ArticlePDF Available

Effects of human activities on Komodo dragons in Komodo National Park

Authors:

Abstract and Figures

Understanding how threatened wildlife can coexist with humans over the long term is a central issue in conservation and wildlife management. Komodo National Park in Eastern Indonesia, harbors the largest extant populations of the endemic Komodo dragon (Varanus komodoensis). Consistent with global trends, this species is expected to be increasingly exposed to human activities and in particular growing ecotourism activities. Here we comprehensively evaluated how human activities affected individual and population level attributes of Komodo dragons. We compared Komodo dragons phenotypic (behaviour, body size, and body condition) and demographic (age structure, sex ratio, survival, and density) responses to variation in human activities across national park. Komodo dragons were found to exhibit pronounced responses to high human activity level relative to sites with low and negligible human activities. Komodo dragons exposed to ecotourism exhibited significantly less wariness, larger body mass, better body condition, and higher survival. These results are entirely consistent with ecotourism activities that provided Komodo dragons with long-term and substantial nutritional subsidies as a consequence of feeding and human food refuse. However, we also noted the potential negative consequences of altered behaviour and adult-biased populations in ecotourism areas which may influence demographic processes through intraspecific competition or predation. To address this issue, we recommend that three management strategies to be implemented in future include: (1) removal of human-mediated nutritional subsidies, (2) alternative ecotourism, and (3) spatial regulation of ecotourism. Furthermore, we advocate the development of approaches to achieve a socio–ecological sustainability that benefits both people and wildlife conservation.
This content is subject to copyright. Terms and conditions apply.
1
Evaluasi komprehensif efek aktivitas manusia terhadap biawak komodo di Taman
Nasional Komodo.
Ardiantiono1,5, Tim S. Jessop2, Deni Purwandana1, Claudio Ciofi3, M. Jeri Imansyah1, Maria
Rosdalima Panggur4, Achmad Ariefiandy1
1Komodo Survival Program, Denpasar, Bali, 80223, Indonesia.
2Centre for Integrative Ecology, School of Life and Environmental Sciences, Deakin
University,Victoria, 3220 Geelong, Australia
3Department of Biology, University of Florence, 50019 Sesto Fiorentino, Italy
4Komodo National Park, Labuan Bajo, Flores 86554, Indonesia
5Wildlife Conservation Society-Indonesia Program, Bogor 16151, Indonesia
Corresponding author:
Achmad Ariefiandy. Komodo Survival Program, Denpasar, Bali, 80223, Indonesia.
E-mail: achmad_ariefiandy@yahoo.com
2
Abstrak
Memahami bagaimana satwa terancam bisa hidup berdampingan dengan manusia dalam jangka
panjang menjadi perhatian utama dalam konservasi dan manajemen satwa liar. Taman Nasional
Komodo di Indonesia timur adalah satu tempat yang aman bagi populasi terbesar satwa endemik
biawak komodo (Varanus komodoensis). Sesuai dengan kecenderungan global, spesies ini akan
semakin terpapar dengan aktivitas manusia terutama ekoturisme yang terus bertumbuh.
Dalam penelitian ini, kami secara komprehensif melakukan evaluasi bagaimana aktivitas
manusia, khususnya ekoturisme memengaruhi ekologi biawak komodo. Kami membandingkan
respon fenotipik (perilaku, ukuran tubuh, dan kondisi tubuh) dan demografik (struktur umur,
kesintasan, dan kepadatan populasi) biawak komodo terhadap variasi aktivitas manusia di Taman
Nasional Komodo.
Biawak komodo menunjukkan respon fenotipik dan demografik yang nyata di area dengan
aktivitas manusia tinggi dan rendah dibandingkan dengan area tanpa aktivitas. Biawak komodo
yang terpapar ekoturisme menjadi kurang waspada, memiliki massa tubuh yang lebih besar,
kondisi tubuh yang lebih baik, dan kesintasan yang lebih tinggi dibandingkan area tanpa atau
dengan aktivitas manusia rendah. Hasil tersebut dikarenakan area ekoturisme menyediakan
biawak komodo subsidi nutrisional yang substansial dan berjangka panjang sebagai konsekuensi
dari pemberian makan dan buangan sisa makanan manusia.
Namun kami juga mencatat potensi konsekuensi negatif dari perubahan perilaku dan struktur
populasi yang didominasi jantan dewasa di area aktivitas tinggi yang dapat menurunkan
kemampuan reproduksi (reproductive fitness) melalui kompetisi dalam mencari pasangan.
Untuk mengatasi isu ini, kami merekomendasikan tiga strategi manajemen untuk
3
diimplementasikan ke depan meliputi: 1) penghentian aktivitas feeding, 2) evaluasi berbagai
model ekoturisme, dan 3) regulasi yang ketat terhadap lokasi ekoturisme.
Dalam skala lebih besar, studi ini menggarisbawahi pengaruh aktivitas manusia, khususnya
ekoturisme terhadap satwa liar dan populasinya. Kami menganjurkan pengembangan kerangka
kerja untuk mencapai keberlanjutan dalam aspek sosial ekonomi yang dapat menguntungkan
masyarakat dan konservasi satwa liar.
Kata kunci: demografi, ekoturisme, biawak komodo, Taman Nasional Komodo, manajemen,
fenotipe.
4
Pendahuluan
Manusia telah menyebabkan perubahan skala besar dalam dinamika ekologis dan evolusi alam
(Vitousek et al. 1997). Proses antropogenik yang mempengaruhi biodiversitas dan ekosistem
meliputi ekploitasi, degradasi, dan kehilangan sumber daya alam diakibatkan modifikasi habitat,
perambahan, dan pemanenan liar (Vitousek et al. 1997; Butchart et al. 2010). Ekoturisme, yang
telah bertumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir, juga meningkatkan kekhawatiran akan
dampaknya terhadap satwa liar dan habitat (Krüger 2005). Studi efek turisme pada satwa liar
menunjukkan bahwa terjadi perubahan perilaku, kesehatan, kesuksesan reproduksi, dan
kesintasan satwa (Schoenecker & Krausman 2002; Ellenberg et al. 2006; Amo, López & Martı´n
2006). Lebih lanjut, mengakomodir turisme di alam seringkali mengakibatkan pembukaan atau
modifikasi habitat yang dapat mempengaruhi ketersediaan sumber daya yang selanjutnya
berdampak pada ekologi satwa (Knight & Cole 1991).
Efek ekoturisme pada satwa liar berhubungan dengan volume kunjungan manusia dan
keberadaan infrastuktur (Papouchis, Singer & Sloan 2001). Di sini, satwa liar dapat terkena efek
langsung dan tidak langsung dari ekoturisme. Banyak satwa melihat manusia sebagai predator
potensial dan meningkatkan perilaku antipredator meliputi perilaku waspada dan melarikan diri.
Perilaku tersebut dapat menghabiskan waktu, energi, dan kesempatan untuk melakukan kegiatan
peningkatan daya tahan tubuh (Ellenberg et al. 2006; Gotanda, Turgeon & Kramer 2009).
Dalam kasus lain, satwa dapat juga beradaptasi dengan kehadiran manusia dengan menghentikan
reaksi mereka atau menjadi terhabituasi terhadap perjumpaan dengan manusia (Herrero et al.
2005; Rodriguez-Prieto et al. 2009).
5
Sebagai tambahan, pemberian makanan tambahan kepada satwa liar merupakan kegiatan yang
umum dilakukan berkaitan dengan ekoturisme. Praktik ini dilakukan untuk mengumpulkan satwa
di lokasi spesifik dan meningkatkan kesempatan turis untuk bertemu satwa liar (Walpole 2001;
Orams 2002). Untuk satwa predator besar yang biasanya pemalu atau kriptik, pemberian makan
sangat berperan dalam memfasilitasi interaksi antara turis dan satwa liar (Ryan 1998;
Brunnschweiler & Baensch 2011). Namun, terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut dapat
memiliki efek perubahan yang kompleks terhadap satwa melalui perubahan asupan nutrisi
(dalam hal kesempatan dan komposisi). Efek nutrisional tersebut berpotensi menyebabkan
beragam konsekuensi perilaku dan fisiologis yang kompleks pada satwa liar (Orams 2002;
Jessop et al. 2012; Smith & Iverson 2016).
Pada akhirnya, efek ekoturisme terhadap fenotipe satwa dapat berdampak pada perubahan daya
tahan (contoh: kesintasan dan reproduksi) yang kemudian mempengaruhi dinamika populasi.
Respon fisiologis terhadap gangguan manusia seperti peningkatan denyut jantung, tingkat
hormon stres, dan pengeluaran energi dapat memiliki konsekuensi tingkat populasi seperti
penurunan kesuksesan reproduksi dan kesintasan (Dyck & Baydack 2004; Ellenberg et al. 2006).
Sebaliknya, subsidi makanan di area ekoturisme dapat meningkatkan kualitas fenotipik satwa
dan memengaruhi parameter demografik seperti fekunditas, kesintasan, dan pertumbuhan
populasi (Orams 2002; Jessop et al. 2012). Oleh karena itu, untuk memahami efek aktivitas
manusia terhadap satwa liar, diperlukan evaluasi konsekuensi di tingkat individu dan populasi
untuk menaksir secara keseluruhan implikasi dari manajemen konservasi.
Situs warisan dunia Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu kawasan konservasi
utama di Indonesia bagian timur dan terdiri dari ekosistem darat dan laut. Alasan utama
dibentuknya taman nasional ini adalah untuk konservasi satwa endemik biawak komodo yang
6
ikonik (Ramono, Wawandono & Subijanto 2000). Biawak komodo adalah kadal predator besar
(bobot mencapai 87 kg dan panjang 3 m) dan berumur panjang (hingga 60 tahun) (Auffenberg
1981; Jessop et al. 2006 and Laver et al 2012). Kadal tersebut memiliki distribusi yang sangat
terbatas dan populasi mereka saat ini hanya ditemukan di lima pulau, empat di antaranya di
dalam kawasan Taman Nasional Komodo (Ciofi & de Boer 2004). Biawak komodo merupakan
flagship species dan menjadi pusat atraksi turisme utama di TNK (Auffenberg 1981; Walpole
2001).
