ArticlePDF Available

Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah melalui Pendekatan Manajemen Berbasis Madrasah

Authors:

Abstract

Madrasah Diniyah Awaliyah as an Islamic educational institution is not insteresting for among Moslem society. The revitalization of Madrasah Diniyah Awaliyah can be done by Madrasah Based Management approach. The Madrasah Based Management include in put, process, and out put aspect. The input aspect includes student, teacher, headmaster, curriculum, parent, and participations of society. The process aspect is program management, institution management, leadership, madrasah comittee, organization, and accountability. The out put aspect is academic/non academic.
REVITALISASI MADRASAH DINIYAH
AWALIYAH MELALUI PENDEKATAN MANAJEMEN
BERBASIS MADRASAH
Magdalena
Abstract ;
Madrasah Diniyah Awaliyah as an Islamic educational institution is not insteresting for among
Moslem society. The revitalization of Madrasah Diniyah Awaliyah can be done by Madrasah
Based Management approach. The Madrasah Based Management include in put, process, and out
put aspect. The input aspect includes student, teacher, headmaster, curriculum, parent, and
participations of society. The process aspect is program management, institution management,
leadership, madrasah comittee, organization, and accountability. The out put aspect is
academic/non academic.
Key Words : Revitalisasi, Madrasah Diniyah Awaliyah, Manajemen Berbasis
Madrasah
A. PENDAHULUAN
Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang
bersifat keagamaan dan non formal. Madrasah Diniyah Awaliyah merupakan
lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola serta diberdayakan oleh masyarakat.
Masyarakat tempat Madrasah Diniyah itu berada merupakan ujung tombak
terlaksananya pendidikan keagamaan di lembaga pendidikan tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa jika masyarakat setempat memiliki perhatian besar pada
Madrasah Diniyah Awaliyah tersebut, maka baiklah lembaga pendidikan tersebut.
Sebaliknya jika masyarakat setempat tidak memiliki perhatian maka buruklah
lembaga pendidikan tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai salah satu
lembaga pendidikan keagamaan non formal kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini
terjadi dikarenakan Madrasah Diniyah Awaliyah tampil tidak seperti lembaga
pendidikan laiknya. Imej masyarakat terhadap Madrasah Diniyah Awaliyah ini
negatif, meskipun tidak sedikit pula yang memiliki imej positif. Namun, Madrasah
Diniyah Awaliyah ini tidak dianggap penting bagi masyarakat dalam rangka
memberikan bekal keagamaan bagi anak-anak usia sekolah dasar di samping
mengikuti pendidikan formal.
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah perlu dilakukan dalam rangka
memberdayakannya sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan non formal.
Jurusan Tarbiyah STAIN Padang Sidimpuan Sumatra Barat. Email:
magdalena_0374@yahoo.co.id
Karenanya, sebagai lembaga pendidikan, Madrasah Diniyah Awaliyah perlu
direvitalisasikan dengan pendekatan Manajemen Berbasis Madrasah (MBS).
Pendekatan Manajemen Berbasis Madrasah ini dilakukan terhadap Madrasah
Diniyah Awaliyah dengan tujuan untuk memberdayakan seluruh potensi yang
dimiliki oleh Madrasah Diniyah Awaliyah tersebut. Potensi tersebut meliputi input,
proses, dan out put.
B. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK MADRASAH
Madrasah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari fi’il madi “darasa”
yang berarti “tempat belajar” atau ”tempat memberikan pembelajaran”. Dalam
bahasa Indonesia madrasah berarti sekolah. Kenyataannya, madrasah berasal dari
bahasa Arab dan diserap dalam bahasa Indonesia dalam bentuk aslinya yaitu
madrasah. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih memahami madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan agama
dan keagamaan.
Malik Fadjar mengemukakan bahwa secara teknis sebagai tempat proses
pembelajaran berlangsung, madrasah sama artinya dengan sekolah. Namun, lebih
spesifik madrasah diartikan sebagai “sekolah agama”. Hal ini dimaksudkan bahwa
madrasah adalah tempat siswa memperoleh pembelajaran agama Islam.1
Secara historis, kelahiran madrasah di Indonesia dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama, aspek internal faktor ajaran Islam yang memang lebih mengutamakan
kewajiban menuntut ilmu, termasuk ilmu agama. Kedua, aspek eksternal faktor
kondisi pendidikan Islam di Indonesia yang memang sedang membutuhkan
kehadiran madrasah sebagai salah satu pendidikan alternatif bersifat keagamaan di
tengah keberadaan lembaga pendidikan modern kolonial Belanda di Indonesia.2
Di samping itu, secara teknis praktis madrasah terbagi dua yaitu madrasah
dan madrasah diniyah. Istilah pertama yaitu madrasah digunakan sebagai istilah
sekolah yang mengajarkan “ilmu umum” dan “ilmu agama”. Sedangkan madrasah
diniyah diartikan sebagai sekolah yang mengajarkan hanya khusus ilmu-ilmu agama.3
Dalam kajian sejarah, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa madrasah
merupakan cikal bakal pesantren yang berkembang lebih dahulu di Indonesia.
Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesanten.
Karenanya, menjadi penting meninjau keberadaan madrasah sebagai mata rantai
perkembangan pesantren di masa lalu.4
Pada awal abad ke-20 mulai muncul madrasah sebagai satu satu lembaga
pendidikan Islam yang telah menganut sistem pendidikan yang lebih terprogram dan
1Departemen Agama RI, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 20050), hal. 99-100
2 A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998), hal. 111
3 Ibid
4 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997),
hal..3
modern serta dilaksanakan di dalam kelas sebagaimana yang dilakukan di sekolah
umum milik Hindia Belanda. Selama ini, pesantren juga dikenal tidak mengadopsi
sistem pendidikan seperti itu. Karenanya sejak awal berdirinya, madrasah telah
memiliki karakteristik sistem pendidikan sekolah modern, yaitu pengelompokan
pelajaran umum dan pelajaran agama, penggunaan bangku, dan pembelajaran
klasikal.
