Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Rekonstruksi Falsafah Bugis
dalam Pembinaan Karakter:
Kajian Naskah Paaseng Toriolo Tellumpoccoe
Nurnaningsih
ininnaawa2007@yahoo.co.id
Abstrak
Paaseng toriolo merupakan warisan dari raja-raja Bugis dan orang
bijak, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan (naskah Galigo dan Lontara)
di wilayah Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo). Kajian ini bertujuan
untuk mengembalikan unsur nilai budaya Bugis yang terangkum Pangade-
reng (Ade', Bicara, Rapang, Wari' dan Syara'), sekaligus menjadi motivasi
terhadap nilai-nilai kehidupan yang terintegrasi dengan konsep “Siri” dan
syari'at Islam. Kajian ini menggunakan analisis interpretatif atas fenomena
yang bersifat historis, sosiologis, religius, dan kultural. Hasil penelitian
menemukan adanya konsep-konsep dari raja-raja dan orang bijak yang
dimulai penulisannya dalam naskah Galigo dan Lontara sekitar abad 16-17
M. Isinya antara lain: paaseng yang berkaitan dengan perantauan, perlunya
menuntut ilmu, tatanan sosial, pedoman kewajiban bagi Raja dan aparatnya,
kewajiban bagi Raja dengan negara dan rakyatnya, serta pedoman rakyat
terhadap Raja dan sesamanya. Pelestarian untuk mengembalikan tatanan nilai
budaya yang hampir punah — karena kurangnya peneliti yang mampu
membaca naskah Bugis — dan rekonstruksi atas nilai-nilai tersebut meru-
pakan langkah urgen untuk memandu perilaku generasi muda yang kini
sebagiannya telah terperangkap dalam gulungan sistem modernitas.
Kata Kunci: filsafat Bugis, manuskrip, globalisasi
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
394
Pendahuluan
Kerajaan yang tercatat dalam sejarah bangsa di kawasan
Indonesia bagian timur salah satunya adalah Sulawesi Selatan yang
meliputi Kerajaan Gowa, “Sombayya”,
1
Luwu “Mapajungnge”,
Bone “Mangkau’e”, Soppeng “Datu”, Wajo “Arung Matoa”,
Sidenreng “Addatuang” dan Mandar “Maraddiyah”,
2
Bone,
Soppeng dan Wajo (Tellumpoccoe). Mandar sekarang telah
berpisah dari Sulawesi Selatan sejak zaman reformasi dan menjadi
salah satu pengembangan wilayah Propinsi di Indonesia yang
disebut Propinsi Sulawesi Barat. Wilayahnya meliputi kabupaten
Mamuju, Majene, dan Polewali-Mamasa.
1
Nur Alam Saleh, “Memahami Nilai Budaya Sirik Na Pacce dalam
Kehidupan Rumah Tangga Masyarakat Suku Bangsa Makassar” dalam Buletin
Bosara, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Nomor 18 tahun
VIII/2001, hl. 22-29.
2
Muhammad Ahlul Amri Buana, Mencari Mandar, Online:
http://nulisbuku.com/books/download/samples/c9c969d97dd7c38b0f31833675d8
dce4.pdf. Diakses pada 19 April 2015.
Abstract
Paaseng toriolo is a legacy of Bugis kings/ sages both in oral and
written form (Galigo and Lontara manuscript) in the Tellumpoccoe region
(Bone, Soppeng and Wajo). This study aims to restore Bugis cultural values
summarized as Pangadereng (Ade ', bicara, Rapang, Wari' and Syara'), as
well as a motivation of life values that is integrated in the concept of Siri
"and Shari'ah. This study used a qualitative analysis as the interpretation of
the historical, sociological, religious and cultural phenomenon. The research
found that the concept of kings and sages began writing in the Galigo and
Lontara scripts around XVI-XVII AD century and its contains Paaseng
related to the wandering, the importance of Science, social order, the
guidelines for the King and officers, obligation of the King with the State and
people as well as the guidance of the king, society, and environment. Efforts
to restore the preservation of cultural values that are endangered due to a
lack of applicants who are able to read the Bugis script so that the
reconstruction is viewed very urgent to monitor the generation behavior that
are mostly caught up with modern systems in Globalization era.
Keywords: Bugis Philosophy, Manuscript, Character Development,
Globalization
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
395
Istilah-istilah tersebut merupakan simbol kerajaan yang
memiliki nilai falsafah yang terungkap dalam Sure selleang (tulisan
dalam bentuk nilai budaya kehidupan orang Bugis yang dikenal
dengan istilah Galigo dan Lontara). Paaseng to riolo adalah nasehat
lama dan pesan-pesan dari raja-raja serta orang bijak yang tertulis
dalam bahasa Bugis sekitar abad ke-16 dan 17 M. Isinya meliputi
norma-norma sosial dan budaya kenegaraan, keagamaan,
perekonomian, seni, hukum, dan politik.
Unsur pokok dalam muatan sure terdiri atas komponen induk
yang dikenal dengan istilah pengadereng yang memiliki beberapa
bagian, yaitu unsur: 1) ade’ (adat); 2) rapang (yurisprudensi);
3) bicara (peradilan); dan 4) warik (pelapisan sosial). Setelah
masuknya Islam di wilayah ini kemudian ditambah menjadi lima,
yakni dimasukkannya syariat Islam, sebagai pengaruh islamisasi di
kerajaan-kerajaan Bugis. Unsur lama dalam pangadereng
berintegrasi menjadi satu sistem tata nilai dalam pola kehidupan
masyarakat Bugis yang senantiasa dinafasi dengan siri dari
berbagai aspeknya.
Paaseng toriolo yang merupakan warisan pesan, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis. Usaha-usaha mensosialisasikan
secara umum kepada masyarakat biasanya melalui siklus
kehidupan. Misalnya dalam upacara perkawinan dengan berbagai
komponen dan perangkatnya, upacara kelahiran, upacara pindah
rumah, upacara pengelolaan pertanian, upacara nelayan, sunatan,
upacara kematian, serta upacara kenduri.
Paaseng/pangaja merupakan ide dari para pendahulu orang
Bugis yang isinya mengandung perintah, larangan, serta motivasi
dan semangat bekerja dan mempererat silaturahim serta tata cara
bermasyarakat lainnya dan sebagai pedoman berperilaku bagi
manusia Bugis agar dapat mewujudkan karakter yang bertatanan
nilai-nilai budaya yang dinafasi dengan siri dan agama.
Memperhatikan konsep-konsep paaseng sebagai falsafat hidup,
maka dipandang perlu adanya usaha untuk merekonstruksi dalam
rangka pembinaan karakter generasi muda, sebagai salah satu usaha
untuk mengantisipasi nilai-nilai modern yang sebagian dipandang
justru menjauhi hakekat nilai-nilai budaya lokal yang bernuansa siri
dan agama. Misalnya hal kebebasan pergaulan yang sebagian besar
memerlukan usaha pengendalian untuk mewujudkan jati diri
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
396
sebagai bangsa yang beradab dan beragama. Kearifan budaya
adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa
kelangsungan hidup yang berperadaban.
3
Kearifan lokal Bugis perlu
direkonstruksi agar dapat dikaji dan dipelajari oleh berbagai suku
yang ada dan menjadi pilar penting dalam pembangunan nasional.
Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini akan menjawab
dua pertanyaan pokok. Pertama, bagaimana konsepsi paaseng to
riolo pada masyarakat suku Bugis Tellumpoccoe (Bone, Soppeng,
dan Wajo), sehingga bisa dikategorikan sebagai nilai-nilai budaya
dan falsafah hidup? Kedua, bagaimana fungsi paaseng to riolo
dalam memotivasi masyarakat Bugis tellumpoccoe dan masyarakat
pada umumnya dalam kehidupan masa kini?