Walau terdapat beberapa studi yang melaporkan pengaruh lingkungan dan ekologis terhadap
karakteristik fenotifik dan populasi biawak komodo, masih terdapat keterbatasan pemahaman
tentang pengaruh aktivitas manusia terhadap ekologi komodo di TNK (Purwandana et al. 2014,
2015). Kajian terdahulu melaporkan bahwa pemberian makan pada tahun 1980-1990an untuk
membantu turis bertemu dengan komodo telah mendorong peningkatan kepadatan biawak
komodo hingga enam kali lipat di area pemberian makan dibandingkan dengan area lainnya
(Walpole 2001). Namun studi tersebut tidak dapat menyimpulkan apakah efek pemberian makan
terhadap kepadatan muncul karena makanan menarik individu atau karena peningkatan
reproduksi dan kesintasan akibat input nutrisional. Meskipun demikian, studi tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas ekoturisme dapat merubah ekologi biawak komodo, suatu
informasi yang perlu untuk diteliti lebih lanjut mengingat TNK saat ini dikunjungi lebih dari
50.000 orang setiap tahunnya (Balai Taman Nasional Komodo 2014). Selain pemberian makan,
aktivitas yang terkait ekoturisme lainnya juga dapat memengaruhi biawak komodo, yang
meliputi peningkatan pertemuan dengan manusia karena turis berjalan di habitat biawak komodo.
hal lain yang terkait pembangunan infrastruktur yang digunakan oleh petugas taman nasional
(kantor, pos polisi hutan, dan rumah tidur) dan turis (kafetaria), juga mengarah kepada perubahan
7
struktur habitat lokal dan berperan dalam menyediakan subsidi makanan melalui buangan sisa
makanan.
Studi ini bertujuan untuk memahami sejauh mana dampak aktivitas manusia terhadap biawak
komodo dengan mendokumentasikan respon perilaku (tipe reaksi awal dan jarak pendekatan),
morfologi (ukuran dan kondisi tubuh), dan demografi (struktur umur, kesintasan, dan kepadatan
populasi). Untuk melakukan pengukuran tersebut, kami membandingkan respon fenotipik dan
demografik biawak komodo di tiga level aktivitas manusia: 1) aktivitas tinggi dari ekoturisme, 2)
aktivitas rendah tapi rutin dari polisi hutan, dan 3) tanpa aktivitas manusia/ sangat terbatas. Di
TNK, perbedaan intensitas aktivitas tersebut terbagi berdasarkan zonasi taman nasional.
Material dan Metode
Area Studi
Kami mempelajari populasi Biawak Komodo di Pulau Komodo (luas 393,4 km2) dan Pulau
Rinca (luas 278,0 km2). Keduanya termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Komodo (TNK)
(8°35'22"S, 119°36'52"E) di Indonesia bagian timur (Gambar 1). Kedua pulau tersebut memiliki
iklim monsoon tropis, dengan curah hujan paling besar (rerata <500 mm) terjadi antara bulan
Desember dan Februari (Monk, De Fretes & Reksodiharjo-Lilley 2013). Pulau tersebut memiliki
topografi yang berbukit dengan ketinggian maksimum 735 mdpl (Pulau Komodo). Aktivitas
wisata terfokus di dua lokasi di Pulau Komodo dan Rinca (~ 5% dari luas total pulau).
Perburuan biawak komodo dan satwa liar dilarang di TNK, dan polisi hutan secara rutin
berpatroli di pulau.
8
Kami melakukan kegiatan capture-mark-recapture jangka panjang di delapan lokasi studi yang
tersebar di dua pulau selama musim kemarau (Maret-November) tahun 2002-2012. Empat lokasi
terletak di Pulau Komodo: 1) Loh Liang (K1; 5,6 km2), 2) Loh Lawi (K2; 9,2 km2), 3) Loh
Sebita (K3; 3,8 km2), dan 4) Loh Wau (K4; 1,6 km2). Empat lokasi lainnya berada di Pulau
Rinca: 5) Loh Buaya (R1; 4,5 km2), 6) Loh Baru (R2; 3,4 km2), 7) Loh Tongker (R3; 3,1 km2),
dan 8) Loh Dasami (R4; 2,3 km2). Lokasi tersebut juga merupakan lokasi pengambilan data
respon perilaku biawak komodo selama periode Agustus-September 2013.
Delapan lokasi studi kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat aktivitas
manusianya:
1. Tinggi (lokasi K1, R1; Gambar 1): lokasi ini menampung tingkat tertinggi aktivitas manusia
(~500/orang/hari/lokasi) sebagai konsekuensi dari kunjungan turis (rerata 30.757 dengan rentang
11.587-63.801 pengunjung per tahun antara 2002 dan 2013) dan kehadiran permanen dari
petugas TNK (~10-15/orang/hari/lokasi). Lokasi memiliki bangunan permanen (luas ~600 m2)
yang menyediakan akomodasi dan kantor bagi petugas taman nasional dan kafetaria bagi turis.
Habitat sekitar bangunan (~1 ha) telah dimodifikasi untuk mengurangi tutupan pohon dan
memperluas ruang terbuka.
Aktivitas manusia lainnya di lokasi ini meliputi pemberian makan dari pengumpanan
menggunakan daging kambing untuk menarik biawak komodo di lokasi ekowisata dan buangan
sisa makanan dari kafetaria dan pos petugas. Habitat di lokasi tersebut secara rutin terpapar oleh
kunjungan manusia melalui patroli polhut (untuk monitoring satwa liar dan aktivitas ilegal) dan
trekking oleh turis. Aktivitas tersebut banyak terkonsentrasi di sepanjang jalur trekking yang
tersebar di lokasi studi.
9
2) Rendah (lokasi K3, K4, R2; Gambar 1): lokasi ini menampung aktivitas manusia dalam
tingkat rendah (~3 orang/hari/lokasi). Setiap lokasi memiliki satu bangunan kecil (~144 m2)
yang dihuni permanen oleh 2-3 polhut. Di sini, pemberian makan kepada biawak komodo terjadi
secara terbatas akibat buangan sisa makanan petugas. Patroli rutin oleh polhut TN dilakukan
setiap dua hari sekali dan kunjungan tidak rutin sesekali terjadi.
3) Tanpa aktivitas manusia/sangat terbatas (K2, R3, R4; Gambar 1): lokasi ini terdiri dari habitat
taman nasional yang tidak atau terpapar sangat sedikit aktivitas manusia karena tidak adanya
bangunan permanen, kunjungan turis, dan kehadiran manusia yang rutin.
Protokol Lapangan
Evaluasi Respon Perilaku Biawak Komodo terhadap Aktivitas Manusia
Kami mengoleksi data perilaku selama 2-3 hari pada setiap lokasi studi, dengan periode
observasi antara pukul 0700-1600. Observasi dilakukan bersamaan dengan program monitoring
tahunan pada tahun 2013, yang meliputi hampir seluruh wilayah lokasi studi. Respon perilaku
dibagi menjadi tipe reaksi awal dan jarak pendekatan (Approach Distance/AD).
Setiap kali seekor biawak komodo dijumpai, pengamat (ARD/AA) mendekati komodo dengan
berjalan lurus dan perlahan, dan mencatat AD ketika komodo menghentikan aktivitasnya dan
melakukan kontak mata dengan pengamat. Setelah mengukur AD, pengamat berdiri dan
menunggu hingga muncul reaksi dari komodo. Reaksi awal biawak komodo terhadap manusia,
dalam hal ini pengamat, dibagi menjadi tiga tipe: atraksi (komodo mendekati pengamat),
menghindar (komodo menjauhi pengamat), dan tidak ada reaksi (komodo tidak bereaksi terhadap
pengamat dan melanjutkan aktivitas).
10
Evaluasi Respon Morfologik dan Demografik Biawak Komodo terhadap Aktivitas Manusia.
Protokol Penjebakan
Kami melakukan kegiatan tahunan penjebakan biawak komodo untuk mendapatkan data respon
fenotipik dan demografik terhadap aktivitas manusia. Kami menggunakan perangkap aluminium
(panjang 300 cm x tinggi 50 cm x lebar 50 cm), masing-masing dilengkapi dengan pintu depan
yang terhubung kabel untuk menangkap biawak komodo. Sebanyak 175 lokasi perangkap
dipasang di delapan lokasi studi dengan rincian di lokasi Pulau Komodo: K1, K2, K3, dan K4
terdiri dari 32, 32, 21, dan sembilan lokasi perangkap dan di Pulau Rinca: R1, R2, R3, dan R4
terdapat of 22, 22, 13 dan 24 lokasi. Lokasi perangkap lebih banyak berada di hutan monsoon
yang dianggap sebagai habitat kualitas tinggi bagi komodo.
Perangkap diposisikan di area ternaung untuk mencegah panas berlebih pada individu
tertangkap. Kami menggunakan daging kambing (~0,5 kg) sebagai umpan untuk menarik
biawak komodo ke dalam perangkap. Sebagai tambahan, kantung berisi daging digantung
setinggi 3-4 m di atas perangkap untuk jangkauan yang lebih luas. Perangkap dapat menangkap
seluruh ukuran biawak komodo kecuali tetasan dan anakan (massa tubuh <1,5 kg) yang masih
hidup arboreal.
Durasi penjebakan bervariasi antara 9-14 hari untuk menyisir seluruh lokasi perangkap di tiap
lokasi studi. Kegiatan lapangan dilakukan pada musim kemarau (Maret-September) setiap
tahunnya. Di dalam lokasi studi, perangkap dipasang selama tiga hari dan dilakukan pengecekan
dua kali sehari antara pukul 0800-1100 dan 1400-1700 dengan rentang ~6 jam. Jika biawak
komodo terdeteksi dalam radius 50 m dari perangkap, kami mencoba untuk menangkap langsung
dengan tongkat laso untuk meningkatkan ukuran sampel di tiap lokasi perangkap.
11
Setelah tertangkap, biawak komodo diikat dengan tali dan mulut mereka diselotip. Kami
mengukur panjang snout to vent/SVL sebanyak dua kali untuk setiap individu menggunakan pita
meteran dari ujung moncong hingga kloaka. Panjang total tubuh komodo (TBL) diukur dari
ujung moncong hingga ujung ekor. Massa tubuh didapatkan dengan timbangan digital. Setiap
komodo diidentifikasi secara permanen dengan menggunakan transponder (Trovan ID100a,
Microchips Australia Pty Ltd., Australia) yang diselipkan di antara dermis dan otot bagian atas
dari kaki kanan bawah. Sebagai tambahan, kami menandai punggung komodo dengan kode
menggunakan cat khusus (spidol non-toksin) untuk meningkatkan kemampuan kami mengenali
individu komodo. Kami membatasi waktu proses di bawah 20 menit sebelum komodo dilepas di
lokasi perangkap.
Ukuran dan Kondisi Tubuh
Massa tubuh individu biawak komodo dicatat sebagai ukuran tubuh. Kondisi tubuh dihitung
menggunakan residual dari persamaan regresi log natural transformasi massa tubuh dengan
panjang tubuh (TBL, log natural transformasi). Kami mentransformasi data untuk mengurangi
efek perubahan tubuh ontogenik agar menghilangkan perbedaan alometrik pada kondisi tubuh.