C. KOMPONEN-KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN DALAM
MADRASAH DINIYAH AWALIYAH
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang di dalamnya memiliki komponen-
komponen yang berproses sesuai dengan fungsinya hingga tujuan pembelajaran
tercapai secara optimal. Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai sebuah lembaga
pendidikan dituntut memiliki beberapa komponen sistem pendidikan tersebut. Wina
Sanjaya mengutip pendapat Brown bahwa adapun komponen sistem pembelajaran
tersebut adalah siswa, pendidik, tujuan, kondisi, sumber belajar, dan hasil belajar.5
1. Siswa
Siswa merupakan komponen tepenting dalam sistem pembelajaran. Proses
pembelajaran harus memperhatikan siswa sebagai pusat segala kegiatan. Artinya
sesuluh perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran harus disesuaikan
dengan kondisi siswa yang bersangkutan. Hal yang perlu diperhatikan mengenai
kondisi siswa adalah kemampuan dasar, minat dan bakat, motivasi belajar, dan gaya
belajar siswa itu sendiri.
Untuk menunjukkan istilah peserta didik, manusia mempunyai terma istilah
tertentu. Dalam bahasa Inggris, penunjukan tersebut dengan menggunakan istilah
student. Dalam bahasa Arab, pengertian peserta didik sering digunakan pada
beberapa istilah antara lain: muridan, al-tilmidz, al-mudarris.
Menurut Abuddin Nata, ketiga kata tersebut kelihatannya digunakan untuk
menunjukkan pelajar tingkat dasar dan lanjutan. Karena semua itu menggambarkan
sebagai orang yang baru belajar, belum memiliki wawasan, dan masih amat
bergantung kepada guru dan belum menggambarkan kemandirian. Ia masih
memerlukan masukan berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan
sebagainya, sehingga masih banyak memerlukan bimbingan.6
Istilah lain dalam bahasa Arab yang berkenaan dengan peserta didik adalah
muta’allim yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah ini termasuk
yang paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian
dibandingkan istilah lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat istilah ini lebih
5 Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 9-
13. 6 Abudin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran Tasawuf Al-
Ghazali,( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 50.
bersifat universal yaitu mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua
tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Sedangkan istilah
lainnya bersifat spesifik dan terbatas. 7
Selanjutnya, kata al-thalib digunakan untuk mahasiswa. Kata ini menunjukkan
makna bahwa seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar mulai
tingkat dasar sampai lanjutan. Dengan modal itu dihapkan ia memiliki bekal untuk
mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan
mengamati, membaca, menelaah, menganalisis, sampai akhirnya mampu menulis
karya ilmiah.
2. Pendidik
Pendidik merupakan komponen kedua dalam sistem pendidikan. Pendidik
adalah tenaga fungsional yang bertugas mendidik, membimbing, membina,
memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga sampai kepada tujuan pendidikan.
3. Tujuan
Tujuan pembelajaran merupakan komponen terpenting ketiga dalam sistem
pembelajaran. Tujuan merupakan visi dan misi suatu lembaga pendidikan dalam
menjalankan tugas pendidikan dan pengajaran. Artinya tujuan penyelenggaraan
pengajaran didasarkan kepada visi dan misi lembaga pendidikan itu sendiri.
Pemahaman yang perlu diketahui adalah tujuan pembelajaran merupakan
arah yang harus dijadikan rujukan dalam menlaksanakan proses pembelajaran.
4. Kondisi
Kondisi adalah berbagai aktivitas pengalaman belajar yang dirancang agar
siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pengalaman belajar
harus mendorong siswa untuk aktif belajar secara fisik maupun non fisik.
Pembelajaran dilakukan sebagai proses siswa untuk melaksanakan pengalaman
belajar sesuai dengan gaya belajarnya sendiri. Karenanya, guru sebagai desainer
pembelajaran perlu menciptakan kondisi sehingga siswa dapat mengalami belajar
penuh semangat dan motivasi. Dengan demikian, kondisi belajar didesain dengan
berorientasi pada siswa secara individual.
5. Sumber Belajar
Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang memungkinkan siswa dapat
memperoleh pengalaman belajar. Sumber belajar terdiri dari lingkungan fisik seperti
tempat belajar, bahan dan alat yang dapat digunakan, personal seperti guru, petugas
perpustakaan dan ahli media, dan siapa saja yang berpengaruh baik langsung
maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam pengalaman belajar.
7 Ibid, hal. 54
6. Hasil Belajar
Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, tugas utama guru adalah
menyusun alat yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai
tujuan pembelajaran. Di samping itu, guru perlu menentukan prosedur penggunaan
alat evaluasi dan kriteria keberhasilan belajar siswa. Hal ini dilakukan sebagai
patokan siswa dalam menentukan aktivitas pengalaman belajar siswa dalam
menguasai isi atau materi pembelajaran. Setelah ini, guru baru dapat
mengembangkan dan memperbaiki program pembelajaran yang disusunnya.
Guna merealisasikan pemberdayaan seluruh komponen dalam sistem
pendidikan tersebut, strategi sistem pendidikan yang paling tepat dikembangkan
saat ini adalah sistem pendidikan al-insaniah Islami. Yaitu sistem pendidikan yang
berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara demokratis, dengan
memberikan kebebasan mereka memilih dan mengembangkan potensinya, sesuai
dengan kecenderungan yang dimilikinya.
Artinya, sistem pendidikan yang dilaksanakan merupakan proses memberi
bantuan lebih lanjut dari orang dewasa dalam mengarahkan pengembangan potensi
peserta didik untuk senantiasa sesuai dan tetap pada jalur yang diinginkan (jalur
kebajikan). Sebab, proses dan sistem pendidikan dalam perspektif Islam, merupakan
upaya menghasilkan apa yang akan dihasilkan (bernuansa memberi pertolongan
secara demokratis), bukan proses menghasilkan apa yang harus dihasilkan
(bernuansa proses pembentukan secara diktator, sesuai dengan keinginan
pembentuk). Hal ini berdasarkan asumsi, bahwa pada diri peserta didik telah
tersimpan sejumlah kemampuan-kemampuan kodrati secara unik dan berbeda
antara satu individu dengan individu lainnya.
Untuk itu, peserta didik itu sendiri yang harus belajar untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sedangkan potensi pendidik, hanya
merupakan fasilisator dan motivator agar potensi tersebut berkembang sesuai
dengan nilai-nilai positif, sesuai dengan etika religius yang diyakini oleh peserta didik.