Ada tiga tujuan dari kajian ini. Pertama, memberikan
sumbangan pemikiran teoritis berkaitan dengan konsep nilai-nilai
budaya dan falsafah hidup masyarakat bugis Tellumpoccoe. Kedua,
memberikan sumbangan pemikiran teoritis berkenaan dengan
penghayatan nilai-nilai kehidupan yang terintegrasi dengan konsep
siri dan syariat. Ketiga, memberikan sumbangan pemikiran teoritis
dalam hal menjadikan konsep faseng to riolo sebagai daya motivasi
bagi masyarakat Bugis di era globalisasi dalam membangun jati diri
yang berperadaban.
Adapun kegunaan kajian ini ada tiga. Pertama, agar menjadi
bahan rujukan untuk mengenal konsep nilai budaya dan falsafah
hidup masyarakat Bugis Tellumpoccoe dalam membangun karakter
di era globalisasi. Kedua, untuk menggugah warga Bugis, terutama
kalangan cendekiawan yang berada di daerah Bugis maupun di
rantau, agar tetap mengenal konsep dan pedoman hidup leluhurnya
serta menguatkan nilai-nilai kepribadian jati dirinya yang tetap
bernafaskan budaya adat siri dan syariat.
Kajian Teori
Istilah rekonstruksi merujuk pada berbagai disiplin dan
keahlian termasuk politik, budaya, keamanan, dan kondisi alam
akibat bencana. Rekonstruksi dari segi politik dapat ditelusuri
3
Muhammad Bahar Akkase Teng, “Falsafat dan Sastra Lokal (Bugis) dalam
Perspektif Sejarah”, Seminar Nasional Sastra, Pendidikan karakter dan Ekonomi
kreatif, Surakarta 31 Maret, 2015, h. 198.
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
397
melalui sejarah Amerika Serikat terutama setelah periode Perang
Sipil untuk membangun kembali Amerika Serikat.
4
Secara umum
rekonstruksi dapat dimaknai dengan pengembalian seperti semula.
Rekonstruksi berasal dari kata konstruksi yang diangkat dari akar
kata “konstruk” yang berarti membangun, mengembangkan, atau
membuat kembali. Snelbecker mengatakan bahwa konstruksi
berasal dari kata “kons-truk” yang keberadaan dan sifatnya tidak
dapat secara langsung disimpulkan dalam bentuk empiris dan oleh
karena itu hanya dapat dijelaskan atas dasar jaringan operasi
konvergen.
5
Falsafah hidup merupakan suatu cara pandang seseorang
mengenai suatu hal dalam menjalani kehidupan. Falsafah hidup
juga merupakan suatu prinsip yang mendasar yang harus dimiliki
manusia dan individu. Orang Bugis Makassar memiliki juga
beberapa prinsip kehidupan dalam memaknai perjalanan hidup.
6
Prinsip-prinsip ini mengandung nilai-nilai karakter yang diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika suatu generasi
penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi
berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran, seperti
penafsiran tentang nilai siri’, maka akan berdampak pada
kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang.
7
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan perlunya merekonstruksi
falsafah Bugis. Dengan demikian, rekonstruksi falsafah Bugis yang
dimaksudkan dalam kajian ini adalah membangun kembali prinsip-
4
US History. Reconstruction, Online: http://www.ushistory.org /us/35.asp.
Diakses pada 25 April 2015.
5
Muhammad Yaumi dan Fatimah Sirate, “Konstruksi Model Pembelajaran
Berbasis Kecerdasan Spiritual untuk Perbaikan Karakter”, dalam Al-Qalam:
Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya, Volume 20, Edisi Khusus, 2015,
h.15.
6
Edi Abdullah, “Falsafah Hidup Orang Bugis Makassar yang Sarat Nilai-
Nilai Pembelajaran”, dalam Kompasiana Online:
http://sosbud.kompasiana.com/2015/02/25 /falsafah-hidup-orang-bugis-
makassar-yang-sarat-nilai-nilai-pembelajaran-726073.html. Diakses pada 25
April, 2015, h. 1.
7
Abdi Muhammad, “Siri’ Sebagai Sikap dan Falsafah Hidup Masyarakat
Bugis Makassar”, dalam Academia Online:
https://www.academia.edu/2025850/siri_sebagai_
falsafah_hidup_masyarakat_bugis_makassar. Diakses pada 15 April 2015.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
398
prinsip hidup agar dapat digali dan dikembangkan oleh generasi
masa kini dan dapat diangkat sebagai nilai-nilai karakter.
Metodologi
Sasaran utama penelitian ini adalah naskah sebagai sumber
primer dan sebagian besar sudah ditransliterasi atau ditulis ulang,
sehingga menjadi duplikat. Naskah-naskah tersebut misalnya; 1)
Lontara sukkuna wajo (LSW) tulisan Andi Makkaraka Arung
Bettengpola yang dialih-aksarakan dan dialihbahasakan oleh Andi
Sainal Abidin Farid; 2) naskah Arung Pangccana yang dialih-
aksarakan oleh Mattulada dengan nama Latoa; 3) Faseng-faseng
orang matoa wajo dan orang bijak atau tokoh agama dan tokoh
masyarakat; dan 4) sure galigo dan sure lontara yang terangkum
dalam sure selleang /sure kelong.
Pengumpulan data dan sumber kajian ini merujuk pada studi
naskah dengan menggunakan beberapa naskah sure Galigo dan
sure Lontara, baik yang masih asli maupun yang sudah dialih-
aksarakan dan dialihbahasakan. Studi kepustakaan dengan mencari
data dan informasi dari berbagai literatur yang mempunyai
hubungan dengan topik penelitian ini yang ada di beberapa
perpustakaan. Selain itu, digunakan pula metode wawancara, dalam
rangka mengumpulkan data dari informan yang dianggap ahli
tentang subtansi penelitian ini, dengan sistem terfokus dan
wawancara mendalam.
Selanjutnya dilakukan metode observasi, berupa pengamatan
terhadap fenonema–fenomena yang dilakukan secara langsung.
Metode ini dipakai khususnya untuk mempelajari bentuk-bentuk
kegiatan, terutama dalam sistem upacara, seperti perkawinan,
pengelolaan usaha (pertanian, nelayan, fassari, usaha-usaha
perdagangan, dan yang lain), kelahiran, dan kematian. Dari sistem
ini ditemukan kegiatan yang dapat direkonstruksi penanaman nilai-
nilai budaya dan falsafah hidup dengan teknik, antara lain massure
selleng (membaca konsep dengan iringan lagu).
Data-data dalam penelitian ini dianalisis dengan mengikut-
sertakan aspek budaya yang dimulai dari suatu deskripsi yang jelas
dengan konsep-konsep dari pesan-pesan raja Bugis dahulu kala dan
orang-orang bijak (to riolo) yang termuat dalam surat Galigo dan
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
399
Lontara. Hal ini mengingat pendekatan penelitian ini lebih banyak
berorientasi pada konteks nilai budaya.
Di samping itu, teori-teori yang menyangkut aspek tersebut
digunakan sebagai kerangka pemikiran. Di sini lebih dekat
digunakan analisis kualitatif dalam rangka interpretasi terhadap
fenomena-fenomena yang bersifat historis, sosiologis, religius, dan
kultural. Metode kualitatif dalam banyak hal ditegaskan dalam
sistem berpikir induktif dan komparatif yang diorientasikan pada
pola pikir struktural-fungsional dari masing-masing unsur yang
terintegrasi dalam nilai-nilai budaya dan falsafah Bugis.