Kesintasan Populasi
Kami menghimpun data individu tertangkap dan tertandai untuk membuat matriks tangkapan.
Analisis kesintasan dilakukan menggunakan model CormackJollySeber (CJS) di program
MARK (White & Burnham 1999). Analisis tersebut mengestimasi kesintasan yang teramati,
bukan kesintasan sejati karena kematian dan emigrasi tidak dapat dipisahkan dalam model CJS
(Schaub et al. 2004). Kesintasan teramati merupakan estimasi rendah dari kesintasan sejati, tapi
karena emigrasi jarang terjadi dalam sistem studi kami, perbedaan antara keduanya akan rendah.
12
Analisis dilakukan dengan satu set data dimana setiap lokasi dikode berdasarkan level aktivitas
manusia (tinggi, rendah, tidak ada). Untuk mengestimasi kesintasan, kami membuat kumpulan
model kandidat untuk analisis, mengevaluasi goodness-of-t, dan mengestimasi parameter
overdispersi (ĉ) dari set data. Kami menggunakan pendekatan informasi teoritik untuk memilih
model terbaik melalui AICc model selection criterion (semakin rendah nilai AICc menunjukkan
model semakin baik). Model kemudian diperingkat berdasarkan nilai quasi-likelihood AICc
value (QAICc) untuk memperhitungkan overdispersi. Berat model (w) dihitung untuk
mengevaluasi kekuatan yang mendukung model tersebut. Pada akhirnya, kami mengestimasi
parameter dari model terbaik (berat model ≥ 0.9), atau jika tidak, kami menggunakan pendekatan
pemerataan model (dilakukan di program MARK) yang menggabungkan seluruh model dengan
dukungan tinggi (ΔAIC <2 dari model terbaik).
Kumpulan 16 model kandidat diuji untuk melihat estimasi kesintasan biawak komodo di tiap
kelompok aktivitas. Model tersebut memperhitungkan variasi kombinasi parameter yang
memengaruhi Φ dan p. Untuk memodelkan variasi kesintasan dalam kelompok, kami juga
memperhitungkan model null, waktu penuh, dan bergantung-kelompok untuk memungkinkan
pengujian model yang sesuai dengan spesifikasi kelompok. Di sini, parameter probabilitas
kesintasan dan tangkapan disesuaikan dengan kombinasi waktu (t), kelompok aktivitas (g), atau
konstanta.
Estimasi Kepadatan Populasi
Estimasi kepadatan didapatkan melalui formulasi POPAN dalam metode Jolly-Seber (JS)
(Arnason & Schwarz 1995; Schwarz & Arnason 1996). Parameter yang dapat diestimasi dari
model POPAN JS meliputi: Φ (kesintasan terlihat), p (probabilitas tangkapan kembali), PENT
(probabilitas masuk ke dalam populasi pada setiap ulangan), dan N (ukuran populasi-super
13
misalnya total individu yang hadir di dalam populasi selama periode studi). Model JS ini
diasumsikan terbuka dan mengizinkan tambahan (kelahiran dan imigrasi) dan kehilangan
(kematian dan emigrasi) di antara periode sampling (Schwarz & Arnason 1996).
Kumpulan 32 kandidat model JS diuji dalam set data tangkapan biawak komodo dimana
parameter kesintasan (Φ) dan tangkapan ulang (p) diestimasi dengan memperhitungkan seluruh
kombinasi konstanta waktu (.) atau variabel (t) waktu dan efek kelompok. Parameter PENT
dimodelkan berdasarkan kombinasi variabel waktu atau kelompok per waktu. Parameter N
dimodelkan sebagai fungsi dari kelompok (Ng). POPAN menghasilkan dua estimasi kelimpahan
populasi: estimasi populasi-super (N) dan turunan parameter kelimpahan tahunan (Ng, t) untuk
setiap tingkat aktivitas manusia (g) pada setiap periode sampling tahunan (t). Dalam studi ini
kami merujuk pada yang kedua karena kami hanya ingin menghitung kelimpahan total di area
aktivitas manusia. Kami menguji goodness-of-fit dari model global dan mengestimasi
overdispersi menggunakan median ĉ di program MARK. Kelimpahan populasi biawak komodo
kemudian diestimasi untuk setiap tingkat aktivitas manusia menggunakan data 2011/2012
(sampling terakhir) yang diturunkan dari estimasi kelimpahan populasi tahunan (dengan SEM;
CI 95%).
Asumsi kunci dari model CJS adalah: 1) probabilitas tangkapan individu di dalam populasi
adalah sama; 2) tangkapan tidak bersifat letal dan merupakan peristiwa yang singkat; dan 3)
emigrasi bersifat permanen (Williams, Nichols & Conroy 2002). Kami tidak percaya bahwa
asumsi tersebut dilanggar karena beberapa alasan. Biawak komodo memiliki aktivitas sepanjang
tahun dan tidak terlalu sensitif terhadap variasi suhu musiman. Mereka juga tidak memiliki
variasi perilaku respon spesifik-lokasi terhadap perangkap yang dapat memengaruhi probabilitas
tangkapan yang penting untuk estimasi kesintasan biawak (Purwandana et al. 2014). Peristiwa
14
penangkapan biawak komodo berdurasi pendek (<3 jam) dan tidak ada kematian selama
kegiatan. Terakhir, hanya sedikit kasus pergerakan biawak komodo antar lokasi (emigrasi)
dalam studi kami.
Analisis Statistik
Efek aktivitas manusia terhadap data fenotipik dan demografik dianalisis menggunakan model
generalized linear mixed effect. Karena beberapa tipe data (contoh perilaku dan kategori umur)
didapatkan dari distribusi non-gaussian, maka model tersebut dimasukkan dalam distribusi yang
sesuai (contohnya binomial dan multinomial) dan canonical link (contohnya identity and logit).
Lokasi dan identitas individu (untuk data massa dan kondisi tubuh yang diukur berulang dari
individu sama), dianggap sebagai efek acak dalam model. Seluruh model dijalankan dengan
SPSS v.23 (IBM).
Hasil
Respon Fenotipik Biawak Komodo
Perilaku
Kami mencatat respon perilaku 54 biawak komodo yang diobservasi di lokasi studi: 1) aktivitas
tinggi (n=29); 2) rendah (n=11); dan 3) tidak ada (n=14). Kami menemukan perbedaan
signifikan dari tipe reaksi awal komodo di lokasi dengan tingkat aktivitas manusia yang berbeda
(GLMM, F 2, 51 =3. 92, P= 0.026; Fig. 2A). Biawak komodo di lokasi tinggi memiliki proporsi
tidak bereaksi yang lebih besar sementara biawak komodo di lokasi tanpa aktivitas cenderung
lari atau menjauh (menghindar) ketika ditemui. Analisis lebih lanjut menunjukkan jarak
15
pendekatan (AD) biawak komodo tidak berbeda dalam respon terhadap tingkat aktivitas manusia
(GLMM, F 2,51 =0.86, P= 0.44; Gambar 2B).
Massa Tubuh
Terdapat efek signifikan aktivitas manusia terhadap rerata massa tubuh Biawak Komodo antar
lokasi studi (GLMM, F 2,1871 = 21.36, P< 0.001). Rerata massa tubuh komodo yang tertangkap di
lokasi aktivitas tinggi dan rendah signifikan lebih tinggi dibandingkan komodo di lokasi tanpa
aktivitas manusia (Post-hoc tests, P<0.05; Gambar 3A). Tidak terdapat perbedaan nyata massa
tubuh komodo di lokasi tinggi dan rendah (Post-hoc tests; P = 0.165).
Kondisi tubuh
Perbedaan signifikan terukur pada kondisi tubuh (massa/TBL) biawak komodo di tiga tingkat
aktivitas manusia (GLMM 2, 1871, F = 3.94, P= 0.020; Gambar 3B). Kondisi tubuh Biawak
Komodo yang tertangkap di area pos polisi hutan menurun secara signifikan (P<0.05)
dibandingkan individu di lokasi tinggi ataupun tanpa aktivitas manusia.
Respon Demografik Biawak Komodo
Proporsi Kelas Umur
Komposisi kelas umur biawak komodo secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas manusia
(GLMM 2,1871, F= 9.28, P< 0.001; Gambar 4A). Populasi pada lokasi aktivitas tinggi memiliki
proporsi biawak komodo dewasa yang lebih besar dibandingkan lokasi tanpa aktivitas manusia.
Estimasi Kesintasan
Para tahun 2003-2012 terdapat 825 perjumpaan individu biawak komodo yang tertangkap dari
1.856 usaha trapping. Data tersebut dianalisis menggunakan set 16 kandidat model CJS yang
16
diperingkat menggunakan kriteria model terbaik untuk menghitung efek aktivitas manusia dan
variasi tahunan terhadap estimasi kesintasan terlihat dan probabilitas tangkapan ulang (Tabel 1).
Model terbaik [Φ(g) p(t)] mendapatkan dukungan yang tinggi (ω = 0.92) dan mengindikasikan
kesintasan biawak komodo dipengaruhi kuat oleh aktivitas manusia. Kesintasan paling tinggi
terdapat di populasi biawak komodo yang menghuni lokasi aktivitas tinggi disusul lokasi rendah
dan lokasi tanpa aktivitas manusia (Gambar 4b).
Kepadatan Populasi
Estimasi kepadatan populasi didapatkan dari set 18 kandidat model populasi terbuka Jolly-Seber
(POPAN) yang diperingkat berdasarkan kriteria model terbaik untuk mendapatkan turunan
kelimpahan populasi biawak komodo yang menghuni habitat dengan tingkat aktivitas yang
berbeda (Tabel 2). Model terbaik [Φ(g) p(.) pent(t) N(.)] mengindikasikan bahwa parameter
kelimpahan (N) paling baik diformulasikan dalam bentuk parameter konstanta. Lebih lanjut,
kepadatan populasi biawak komodo tampak tidak berbeda nyata dalam respon terhadap aktivitas
manusia yang berbeda (Gambar 4c).