Proses yang dilakukan bukan sebagai upaya mencekoki dan membuat satu nilai yang
baru, di luar kemampuan (potensi) yang dimiliki peserta didik.8
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SISTEM
PENDIDIKAN
Sebagai sebuah sistem, keberhasilan sistem pendidikan tentu dipengaruhi
oleh kondisi faktor komponen-komponen yang ada dalam sistem tersebut. Pendapat
Wina Sanjaya tentang beberapa faktor tersebut 9 adalah :
8Ibid, hal. 166
9 Wina Sanjaya, Perencanaan, hal. 166
1. Guru
Guru merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan sistem
pembelajaran. Tentu saja hal ini disebabkan guru adalah orang yang secara langsung
berhadapan dengan siswa. Dalam sistem pembelajaran, guru harus berperan sebagai
perencana dan penyusun pembelajaran, sekaligus sebagai pelaksana pembelajaran
tersebut. Sebagai penyusun dan pelaksana pembelajaran, guru harus memahami
seluruh komponen sistem pembelajaran tersebut. Hal ini dilakukan agar seluruh
komponen pembelajaran tersebut dapat berfungsi sesuai dengan layaknya sehingga
tujuan pembelajaran tercapai.
Efektivitas pembelajaran terutama bergantung pada faktor guru. Hal ini
mengindikasikan bahwa perlunya kemampuan dan kualitas guru sebagai penyusun,
pelaksana dan pengelola pembelajaran. Menurut Dunkin seperti dikutip Wina
Sanjaya 10 ada beberapa aspek yang menentukan kualitas guru, yaitu:
a. Teacher formative experience
Aspek ini meliputi jenis kelamin dan seluruh pengalaman hidup guru yang
menjadi latar belakang sosial guru tersebut. Hal yang masuk dalam aspek ini
antara lain meliputi tempat asal kelahiran guru, suku, latar belakang budaya
dan adat istiadat, keadaan keluarga, serta status sosial dan ekonomi keluarga
guru.
b. Teacher training experience
Aspek ini meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan
aktivitas dan latar belakang pendidikan guru seperti pengalaman latihan
profesional, tingkat pendidikan, pengalaman jabatan dan lain sebagainya.
c. Teacher properties
Aspek ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang
dimiliki guru seperti sikap guru terhadap profesi, sikap guru terhadap siswa,
kemampuan guru, kecerdasan guru, motivasi dan semangat guru.
2. Siswa
Siswa merupakan makhluk unik yang berkembangan sesuai dengan tahap
perkembangannya. Perkembangan siswa adalah perkembangan seluruh aspek
kepribadiaannya, namun berbeda dalam tempo dan irama perkembangan masing-
masing anak. Proses pembelajaran harus mencermati setiap perkembangan dan
karakteristik yang dimiliki oleh siswanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Samsul Nizar melihat bahwa tidak dapat
dipungkiri memang peserta didik sebagai kekuatan dominan -tanpa melepaskan diri
dari kekuatan faktor lainnya- dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan
manusialah pelaku langsung pendidikan Islam.11
10 Ibid, hal. 16
11 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam,( Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hal. 164
Ada dua aspek yang mempengaruhi siswa, yaitu Pupil formative experience yaitu
aspek ini meliputi jenis kelamin siswa, tempat kelahiran dan tempat tinggal siswa,
tingkat sosial dan ekonomi siswa, dan kondisi keluarga siswa, dan Pupil properties.
Aspek ini meliputi sifat yang dimiliki siswa diantaranya kemampuan dasar,
pengetahuan dan sikap siswa.
Setiap siswa memiliki keunikan yang masing-masing siswa berbeda dengan
siswa lainnya. Secara alami, setiap siswa memiliki kemampuan berbeda, ada yang
tinggi, sedang maupun rendah. Siswa berkemampuan tinggi diindikasikan dengan
motivasi belajar yang tinggi, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti pembelajaran
serta hasil belajar yang baik. Sebaliknya, siswa berkemampuan rendah adalah
kebalikannya seperti motivasi belajar yang rendah, perhatian dan keseriusan kurang
dalam pembelajaran serta hasil belajar yang kurang baik. Perbedaan ini menuntut
perlakuan yang berbeda pula sesuai kemampuannya. Karenanya, guru perlu
menyesuaikan gaya belajar masing-masing siswa sesuai dengan kelompok
kemampuan yang sama. Demikian pula dengan sikap dan penampilan siswa
menuntut perlakuan guru yang berbeda. Kedua faktor guru dan siswa ini
menentukan interaksi pembelajaran yang berlangsung.
3. Sarana dan prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap
kelancaran proses pembelajaran, sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang
secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Yang
termasuk sarana adalah media pembelajaran, alat pembelajaran, perlengkapan
sekolah dan lain sebagainya. Sementara itu, yang termasuk prasarana adalah jalan
sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana
dan prasrana ini akan membantu guru dalam menyelenggarakan proses
pembelajaran. Kelengkapan sarana dan prasarana sekolah dapat menumbuhkan
gairah dan motivasi guru dalam mengajar dan dapat memberikan pilihan media bagi
guru untuk melaksanakan pembelajaran. Di samping itu, bagi siswa dapat
memberikan pilihan alat belajar.
4. Lingkungan
Ada dua faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberhasilan sistem
pembelajaran yaitu faktor organisasi kelas dan faktor sosial psikologis. Faktor
pertama meliputi jumlah siswa dalam satu kelas yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar dinilai kurang efektif
dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Sebaliknya, organisasi kelas yang relatif kecil
memberikan peluang lebih besar dalam keberhasilan pembelajaran. Faktor kedua
meliputi hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan sekolah. Iklim sosial
psikologis internal berkenaan dengan hubungan siswa dengan siswa, hubungan siswa
dengan guru, hubungan guru dengan guru, bahkan hubungan guru dengan pimpinan
sekolah. Iklim sosial psikologis ini memberikan ruang untuk keterjalinan interaksi
dan komunikasi yang kondusif bagi keberhasilan pembelajaran. Sementara itu, iklim
sosial psikologis eksternal mengenai hubungan pihak sekolah dengan dunia luar
seperti dengan orang tua siswa, dengan lembaga-lembaga masyarakat dan lain
sebagainya. Kedua iklim sosial psikologis ini menambah lancarnya penyusunan dan
pelaksanaan program pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran.