Pembahasan
Gambaran Konsep Paaseng Toriolo dalam Kawasan Bugis,
Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo)
Sejarah masyarakat Bugis dulu dikenal tellumpoccoe adalah
gabungan tiga kerajaan besar (Bone, Soppeng, dan Wajo) yang
memiliki konsep paaseng toriolo, memuat nasihat leluhur yang
mengandung nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman budaya
dalam menuntun kehidupan, termuat dalam dua kitab secara
tertulis, dikenal dengan nama Sureq Galigo dan Sureq Lontara.
Istilah filsafat atau konsep yang digunakan dalam tulisan ini
berdasar pada beberapa pandangan, antara lain yang memahaminya
sebagai kumpulan konsep atau pemikiran yang mengandung unsur-
unsur kebenaran dan makna yang dalam, sehingga memerlukan
analisis yang koheren untuk memahami makna yang baik sesuai
dengan maksud pencetusnya. Dapat pula dipahami bahwa arti
konsep — berasal dari bahasa Inggris concept — adalah idea,
underlying a class of things, pokok-pokok ide yang dapat
mendasari suatu gagasan.
8
Konsep memiliki arti: a) rancangan atau
buruan surat, dan sebagainya; b) ide atau pengertian yang
diabstraksikan dari peristiwa konkrit; c) gambaran mental dari
objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan
oleh akal untuk memahami hal-hal lain.
9
Selain makna tersebut,
dapat juga berkaitan dengan makna definisi dan konstruksi mental
8
A.S.Hornby, AP. Cowie, (ed.), Oxford Advenced Leaner's Dictionary of
Current English (London: Oxford University Press, 1974), h. 174.
9
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), h. 456.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
400
yang menggambarkan titik tertentu dari sebuah gejala tanpa
memperhatikan aspek lainnya,
10
juga berkaitan dengan memory
copy of sence objek yang abstrak universal.
11
Paaseng Torioolo merupakan ungkapan-ungkapan yang
mengandung muatan nasihat, biasa juga disebut Pangaajaa.
Nasihat dalam arti arahan-arahan yang perlu diterapkan dalam
perilaku, baik tutur kata lisan maupun gerakan anggota tubuh dalam
segala hal yang berkaitan dengan segala urusan, baik pribadi
maupun kelompok; ada yang bernilai tata krama, sikap, solidaritas,
silaturahim antar keluarga dan kelompok masyarakat.
Warisan budaya dari leluhur masa lalu pada umumnya
mengandung konsep akhlak yang dalam bahasa bugis dikenal
Paaseng yang berarti pesan, amanah, dan wasiat dari seseorang
yang disampaikan secara lisan melalui orang-orang yang dapat
mendengarkan dan yang bisa menulis, dalam catatan. Pesan ini
dahulu ditulis di atas daun Lontar dengan menggunakan tangkai
kayu dari pohon Aren sebagai pulpen dan tintanya dari darah ayam
campur asap dapur. Maka disebutlah tulisan Lontara.
Usaha menyosialisasikan paaseng biasa melalui beberapa
acara-kekerabatan. Misalnya kenduri, pada saat orangtua duduk
bercerita, kepada seseorang atau kelompok yang akan melakukan
perantauan, atau acara adat resmi dalam berbagai situasi. Di era kini
umumnya dikenal dengan acara pengajian, dakwah, tausiyah dan
yang lain.
Tabel 1
Contoh Pesan untuk Orang yang Merantau
a
b
Engkako manguju salaiwi
Wanuwammu lao somperi seddi
wanuwa
Mammuwarei engkako mancaji tau
soogi sikkibiritta madeceng
riwanuannatauwwe
Eng
kau
bermaksud meninggalkan
kampung halamanmu pergi
merantau di suatu tempat.
Semoga engkau menjadi orang
kaya, mendapatkan citra nama
baik di tempat perantauanmu.
10
Bandingkan dengan Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al-Qur'an, cet. II (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 18.
11
Dagobert. D, Runest, Dictionary Of Philosophy. (t.t.: Littlefield, Adam &
Co, 1975), h. 61.
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
401
c
d
e
f
g
Pahangngi madeceng naiyya
riasengnge tau soogi eppai tanra-
tanranna
Seuwwani soogi ada-ada
Maduwanna soogi nawa-nawa
Matellunna soogi akkaresonggi
Maeppaana soogi Balancai
Pahamilah dengan baik bahwa
yang dimaksud dengan orang
kaya memiliki empat tanda-tanda.
Pertama memiliki kekayaan kata-
kata, maksudnya memiliki
kecakapan dalam tutur kata.
Yang kedua kaya penghayatan
dan pikiran, dalam arti memiliki
pandangan dan cakrawala yang
luas/tidak mudah menyerah dan
putus asa.
Kaya dalam bekerja maksudnya
banyak bekerja mengeluarkan
keringat menghindari pangku
tangan dan kemalasan.
Keempat, kaya dalam
perbelanjaan. Maksudnya mampu
membeli apa-apa yang
dibutuhkan.
12
Pesan-pesan seperti di atas memberi motivasi yang tinggi
kepada orang Bugis yang merantau agar selalu bekerja keras dan
dapat menghasilkan harta untuk dibelanjakan di jalan yang diridlai
Allah. Pesan lain dapat pula dilihat dalam konsep Galigo yang
sangat mencela orang malas dan tidak bekerja keras yang kemudian
tidak berguna bagi bangsa dan negara.
Tabel 1
Konsep Galigo tentang Larangan Menjadi Orang malas
1
Massimangnga nasorei
Paddaare' Seddeboola
Passiring Dapuureng
Saya menyerah, tidak rela menerima
tukang kebun pekarangan
yang hanya selalu mengintai dapur
12
Lihat naskah Pannessaengngi Assituruuna Tosoppengnge Datunna Luwu,
disalin oleh. Hajji. Sioja Dg Mallandjo dari Muhammad Jufri Kampung Kandoa,
20 Januari 1940, h. 10.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
402
2
Massimangnga nalettuki tau
kuttu
Namabuaaja
Agatokko nariseenge
Mattebbu tonrong
Saaloo/rupammumi tau
Kettena Pajinna/sifa'mu taniya
sifa'tau
maksudnya saya menyerah menerima
tamu tinggal lama tapi sangat malasnya
tapi sangat kuat makannya seperti
buaya
Agatokko Muriranpe/Buat apa engkau
mau dikenang
Seperti kelihatan tebu di pinggir sungai
(araaso) hanya mukamu seperti
manusia
Pahit getirmu yang
membosankan/sifatmu bukan sifat
manusia.
Paaseng biasa juga disebut warisan paddisengeng (ilmu
pengetahuan). Hal ini sejalan dengan perintah yang tertuang dalam
hadis tentang perlunya menuntut dan menerima ilmu sejak dari
ayunan sampai ke liang kubur. Bahkan dianjurkan juga menuntut
ilmu baik bagi laki-laki maupun perempuan, tidak terkecuali. Salah
satu Paaseng yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah
sebagai berikut.
Narekko Engkako punnai Pangissengeng majeppunnaritu
muruntutonihatu decengnna linoo nenniya akherat, dalam bahasa
Makassar: Punna aggappako Pangngassengngang, nagappamintu
tetena bajikanna rilino mangnge ri akherat: Bila engkau memiliki
ilmu pengetahuan, maka sesungguhnya engkau telah mendapatkan
kebaikannya dunia dan akhirat.