Diskusi
Sejauh mana satwa terancam dapat hidup berdampingan dengan manusia dalam jangka panjang
menjadi perhatian utama dalam ilmu dan kebijakan konservasi (Carter et al. 2012). Situs
warisan dunia Taman Nasional Komodo (TNK), masih menjadi kawasan perlindungan terbesar
biawak komodo di Indonesia bagian timur. Secara umum, biawak komodo tampak mampu
koeksis dengan tingkat aktivitas manusia di TNK saat ini. Hal ini kontras dengan kasus
kepunahan lokal yang terjadi pada populasi biawak komodo di lokasi lain (Flores) yang terpapar
oleh aktivitas manusia seperti modifikasi habitat (Ariefiandy et al. 2015). Walaupun begitu,
17
pemaparan terhadap aktivitas manusia, khususnya ekoturisme, dapat memengaruhi ekologi
biawak komodo pada aspek fenotipe dan demografi mereka.
Efek terhadap Atribut Fenotipik Biawak Komodo
Terdapat efek yang konsisten pada biawak komodo yang tinggal di lokasi aktivitas tinggi atau
ekoturisme yang ditandai dengan adanya perbedaan perilaku dan morfologi. Di sini, biawak
komodo menunjukkan perilaku yang mengindikasikan proses habituasi terhadap manusia dengan
berkurangnya respon negatif (menghindari). Reaksi ini mungkin muncul akibat interaksi netral
dengan manusia yang berulang hingga tahap manfaat tidak bereaksi terhadap manusia melebihi
resiko yang dipersepsikan (Knight & Cole 1991; Rodriguez-Prieto et al. 2009). Dengan
menghentikan reaksi, biawak komodo menghemat energi untuk melakukan perilaku antipredator
yang memiliki dampak fisiologis (Romero & Wikelski 2002). Namun, penurunan kewaspadaan
dan rasa takut terhadap manusia dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Biawak
komodo yang terhabituasi sering ditemukan di dekat desa (misalnya Kampung Komodo dekat
Loh Liang) dan menyebabkan konflik karena memangsa ternak (Ardiantiono 2014). Juga dalam
beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa serangan non-letal oleh komodo terhabituasi kepada
petugas taman nasional dan yang terbaru (2017) terhadap turis di lokasi ekoturisme.
Bersamaan dengan perbedaan perilaku, peningkatan ukuran tubuh dan kualitas kondisi tubuh
juga teramati pada populasi biawak komodo di lokasi ekoturisme dibandingkan lokasi lain di
taman nasional. Perubahan fisik ini dikarenakan biawak komodo di lokasi ekoturisme menerima
subsidi makanan sebagai konsekuensi langsung dari pemberian makan dan buangan sisa
makanan dari pos petugas. Mengingat perubahan fenotipik tersebut berdasarkan pengukuran di
tingkat lokasi studi (beberapa kilometer persegi habitat), hal ini menunjukkan bahwa subsidi
18
makanan memiliki efek skala besar terhadap biawak komodo yang membentang hingga ke luar
dari area subsidi makan.
Sebagai hewan yang mengandalkan mekanisme pengaturan suhu secara ektoterm dan efisien
dalam mengasimilasi makanan, agaknya akan cenderung sensitif terhadap asupan nutrisi buatan
yang menghalangi kualitas dan jumlah nutrisi makro dan mikro yang dicerna (Jessop et al.
2012). Pentingnya efek tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh Walpole (2001) yang
mengindikasikan walaupun dilakukan secara oportunistik, pemberian makan yang berlanjut
menyebabkan efek jangka panjang terhadap biawak komodo. Menariknya, di lokasi aktivitas
rendah, biawak komodo memiliki kondisi tubuh yang lebih rendah walau massa tubuh mereka
lebih berat dari komodo di lokasi tanpa aktivitas manusia. Hal ini dikarenakan kuantitas subsidi
makanan yang kurang akibat tidak adanya pemberian makanan seperti di lokasi ekoturisme.
Kemungkinan, biawak komodo yang berukuran besar datang ke pos petugas tetapi tidak
mendapatkan subsidi energi yang cukup untuk menjaga kondisi tubuh mereka.
Efek terhadap Atribut Demografik Biawak Komodo
Efek fenotipik dari aktivitas manusia juga memiliki konsekuensi demografik bagi biawak
komodo. Kami menemukan bukti bahwa biawak komodo yang tinggal di lokasi ekoturisme
memiliki stuktur seks jantan yang lebih banyak, kesintasan yang lebih tinggi, tapi yang menarik
adalah kepadatan populasi mereka tidak berbeda dengan lokasi lainnya. Hasil demografik
tersebut menunjukkan bahwa subsidi makanan menyediakan input nutrisional yang memiliki
efek nyata bagi struktur populasi dan laju kesintasan biawak komodo (Oro et al. 2004; Dempster
et al. 2011; Jessop et al. 2012).
Stuktur kelas umur populasi di lokasi ekoturisme lebih bias ke individu dewasa, dan melihat
peningkatan massa tubuh, kemungkinan rasio seks dewasa lebih condong ke individu jantan
19
dewasa. Oleh karena itu, efek fenotipik tidak hanya muncul akibat subsidi makanan, tapi
mungkin juga dikarenakan rasio yang dominan jantan dewasa. Habitat yang disubsidi makanan
cenderung menarik jantan yang lebih besar dan dapat memonopoli makanan dengan secara
agresif mengusir individu yang lebih kecil. Bias kelas umur ini, bersama dengan manfaat
langsung dari input nutrisional dapat menjelaskan peningkatan kesintasan yang teramati di lokasi
ekoturisme; dimana jantan dewasa memiliki kesintasan paling tinggi di antara komodo lainnya
(Laver et al. 2012). Kemungkinan lain adalah sumber makanan menarik individu besar dengan
genotif fitness tinggi yang dapat berkompetisi di lokasi ekoturisme. Bersamaan dengan itu,
lokasi ekoturisme dapat mendorong seleksi lokal untuk individu dengan daya tahan tinggi yang
dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesintasan yang kemudian mengubah dinamika
populasi alami (Oro et al. 2004). Walaupun hasil serupa dapat muncul jika lokasi ekoturisme
memiliki kepadatan satwa mangsa yang tinggi, hal ini tampaknya tidak sesuai karena hasil
monitoring jangka panjang mangsa ungulata tidak mendukung hipotesis ini (Purwandana et al.
2015; Ariefiandy et al. 2016).
Akan tetapi dengan mengesampingkan manfaat potensial fenotipik dan demografik, struktur
populasi yang bias jantan dewasa dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap populasi lokal
biawak komodo. Sebagai contoh, kepadatan populasi biawak komodo ternyata tidak lebih tinggi
di lokasi ekoturisme. Hal ini mungkin menandai bahwa rasio dominan jantan menyebabkan
peningkatan kompetisi dalam mencari pasangan yang berpotensi membatasi luaran reproduksi
sehingga menghambat pertumbuhan populasi lokal dan membatasi kepadatan populasi
(Kvarnemo & Ahnesjo 1996). Dalam hal ini, lokasi ekoturisme dapat menjadi perangkap
ekologis karena mereka merupakan habitat kualitas rendah yang lebih dipilih oleh biawak
komodo dibandingkan lokasi lain dimana keuntungan daya tahan lebih tinggi (Gilroy &
20
Sutherland 2007). Secara garis besar, perangkap ekologis adalah habitat yang menarik bagi
satwa tapi secara demografis berfungsi sebagai populasi penerima (sink population) (Fletcher,
Orrock & Robertson 2012). Perangkap ekologis dapat muncul ketika ada perbedaan antara
preferensi habitat biawak komodo dengan konsekuensi daya tahan dari pilihan habitat mereka
(Battin 2004). Oleh karena itu, hingga batas tertentu lokasi ekoturisme dapat berfungsi sebagai
perangkap ekologis bagi biawak komodo jantan yang menganggap habitat tersebut berkualitas
tinggi tetapi di sana pula fitness reproduksi mereka berkurang (Battin 2004; Letnic et al. 2015).
Implikasi bagi Manajemen Biawak Komodo
Studi kami menunjukkan bahwa aktivitas manusia, khususnya ekoturisme, memiliki efek penting
terhadap ekologi biawak komodo. Efek tersebut muncul tidak hanya dari kunjungan turis, tapi
juga dari subsidi makanan (pemberian makan dan buangan sisa makanan) di dalam habitat
biawak komodo.
Ekoturisme memiliki potensi untuk menghasilkan manfaat jangka panjang jika mampu
menyediakan sumber ekonomi tambahan kepada pengelola taman nasional atau kesempatan
kerja bagi masyarakat lokal (Walpole, Goodwin & Ward 2001). Akan tetapi, ekspansi aktivitas
ekoturisme harus dipertimbangkan dengan seksama untuk mengurangi dampak negatif terhadap
populasi biawak komodo yang dapat menyebabkan konsekuensi tidak diinginkan terhadap
manusia (pemangsaan ternak atau serangan terhadap manusia) (Schoenecker & Krausman 2002;
Ellenberg et al. 2006; Amo, López & Martı´n 2006). Untuk menekan dampak yang ada dan
akan datang, kami merekomendasikan tiga strategi manajemen untuk dipertimbangkan oleh
TNK.
21
Pertama, manajemen penyediaan subsidi makanan, yang muncul sebagai konsekuensi untuk
meningkatkan kepuasan turis di lokasi ekoturisme dan buangan sisa makanan dari kafetaria atau
pos petugas harus diatur secara ketat. Idealnya, praktik pemberian makan harus dihentikan dan
perlu disediakan sistem pengolahan limbah yang lebih baik (misalnya sampah dikeluarkan dari
pulau dan dibuang di area urban di pulau Flores). Pengelolaan tersebut dapat mengurangi efek
antropogenik terhadap parameter fenotipik dan demografik biawak komodo.
Kedua, perlu dilakukan diversifikasi model ekoturisme untuk memberikan pengalaman yang
berbeda kepada turis sekaligus mengurangi pengaruh aktivitas manusia terhadap biawak komodo
dan habitat. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan edukasi atau penyadartahuan tentang
pentingnya menjaga habitat darat dan laut TNK lebih dari sekedar hanya melihat biawak
komodo. Penyediaan media interpretasi (misalnya pusat pengunjung) atau aktivitas alternatif
(trekking di luar habitat komodo) dapat lebih lanjut mengurangi interaksi langsung antara
manusia dan biawak komodo.