E. MADRASAH DINIYAH AWALIYAH SEBAGAI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM KEAGAMAAN NON FORMAL
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Pendidikan Keagamaan memberikan jaminan untuk mengembangkan berbagai
prakarsa masyarakat di bidang pendidikan keagamaan dan masyarakat diberi peluang
untuk menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren dan
madrasah. Selanjutnya Undang-undang tersebut dijabarkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah yang menyebutkan bahwa pemerintah menjamin masyarakat untuk
berprakarsa dan berperan dalam mendirikan lembaga pendidikan Islam keagamaan
yang disebut dangan Madrasah Diniyah Awaliyah, Wustha, dan Ulya, serta Pesantren
Dasar, Wustha, dan Tinggi. Bahkan Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren telah menyusun sebuah draft kebijakan untuk mendirikan Madrasah
Diniyah Negeri.
Adapun Madrasah Diniyah adalah bentuk madrasah yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama (diniyah). Madrasah ini dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan
agama yang disediakan bagi siswa yang belajar di sekolah umum. Jenjang pendidikan
di Madrasah Diniyah ini terbagi menjadi 3 dengan rentang pendidikan berbeda,
yaitu:
1. Madrasah Diniyah Awaliyah untuk siswa Sekolah Dasar dengan rentang
pendidikan selama 4 tahun.
2. Madrasah Diniyah Wustho untuk siswa Sekolah Lanjutan Pertama
dengan rentang pendidikan selama 3 tahun.
3. Madrasah Diniyah ‘Ulya untuk siswa Sekolah Lanjutan Atas dengan
rentang pendidikan selama 3 tahun.12
Perundang-undangan yang ada ini semakin jelas menunjukkan adanya peran
pemerintah dalam memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk mendirikan dan
menyelenggarakan Madrasah Diniyah Awaliyah sekaligus Kementerian Agama
sebagai pengarah penyelenggaraan Madrasah Diniyah Awaliyah tersebut. Atas dasar
inilah, Madrasah Diniyah Awaliyah disebut dengan lembaga pendidikan Islam
keagamaan non formal. Kelihatan dari sini bahwa masyarakat selama ini tidak hanya
12 Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 96
terbatas sebagai pemrakarsa penyelenggaraan Madrasah Diniyah Awaliyah, tetapi
juga penyelenggara, pengelola bahkan pengguna jasa pendidikan itu sendiri.
Secara kultural, masyarakat muslim Indonesia beranggapan bahwa
pendidikan agama dan keagamaan bukan hanya sebatas pada aspek intelektual dan
keterampilan semata, bahkan lebih dari itu harus menjadi tempat sosialisai,
penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia. Karena
kesadaran beragama yang tinggi inilah, masyarakat muslim senantiasa berupaya agar
pendidikan agama anak-anak mereka selalu diperhatikan, di samping pendidikan
lainnya.
Karakteristik Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai lembaga pendidikan Islam
non formal nampak jelas dari siswa yang belajar di Madrasah Diniyah Awaliyah
adalah siswa yang sudah terdaftar sebagai siswa di Sekolah Dasar setempat. Ini
berarti Madrasah Diniyah Awaliyah bukanlah pilihan sekolah utama oleh masyarakat
pendukungnya, melainkan sebagai pendukung sekolah utama yang biasanya adalah
“sekolah umum”.
Madrasah Diniyah Awaliyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan agama Islam di Indonesia.
Meskipun berstatus sebagai pendidikan non formal, Madrasah Diniyah Awaliyah
menganut sistem sekolah. Madrasah ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang
dilaksanakan pesantren salafiyah dan juga menganut sistem klasikal. Jadi secara
praktis, Madrasah Diniyah Awaliyah lebih banyak mengadopsi sistem pembelajaran
pola pesantren salafiyah.
F. SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH DINIYAH AWALIYAH
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) atau dalam istilah lain disebut dengan
Madrasah Diniyah Taklimiyah Awaliyah atau yang disingkat dengan Madrasah
Diniyah adalah satuan pendidikan keagamaan Islam non formal yang
menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa SD sederajat serta
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar 4
tahun dan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran seminggu. MDA ini
merupakan satuan pendidikan keagaman Islam non formal di lingkungan
Kementerian Agama dalam tanggung jawab dan pembinaan Kepala Kantor
Kementerian Agama yang diamanahkan langsung kepada Kepala Seksi Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di Madrasah Diniyah tentu saja seluruh
komponen sistem pembelajaran tersebut di atas bekerja sama dalam melaksanakan
fungsinya. Adapun konsep berkenaan dengan sistem pembelajaran Madrasah
Diniyah Awaliyah ini disusun secara detail oleh Kasi Pekapontren Kantor
Kementerian Agama masing-masing wilayah.
Tujuan pendidikan Islam mengacu kepada tujuan Pendidikan Nasional yang
diturunkan menjadi tujuan institusi, tujuan kurikuler, tujuan instuksional umum dan
tujuan instruksional khusus. Tujuan pendidikan lembaga Madrasah Diniyah
Awaliyah adalah menjadikan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
serta berakhlak mulia yang mendukung dan sejalan dengan tujuan Pendidikan
Nasional.
Tujuan pendidikan MDA adalah untuk:
a. Memberikan bekal kemampuan dasar kepada warga belajar untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai:
1. Warga muslim yang beriman, bertakwa dan beramal saleh serta
berakhlak mulia;
2. Warga Negara Indonesia yang berkepribadian, percaya pada diri,
serta sehat jasmani dan rohani.
b. Membina warga belajar agar memiliki pengalaman, pengetahuan,
keterampilan beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi
pengembangan pribadinya.
c. Mempersiapkan warga belajar untuk dapat mengikuti pendidikan
agama Islam pada Madrasah Diniyah Wustha.
Sedangkan fungsi MDA adalah:
1. Menyelenggarakan pendidikan agama Islam yang meliputi Alquran
Hadis, Tajwid, Akidah Akhlak, Fikih Ibadah, Sejarah Kebudayaan
Islam, Bahasa Arab dan praktek ibadah.
2. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tambahan pendidikan agama
Islam terutama bagi siswa yang belajar di Sekolah Dasar/pendidikan
sederajat.
3. Memberikan bimbingan dalam pelaksanaan pengalaman ajaran Islam.
4. Membina hubungan kerja sama dengan orang tua warga belajar dan
masyarakat.
5. Melaksanakan tata usaha dan rumah tangga pendidikan serta
perpustakaan.
Adapun kompetensi lulusan MDA adalah:
1. Memiliki sikap sebagai seorang muslim yang bertakwa dan berakhlak
mulia.