13
Pada zaman dahulu, menuntut ilmu khusus dalam kerajaan
Tellumpoccoe tidak sembarang orang yang bisa memperoleh
kesempatan untuk belajar, terutama pada Zaman Belanda. Ketika
itu yang diperbolehkan menuntut ilmu di sekolah-sekolah, misalnya
di HIS, hanyalah kalangan tertentu, seperti keluarga Raja atau
orang kaya, sehingga rakyat kebanyakan hanya mampu menerima
pengetahuan secara non formal di luar lembaga pendidikan.
13
Abdul Rahman Barakatuh, Pap Paaseng Tau Toa dalam Modul Program
Pendidikan Simpul Demokrasi Kabupaten Jeneponto Sulawesi selatan Makassar
(t.t.) Komunitas Indonesia untuk Demokrasi bekerjasama dengan Netherlands
Institute of Multiparty Demokracy (NIMD), 2000), h.79.
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
403
Selanjutnya Paaseng dapat pula mengandung muatan hukum,
agama, dan semuanya selalu dinafasi dengan motif siri, yang pada
perinsipnya mengandung perintah dan larangan. Memperhatikan
manuskrip Lontarak Pappaaseng yang ditulis oleh Arung Bila
Lawadeng Lawaniaga, Penasehat Datu Sppeng sekitar Abad 16 M
dan awal Abad 17 M., berpandangan bahwa sirii (malu) yang
disertai getteng (keteguhan Hati) merupakan salah satu dari Empat
Permata Berkilau yang dapat memancar dari pribadi-pribadi terpuji
suatu kaum dan pemimpin, di samping lempuu sibawa tauu
(kejujuran dan sifat takut pada yang Maha Kuasa).
Sirii sebagai sistem sosiokultural dan kepribadian suku Bugis-
Makassar dan merupakan pertahanan harga diri dan martabat
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Ia mengandung
dua nilai budaya yang tampil dominan, yakni nilai “malu” serta
nilai “harga diri” (martabat). Keduanya merupakan komponen yang
menyatu dan larut dalam sistem nilai budaya siiri.
14
Contoh Paaseng “Sirii” :
Narekko deeni Siriimu
Mufegauni mufojie
Bila sudah tidak punya rasa malu
Maka engkau berbuat sekehendakmu
Sirii dapat diklasifikasikan dalam berbagai wujud, yaitu:
1. Sirii masirii/ malu dalam memiliki rasa malu
2. Sirii Mappakasiiri/ malu dalam hal mempermalukan
3. Masiri-siiri, passsiri-siriiseng /malu-malu
4. Mate siiri/ Tabbe -siirii Habis atau punah rasa
malunya/hilang malunya
5. Nakkasiriiseng/ ikut mengambil bagian untuk menegakkan
rasa malu
6. Siasiirii/saling menahan diri karena malu
7. Temma-siirii/Dee siriina/tidak punya rasa malu
8. Makurang-sirii/ kurang rasa malunya
14
Leonard. Y. Andaya, A.Village Perception Of Arung Palakka and the
Makassar War of 1666 -1669, dalam Anthony Reid dan David Marr (eds.),
Perception of the Past in South East Asia, (Singapore: Asian Studies of Australia,
1979), h. 360-378. Lihat Muhammad Laica Marsuki, “Siri: Bagian Kesadaran
Hukum Rakyat Bugis-Makasar”, Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung,
1995, h. 65.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
404
9. Maega-siriina/banyak rasa malunya
Semua bentuk wujud siiri di atas merupakan kerakter manusia
Bugis yang dapat menjadi ciri dari perwujudan tingkah lakunya.
Oleh karena itu orangtua sering menanamkan pesan kepada anak-
anaknya agar selalu memperhatikan istilah tersebut dalam segala
aspek kehidupan untuk bertingkah laku.
Adapun ToRiolo maksudnya adalah orang-orang Bugis dahulu
yang mendiami wilayah kerajaan Bugis Tellumpoccoe (Bone,
Soppang, dan Wajo), antara lain dapat ditelusuri melalui satu
konsep naskah yang dikenal dengan istilah Latoa yang pernah
dikaji secara ilmiah oleh Mattulada dan Andi Rasdiyanah.
Dikatakan bahwa untuk mengetahui tatanan dan susunan rakyat
misalnya, di Bone pada zaman dahulu berupa kelas-kelas sosial
sesuai dengan kosmogoni masyarakat Bugis yang terdiri dari
anakkarung (bangsawan), to maradeka (orang merdeka tidak punya
puang/tuan), dan a'ta (budak).
Strata tersebut sangat berpengaruh dalam tatanan masyarakat
terutama dalam penempatan dan posisi tempat duduk dalam
berbagai acara adat di masyarakat. Strata tersebut perlu
diungkapkan dalam rangka mencermati latar belakang, pandangan
hidup, watak, atau sifat-sifat mendasar orang Bugis sebagai anggota
masyarakat, yang secara garis besar dapat dilihat melalui konsep
Ade', Rapang, Wari, Bicara, dan menjadi lima setelah berinteraksi
dengan ajaran Islam dalam unsur Pangadereng.
Tata susunan masyarakat Bugis tersebut dalam kolom kelas-
kelas berlaku sebagai aturan yang wajib dipatuhi secara wajar,
berdasarkan aturan adat kebiasaan yang dikenal fanatik dan
tradisional, dan bahkan seluruh aspek dan pola hidup termasuk
pelaksanaan upacara adat life circle (kelahiran, perkawinan, dan
kematian), bahkan pola adat bentuk rumah, pakaian adat, dan lain-
lainnya senantiasa mendapat pengawasan dari pihak pemangku adat
yang biasa disebut Ampaae atau biasa disebut orang yang diberi
tugas melakukan teguran dan pelaksanaan sanksi bagi orang yang
dipandang melanggar tatanan Adat.
Tindakan nyata petugas Ampae, terutama sebelum Indonesia
merdeka bahkan sesudah merdeka, masih tampak bahwa orang
yang menggunakan nama Andi yang tidak memiliki derajat
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
405
keturunan bangsawan langsung dari garis bapak dan ibunya dapat
dipermalukan di tengah umum. Demikian pula pemakaian Timpa'
laja bagi rumah yang bersusun, tapi pemiliknya tidak sesuai dengan
strata sosialnya, maka yang pemilik rumah wajib membongkar atap
rumahnya, dan bila pemilik rumah enggan melaksanakannya, maka
pembongkaran diambil alih oleh Ampaae. Bahkan terlihat pula pada
pemakaian warna baju hijau yang dipandang bukan anak raja
sempurna, kalau enggan mengganti warna bajunya, maka Ampaae
berhak dan tampil merobek-robek baju itu.
15
Selanjutnya tata susunan strata masyarakat bugis yang
dipandang menurut kepercayaan sebagian orang-orang bangsawan
dalam Lontarak, bahwa raja-raja dahulu asal muasalnya berasal dari
To-Manurung (yang bahkan tidak dapat ditelusuri nama dan asal
mulanya, hanya terdapat keterangan bahwa antara lain berasal dari
kayangan; maddara Takku maddeppaa Lappa Tellang = berdarah
putih dan berkembang biak dari asal batangan bamboo) yang
berasal dari dewata langit karena hadir secara tiba-tiba, muncul
tanpa diketahui dari mana datangnya dalam proses gaib.
Anggapan rakyat pada umumnya bahwa To Manurung adalah
sumber kekuatan magis, perhiasan kerajaan, dan lambang
kekuasaan kerajaan yang mempunyai kekuatan ghaib. Pribadi To
Manurung adalah sebagai pemegang arajang atau benda sakti
(ornament) serta arajang inilah yang dipandang sebagai Maha
pemilik kerajaan, dan yang berhak menyimpan atau memiliki
arajang adalah Raja yang berkuasa.
16
15
Wawancara dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat pada tahun 1985, H.