Ketiga, seiring prediksi pertumbuhan ekoturisme yang semakin pesat, resiko juga akan
meningkat dan berdampak kepada TNK. Patut disyukuri bahwa hampir seluruh infrastuktur
turisme (bandara, resort, hotel, dan restoran) yang dibutuhkan untuk memfasilitasi ekoturisme di
TNK terletak di pulau Flores. Namun, jika ke depan ada rencana pembangunan resort di dalam
kawasan taman nasional, maka penting untuk memahami bahwa keberadaan infrastruktur dapat
berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap aset lingkungan TNK. Peningkatan
kunjungan, perlu diatur secara seksama melalui pembatasan spasial lokasi-lokasi dimana turis
dapat mengamati biawak komodo secara langsung. Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa
interaksi manusia-biawak komodo dibatasi hanya pada area kecil di TNK. Dengan adanya
peningkatan kunjungan turis dan bukti meningkatnya dampak terhadap biawak komodo dan
22
habitatnya maka kami mengadvokasi pendekatan wisata regional dimana aktivitas ekowisata
baru dan infrastukturnya dikembangkan di lokasi lain (dengan membangun turisme di kawasan
konservasi lain di dalam distribusi biawak komodo) dengan tujuan untuk mengurangi efek
turisme di TNK.
Kesimpulan
Dalam skala besar, studi ini menekankan pentingnya menilai efek aktivitas manusia khususnya
ekoturisme terhadap satwa liar di Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia menargetkan 21,5
kunjungan turis (20 juta dan 1,5 juta pengunjung lokal dan internasional, berurutan) ke kawasan
konservasi (taman nasional dan suaka margasatwa) selama periode 2015-2019 (Kehutanan
2015). Sebagai konsekuensi, tekanan dari ekoturisme terhadap satwa liar akan semakin
meningkat seperti halnya yang terjadi di situs warisan dunia lainnya seperti Galapagos. Kami
mengadvokasi pengembangan kerangka kerja yang dapat mencapai keberlanjutan dalam aspek
sosial ekonomi yang dapat menguntungkan masyarakat dan konservasi satwa liar (Walsh and
Mena, 2016).
Kontribusi Penulis
AR, TSJ, dan AA menyusun ide dan studi; DP, AA, MJI, TSJ, dan AR mengoleksi data; TSJ
melakukan analisis data; AR dan TSJ memimpin penulisan manuskrip. Seluruh penulis
berkontribusi pada manuskrip dan memberikan persetujuan final untuk publikasi.
23
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada staf Taman Nasional Komodo, asisten lapangan, dan sukarelawan
yang mendampingi kami selama kegiatan lapangan. Pendanaan utama dalam studi ini (2002-
2006) diberikan kepada TSJ via a Conservation Research Postdoctoral Fellowship dari the
Zoological Society of San Diego. Pendanaan lanjut (2007 seterusnya) disediakan oleh Komodo
Species Survival Plan of the American Zoo and Aquarium Association. Studi ini dilakukan
melalui Memorandum of Understanding (MOU) antara the Zoological Society of San Diego, dan
Dirjen PHKA serta melalui Perjanjian Kerjasama antara Komodo Survival Program dan Taman
Nasional Komodo.
Daftar Pustaka
Amo, L., López, P. & Martı´n, J. (2006) Nature-based tourism as a form of predation risk affects
body condition and health state of Podarcis muralis lizards. Biological Conservation, 131,
402409.
Ardiantiono. (2014) Analisis Spasial Konflik Manusia-Biawak Komodo Di Desa Komodo,
Taman Nasional Komodo. University of Indonesia.
Ariefiandy, A., Forsyth, D.M., Purwandana, D., Imansyah, J., Ciofi, C., Rudiharto, H., Seno, A.
& Jessop, T.S. (2016) Temporal and spatial dynamics of insular Rusa deer and wild pig
populations in Komodo National Park. Journal of Mammalogy, gyw131.
Ariefiandy, A., Purwandana, D., Natali, C., Imansyah, M.J., Surahman, M., Jessop, T.S. & Ciofi,
C. (2015) Conservation of Komodo dragons Varanus komodoensis in the Wae Wuul nature
reserve, Flores, Indonesia: A multidisciplinary approach. International Zoo Yearbook, 49,
24
6780.
Arnason, A.N. & Schwarz, C.J. (1995) POPAN-4: Enhancements to a system for the analysis of
mark-recapture data from open populations. Journal of Applied Statistics, 22, 785800.
Auffenberg, W. (1981) The Behavioral Ecology of Komodo Monitor. University Presses of
Florida, Gainesville.
Balai Taman Nasional Komodo. (2014) Statistik Balai TN. Komodo Tahun 2013. Balai Taman
Nasional Komodo, Labuan Bajo.
Battin, J. (2004) Bad habitats: Animal ecological traps and the conservation of populations.
Society for Conservation Biology, 18, 14821491.
Brunnschweiler, J.M. & Baensch, H. (2011) Seasonal and long-term changes in relative
abundance of bull sharks from a tourist shark feeding site in Fiji. PLoS ONE, 6.
Butchart, S.H.M., Walpole, M., Collen, B., Strien, A. Van, Jörn, P.W., Almond, R.E.A., Baillie,
J.E.M., Bomhard, B., Bruno, J., Carpenter, K.E., Carr, G.M., Chanson, J., Anna, M., Csirke,
J., Davidson, N., Dentener, F., Foster, M., Galli, A., Galloway, J.N., Genovesi, P., Gregory,
R.D., Hockings, M., Kapos, V. & Lamarque, J. (2010) Global Biodiversity : Indicators of
Recent Declines. Science, 328, 11641168.
Carter, N.H., Shrestha, B.K., Karki, J.B., Man, N., Pradhan, B. & Liu, J. (2012) Coexistence
between wildlife and humans at fi ne spatial scales. Proceeding of the Royal Sociaty London
Biological Sciences, 109, 1536015365.
Ciofi, C. & de Boer, M.E. (2004) Distribution and conservation of the komodo monitor (Varanus
komodoensis). Herpetological Journal, 14, 99107.
25
Dempster, T., Sanchez-Jerez, P., Fernandez-Jover, D., Bayle-Sempere, J., Nilsen, R., Bjørn, P.-
A. & Uglem, I. (2011) Proxy Measures of Fitness Suggest Coastal Fish Farms Can Act as
Population Sources and Not Ecological Traps for Wild Gadoid Fish. PLOS ONE, 6, 19.
Dyck, M.G. & Baydack, R.K. (2004) Vigilance behaviour of polar bears (Ursus maritimus) in
the context of wildlife-viewing activities at Churchill, Manitoba, Canada. Biological
Conservation, 116, 343350.
Ellenberg, U., Mattern, T., Seddon, P.J. & Jorquera, G.L. (2006) Physiological and reproductive
consequences of human disturbance in Humboldt penguins: The need for species-specific
visitor management. Biological Conservation, 133, 95106.
Fletcher, R.J., Orrock, J.L. & Robertson, B.A. (2012) How the type of anthropogenic change
alters the consequences of ecological traps. Proceedings of the Royal Society B-Biological
Sciences, 279, 25462552.
Gilroy, J.J. & Sutherland, W.J. (2007) Beyond ecological traps: perceptual errors and
undervalued resources. Trends in Ecology & Evolution, 22, 351356.
Gotanda, K.M., Turgeon, K. & Kramer, D.L. (2009) Body size and reserve protection affect
flight initiation distance in parrotfishes. Behavioral Ecology and Sociobiology, 63, 1563
1572.
Herrero, S., Smith, T., DeBruyn, T.D., Gunther, K. & Matt, C.A. (2005) Brown bear habituation
to peoplesafety, risks, and benefits. Wildlife Society Bulletin, 33, 362373.
Imansyah, M.J., Jessop, T.S., Ciofi, C. & Akbar, Z. (2008) Ontogenetic differences in the spatial
ecology of immature Komodo dragons. Journal of Zoology, 274, 107115.
26
Jessop, T.S., Madsen, T., Sumner, J., Rudiharto, H., Phillips, J.A. & Ciofi, C. (2006) Maximum
body size among insular Komodo dragon populations covaries with large prey density.
Oikos, 112, 422429.
Jessop, T.S., Smissen, P., Scheelings, F. & Dempster, T. (2012) Demographic and phenotypic
effects of human mediated trophic subsidy on a large Australian lizard (varanus varius):
Meal ticket or last supper? PLoS ONE, 7.
Kehutanan, K.L.H. dan. (2015) Rencana Strategis Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Hutan Konservasi Tahun 2015-2019. Bogor, Indonesia.
Knight, R.L. & Cole, D.N. (1991) Effects of recreational activity on wildlife in wildlands. Trans.
56th N.A. Wildl. & Nat. Res. Conf., 238247.
Krüger, O. (2005) The role of ecotourism in conservation: Panacea or Pandora’s box?
Biodiversity and Conservation, 14, 579600.
Kvarnemo, C. & Ahnesjo, I. (1996) The dynamics of operational sex ratios and competition for
mates. Trends in Ecology & Evolution, 11, 404408.
Laver, R.J., Purwandana, D., Ariefiandy, A., Imansyah, J., Forsyth, D., Ciofi, C. & Jessop, T.S.
(2012) Life-History and Spatial Determinants of Somatic Growth Dynamics in Komodo
Dragon Populations. PLoS ONE, 7, 110.
Letnic, M., Webb, J.K., Jessop, T.S. & Dempster, T. (2015) Restricting access to invasion hubs
enables sustained control of an invasive vertebrate. Journal of Applied Ecology, 52, 341
347.
Monk, K., De Fretes, Y. & Reksodiharjo-Lilley, G. (2013) Ecology of Nusa Tenggara and
27
Maluka. Tuttle Publishing.
Orams, M.B. (2002) Feeding wildlife as a tourism attraction: A review of issues and impacts.
Tourism Management, 23, 281293.
Oro, D., Cam, E., Pradel, R. & Martínez-Abraín, A. (2004) Influence of food availability on
demography and local population dynamics in a long-lived seabird. Proceedings of the
Royal Society of London. Series B: Biological Sciences, 271, 387 LP-396.
Papouchis, C.M., Singer, F.J. & Sloan, W.B. (2001) Responses of desert bighorn sheep to
increased human recreation. The Journal of Wildlife Management, 65, 573582.
Purwandana, D., Ariefiandy, A., Imansyah, M.J., Ciofi, C., Forsyth, D.M., Gormley, A.M.,
Rudiharto, H., Seno, A., Fordham, D.A., Gillespie, G. & Jessop, T.S. (2015) Evaluating
environmental, demographic and genetic effects on population-level survival in an island
endemic. Ecography, 38, 10601070.
Purwandana, D., Ariefiandy, A., Imansyah, M.J., Rudiharto, H., Seno, A., Ciofi, C., Fordham,
D.A. & Jessop, T.S. (2014) Demographic status of Komodo dragons populations in
Komodo National Park. Biological Conservation, 171, 2935.
Ramono, W.S., Wawandono, N.B. & Subijanto, J. (2000) Rencana Pengelolaan 25 Tahun
Taman Nasional Komodo Buku 1 Rencana Pengelolaan (eds J.S. Pet & C. Yeager).