2. Memiliki sikap sebagai warga Negara Indonesia yang baik.
3. Memiliki pengalaman, pengetahuan, keterampilan beribadah, dan
sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan diri dan masyarakat.
Sementara itu, kompetensi lulusan ini dibagi dalam 3 bidang, yaitu:
1. Kompetensi bidang pengetahuan meliputi:
a. Memiliki pengetahuan dasar tentang agama Islam
b. Memiliki pengetahuan dasar tentang bahasa Arab sebagai alat untuk
memahami ajaran agama Islam.
2. Kompetensi bidang pengamalan meliputi:
a. Dapat mengamalkan ajaran agama Islam.
b. Dapat belajar dengan cara yang baik.
c. Dapat bekerja sama dan mengambil bagian dalam kegiatan
kemasyarakatan.
3. Kompetensi bidang nilai dan sikap meliputi:
a. Cinta terhadap agama Islam dan bertekad untuk melakukan ibadah
salat dan ibadah lainnya.
b. Berminat dan bersikap positif terhadap ilmu pengetahuan.
c. Mematuhi disiplin dan peraturan yang berlaku
d. Menghargai kebudayaan nasional dan kebudayaan lain yang tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
e. Memiliki sikap demokratis dan mencintai sesama manusia dan
lingkungan sekitarnya.
f. Menghargai setiap pekerjaan dan usaha yang halal.
g. Menghargai waktu, hemat dan produktif.
Karena Madrasah Diniyah Awaliyah ini merupakan tempat melaksanakan
pembelajaran khusus hanya ilmu-ilmu agama dan keagamaan, maka muatan Alquran,
hadis, akidah, fikih, dan akhlak merupakan isi utama pembelajaranya. Adapun
muatan kurikulum di Madrasah Diniyah Awaliyah adalah menulis dan membaca
Alquran, menulis dan membaca Hadis, Akidah, Fikih dan Akhlak serta Sejarah
Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah. Adapun jumlah jam belajar di
MDA adalah 18 jam pelajaran dalam seminggu. Sementara itu, 1 jam pelajaran setara
dengan 30 menit waktu belajar.
Adapun kurikulum pendidikan agama di MDA ini adalah:
NO
BIDANG STUDI
JENJANG KELAS
I
II
III
IV
1.
Alquran Hadis
4
4
8
8
a. Alquran
(4)
(4)
(2)
(2)
b. Hadis
-
-
(2)
(2)
c. Terjemahan-Tafsir
-
-
(2)
(2)
d. Tajwid
-
-
(2)
(2)
2.
Akidah Akhlak
4
4
2
2
3.
Fikih Ibadah
4
4
2
2
4.
Sejarah Kebudayaan
Islam
2
2
2
2
5.
Bahasa Arab
2
2
2
2
6.
Praktek Ibadah
2
2
2
2
18
18
18
18
Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah terdiri dari anak-anak usia 6 sampai 12
tahun pada jenjang pendidikan dasar. Siswa berasal umumnya dari anak-anak yang
mengikuti sekolah umum dan sebagian kecil yang mengikuti sekolah agama. Artinya
umumnya siswa berasal dari anak-anak yang kurang bahkan tidak mendapatkan
pendidikan agama secara efektif di sekolah umumnya.
Pada umumnya, guru adalah orang yang menguasai ilmu-ilmu agama dengan
baik, namun belum tentu orang yang menguasai kompetensi mengajar. Karena
Madrasah Diniyah Awaliyah biasanya status adalah swadaya masyarakat maka
mayoritas guru berasal dari masyarakat yang berstatus guru bukan PNS. Meskipun
sebagian kecil guru berstatus PNS.
Pembelajaran di Madrasah Diniyah Awaliyah dilakukan melalui dua cara yaitu
intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Intrakurikuler dilaksanakan secara terprogram
sesuai dengan jadwal dan waktu pelajaran seperti materi dalam mata pelajaran yang
ada. Sedangkan ekstrakurikuler juga dilaksanakan tidak secara terprogram dengan
jadwal dan waktu pelajaran. Kegiatan ekstrakurikuler meliputi tahfiz Alquran,
kaligrafi, tadabbur alam dan kegiatan yang termasuk menunjang akademik siswa.
Pelaksanaan pembelajaran di Madrasah Diniyah Awaliyah dilakukan melalui
model pembelajaran klasikal, kelompok dan individual. Namun umumnya metode
ceramah, tanya jawab dan demontrasi menjadi pilihan utama dalam mengantarkan
siswa kepada tujuan pembelajaran. Sementara media yang tersedia jauh dari
kecukupan.
Sarana dan prasarana pembelajaran di Madrasah Diniyah Awaliyah umumnya
digolongkan kurang memadai. Namun hal ini kurang mendapat perhatian karena
pembelajaran di Madrasah Diniyah Awaliyah biasanya hanya menggunakan metode
ceramah sehingga hanya membutuhkan fasilitas papan tulis dan kapur tulis.
Sedangkan lingkungan Madrasah Diniyah Awaliyah hanya berkenaan dengan
interaksi guru dan siswa serta hubungan keduanya dengan masyarakat setempat.
G. PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH AWALIYAH MELALUI
MANAJEMEN BERBASIS MADRASAH
Pengembangan madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam
formal telah dilakukan melalui pendekatan pola Manajeman Berbasis Sekolah (School
Based Management).13 Dalam konteks lembaga pendidikan Islam yaitu madrasah,
pendekatan pola ini disebut dengan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM).
Penerapan pola ini di madrasah dikenal dengan Madrasah Mandiri.14
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai salah satu lembaga
pendidikan keagamaan Islam dilakukan melalui konsep pengembangan madrasah
Manajemen Berbasis Madrasah atau Madrasah Mandiri. Namun secara praktis
Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan memiliki karakteristik yang sama dengan
madrasah pada umumnya, sehingga pola pendekatan ini juga diterapkan dalam
13Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, “Manajemen Madrasah Perlu Dikuatkan”,
dalam Choirul Fuad Yusuf (Ed.). Isu-isu Sekitar Madrasah, (Jakarta:Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2006), hal. 111-113
14 Lihat Ibid, hal. 3-45
menemukan fakta-fakta yang berkenaan dengan Madrasah Diniyah Awaliyah
tersebut.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama terhadap
11 madrasah di tingkat Nasional telah memperoleh hasil yang lebih baik
dibandingkan sebelum menerapkan pola pendekatan ini. Manajemen pengembangan
madrasah ini telah menunjukkan beberapa kemajuan baik pada aspek masukan
(input), proses, dan keluaran (out put) madrasah.
