960. Ketika menjabat
sebagai Menteri Agama, dia memiliki kesempatan yang luas untuk
mengimplementasikan ilmunya dengan menyelenggarakan kegiatan dialog antar umat
beragama dan menjadikannya sebagai kebijakan utama Departemen Agama pada saat
itu.
44
Dalam perayaan ulang tahun ke-4 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 12
Juli 1964, A. Mukti Ali menyampaikan pidatonya yang berjudul “Ilmu Perbandingan
Agama: Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema”. Pidato tersebut kemudian
diterbitkan dalam bentuk buklet kecil dengan judul yang sama oleh penerbit Al-Falah.
Dalam pidatonya, A. Mukti Ali menekankan bahwa perbandingan agama bukanlah
sebuah apologi dan bukan alat untuk mempertahankan satu agama atau kepercayaan,
41
A. Mukti Ali, “Islam dan Pluralitas Keberagamaan di Indonesia” dalam Dinamika Pemikiran Islam dan
Muhammadiyah, ed, Nurhadi M. Musawir (Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah,
1997), 108.
42
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, 83-84.
43
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 217-218.
44
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan Mukti Ali, 218. Setidaknya sampai dengan tahun 1971, di
Indonesia belum ada orang yang secara ilmiah, terbuka dan rinci tentang kerukunan hidup antarumat
beragama. Lihat Mohammad Damami dkk., “Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, MA” dalam Lima Tokoh IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), 260-261.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
174
namun untuk memahami keberadaan, pertumbuhan, perkembangan, fungsi, dan
karakteristik alami dari agama. Apakah mungkin bagi seseorang yang telah meyakini
agamanya untuk bersimpati terhadap pemeluk agama lain? Tentu bisa, menurut A.
Mukti Ali. Menurutnya setiap orang memiliki tugas secara moral untuk menghormati
orang lain, termasuk agama dan kepercayaan yang mereka anut.
45
Seorang sarjana yang memiliki spesialisasi studi perbandingan agama tidak perlu
sedikit pun mengesampingkan kepercayaannya –demi obyektivitas- ketika mempelajari
agama atau kepercayaan lain. Ia harus secara mantap meyakini agamanya ketika di satu
waktu juga mengungkapkan persamaan dan perbedaan di antara agamanya dan agama-
agama lainnya secara akademik dan saintifik. Dengan cara ini, rasa saling simpati dan
hormat di antara para penganut agama dan kepercayaan akan muncul. Bagi seorang
muslim, studi perbandingan agama merupakan cara untuk memahami bagaimana Tuhan
memberikan petunjuk kepada manusia dan bagaimana manusia merespon petunjuk
tersebut. Dalam pidatonya, A. Mukti Ali menyimpulkan bahwa sarjana harus
menggunakan ilmu perbandingan agama sebagai alat yang sangat penting dan berguna
untuk memahami baik agamanya sendiri maupun agama orang lain.
46
Toleransi dalam keberagamaan sebenarnya bukanlah hal yang mustahil di
Indonesia karena sejak dulu sudah pernah terjadi dan terjalin dengan indahnya. A. Mukti
Ali mengemukakannya dalam makalah yang dipresentasikan dalam Kongres Kebebasan
Budaya di Karachi Pakistan pada bulan Februari 1959, yang berjudul “The Spread of
Islam in Indonesia”. Makalah ini kemudian diterbitkan dalam Jurnal al-Jamiah IAIN
Sunan Kalijaga nomor 4 bulan April 1962 dan nomor 5 bulan Mei 1962, lalu juga
diterbitkan oleh Jajasan Nida pada tahun 1970. Dalam tulisannya tersebut A. Mukti Ali
menjabarkan tentang bagaimana penganut agama Islam, Hindu, Budha, bahkan
animisme dapat hidup berdampingan dengan damai. Islam masuk dan menyebar di
Indonesia dengan cara damai. Tidak ada penghancuran candi, penyerangan terhadap
umat lain. Karena penganut Islam tidak mengancurkan candi, maka penganut Budha
dan Hindu pun menentang penyebaran Islam. Ketiga agama ini dapat hidup dengan
damai bersama dan bekerja sama di Indonesia. Hubungan yang harmonis seperti inilah
yang senantiasa kita idamkan dan akan selalu kita usahakan perwujudannya.
47
45
Faisal Ismail, “Paving the Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony: Following
Mukti Ali’s Path”, 164.
46
Faisal Ismail, “Paving the Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony: Following
Mukti Ali’s Path”, 165.
47
Faisal Ismail, “Paving the Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony: Following
Mukti Ali’s Path”, 166.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
175
Penutup
Pembahasan di atas ditujukan untuk mendeskripsikan peran A. Mukti Ali dalam
studi Islam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Paling tidak ada dua kata kunci yang
bisa dikaitkan dengannya, yaitu perbandingan agama dan penelitian agama. Ia menawarkan
apa yang disebut dengan agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan) dalam rangka
mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama. Maksud ungkapan itu adalah agama
satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi di samping perbedaan itu terdapat pula persamaan.
Berdasarkan pengertian tentang persamaan dan perbedaan itulah dialog antar umat
beragama dilaksanakan. Kemudian ia juga menawarkan penelitian agama, sebuah penelitian
yang ditegaskan berbeda dari dan harus dibedakan dengan penelitian-penelitian lainnya.
Dalam konteks ini ia menekankan dua hal sekaligus: pertama adalah pentingnya ajaran
normatif Islam, kedua adalah penegasan bahwa penelitian agama yang hanya mengandalkan
bekal normatif tidak akan mampu memahami fenomena Islam dan umat Islam yang
sebenarnya, oleh karena itu ilmu-ilmu lain menjadi tuntutan dan tidak bisa lagi dipandang
sebelah mata.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
176
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Rusli Karim (ed.). Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Ali, A. Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 1977.
___________. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali, 1987.
___________. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Cet. ke-9. Bandung: Mizan, 1997.
___________. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Azhar, Muhammad. Wawasan Sosial Politik, Islam Kontekstual. Yogyakarta: UPFE UMY, 2005.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999.
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam. Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta:
PPIM, 1989.
Basuki, A. Singgih. Pemikiran Keagamaan Mukti Ali. Yogyakarta: SUKA-Press, 2013.
Damami, Mohammad. dkk. Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2000.
Djam’annuri (ed.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1993.
MUNA HAYATI Rethinking Pemikiran A. Mukti Ali
177
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan
Kerukunan antar Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Ismail, Faisal. “Paving The Way for Interreligious Dialogue, Tolerance, and Harmony:
Following Mukti Ali’s Path” Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 50, No. 1, 2012 M/1433 H.
___________, “Mukti Ali, Peletak Dasar Dialog dan Kerukunan”, Kedaulatan Rakyat, 30 Mei
2011.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam; Teori, Metodologi, dan Implementasi. Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2010.
____________. Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: SUKA Press, 2013.
Mughni, Syafiq. Nilai-nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Aktualisasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Musawir, Nurhadi M. Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, Yogyakarta: Lembaga
Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1997.
Sabri, Muhammad. Keberagaman yang Saling Menyapa. Yogyakarta: Ittaqa Press, 1999.
Ilmu Ushuluddin Vol. 16, No. 2
178