Komodo National Park Authority, Labuan Bajo.
Rodriguez-Prieto, I., Fernández-Juricic, E., Martín, J. & Regis, Y. (2009) Antipredator behavior
in blackbirds: Habituation complements risk allocation. Behavioral Ecology, 20, 371377.
Romero, L.M. & Wikelski, M. (2002) Exposure to tourism reduces stress-induced corticosterone
28
levels in Gala´ pagos marine iguanas. Biological Conservation, 108, 371374.
Ryan, C. (1998) Saltwater Crocodiles as Tourist Attractions. Journal of Sustainable Tourism, 6,
314327.
Schaub, M., Gimenez, O., Schmidt, B.R. & Pradel, R. (2004) Estimating Survival and
Temporary Emigration in the Multistate CaptureRecapture Framework. Ecology, 85,
21072113.
Schoenecker, K.A. & Krausman, P.R. (2002) Human disturbance in bighorn sheep habitat, Pusch
Ridge Wilderness, Arizona. Journal of the Arizona-Nevada Academy of Science, 34, 6368.
Schwarz, C.J. & Arnason, A.N. (1996) A General Methodology for the Analysis of Capture-
Recapture Experiments in Open Populations. Biometrics, 52, 860873.
Smith, G.R. & Iverson, J.B. (2016) Effects of tourism on body size, growth, condition, and
demography in the Allen Cays Iguana, Cyclura cychlura inornata, on Leaf Cay, The
Bahamas. Herpetological Conservation and Biology, 11, 214221.
Vitousek, P.M., Mooney, H. a, Lubchenco, J. & Melillo, J.M. (1997) Human Domination of
Earth’ s Ecosystems. Science, 277, 494499.
Walsh, S. J., & Mena, C. F. (2016). Interactions of social, terrestrial, and marine sub-systems in
the Galapagos Islands, Ecuador. Proceedings of the National Academy of Sciences,
201604990.
Walpole, M.J. (2001) Feeding dragons in Komodo National Park: a tourism tool with
conservation implications. Animal Conservation, 4, 6773.
29
Walpole, M.J., Goodwin, H.J. & Ward, K.G.R. (2001) Pricing Policy for Tourism in Protected
Areas : Lessons from Komodo National Park , Indonesia Pricing Lessons Policy for
Tourism in Protected Park , Areas : from Komodo National Indonesia. Conservation
Biology, 15, 218227.
White, G.C. & Burnham, K.P. (1999) Program MARK: survival estimation from populations of
marked animals. Bird Study, 46, S120S139.
Williams, B.K., Nichols, J.D. & Conroy, M.J. (2002) Analysis and Management of Animal
Populations: Modeling, Estimation and Decision Making. Academic Press, San Diego, CA.
30
Gambar dan Tabel.
Tabel 1. Analisis Cormack-Jolly-Seber pada data capture-mark-recapture untuk mengestimasi
kesintasan populasi biawak komodo pada tiga tingkat aktivitas manusia di TNK antara tahun
2003-2012 (n = 825). Tertampil model-model yang diperingkat berdasarkan Quasi Akaike
Information Criterion (QAICc) untuk ukuran sampel kecil (QAICc) dan overdispersi. Delta
Quasi Akaike’s information criteria (ΔQAICc) mengindikasikan perbedaan kesesuaian parameter
antar model, the QAICc weight i), model likelihood (ML), jumlah parameter (K), dan deviasi
dari tiap model. Simbol parameter dispesifikasi sebagai berikut: Φ = kesintasan, p = probabilitas
penangkapan, t = waktu, (.)= tanpa variasi waktu, g = tingkat aktivitas manusia.
Model
QAICc
Δ QAICc
ωi
ML
K
QDeviance
Φ(g) p(t)
2246.48
0.00
0.92
1.00
9.00
2228.37
Φ(.) p(t)
2251.69
5.22
0.07
0.07
7.00
2237.62
Φ(g*t) p(t)
2256.36
9.88
0.01
0.01
23.00
2209.67
Φ(t) p(t)
2257.61
11.13
0.00
0.00
11.00
2235.44
Φ(g) p(g*t)
2258.77
12.29
0.00
0.00
21.00
2216.19
Φ(.) p(g*t)
2260.50
14.02
0.00
0.00
19.00
2222.02
Φ(g) p(.)
2262.67
16.19
0.00
0.00
4.00
2254.64
Φ(g) p(g)
2264.79
18.31
0.00
0.00
6.00
2252.74
Φ(t) p(g*t)
2266.38
19.90
0.00
0.00
23.00
2219.69
Φ(.) p(g)
2267.32
20.85
0.00
0.00
4.00
2259.30
Φ(.) p(.)
2268.09
21.62
0.00
0.00
2.00
2264.09
Φ(g*t) p(g*t)
2270.16
23.68
0.00
0.00
33.00
2202.75
Φ(g*t) p(.)
2270.83
24.35
0.00
0.00
19.00
2232.35
Φ(t) p(g)
2271.17
24.70
0.00
0.00
9.00
2253.06
Φ(t) p(.)
2271.97
25.49
0.00
0.00
7.00
2257.90
Φ(g*t) p(g)
2273.08
26.60
0.00
0.00
21.00
2230.51
QAICc
Δ QAICc
ωi
ML
K
QDeviance
31
Tabel 2. Analisis POPA Jolly-Seber pada data capture-mark-recapture untuk mengestimasi
kelimpahan populasi turunan biawak komodo di tiga tingkat aktivitas manusia di TNK antara
tahun 2003-2011/12 (n = 825). Tertampil model-model yang diperingkat berdasarkan Quasi
Akaike Information Criterion (QAICc) untuk ukuran sampel kecil (QAICc) dan overdispersi.
Delta Quasi Akaike’s information criteria (ΔQAICc) mengindikasikan perbedaan kesesuaian
parameter antar model, the QAICc weight i), model likelihood (ML), jumlah parameter (K),
dan deviasi dari tiap model. Simbol parameter dispesifikasi sebagai berikut: Φ = kesintasan, p =
probabilitas penangkapan, pent = probabilitas pemasukan, N = kelimpahan superpopulasi, t =
waktu, (.)= tanpa variasi waktu, g = tingkat aktivitas manusia.
2379.13
0.00
0.39
1.00
11
2356.9636
2379.78
0.66
0.28
0.72
13
2353.5569
2382.15
3.02
0.09
0.22
9
2364.0381
2382.44
3.31
0.07
0.19
15
2352.1434
2382.68
3.55
0.07
0.17
13
2356.4499
2384.08
4.95
0.03
0.08
11
2361.9175
2384.72
5.59
0.02
0.06
13
2358.491
2384.94
5.82
0.02
0.05
11
2362.7805
2386.14
7.01
0.01
0.03
14
2357.8763
2388.00
8.87
0.00
0.01
26
2335.1211
2388.21
9.09
0.00
0.01
16
2355.8746
2388.83
9.71
0.00
0.01
18
2352.407
2388.95
9.82
0.00
0.01
16
2356.6076
2389.23
10.11
0.00
0.01
28
2332.2171
2389.78
10.65
0.00
0.00
27
2334.8346
2390.01
10.88
0.00
0.00
29
2330.918
2393.95
14.82
0.00
0.00
33
2326.5389
2475.37
96.25
0.00
0.00
10
2455.2381
32
Keterangan gambar
Gambar 1. Lokasi studi di Taman Nasional Komodo dimana biawak komodo terpapar oleh tiga
tingkat aktivitas manusia. (a) Lokasi studi di Taman Nasional Komodo. K1) Loh Liang, K2)
Loh Lawi, K3) Loh Sebita, K4) Loh Wau, R1) Loh Buaya, R2) Loh Baru, R3) Loh Tongker, R4)
Loh Dasami. (b) kunjungan turis di lokasi aktivitas tinggi (K1). (c) lokasi aktivitas rendah (pos
petugas; R2). (d) lokasi tanpa aktivitas manusia (K2).
Gambar 2. Efek dari tiga tingkat aktivitas manusia terhadap respon perilaku biawak komodo
meliputi: (a) tipe reaksi awal dan (b) rerata jarak pendekatan/AD SEM).
Gambar 3. Efek dari tiga tingkat aktivitas manusia terhadap biawak komodo: (a) massa tubuh
dan (b) kondisi tubuh (residual log massa/log panjang tubuh (TBL)) (± SEM).
Gambar 4. Efek dari tiga tingkat aktivitas manusia terhadap biawak komodo: (a) struktur umur,
(b) kesintasan, dan (c) estimasi kepadatan populasi (± 95% CI).
33
34
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Negligible Low High
Percentage of Reaction
Human Activity
No reaction
Avoidance
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Negligible Low High
Apprroach Distance (m)
Human Activity
A
B
35
Human activity
No Human Ranger Post Tourism + Ranger Post
Mean Komodo dragon body mass (kg)
0
5
10
15
20
25
30 A
Human actvity
No Human Ranger Post Tourism + Ranger Post
Komodo dragon body condition ( residuals of log mass/log SVL)
-0.020
-0.015
-0.010
-0.005
0.000
0.005
0.010
0.015 B
36
Human Activity
No Human Ranger Post Tourism + Ranger Post
Survival
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Human Activity
No Human Ranger Post Tourism + Ranger Post
Population density (lizards/km2)
0
5
10
15
20
25
A
BHuman Activity
No Human Ranger Post Tourism + Ranger Post
Proportion
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
C
Adults
Sub-adults
Juveniles
... It was reported that the Komodo inhabiting previous study. It was reported that the Komodo inhabiting the high human activity areas were less sensitive (or habitu-the high human activity areas were less sensitive (or habituated) [25]. Despite an extensive examination of human activ-ated) [25]. ...
... It was reported that the Komodo inhabiting the high human activity areas were less sensitive (or habitu-the high human activity areas were less sensitive (or habituated) [25]. Despite an extensive examination of human activ-ated) [25]. Despite an extensive examination of human activity's impact on the population, the discussion of Komodo's ity's impact on the population, the discussion of Komodo's ...
... It has been reported in a previous study that mating in Komodo often take place near carcass [24]. Therefore, human activities in the TSFA may attract Komodo to aggregate [25]. Without the presence of the dominant resident male, other individuals, particularly the subordinate male or visitors, could have an opportunity to mate around the TSFA [30]. ...