Pada aspek masukan ditunjukkan dengan kemajuan beberapa komponen
input seperti siswa, guru, pegawai, sarana prasarana, pendanaan, peran orangtua,
masyarakat, dan pemerintah. Pada aspek proses terlihat melalui peningkatan kualitas
pengelolaan program madrasah, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan
pembelajaran, kemandirian madrasah, kepemimpinan, keterlibatan komite madrasah
dan akuntabilitas yang terjamin. Sedangkan pada aspek keluaran terjadi peningkatan
prestasi akademik dan non akademik siswa.
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah ini dimulai dengan pemberdayaan
pada komponen-komponen aspek masukan, proses, dan keluaran madrasah.15 Ada
beberapa komponen dari ketiga aspek tersebut, yaitu:
1. Aspek Masukan
Aspek masukan ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
a. Siswa
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah ini dapat dilakukan melalui
komponen utama siswa dengan adanya peningkatan secara kuantitatif dan
kualitatif. Artinya, pemberdayaannya dapat dilakukan dengan peningkatan
jumlah siswa yang mendaftar dan diterima dari tahun ke tahun.
Sedangkan secara kualitatif adalah dengan perbaikan mekanisme
rekrutmen calon siswa baru yang dilakukan secara benar dan tertib. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya bukti calon siswa yang mendaftar berupa
formulir pendaftaran, kriteria dan persyaratan tentang siswa yang akan
diterima, serta adanya seleksi penerimaan calon siswa secara lisan dan
tulisan.
b. Guru
Revitalisasi selanjutnya dilakukan melalui perbaikan pada komponen
guru, yang dapat dilakukan dengan adanya peningkatan secara kuantitatif
dan kualitatif. Secara kuantitatif dilakukan dengan kecukupan jumlah guru
Madrasah Diniyah Awaliyah tersebut dengan jumlah siswa, atau hampir
mendekati jumlah mata pelajaran yang diajarkan. Secara kualitatif
dilakukan dengan peningkatan jenjang pendidikan dan latar belakang
pendidikan guru, perbaikan kemampuan dan keterampilan mengajar guru.
c. Kepala Madrasah
15 Ibid
Sebagai seorang pimpinan di Madrasah Diniyah Awaliyah, Kepala
Madrasah merupakan komponen penting yang perlu direvitalisasi.
Revitalisasi ini dilakukan melalui peningkatan kompetensi Kepala
Madrasah dalam aspek manajerial dan kepribadian. Hal ini dapat
dilakukan melalui peningkatan jenjang pendidikan yang dimiliki rata-rata
telah mencapai sarjana, pengalaman kerja sebagai guru dan kepala
madrasah cukup lama, dan banyaknya pendidikan dan pelatihan tentang
kepala madrasah. Pemberdayaan ini dilakukan dengan harapan kepala
madrasah dapat berperan seperti pemimpin efektif yang mampu berperan
sebagai konsultan internal, memiliki visi jauh ke depan, berani
bereksperimen, menjadi pelatih, dan sekaligus pendidik.
d. Pegawai
Komponen pegawai selalu luput dari perhatian pemberdayaan Madrasah
Diniyah Awaliyah dikarenakan jumlah pegawai di madrasah tersebut
hampir tidak ada. Kalaupun ada, kemungkinan besar hanya memiliki
pegawai pada bidang ketatausahaan. Padahal keberadaan pegawai dinilai
sebagai faktor penunjang dalam penyelenggaraan madrasah. Namun
revitalisasi yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui peningkatan
pengetahuan administrasi pegawai dan perbaikan administrasi yang ada
selama ini.
e. Dana
Sebagai lembaga pendidikan keagamaan non formal, Madrasah Diniyah
Awaliyah dibiayai oleh pendanaan masyarakat. Sementara itu, masyarakat
pendukung dan pengelola serta penyelenggara madrasah tersebut dapat
dikatakan sebagai masyarakat ekonomi menengah ke bawah, bahkan
dapat dikatakan masyarakat ekonomi lemah. Komponen dana ini
seringkali menjadi masalah besar dan pelik untuk diselesaikan. Revitalisasi
pada komponen ini dapat dimulai melalui perbaikan rekrutmen,
pengelolaan sampai pada pengalokasian pendanaan. Namun, beberapa
permasalahan berkenaan dengan komponen ini juga belum terselesaikan
seperti kemampuan sumber daya manusia yang belum memadai,
lemahnya kondisi ekonomi masyarakat pendukung, belum optimalnya
dukungan pemerintah dan kesulitas menggali sumber-sumber dana
eksternal selain masyarakat. Selama ini pendanaan Madrasah Diniyah
Awaliyah masih mengandalkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP)
siswa yang jumlahnya tidak terlalu besar. Sedangkan revitalisasi melalui
usaha mandiri tidak dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan
ketiadaan modal usaha, di samping hal itu merupakan suatu yang baru
dan masih asing bahkan tabu bagi pengelola madrasah. Revitalisasi
Madrasah Diniyah Awaliyah dalam komponen dana ini dapat dilakukan
melalui perbaikan tingkat akuntabilitas madrasah dalam menangani
pendanaan yang ditandai dengan ketertiban dan transparansi, seperti
penertiban administrasi keuangan melalui pembukuan yang benar, serta
alokasi dana yang lebih menekankan skala prioritas kebutuhan.
f. Sarana Prasarana
Sarana dan prasarana yang lengkap dan tertata baik merupakan aspek
penunjang efektifitas pembelajaran di madrasah. Namun hampir
keseluruhan madrasah tidak memiliki kelengkapan sarana dan prasarana,
sehingga revitalisasi pada komponen ini tidak dapat dilakukan secara
maksimal. Namun, revitalisasinya dapat dilakukan melalui peningkatan
jumlah, kondisi dan pemakaiannya. Misalnya revitalisasi melalui
ketersediaan gedung, letak kedekatan gedung madrasah dengan lokasi
tempat tinggal siswa, kondisi gedung, kelengkapan ruangan, kelengkapan
sarana prasarana belajar seperti meja kursi, alat peraga, alat bantu audio
visual, ketersediaan perpustakaan, dan sebagainya.
g. Kurikulum
Kurikulum adalah pengalaman belajar yang direncanakan sekolah untuk
mencapai tujuan pendidikan sehingga kemampuan anak didik meningkat.