Andi Pabarangi, seorang Jaksa tinggal di Kampung Amessangeng Alau dan
Syekh H. Abdul Kadir Tahir mantan anggota BPH Wajo tinggal di kota Tempe.
16
A. Andaya dalam Andi Rasdiyanah menjelaskan bahwa orang merebut
takhta kerajaan selalu lebih dahulu merampas benda Arajang itu. Contoh
Laoddang Riuk Daeng Mattinrik Karaeng Tanete, saudara We Tenri leleang, datu
Luwu Tahun merampas arajang Soppeng dan Arajang Bone, Memecat Raja Bone
We Batari Toja Daeng Talaga. Arung Pone/Datu Soppeng lalu menyuruh orang-
orang Bone mengangkat dirinya sebagai Arumpone. Terjadilah dua Kelompok
terhadap untuk pengakuan Dua Raja dalam satu kerajaan, yakni: 1) kalangan
masyarakat yang masih tinggal di Bone mengakui Latenrioddang, dan
mengangkat cucu Lapatauk Matinroe Rinagauleng Bernama Sitti Naafisah
Karaeng Langelok menjadi Raja Bone; dan 2) sebaliknya orang-orang Bone,
Soppeng, dan Luwuk, yang berada di Makassar tetap mengakui Webatari Toja
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
406
Pada umumnya Toriolo sebagian berkedudukan sebagai Raja,
orang bijak, dan didampingi oleh kelompok pemangku adat yang
masing-masing kerajaan memiliki pemangku yang bercorak
tersendiri. Misalnya Wajo dikenal dengan pemerintah kerajaan
Arung Patappuloe, artinya empat puluh orang yang harus
bersepakat dalam penentuan suatu tata aturan kebijakan, Raja Bone
X (1602-1611) yang merubah status menjadi Adek/Arung Pitue.
Para raja dan pendamping kerajaan yang biasanya terdiri dari
orang bijak, cerdas, dan berani semuanya telah memberi petuah dan
nasihat yang dapat menjadi pedoman tata nilai dalam kehidupan
manusia Bugis Tellumpoccoe dalam menjalani kehidupan di
masyarakat.
Konsep Paaseng Idiologis To Riolo dalam Custom
Pangngadereng, Asimilasi dengan Syari'at Islam
Himpunan ucapan-ucapan yang berupa petuah-petuah dari raja-
raja dan orang bijak pada abad ke-15 dan ke-16 M yang
mengandung berbagai aspek kehidupan antara lain: 1) Pedoman
kewajiban bagi Raja-Raja terhadap aparatnya; 2) Pedoman
kewajiban bagi Raja dengan negara dan rakyatnya; dan 3) Pedoman
rakyat terhadap sesamanya dan sebagainya.
Hal tersebut bila dibandingkan dengan penalaran pemikir dunia
Barat melalui hasil karya mereka, pertama-tama dapat ditelusuri
melalui dunia Yunani Kuno. Dikenal pemula pemikir filsafat alam
(Thales), selanjutnya Socrates, Plato, dan Aristoteles hingga Abad
Pertengahan menampilkan filosof-filosof agama dari dunia Kristen
(Anselmus dkk.), serta dalam kalangan filosof Muslim (Al-Kindi
dkk.) yang mampu mewujudkan ideologinya terutama dalam
konsep etika. Etika merupakan salah satu hal yang sangat urgen
dalam pembahasan dan dianggap esensial untuk dijadikan acuan
bagi manusia dalam setiap zaman, agar menjadi manusia yang
rasional dan berperadaban.
Sama halnya untuk menemukan tokoh-tokoh sebagai
narasumber dari berbagai himpunan naskah Bugis (Galigo-
Daeng Talaga sebagai Arumpone, Datu Soppeng dan Datu Luwuk hal yang sama
terjadi ketika I Sangkilang merampas Kalompoang (di Bugis dan Arajang) Gowa
dan mengangkat dirinya sebagai Batara Gowa.
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
407
Lontarak) di Sulawesi Selatan melalui analisis pemikiran filosofis
dan budaya orang Bugis tempo dulu, maka ditemukan nama-nama
Raja (Toriolo) dari kalangan Bugis dari ungkapan pemikiran
mereka yang disebut PapPaaseng. Misalnya: muatan-muatan
perjanjian Raja dengan rakyatnya; nasihat-nasihat (paaseng) yang
mengandung unsur perintah dan larangan; dan percakapan atau
dialog.
Konsep paaseng toriolo sesuai dengan komponen di atas telah
mendapat pengakuan dari pejabat pemerintah Belanda, antara lain
Controler. W.M. Remecus dalam Memorie Van Overgave Van den
Afgetreden, Controler Eerste Klasse Van Wajo dengan terjemahan
sebagai berikut: “Masyarakat Bugis dahulu yang mempunyai ahli-
ahli pemikir”.
17
Untuk menelusuri pemikiran para ahli orang Bugis zaman
dahulu dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, zaman pertama yang
dinamai zaman I. Lagaligo, karena seluruh peristiwa sejarah
tertuang dalam suatu karya sastra yang diberi nama Lagaligo
sebagai pengabadian nama Lagaligo Putra Sawerigading To
Appanyompa yang hidup sekitar tahun 900 M.
Kedua, zaman kedua disebut zaman Lontarak, yaitu zaman
penulisan catatan penting berupa ide-ide, baik sebagai Raja maupun
orang bijak, dengan menggunakan daun lontar sebagai tempat
mencatat.
Adapun raja-raja dan orang bijak yang dapat dikemukakan
pikiran-pikiran dan petuah-petuahnya yang terdapat dalam
Lontarak, antara lain sebagai berikut:
1. To Riolo
To Riolo terdiri dari dua kata, yaitu To artinya Tau sama
dengan orang ditambah Riolo artinya di depan atau terdahulu dan
biasa juga diartikan dengan nenek moyang atau leluhur. Leluhur
adalah orang yang telah memberikan warisan berupa pesan-pesan
atau amanah yang mengandung nasihat, perintah, dan larangan
dalam bertingkah laku, baik menghadapi raja, orangtua,
masyarakat, serta diri sendiri. Gambaran sejarah Toriolo misalnya
17
Salahuddin, Tokoh-tokoh Ahli Pemikir Bugis dan Pemikirannya, (Ujung
Pandang: Dewan Kesenian Makassar, 1984), h. 2.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
408
pada masa kerajaan Bone dahulu kala hidup sebelum datangnya
Islam, dikenal konsep naskah Lontara "Latoa", sebagaimana yang
diungkapkan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan Bugis sebagai
sejarawan dan budayawan, antara lain Mattulada, Andi Zainal
Abidin Farid, dan A.Rasdiyanaah Amir. Kesemuanya ini pernah
mengkaji secara ilmiah melalui penelitian, antara lain diungkapkan
sebagai berikut:
1. Menurut kebiasaan orang-orang Bugis, petuah-petuah yang
berasal dari Taurioloe, menempati alinea 32 sampai dengan 55,
yang dalam naskah Latoa berjumah 24 alinea, antara lain dapat
dilihat sebagai berikut:
(32).
Makkedai tau rioloe, naiyya
riasengnge nawa-nawa patuju na
madeceng Sanreepi
riawaraningengnge
namadeeceng, naiyya
awaraningengnge sanreepi
rinawa-nawa patujue,
namadeeceng, naiyyaro gau
duanrupae lempuu maneppa
natettoongi namadeeceng.