Article
Full-text available
It has been recognized in many studies that wildlife tourism practices might generate a negative impact on wildlife, particularly during the reproductive period. Some wildlife may lower their sensitivity towards tourist presence, for instance in Komodo. Understanding to what extenthabituation occurs in Komodo would be necessary for tourism management in Komodo National Park (KNP). Therefore, this study aimed to identify the response of Komodo to tourist presence during mating and nesting activities. The observation was conducted in Loh Buaya, which is one of the tourism sites in KNP. Komodo’s responses were divided into (1) avoidance; (2) neutral; and (3) aggressive under categorized stimulus: tourist number (i.e., < 5 persons; 5-10 persons; and > 10 persons) and distance (i.e., < 5 m; 5-10 m; and > 10 m). Correlation analysis was performed to identify any influences on mating and nesting activities. Our results revealed that Komodo inhabiting tourism facilities havebeen habituated to tourist presence. Different tourist frequencies did not influence Komodo mating activities (r(20)= 0.036, p=0.873), the nest preparing activity (i.e., digging proportion; r(22)= 0.054, p=0.803) and the guarding activity (i.e., nesting proportion; r(22)= 0.314, p=0.135).Nevertheless, our results indicated possible impacts due to tourism activities and its supporting facilities, such as dominated mating pairs, threats to female reproductive success, and human-Komodo conflicts. Therefore, habituation evi- dence must be carefully considered in order todevelop more corresponding strategies and achieve sustainable tourism practices.
... In addition, hunting for Komodo dragons, baiting (Santosa et al. 2012), and massive development also threaten their existence. Ardiantiono et al. (2018) reported that there are long-term consequences when the natural presence of Komodo dragons comes into contact with tourism activities. Komodo dragons probably will lose their instinct to hunt and start consistently expecting leftover food or food visitors provide in tourist areas. ...
... Walpole (2001) reported that additional feeding was carried out to attract tourists to see Komodo dragons at viewing sites. Komodo dragons show habituation by reducing their negative responses to humans (Ardiantiono et al. 2018;Fauzia 2020). In addition, Ardiantiono (2018) also explained that providing additional food would have a long-term effect on the Komodo dragons. ...
... Komodo dragons show habituation by reducing their negative responses to humans (Ardiantiono et al. 2018;Fauzia 2020). In addition, Ardiantiono (2018) also explained that providing additional food would have a long-term effect on the Komodo dragons. Mustari et al. (2011) state that five large mammals are prey animals for the Komodo dragon: Timor deer, water buffalo, wild horses, wild boars, and long-tailed monkeys found on Rinca Island. ...
Article
Full-text available
Pramatana F, Aini Y, Rammang N, Mau YS, Arsa IGBA, Mahmud A. 2023. Predicting of Komodo dragon's potential prey habitat suitability using MaxEnt in Riung Nature Reserve, Flores East Nusa Tenggara. Biodiversitas 24: 3128-3139. The Komodo dragon (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) is a big lizard species from the Varanidae family that belongs to the Endangered category (EN) listed on the IUCN red list and Appendix I CITES. This study aimed to reveal the distribution of potential preys Komodo dragons in Rinca Island, Komodo National Park, Manggarai District, East Nusa Tenggara, Indonesia, using Maximum Entropy (MaxEnt), which was collected using rapid assessment methods. The presences of the Komodo dragon's potential prey come from direct and indirect observation or previous studies. We collected 510 points of Komodo dragon prey presence in Riung, Ngada District, East Nusa Tenggara, Indonesia from six species, including cattle, but only used 127 points for analysis based on the correlation. Long-tailed macaque, wild boar, civet, Timor deer, feral horses, and cows were the potential prey for komodo in Riung. Most of the points come from cattle, such as cows. On the other hand, we used environmental habitat to represent prey habitats such as elevation, slope, land surface temperature, moisture index, vegetation index, and distance from specific objects such as distance from agriculture, rivers, road, savanna, and settlement. Komodo dragon's potential prey in Riung was distributed in savanna, mangrove, and lowland forest. The result showed three suitable habitats for the Komodo dragon's potential prey dominated by low and moderate-suitability areas.
... As a giant lizard, the Komodo dragon has an essential ecological role as an apex predator [4][5][6][7]. In its natural distribution, Komodo dragons are found not only in areas devoid of any humans but also in proximity to human settlements and tourist areas [8]. However, the increase in population and tourism in its natural habitat might increase the conflict between Komodo dragons and humans, leading to wildlife and human conflicts [9]. ...
Article
Full-text available
The Komodo dragon (Varanus komodoensis) of East Nusa Tenggara, Indonesia, is an endemic species protected by Indonesian law, mostly due to its population size and limited distribution. The natural distribution of the Komodo dragon is limited to Komodo National Park and several areas on the island of Flores and its surroundings. However, increasing population and tourism in its natural habitat might increase the conflict between the Komodo dragon and humans. To study the impact of human activities on the behavior of the Komodo dragon, we constructed an ethogram to catalog the behavioral inventories of the Komodo to enable future quantitative comparison. The Komodo dragon ethogram was obtained from observations in Loh Buaya and Loh Baru Resorts, Rinca Island, Komodo National Park. Observations were made on 10 adult males, 13 adult females, 12 sub-adult, and 3 juvenile Komodo dragons. Data were collected during July-September 2019, February-March 2020, and June-September 2020. Based on observations, observed behavior was grouped into 9 categories based on their function. Among them are sexual behavior, parental behavior, antagonistic behavior, ingestion/egestion, maintenance, movement, resting, and investigative.
... A higher number of visitors may lead to greater pressure on resources, which may affect all types of ecosystem services (Zhao et al., 2019). The large number of visitors also has a potential negative impact in the form of changes in kite behavior in the national park area, which may affect the predation process as kites become more docile (Jessop et al, 2018). Therefore, this study discusses ecosystem services using Analytic Hierarchy Process (AHP) and Geographic Information System (GIS), prioritization of ecosystem services using Interpretive Structural Modeling (ISM), and loss of ecosystem services. ...
Article
Komodo National Park (KNP) has prioritized eight out of 20 existing ecosystem services. KNP follows the concept of conservation and educational tourism, where visitors can see wildlife and enjoy panoramic views. The negative impact of increasing visitor numbers is the reduction of ecosystem value and benefits. In this article, the expert-based in-depth discussion method is presented, which is complemented by the interpretive structural modelling and system dynamics method. In the weighting phase, the Analytical Hierarchy Process (AHP) and spatial analysis using the Geographic Information System (GIS) and a market valuation of ecosystem service benefits are used. The results of the analysis show that the lost value of ecosystem services will reach USD 727 million, while it will be USD 661 thousand if the number of visitors is limited. This value is considered feasible to achieve restoration while providing economic and sustainable benefits. The programme to increase the number of visitors must be integrated with the management of tourist attractions on other islands in Komodo National Park, Labuan Bajo, and West Manggarai by extending the length of visitors' stay.
... Twenty-six tourist destinations outside the Komodo National Park are recorded in the Labuan Bajo . Ecotourism areas may influence demographic processes through intraspecific competition or predation of Komodo dragons (Ardiantiono et al., 2018). The decrease in Komodo dragons' habitat and range loss due to multiple and cascading human activities may be addressed by a range of land use planning and community conservation actions to avoid a potential Komodo dragon extinction on the largest island habitat within their distribution (Ariefiandy et al., 2021). ...
Conference Paper
Cultural Festival's Spatial Setting in Pampang Cultural Village Samarinda - East Borneo
... Twenty-six tourist destinations outside the Komodo National Park are recorded in the Labuan Bajo . Ecotourism areas may influence demographic processes through intraspecific competition or predation of Komodo dragons (Ardiantiono et al., 2018). The decrease in Komodo dragons' habitat and range loss due to multiple and cascading human activities may be addressed by a range of land use planning and community conservation actions to avoid a potential Komodo dragon extinction on the largest island habitat within their distribution (Ariefiandy et al., 2021). ...
... As part of these efforts, community-based and locally led approaches that have been effective elsewhere in Indonesia (Santika et al. 2019) should be further promoted in Wallacea, with communities empowered to derive sustainable livelihoods from these schemes and contribute to conservation. For instance, terrestrial and marine wildlife tourism is already an important source of income for Wallacean communities on Komodo island (Ardiantiono et al. 2018) and in North Sulawesi (Towoliu 2014). In Bangka Island, North Sulawesi, the combined actions of local communities and tourism operators successfully stopped illegal mining activities in favor of sustainable jobs and subsistence fishing (Kalalo 2019). ...
Article
Full-text available
Wallacea—the meeting point between the Asian and Australian fauna—is one of the world's largest centers of endemism. Twenty-three million years of complex geological history have given rise to a living laboratory for the study of evolution and biodiversity, highly vulnerable to anthropogenic pressures. In the present article, we review the historic and contemporary processes shaping Wallacea's biodiversity and explore ways to conserve its unique ecosystems. Although remoteness has spared many Wallacean islands from the severe overexploitation that characterizes many tropical regions, industrial-scale expansion of agriculture, mining, aquaculture and fisheries is damaging terrestrial and aquatic ecosystems, denuding endemics from communities, and threatening a long-term legacy of impoverished human populations. An impending biodiversity catastrophe demands collaborative actions to improve community-based management, minimize environmental impacts, monitor threatened species, and reduce wildlife trade. Securing a positive future for Wallacea's imperiled ecosystems requires a fundamental shift away from managing marine and terrestrial realms independently.
Article
Full-text available
Tourism is one of a region’s most prominent development vehicles. However, quality tourism is only achieved when supported by multi-sectors. This study aims to create a model of sustainable tourism management using a system dynamics approach. The model is based on the tourism development case in Labuan Bajo, a newly growing destination in Indonesia and a UNESCO Komodo biosphere reserve area. The research results in a model of sustainable tourism relevant to similar destinations with characteristics of high biodiversity but vulnerable to social inequality. This research finds it is critical to balance tourism growth and impact through the environment, economy, and social aspects and how destination management shall ensure multi-sector participation to create a conducive tourism ecosystem in the long run.
Article
Full-text available
Ecosystem disturbance is increasing in extent, severity and frequency across the globe. To date, research has largely focussed on the impacts of disturbance on animal population size, extinction risk and species richness. However, individual responses, such as changes in body condition, can act as more sensitive metrics and may provide early warning signs of reduced fitness and population declines. We conducted the first global systematic review and meta-analysis investigating the impacts of ecosystem disturbance on reptile and amphibian body condition. We collated 384 effect sizes representing 137 species from 133 studies. We tested how disturbance type, species traits, biome and taxon moderate the impacts of disturbance on body condition. We found an overall negative effect of disturbance on herpetofauna body condition (Hedges' g = -0.37, 95% CI: -0.57, -0.18). Disturbance type was an influential predictor of body condition response and all disturbance types had a negative mean effect. Drought, invasive species and agriculture had the largest effects. The impact of disturbance varied in strength and direction across biomes, with the largest negative effects found within Mediterranean and temperate biomes. In contrast, taxon, body size, habitat specialisation and conservation status were not influential predictors of disturbance effects. Our findings reveal the widespread effects of disturbance on herpetofauna body condition and highlight the potential role of individual-level response metrics in enhancing wildlife monitoring. The use of individual response metrics alongside population and community metrics would deepen our understanding of disturbance impacts by revealing both early impacts and chronic effects within affected populations. This could enable early and more informed conservation management.