Revitalisasi dalam komponen ini penting dan harus diupayakan dalam
mencapai tujuan pendidikan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan
kemampuan guru dalam perencanaan pembelajaran dengan menyusun
kalender akademik dan jadwal pembelajaran, menyusun silabus, satuan
acara pembelajaran, bahkan penyusunan bank soal dan pelaksanaan
kegiatan remedial.
h. Peran Orangtua
Peran orangtua dapat diberdayakan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung dilakukan dengan peningkatan peran orangtua
dalam membimbing anak belajar di rumah, kepedulian dalam
pendisiplinan anak, dan menyediakan fasilitas belajar. Sedangkan secara
tidak langsung dapat dilakukan melalui kontribusi SPP, memberikan
infak, berkontribusi secara fisik bahkan psikis melalui sumbangan
pemikiran dalam pengambilan keputusan, masukan berupa saran dan
kritik terhadap program madrasah, serta komunikasi antara orangtua
dengan madrasah baik melalui forum maupun secara langsung.
i. Partisipasi Masyarakat
Revitalisasi madrasah melalui komponen ini dilakukan melalui
peningkatan dukungan moril maupun materil dari masyarakat. Dukungan
materiil masyarakat dapat dilakukan melalui sumbangan infak dan
pendanaan lainnya.Dukungan moril masyarakat dapat dilakukan melalui
sumbangan secara fisik, pemikiran, kritik dan saran terhadap madrasah.
2. Aspek Proses
Aspek proses juga memiliki beberapa komponen, yaitu:
a. Pengelolaan Program
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah dapat dilakukan melalui
pengelolaan program yang dimulai dengan peningkatan kemampuan
madrasah dalam merumuskan visi, misi, tujuan, sasaran dan rumusan
program kerja, keterlibatan siswa, pegawai dan komite dalam penyusunan
rumusan tersebut, evaluasi terhadap program berdasarkan analisis
kebutuhan, melakukan analisis SWOT sebagai dasar penyusunan
perencanaan, kejelasan uraian materi kegiatan dan jangka waktu
pelaksanaan, kejelasan sumber dan alokasi dana, ketersediaan sasaran
program, strategi pelaksanaan program dan program lanjutan.
b. Pengelolaan Lembaga
Pengelolaan lembaga dalam rangka revitalisasi Madrasah Diniyah
Awaliyah dilakukan dengan adanya kejelasan pembagian tugas dan
wewenang personil pengelola madrasah, kejelasan struktur dalam sebuah
organisasi, pertanggungjawaban kerja, dan pemberian penghargaan bagi
personil yang berprestasi dan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran.
c. Pengelolaan Pembelajaran
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah pada komponen pengelolaan
pembelajaran dapat dilakukan melalui inovasi pembelajaran, penggunaan
media, ketesediaan kurikulum/silabus/SAP, pengembangan sistem
evaluasi, pembedaan perlakuan berdasarkan kemampuan anak didik,
rotasi tempat duduk, kerja sama antara guru dengan komite madrasah
dalam pembelajaran, ketersediaan uraian materi pelajaran,
waktu/penjadwalan kegiatan belajar, tenaga yang terlibat, pola evaluasi
akademik, uraian tentang kesesuaian pembelajaran yang dilaksanakan
dengan kurikulum, uriatan tentang metode penilaian dan mekanisme
evaluasi serta ketersediaan dokumen program bimbingan dan konseling.
d. Kemandirian
Hal penting lainnya dalam revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah
dilakukan melalui peningkatan kemandirian kerja dan tidak selalu
bergantung pada atasan seperti yayasan atau pemerintah. Hal ini
dilakukan melalui pengambilan keputusan dengan senantiasa melibatkan
guru, pegawai, siswa, orangtua dan komite madrasah, memiliki sumber
penunjang dalam pendanaan, memiliki usaha mandiri sebagai sumber
pendanaan, partisipasi masyarakat dalam pendanaan, adanya aktivitas
dalam penyusunan silabus, SAP, dan sistem evaluasi, serta adanya
aktivitas dalam analisis kebutuhan ketenagaan, perencanaan ketenagaan
dan pengembangan ketenagaan, serta evaluasi terhadap kinerja
ketenagaan.
e. Kepemimpinan
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah utama dalam komponen proses
adalah peningkatan kemampuan kepala madrasah dalam perumusan visi,
misi, dan tujuan madrasah, kemampuan mensosialisasikan visi misi,
memiliki sikap inovatif, kreatif, memiliki kepercayaan diri, mampu
menyusun perencanaan dan pengorganisasian kegiatan, mampu
melaksanakan pengarahan dalam pelaksanaan kegiatan, mampu
mengelola sumber daya dan mampu melaksanakan pengawasan
pelaksanaan program kegiatan dengan baik.
f. Komite Madrasah
Sementara itu, komite madrasah sebagai mitra dalam penyelenggaraan
pendidikan direvitalisasikan dengan melakukan penyusunan
kepengurusan komite dengan baik, memberikan kontribusi secara fisik
dan materil dalam berbagai pengambilan keputusan, penyusunan
kurikulum, rekrutmen pendanaan, sarana dan prasarana dan sebagainya,
serta tidak luput memberikan masukan saran dan kritik terhadap
beberapa aspek dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga mampu
mendongkrak perbaikan dan peningkatan mutu madrasah.
g. Budaya Organisasi
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah pada komponen budaya
organisasi dapat dilakukan melalui pengembangan dan peningkatan
budaya organisasi kerja tim yang semakin kompak dan solid, serta budaya
mutu dalam seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan madrasah.
h. Akuntabilitas
Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah lainnya dapat dilakukan melalui
komponen akuntabilitas dengan perbaikan dalam sosialisasi program
madrasah dan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan program yang
telah dicanangkan yang dituangkan dalam bentuk laporan dan
disampaikan secara transparan kepada seluruh komponen madrasah
seperti kepala madrasah, guru, pegawai, siswa, orangtua, masyarakat,
yayasan, komite madrasah dan pemerintah. Hal ini dilakukan dalam
rangka membudayakan respon baik berupa tanggapan maupun kritikan
bermanfaat untuk perbaikan program selanjutnya.