Maksudnya: orangtua dahulu berkata bahwa
yang dimaksud niat yang benar ialah yang
selalu bergerak atau bersandar pada sikap
keberanian, barulah itu kebenaran,
kebenaran dan keberanian adalah dua sikap
yang dapat mengusung perbuatan baik yang
dapat berdiri tegak atas kejujuran. Jadi sikap
jujur adalah pokok pangkal dari segala
kebenaran yang dapat terwujud melalui
sikap keberanian. Sehingga dapat dikatakan
berani karena benar,benar karena jujur.
2. Selanjutnya di alinea 57, sebagaimana diungkapkan oleh Datu
Soppeng ke-9 (1482/1484 M) bernama Lamanussa
Toakarangeng, antara lain dikatakan sebagai berikut:
Makkedai Petta Matinrooe Ri
Tanaana,patampuwaangengngi gauk
riwatakkaleeta;seuwanna nawa-
nawa; maduwanna, bicaara;
matellunna, siiri; maeppaana gauk
madeeceng. Naiyya
peddeingngengngi nawa-nawae,
narekko paccaai-cairengngi tauwwe,
naiyya eddeingngengngi
bicarae,yanaritu gauk bawangnge,
naiyya peddeingngengngi siriie
iyanaritu mangowae, naiyya
peddeingngengngi gauk
madecengnge narekko ripoojiwi
Maksudnya: Raja Soppeng yang
meninggal di wilayah kerajaannya
berkata bahwa: ada empat sikap
perbuatan dalam diri kita, yakni:
pertama, pikiran, kedua bicara, ketiga
sifat malu (harkat dan martabat),
keempat, perbuatan yang baik. Adapun
yang dapat memadamkan atau
menghilangkan pikiran adalah bila
seorang suka marah-marah, yang
memadamkan bicara (perkataan bijak dan
adil) adalah perbuatan yang sewenang-
wenang, sedangkan yang dapat
menghilangkan rasa malu adalah sifat
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
409
mujjaa
-
I padatta ta
u.
lobak atau rakus, sedangkan yang dapat
menghilangkan perbuatan-perbuatan baik
adalah bila kita suka menjelek-jelekkan
sesama kita.
3. Dalam alinea 160, Latadampare Puang Rimaggalatung Arung
Matoa Wajo (1491-1521) menuturkan sebagaimana berikut ini:
Naiyya urekna bicarae
patampuwaangengngi,
nassiturusie Kajao Laliddong,
Puang Rimaggalatung
Karaengnge Matowae;
Riasengnge urek maraaja,
naiyyapanraapi nawa-nawa
bengngooku, uwaasengngi urek
baiccuk, rimakkedaana iyanaritu
urek marajaana bicarae.
Seuwwaniritu: tutu wali-walie;
maduwanna gauk wali-walie;
matelllunna sabbie wali-wali;
maeppaana onroe wali-wali.
Maksudnya: Pangkal pokok dari suatu
putusan pembicaraan dalam memutuskan
suatu masalah terdapat empat komponen
yang telah menjadi kesepakatan Kajao
Laliddong dengan Puang Rimaggalatung;
bahwa pokok utama pembicaraan dalam
suatu putusan menurut pikiran/firasat
sebagai orang yang masih dungu, sehinga
saya dapat katakan bahwa akar pokok
pembicaraan itu kecil, sebagaimana yang
dikatakan bahwa pangkal pokok utama
bicara itu adalah pertama: harus ada
penuturan kedua belah pihak yang
berselisih; kedua, perbuatan kedua belah
pihak; ketiga, keterangan saksi kedua belah
pihak; keempat, kedudukan kedua belah
pihak.
4. Terdapat Paaseng dalam alinea 91-93, yang dapat menunjukkan
adanya asimilasi Pangngadareng dengan syari'at atau moral
Islam terlihat adanya ungkapan yang termuat dari Nabi
Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu intisari dari
alinea tersebut antara lain sebagai berikut:
91.
Makkedatoi Nabi Muhamma
d
Sallahu Alaihi Wasallama,
naiyyaritu lempuk-e akkui
Riarung Mangkau-e, naiyya
amalak-e akkui torifanrita-
e,naiyya labo-e akkui tau sugi-e,
naiyya sabbarak-e akkui tau
fakkere-e. atau panrita-e nadee
amalakna padatoi ritu bo-la dee
lisekna, naiyya tau sogik-e nadee
laboona padatonasa ellung
mareppek-e nadee bsinna, naiyya
pakkerek-e nadee sabbaraknya
Maksudnya: Nabi Muhammad
sallallahu
alaihi wasallam bersabda: kejujuran itu ada
pada Raja Pemerintahan, sedangkan amalan-
amalan (baik) ada pada ulama, sementara
sifat dermawan ada pada orang kaya, serta
sifat kesabaran ada pada orang fakir miskin.
Tetapi, bila ada raja tidak memiliki
kejujuran, maka disamakan dengan sungai
yang tidak berair, dan bila ada seorang ulama
tapi tidak memiliki amalan-amalan, maka
diibaratkan seperti rumah yang tidak berisi
penghuni dan tak ada perabotnya, demikian
juga bila ada orang kaya tapi tidak memiliki
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
410
padatonisa ebarakna bung dee
serokna.
93. Makkedatopi Rasulullah
Eppak-I ritu wawangenna gauk
maelo-e riperi-perii
Seuwwani ritu makkedae :
Narekko engka tau maa-te,
naengkana pawalungna,
bettuwanna paddokko-ona,
patabba-wai masii gak,
maduwanna nakko engka
anakmu welangpe-lang
bettuwanna tau loolo, weddinni
mallakkai, naengkana ma-ka
mupasialangngi, pallakkainisa,
matellunna narekka engka tau
lokka ribola-mu nawettu manrei
tauwe, werengngisa inanre,
Maeppa-na narekko engka
inrngmu, naengkana maa-ka
muajaarengngi, wa-ajaisa, nakko
tennasi-ngekko tauwwe,
bettuwanna namuni tennelaufi
dui-ina tauwe, naengka maaka
muwerengngi, werennisa
sifat kedermawanan, maka disa
makan
dengan guntur atau kilat yang tidak berhujan,
serta bila ada fakir miskin yang tidak
memiliki sifat kesabaran, maka diibaratkan
sebuah sumur yang tidak memiliki timba.
Maksudnya: Rasulullah bersabda bahwa ada
empat perbuatan yang tidak boleh ditunda-
tunda, yakni Pertama: bila ada orang
meninggal dunia segerakanlah
penguburannya, dalam arti segera disiapkan
perlengkapannya agar tidak melampaui
waktu-waktu shalat; kedua, apabila engka
memiliki anak gadis bila sudah ada yang
melamarnya segerakanlah pernikahannya.
Artinya tidak terlalu menuntut persyaratan
yang di luar ketentuan syara'. Ketiga, bila
engkau kedatangan tamu dan tiba waktu
makan, maka berilah makanan dalam arti
jangan malu menghidangkan apa saja adanya
dari pada membuat tamu lapar. Keempat;
apabila engkau memiliki utang segerakanlah
membayarnya, dalam arti bila sudah ada yang
patut dibayarkan bayarlah walaupun yang
mempiutangimu belum menagihmu.
Urgensi Paaseng Toriolo dalam Pembentukan Karakter
Manusia Bugis Masa Kini
Nilai budaya yang termuat dalam Paaseng Toriolo
sebagaimana yang ditemukan dalam beberapa naskah yang telah
dikemukakan oleh raja-raja/orang bijak.
1. Bagi anggota masyarakat yang akan mencari penghidupan
dengan cara meninggalkan kampung halaman terutama "sompe'
mallekka tasi" melintasi laut. Orang Bugis terkenal di rantau
mencari nafkah, di mana saja berlabuh di situlah ia merintis
perkampungan, mereka umumnya memiliki kemampuan nelayan,
petani, dan pedagang. Itulah sebabnya ia sangat terkenal dalam
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
411
sejarah. Misalnya, merintis cikal bakal “Singapura”; membuat
undang-undang pelayaran (Aman nagappa); dan sebagian raja-raja
Malaysia mengaku keturunan Bugis.