Article
Full-text available
The Komodo National Park is one of the largest National Parks in Indonesia that conserves not only terrestrial to protect the habitat of Komodo dragons but also marine areas. The marine ecosystems play important roles in protecting the shoreline from abrasion and supporting sustainability of seafood supplies for local communities. This study presents observed interactions between hard corals (number of species and coverage) and reef fish communities (number of species, abundance, and biomass). Coral monitoring was conducted at 12 stations in 2019. The study found 211 species of hard corals with an average hard coral cover of 30.84%. There is no significant correlation between the number of coral species with the fish communities. However, the branching coral cover shows a significant correlation with herbivorous fish communities (the number of species, abundance, and biomass. Such correlation may be attributed to the structural complexity of branching corals which provides shelters that prevent herbivorous fish from predation. Although branching corals are physically vulnerable to destruction and bleaching, their existence can promote herbivorous fish population sustainability and reef resilience.
Article
Full-text available
Galapagos is often cited as an example of the conflicts that are emerging between resource conservation and economic development in island ecosystems, as the pressures associated with tourism threaten nature, including the iconic and emblematic species, unique terrestrial landscapes, and special marine environments. In this paper, two projects are described that rely upon dynamic systems models and agent-based models to examine human–environment interactions. We use a theoretical context rooted in complexity theory to guide the development of our models that are linked to social–ecological dynamics. The goal of this paper is to describe key elements, relationships, and processes to inform and enhance our understanding of human–environment interactions in the Galapagos Islands of Ecuador. By formalizing our knowledge of how systems operate and the manner in which key elements are linked in coupled human–natural systems, we specify rules, relationships, and rates of exchange between social and ecological features derived through statistical functions and/or functions specified in theory or practice. The processes described in our models also have practical applications in that they emphasize how political policies generate different human responses and model outcomes, many detrimental to the social–ecological sustainability of the Galapagos Islands.
Article
Full-text available
The roles of density-dependent and density-independent factors in the dynamics of tropical large herbivore populations are poorly understood. Understanding these dynamics is particularly important if the herbivore is prey for an apex predator of conservation concern because a decline in the prey could cause the predator to decline. We tested hypotheses about the roles of density-dependent and density-independent factors in the dynamics of 2 tropical ungulates, Rusa deer (Rusa timorensis) and wild pigs (Sus scrofa), in Komodo National Park, eastern Indonesia. We counted the dung of Rusa deer and wild pigs (a validated index of abundance for these 2 species) along permanently marked transects at 10 sites over 4 islands annually during 2003–2014 to estimate ungulate abundance. Ungulates were much more abundant on the 2 larger islands compared with the 2 smaller islands, with wild pig dung completely absent from the latter. During our 12-year study, Rusa deer abundance declined slightly on Nusa Kode and Rinca islands, did not change on Komodo Island, and increased on Gili Motang Island. There was a decline in abundance of wild pigs on Komodo Island and an increase on Rinca Island. Annual variation in population growth rate was strongly density-dependent and island-specific for both species, with annual rainfall and vegetation composition being relatively unimportant. Population growth rates of Rusa deer exhibited spatial synchrony, with synchrony declining with increasing intersite distance. Our findings confirm the importance of density dependence in the dynamics of tropical large herbivore populations. However, the strength of density dependence varied between species and spatially. Declines of Rusa deer and wild pigs on the larger 2 islands, which are strongholds of the Komodo dragon, are cause for concern. Continued monitoring of ungulate populations is critical for the conservation of Komodo dragon populations in Komodo National Park.
Article
Full-text available
Tourism is often pinpointed as a sector of growth for countries in the developing world, and this perspective has been readily accepted in Indonesia. Government officials in poorer sections of the country, such as Nusa Tenggara Timur province (NTT) in eastern Indonesia, have high hopes for the role that tourism can play in developing these poorer regions. This is not surprising, given the increasing renown of the Komodo National Park, just west of the island of Flores, where the world famous Komodo dragons reside. However, how exactly tourism is supposed to raise the standard of living and aid in development in NTT province is often unclear. In this paper I want to critically look at ideas about tourism and development in NTT, by focusing on the 'Sail Komodo' yacht rally, a major tourism event that took place from August to September 2013. Sail Komodo was as a marine tourism event expected to boost tourist numbers, lift the standard of living of people in this province and lower poverty levels. I critically analyze this event within the context of a 'mega event', and show how the contradictory ideas about how the event was meant to lead to prosperity for the poor can indicate the sometimes misguided relationship posited between tourism and development.
Article
Full-text available
Many threatened species rely on ecotourism for conservation funding, but simultaneously suffer direct ecological impacts from ecotourism. For a range of IUCN-Redlisted terrestrial and marine bird and mammal species worldwide, we use population viability analyses to calculate the net effects of ecotourism on expected time to extinction, in the presence of other anthropogenic threats such as poaching, primary industries and habitat loss. Species for which these calculations are currently possible, for one or more subpopulations, include: orangutan, hoolock gibbon, golden lion tamarin, cheetah, African wild dog, New Zealand sealion, great green macaw, Egyptian vulture, and African penguin. For some but not all of these species, tourism can extend expected survival time, i.e., benefits outweigh impacts. Precise outcomes depend strongly on population parameters and starting sizes, predation, and ecotourism scale and mechanisms. Tourism does not currently overcome other major conservation threats associated with natural resource extractive industries. Similar calculations for other threatened species are currently limited by lack of basic population data.
Conference Paper
Managing biodiversity for sustainable and competitive ecotourism destinations requires a basic understanding of the principles of biology, which are poorly understood in tropical developing countries, including Indonesia. This paper describes the current status of tourism in Indonesia, identifies environment and biodiversity vulnerability in tourism destinations, and explores the challenges of the biological field in supporting ecotourism development. This review found that tourism, especially nature-based and ecotourism, has grown significantly in Indonesia, and the contribution of Indonesian biodiversity has been identified as significant. Threats to biodiversity, however, are found in nature-based tourism destinations. Issues related to pollution, exotic plant species invasion, habitat changes and degradation, habitat loss, and wildlife disturbance are widely reported, indicating the importance of such issues in destination management. Pollution is found in both terrestrial and aquatic ecosystems. Water pollution is an important issue among lakes and rivers. To date, there are few assessments of the impact of tourism activities on aquatic ecosystems, resulting in the management of aquatic ecosystems facing numerous difficulties. These studies identify the invasive plants found, which become a crucial problem in many nature-based tourism destinations, and which significantly contribute to a reduction in the existence of many flora-fauna in a wild habitat. Habitat changes and degradation are mostly influenced by tourism infrastructure development. Massive infrastructure development often leads to habitat loss, which is a crucial step in local biodiversity extinction. Increasing and uncontrolled visitor behaviors influence animal behavior changes, which is recognized as a dangerous phenomenon affecting animal survival in the future. An agenda for future integrative biological research is needed to improve resource management, to increase sustainability and the competitiveness of the tourism industry in Indonesia.
Article
In recent decades, public interest in apex predators has led to the creation and expansion of predator-focused wildlife tourism. As wildlife tourism has become an increasing topic of study for both social and biological scientists, researchers have debated whether these activities serve conservation goals by providing non-con-sumptive values for wildlife. Discussion of predator tourism requires additional recognition of predator-specific biological and ecological characteristics, consideration of human safety concerns, and mitigation of human-wildlife conflict. By reviewing tourism activities centered on both aquatic and terrestrial predators from diverse taxa (sharks, crocodiles, and big cats), we evaluate the potential benefits and conservation challenges associated with predator tourism. Our review suggests that positive conservation outcomes are possible, but not assured given historical, cultural, and ecological complexities. We explore some of the factors which determine whether tourism contributes to conservation outcomes, including (1) effective protection of animals and habitats, (2) avoidance and mitigation of human-wildlife conflict, (3) quality of associated educational interpretation and outreach, (4) collaboration with local stakeholders, and (5) use of generated funds to advance conservation goals. Our findings suggest tourism is most likely to support predator conservation and/or recovery when the industry has both public and political support and under conditions of effective regulation focused on management , monitoring and enforcement by local, national, and international bodies.
Article
The feeding of wildlife by ecotourists has become increasingly popular, but its effects are not well studied. The endangered Allen Cays Iguana is known to occur naturally on only two small cays in the northern Exuma Islands (The Bahamas). One of those cays, Leaf Cay (4 ha) has an easily accessible beach to which up to 150 people converge each day to feed the iguanas. However, iguanas from other parts of the cay rarely ever see an ecotourist. This study investigated the differences in body size, growth, body condition, and demography of the iguanas on opposite sides of Leaf Cay. Iguanas on the human-impacted side of the cay were larger, grew faster, and weighed more (relative to body length), but had similar survival rates as those without human interaction. Capture sex ratios did not differ between sides of the cay and were generally not different from a 1:1 ratio. Although these data might be interpreted as positive impacts of supplemental feeding, when viewed with previously published differences in behavior and blood chemistry, the long-term effects of these feeding activities are of potential concern.
Article
ourism is the most important non-farm activity in the mountainous region. In mountain belts the aesthetic value of the land is by itself one of the critical assets for the otherwise impoverished communities. The growth of population and the increasing demand at the individual level of various non-farm items have expanded the demand of goods beyond the traditional technological practices of mountain community and their cultural sensitivities. These initiatives of the government have only mirrored Western models of tourism development rather than developing appropriate, need-based strategies for harnessing the economic potential. This new book examines ecotourism and biodiversity conservation.
Article
Information on population size and distribution of the Komodo monitor (Varanus komodoensis) has so far been restricted to early reports or to surveys conducted on only part of the species' range. We carried out a study based on transects through sampling plots and single-catch trapping events to assess the extent to which the distribution of V. komodoensis has changed since the last comprehensive survey was conducted, in 1971. We also report on the status of the habitat and identify conservation priorities. Resident Komodo monitor populations are now found on only four islands in Komodo National Park and on the island of Flores in south-east Indonesia. Average population density estimates recorded on Flores were more than 60% lower than those reported for Komodo National Park. Habitat fragmentation and poaching of prey species currently represent the main threats to the Komodo monitor, and protection of monsoon forest in west and north Flores is crucial for the long-term conservation of the species.