3. Aspek Keluaran
Sementara itu, aspek keluaran memiliki beberapa komponen, yaitu:
a. Peningkatan Prestasi Akademik
Revitalisasi madrasah secara akademik dapat dilakukan dengan kenaikan
nilai rapor siswa dari tahun ke tahun. Adanya peningkatan akademik ini
akan menjadi tolak ukur adanya peningkatan mutu pendidikan di
madrasah tersebut.
b. Peningkatan Prestasi Non Akademik
Sedangkan revitalisasi madrasah secara non akademik dapat dilakukan
dengan peningkatan kegiatan non akademik melalui kegiatan olah raga,
kesenian, keterampilan, kewirausahaan yang dilakukan secara rutin,
terjadwal, dan berkesinambungan. Tidak luput dari itu, adanya
peningkatan budi pekerti, akhlak dan kepribadian.
H. PENUTUP
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Madrasah yang dilaksanakan pada
Madrasah Diniyah Awaliyah diharapkan dapat meningkatkan keberadaan lembaga
pendidikan ini di tengah-tengah lembaga pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan
keagamaan non formal ini diharapkan dapat menjalankan fungsi dan tujuannya
sebagai wadah untuk meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai ajaran
agama Islam. Revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah mutlak dilakukan untuk
keberlanjutan ajaran agama Islam itu sendiri.
BIBLIOGRAFI
Depag RI. Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Jakarta: Depag RI, 2001.
Departemen Agama RI, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2005.
-----------. Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Depag RI, 2003.
Fadjar, A.Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, “Manajemen Madrasah Perlu
Dikuatkan”, dalam Choirul Fuad Yusuf (Ed.). Isu-isu Sekitar Madrasah,
Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, “Manajemen Pengembangan
Madrasah”, dalam Yusuf, Choirul Fuad (Ed.). Inovasi Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006
Nasir, Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009.
... Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tokoh agama setempat menyatakan bahwa hampir semua ibu rumah tangga di daerah tersebut menyekolahkan anak-anaknya di MDA. Konsep pendidikan MDA telah menjadi lembaga yang efektif untuk memperkuat nilai keislaman individu melalui kurikulum pendidikan Islam yang diajarkan (Fauzi & Nikmatullah, 2016;Magdalena, 2012;Syahr, 2016). "Hampir semua anak di desa ini mengikuti program pendidikan di MDA yang ada di dekat masjid sana. ...
Article
Full-text available
Pendidikan pertama yang diperoleh setiap anak adalah pendidikan keluarga. Ibu adalah sosok dalam keluarga yang paling memiliki peran dalam memberikan pendidikan itu. Nilai-nilai keislaman harus mulai tertanam pada diri seseorang sejak dia kecil, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah minoritas muslim. Hal ini karena nilai-nilai keislaman tersebut bisa terkikis oleh pengaruh lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran perempuan dalam menjaga nilai keislaman anak di daerah minoritas Muslim Labuan Rasoki. Topik ini menjadi penting karena sosok perempuan mengambil peran besar dalam menjaga nilai keislaman anak di lingkungan masyarakat mayoritas Non-Muslim. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara dan observasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 peran yang diambil seorang sosok ibu dalam menjaga nilai-nilai keislaman anak mereka yaitu melalui pendidikan nonformal di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), pendidikan informal di lingkungan keluarga; dan pendidikan formal di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Ibu rumah tangga adalah di antara perempuan yang terus membentengi nilai keislaman anak-anak mereka melalui pendampingan pendidikan, sehingga nilai keislaman tetap bertahan dalam diri anak-anak mereka meskipun mereka tinggal di daerah minoritas Muslim.
Article
Full-text available
The implementation of madrasah diniyah takmiliyah (MDT) is very dynamic in its history, established before this country was not born until now it still exists in the midst of community life and has contributed a lot to the nation as an institution that concentrates on Islamic studies. Although it has been established for a long time, madrasah diniyah has only recently received recognition from the government through the issuance of Law No. 20 of 2003 concerning the national education system and also the issuance of Government Regulation No. 55 of 2007 concerning religious education and religious education. This study examines local government policies related to the implementation of madrasah diniyah takmiliyah as part of the implementation of these two government policies. This study uses a systematic literature review (SLR) approach, which is a method used to identify, verify and classify relevant data findings into discussion themes. The result of this study is that the policies that have been established by the government have not fully guaranteed the vital role of the government (central and local) towards the implementation of education in madrasah diniyah, the lack of government attention is one of the reasons for the lack of development of MDT until now. In some regions, there is a policy to integrate MDT into formal schools, this aims to increase the role and existence of MDT and affirm its role as an Islamic educational institution that produces religious and characterized graduates.
Article
Full-text available
Law of the Republic of Indonesia Number 33 Year 2014 on Halal Product Warranty (JPH) mandates the Government that the product circulating in Indonesia is guaranteed halal by the Halal Product Security Organizing Body (BPJPH). Public participation is required in halal product socialization and monitoring. Socialization and education constitute an important task of education institution including madrasah. It is necessary for madrasah as a formal educational institution with Islamic characteristics to enhance its role in disseminating halal product so that students have better awareness on the importance of halal thayyiban products. The socialization and education of halal products will contribute to achieve one of the national educational goals in developing learners’ potentials so that they become the people imbued with human values who are faithful and pious to one and only God; who possess morals and noble character; who are healthy, knowledgeable, competent, creative, independent; and as citizens, are democratic and responsible. To meet the goal, madrasah must respond and play an active role in solving the problems that occur in community, one of which is related to halal product issue. This study is intended to analyze the significance of implementing Halal Education in madrasah. This research applies literature study method. The research findings show that the issue of halal product does not have an adequate portion in Fiqh curriculum. The study of halal product in the curriculum is limited in doctrinaire perspective. The important issues on basic commodity, additives, production process, warehousing packing and halal product distribution need to be conveyed in madrasah education, considering that processed food for children in Indonesia is really complex and require a multi-disciplinary study
Manajemen Madrasah Perlu Dikuatkan
  • Puslitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, "Manajemen Madrasah Perlu Dikuatkan", dalam Choirul Fuad Yusuf (Ed.). Isu-isu Sekitar Madrasah, Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006.
Manajemen Pengembangan Madrasah
  • Puslitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, "Manajemen Pengembangan Madrasah", dalam Yusuf, Choirul Fuad (Ed.). Inovasi Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006
Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan
  • Ridlwan Nasir
Nasir, Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam
  • Samsul Nizar
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran
  • Wina Sanjaya
Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009.