Maksud yang terkandung di dalam nomor 1 yang memuat tujuh
pesan, dapat dipahami bahwa orang Bugis harus memotivasi diri
dengan nekat, menjadi manusia sukses yang mengangkat citra suku
dengan predikat “kaya” yang bernuansa kaya dalam tutur kata
sehingga dapat merangkul sahabat dari berbagai kelompok
masyarakat.
Memiliki kekayaan wawasan, sehingga dapat dipercaya untuk
mengayomi anggota masyarakat. Ketekunan bekerja mencari
rezeki, sehingga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan
masyarakat dan menunjukkan kesanggupan untuk memberi
makanan serta kebutuhan hidup lainnya yang dibutuhkan oleh
keluarga dan masyarakatnya. Kandungan pesan rie lori to sogi
nabalabo yang sangat diharapkan adalah kaya dan pemurah.
2. Pesan untuk Menghindari Kemalasan.
Baik laki-laki maupun perempuan sangat tercela bila tidak
memiliki keterampilan bekerja untuk mencari penghidupan,
sehingga manusia yang demikian digelari hanya mampu mengintai
dapur, dalam arti kemampuan tenaganya hanya untuk mencari
makanan siap saji dan tidak memiliki rasa malu yang kerjanya
mengunyah tapi tidak mampu mengusahakan.
Demikianlah bila ada tamu yang tidak malu menginap lama
dengan makan, minum, dan tidur gratis tanpa rasa empati untuk
membantu tuan rumah, sehingga digelari buaya. Terlebih lagi
sangat tercela orang yang hanya suka mencari muka dan bila habis
keperluannya sama sekali tidak mengingat jasa orang yang
membantunya.
Pesan-pesan tersebut sangat diperlukan untuk kehidupan masa
kini yang rasa malu dan sikap peduli kepada orang hampir punah,
karena terkontaminasi dengan kehidupan modern. Oleh karena itu,
jika menengok ke belakang, Assempung tolongeng (silaturahmi)
sangat diwajibkan agar nilai-nilai kemanusiaan tumbuh,
persaudaraan menjadi kuat, dan jauh dari sifat melle' peru (sampai
hati).
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
412
3. Pesan Perlunya Menuntut Ilmu Pengetahuan
Pesan untuk menuntut ilmu bukan semata-mata hanya ilmu
pengetahuan duniawi, seperti kemajuan iptek yang telah dipelajari
sebagian masyarakat Bugis dewasa ini. Lebih dari itu, ilmu
pengetahuan yang dimaksud leluhur adalah yang dapat menuntun
ma-nusia, dari sisi lahir dan batin, dunia dan akhirat.
4. Pesan dalam Muatan siri'
Seluruh komponan paaseng dalam pangadereng orang Bugis
siri merupakan nilai atau penggeraknya, sehingga diungkapkan
“siriemina na to tau” manekko de'ni sirie tau-tau mani/ oloko lo ni
assengnna, karena siri (rasa malu) baru dapat dikatakan manusia
itu manusia. Bila manusia tidak punya rasa malu, maka ia lebih
hina dari pada binatang. Untuk itu, manusia Bugis sejak dulu
tingkah lakunya selalu diingatkan siri tellu siattingnge (siri dalam
tiga dimensi), yaitu masiri ri alena, masiri ri padanna ri fanenji,
dan masiri ri Allah Ta'ala (malu pada dirinya, sesamanya, dan
Allah SWT.). Pesan ini sangatlah penting untuk direkonstruksi,
berhubung manusia Bugis sekarang sudah hampir kehabisan siri
dan mengganti hakikat nilai siri secara terbalik.
5. Pesan raja-raja mulai Arung Bila
Pesan raja-raja mulai Arung Bila sampai kepada Arung
Balatung sangat menekankan perlunya pengendalian diri dengan
merendahkan hawa nafsu, memperkuat rasa malu, menghindari
keserakahan, mewujudkan komitmen, senantiasa berlaku jujur dan
adil dalam semua hal, serta berani dan pantang mundur dalam
membela kebenaran.
Prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk direkonstruksi
dan revitalisasi, karena sebagian manusia Bugis pada abad ini
kurang peduli atas pesan-pesan dalam kearifan di atas. Terbukti kini
ada oknum-oknum yang memimpin tidak punya rasa malu dalam
berbagai hal.
6. Analisis Paaseng yang termuat dalam alinea 91-93:
Menekankan perlunya penegakan nilai-nilai kejujuran yang
harus dicontohkan oleh pemimpin, amalan-amalan kesalehan yang
harus dicontohkan oleh ulama, sifat pemurah yang harus
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
413
dicontohkan oleh orang kaya, dan serta kesabaran yang harus
dicontohkan oleh orang miskin.
Sebagian manusia Bugis, kini ada yang abai akan pesan-pesan
tersebut. Mereka tidak malu menjadi pemimpin yang korup, ulama
yang ikut persekongkolan korupsi, menjadi kaya dengan menipu,
serta orang miskin yang mudah terbakar emosinya.
Selanjutnya pesan-pesan yang tersinari dengan syariah Islam,
sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah tentang perlunya
menyegerakan penyelesaian dari empat perkara: 1) menyelesaikan
dengan segera penguburan mayat, sehingga tidak melampaui
banyak waktu salat; 2) mengawinkan segera anak gadis untuk
menghindari terjerumus dalam pergaulan bebas dan perzinaan; 3)
menyegerakan memberi makan tamu agar tidak kelaparan; dan 4)
menyegerakan membayar utang.
Pesan-pesan di atas di dalamnya mengandung aspek-aspek
moral yang sangat penting untuk menjadi acuan dalam bertingkah
laku, baik kepada orang yang strata atas maupun dengan sesama.
Pada garis besarnya pesan-pesan itu mengandung larangan dan
anjuran, sebagai gerak langkah manusia Bugis yang sebelum
syariat Islam datang terdiri dari: Ade', Rapang, Warii, dan bicara.
Setelah Islam masuk di Makassar, aturan-aturan yang terkandung
dalam pangadereng sebagian besar tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, maka terjadilah asimilasi dengan pangadereng
menjadi lima komponen dan kesemuanya selalu dinafasi dengan
siri.
Penutup
Paaseng toriolo yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan warisan leluhur manusia Bugis Tellumpoccoe, baik dari
kalangan raja-raja maupun orang bijak. Terkadang warisan itu
ditemukan dalam catatan tertulis yang dikenal Naskah Sureq Galigo
dan Lonataraq, yang ditulis sekitar Abad 16-17 M., ataupun berupa
lisan yang dapat disampaikan oleh tokoh-tokoh adat atau agama
dan masyarakat di tanah Bugis (Bone, Soppeng, dan Wajo).
Paaseng/Pangaja yang tersimpul dalam Pangadereng yang
dikenal dengan empat pola falsafah hidup manusia Bugis, yaitu:
Ade', Bicara, Wari, dan Rapang). Setelah Islam masuk secara resmi
sebagai agama kerajaan, maka pangadereng menjadi lima, yaitu
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
414
ditambah dengan syara' (syariat Islam). Terdapat satu unsur penting
yang selalu mewarnai dan menafasi pola tersebut, yaitu adalah siri.
Paaseng/pangaja yang merupakan petuah atau nasihat yang
harus diindahkan oleh setiap manusia Bugis dalam bertingkah laku
untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkerakter
(beragama dan berperadaban). Memperhatikan pengaruh
modernisasi yang di dalamnya orang mudah menghalalkan banyak
cara yang bertolak belakang dengan perinsip nilai dan budaya lokal
Bugis dan moral agama, muatan-muatan Paaseng Toriolo ini sangat
urgen direkonstruksi, terutama dalam memfilter nilai-nilai yang
dapat menodai peradaban lokal manusia Bugis serta peradaban
budaya bangsa pada umumnya.
Perlunya merekonstruksi nila-nilai budaya lokal (yang
mengandung muatan pola hidup dalam bentuk: hukum, tatanan
sosial, politik, ekonomi, serta nilai-nilai agama lainnya yang
senantiasa dinafasi dengan siri sebagai salah satu landasan budaya
nasional untuk mewujudkan manusia yang berkerakter dan
berperadaban. Telah banyak fenomena-fenomena dalam kehidupan
sekarang yang melanggar tatanan nilai budaya yang dapat menodai
nilai-nilai luhur bangsa. Di samping itu, Paaseng toriolo yang
termuat dalam naskah Bugis sudah banyak yang hampir punah
tulisannya dan sangat sulit membacanya, disebabkan dua hal: a)
tulisannya kabur dan bahkan kertasnya sudah banyak yang lapuk;
b) sangat kurang orang Bugis sendiri yang mampu membaca
naskah-naskah Bugis apalagi memahaminya sebagai warisan nilai
budaya leluhur.
Di sisi lain adanya pengaruh globalisasi. Diakui bahwa
globalisasi dan teknologi dapat melahirkan dampak positif di mana
manusia Bugis khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya
bisa maju dan kreatif, namun di sisi yang lain teknologi membawa
dampak buruk, terutama dalam soal etika dan moral. Oleh karena
itu, sangat diharapkan adanya perpaduan nilai-nilai budaya siri dan
moral agama sebagai unsur penting yang mewarnai tingkah laku
manusia modern yang maju dan kreatif dan berperadaban siri dan
dinaungi nilai-nilai agama. Tindak lanjutnya bisa dilakukan dengan
merekonstruksi nilai-nilai budaya, siri, dan agama untuk
mewujudkan manusia bermakna.[]
Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter — Nurnaningsih
415
Daftar Pustaka
Abdi, Muhammad. “Siri’ sebagai Sikap dan Falsafah Hidup Masya-rakat Bugis
Makassar”, Academia Online: https://www.academia.edu/
2025850/siri_sebagai_falsafah_hidup_masyarakat_bugis_makassar. Diakses
pada 15 April, 2015.
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar, Suatu Tinjauan Historis
terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-
Makassar. Jakarta: Inti Indayu Pres.
Al-Afas, Ali bin Hasn bin Abdullah bin Hasan, Lukman al-Hakim. 1981.
Kepribadian dan Mutiara Hikmahnya, Penerjemah: Ali Abu Bakar
Basalamah dan M. Mansyur Amin. Yogyakarta: Ratu Adil.
Al-Akkad, Abbas Mahmud. 1947. al-Falsafah al-Quraniyah. Qairo: Mathba’ah
al-jannah Li-at-Ta’lif wa at-Tarjamah.
Amir, Andi Rasdiana. 1981. Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia.
Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
__________. 1995. Integrasi system Pangadereng (Adat) dengan System Syari'at
sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa.
Yogyakarta: IAIN SUKA.
Barried, Siti Baroro dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Departemen Pen-didikan dan
Kebudayaan.
Cense, A.A. 1972. Beberapa Catatan Penulisan Mengenai Sejarah Makassar
Bugis, Terjemah KITLV Belanda. Jakarta: Bharata.
De. Haan Priangan. 1912. De Prianger-Regentschappen Onder Het Nederlansech
Bestum Tot 1811. Uit Gegeven Door Het Batavia-asech Genootschap Van
Kusten en Wetenschappen.
Edi, Abdullah. “Falsafah Hidup Orang Bugis Makassar yang Sarat Nilai-Nilai
Pembelajaran.” dalam Kompasiana Online: http://sosbud.
kompasiana.com/2015/02/25/falsafah-hidup-orang-bugis-makassar-yang-
sarat-nilai-nilai-pembelajaran-726073.html. Diakses pada 25 April, 2015.
Farid, A. Zainal Abidin. 1979. “Wajo pada Abad XV-XVI Peng-galian Sejarah
Terpendam Sulawesi Selatan dalam Lontara”. Disertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
__________1991. “Konsep dan Kekuasaan dan Kepemilikan di Sula-wesi
Selatan “Dahulu Kala”.” Makalah disampaikan da-lam Kongress
Kebudayaan Nasional. Jakarta.
__________1969. “Sekapur Sirih Azas-azas Hukum Adat Pidana Sulawesi
Selatan sebagai Sumbangsih Pembinaan Hukum Na-sional.” Pidato
pengukuhan guru besar, Makassar, Majalah No-mor Khusus, Universitas
Hasanuddin.
Kenn, R.A I. 1989. La Galigo penerjemah KITLV-LIPI. Yogya-karta:
Universitas Gajah Mada.
Koentjaramingrat. 1982. Kebudayaan Mentalistas dan Pembangun-an. Jakarta:
PT.Gramedia.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416
416
La Side Daeng. 1985. “Tapala ‘Paaseng To Riolo’” dalam Majalah Kebudayan
Sulawesi Selatan. Ujungpandang Universitas Ha-sanuddin, Vol. I No II.
Lery, Reuben. 1965. The Social Structure of Islam. Cambridge: University Press.
Madkur, Muhammad Salam. 1964. Madkhal al-Fiqh al-Islamy. Qairo: ad-Dual
al-Qaumiyah Li at Thaba’ah wa an-Nashr
Marzuki Laica, Muhammad. 1995. SIRI: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat
Bugis-Makassar. Bandung: Universitas Pajajaran.
Matthes, B.F 1872. Boeginesche. Chrestomathie II: Amsterdam.
__________1874. Boeginesh-Hollandsch Woorden Lyst en Verkklaring, M, Ny
Hoff: Amsterdam, C.A, Spin en Zoon.
Mattulada. 1985. Suatu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Po-litik Orang
Bugis. Yogyakarta, Universitas Gajah Mada Press.
Muhammad Ahlul Amri Buana, Mencari Mandar, Online: http://nulisbuku.
com/books/download/samples/c9c969d97dd7c38b0f31833675d8dce4.pdf.
Diakses pada 19 April 2015.
Muhammad Bahar Akkase Teng, “Falsafat dan Sastra Lokal (Bugis) dalam
Perspektif Sejarah”, Seminar Nasional Sastra, Pendidikan karakter dan
Ekonomi kreatif, Surakarta 31 Maret, 2015, h. 198.
Nur Alam, Saleh. “Memahami Nilai Budaya Sirik Na Pacce Dalam Kehidupan
Rumah Tangga Masyarakat Suku Bangsa Ma-kassar”, Buletin Bosara, Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Nomor 18 tahun VIII/2001.
Rahim, Abd. Rahman.1984. “Nilai-nilai Utama Kebudayaan-Bu-gis”. Disertasi.
Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin
Rdya. 1981. The Heritage of rung Palakka a. History of South Su-lawesi
(Celebes) in the seventeeth Century. Haque: Mortinus Ny Hoff.
US History. Reconstruction, Online: http://www.ushistory.org/us/35.asp. Diakses
pada 25 April 2015.
Yaumi, Muhammad dan Fatimah Sirate. 2015, “Konstruksi Model Pembelajaran
Berbasis Kecerdasan Spiritual untuk Perbaikan Karakter” dalam Al-Qalam:
Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya, Volume 20, Edisi Khusus.