ArticlePDF Available

Peran Linguistik dalam Promosi Pariwisata

Authors:
PERAN LINGUISTIK DALAM PROMOSI PARIWISATA
Kasno Pamungkas
Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
kasno.pamungkas@unpad.ac.id
Abstract
This study is entitled "Peran Linguistik dalam Promosi Pariwisata". The purpose of this study
is to describe the role of linguistics in the field of tourism. The method used in this study is a
qualitative descriptive. In this study, the theories used are general linguistics by McMannis (1998) to
explain linguistics theoretically and theories about tourism language by Dann (1996). This study
discusses the role of linguistics in tourism such as Morphology in the namings of tourism objects,
local art, and local food products as culinary tourism, the role of syntax in the choice of language
structure tourism promotion, the role of semantics in the delivery of promotional messages such as the
use of diction and metaphors,and the role of semotics such as the use of signs, symbols and pictures
on the promotion of tourism. From the application of linguistic theory in tourism promotion, we can
conclude that linguistics has an important role in improving the quality of tourism promotion. By
applying some linguistic theory in tourism promotion correctly, it will produce an attractive
promotional message and be able to influence the readers become travelers.
Keywords: linguistic, promotion, tourism
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Saat ini, pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan orang di berbagai
belahan dunia. Sebagian besar, motivasi wisatawan yang melakukan wisata ke suatu tempat adalah
untuk menikmati keindahan atau keunikan destinasi wisatanya. Untuk menarik wisatawan, diperlukan
adanya strategi promosi yang strategis karena berkembangnya suatu destinasi sedikit banyak
dipengaruhi oleh informasi baru yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang yang hendak
berwisata. Informasi tentang destinasi pariwisata ini dapat diperoleh melalui internet, televisi, radio,
koran, majalah, brosur, dan berbagai jenis media lainnya. Informasi pariwisata tersebut harus dikemas
sedemikian rupa sehingga mampu menarik minat para wisatawan. Namun demikian, sudah
seharusnya informasi pariwisata ditulis secara objektif, berimbang, tidak berlebihan, dan sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peran dari ilmu bahasa atau
linguistik agar pengemasan informasi pariwisata mampu menarik, berimbang, dan tidak menyesatkan.
Sebagai salah satu cabang ilmu sosial dan humaniora, linguistik merupakan ilmu bahasa yang
tidak hanya mengkaji bahasa secara teoretis tetapi juga menerapkan manfaat ilmu bahasa. Penerapan
ilmu bahasa dapat dilakukan pada beberapa bidang kajian seperti pengajaran, penerjemahan,
periklanan, kepariwisataan, kebudayaan dan lain-lain. Penerapan ilmu bahasa pada bidang pariwisata
saat ini sudah mulai berkembang. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji penerapan ilmu bahasa
dalam bidang pariwisata.
Metode dan teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut Sudaryanto (1992: 62), “istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan
semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
hidup pada penutur-penuturnya”. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat mendeskriptifkan fenomena
linguistik dalam bidang pariwisata. Tidak ada titik berat benar-salah dalam pembahasan kajian
linguistik dalam bidang pariwisata, tetapi bermaksud menggambarkan linguistik yang dapat
diterapkan dalam kajian kepariwisataan sehingga dapat dihasilkan satu promosi pariwisata yang
efektif.
2. Linguistik dan Pariwisata
Pariwisata tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Peran bahasa dalam dunia pariwisata tidak bisa
dipandang sebelah mata. Hal ini terlihat pada berbagai aspek kepariwisataan seperti penggunaan
bahasa pada nama objek wisata, seperti pada wisata alam, wisata budaya, dan wisata kuliner. Pada
aspek promosi, diperlukan peran ilmu bahasa yang menyangkut struktur dan tata bahasa sehingga
mampu dipahami oleh wisatawan. Selain itu, pada aspek promosi, penggunaan gaya bahasa dan
pilihan kata yang tepat juga sangat penting karena ikut berperan dalam menentukan keberhasilan
promosi pariwisata. Gaya bahasa dan pilihan kata yang baik dapat memberikan gambaran yang jelas
dan menarik sehingga mampu memikat pembacanya untuk mengunjungi objek wisata tersebut. Begitu
pula dengan penggunaan gambar, tanda atau lambang dalam promosi pariwisata sangat menentukan
keberhasilan promosinya. Objek wisata yang bagus, apabila dalam promosi pariwisatanya ditampilkan
dengan gambar yang tidak jelas akan memberikan kesan negatif sehingga tidak menarik perhatian
wisatawan. Berikut ini paparan tentang beberapa penerapan teori linguistik dalam promosi pariwisata.
2.1 Morfologi dan Penamaan Objek Wisata
Menurut McMannis (1998: 117), “Morphology is the study of how words are structured and
how they are put together from smaller parts”. Definisi ini menjelaskan tentang pembentukan kata dan
struktur kata.Dalam teorinya, McMannis menjelaskan bahwa terdapat beberapa teori pembentukan
kata, di antaranya yaitu derivasi (derivation), singkatan (acronym), backformation, paduan kata
(blending), pemotongan kata (clipping), coinage, Functional shift, Morphological Misanalysis,dan
Proper Names. Apabila dikaitkan dengan bidang pariwisata, teori ini dapat diterapkan pada
bagaimana pembentukan kata pada nama-nama objek wisata dan produknya. Sebagai contoh, pada
wisata kuliner Jawa Barat, terdapat beberapa produk makanan lokal yang penamaannya dibentuk
menggunakan paduan kata atau blending, yaitu: comro, misro,gehu, cimol, cilok dan sejenisnya.
Penamaan produk kuliner terbaru di antaranya Modchi, paduan dari Mochi durian ti Cimahi, Keripik
Karuhun,Keripik Ma Icih dan lain-lain.
Sementara itu, dalam penamaan objek wisata alam, juga terdapat kajian linguistik yang
dilakukan oleh Tuckytasari, dkk. seperti berikut ini:
“The names of tourism destinations in Jawa Barat have different morphological processes. From the
ten types of morphological processes, it is found they are five types of them. The first process is
formed from the initial letters of a set of other words called acronym. The second is joining two words
by taking parts of the two words called blending. The third process is the totally new names or terms
often a brand name that becomes the names, it is called coinage. The last type of process is a
compound word contains of at least two bases words called compounding. It can be concluded that
the blending and compounding are the most effective process used in the morphological processes of
Jawa Barat tourism destinations naming. 1
Contoh dari penamaan objek wisata alam hasil penelitian tersebut, di antaranya: Pantai APRA
(Acronym dari Angkatan Perang Ratu Adil), Situ Cileungsi (Blending dari Culang Cileng Sisi Cai),
Pantai Santolo (Borrowing dari Zon Tulu Bahasa Belanda yang artinya ‘matahari terbenam’),
Teropong Boscha (Coinage dari nama pendirinya Boscha), Pangandaran (Compounding dari Pangan-
yang berarti ‘makanan’ dan -daran yang berarti ‘orang asing’). Hal itu menandakan bahwa linguistik
dapat dijadikan dasar pada penamaan objek wisata. Kedepannya pelaku bisnis pariwisata harus
mampu memberikan penamaan yang lebih baik, mudah dimengerti, dan mampu memberikan kesan
persuasif bagi pembacanya.
2.2 Sintaksis dan Struktur Bahasa Promosi Pariwisata
Menurut McMannis (1998: 153), Sintaksis adalah “the study of the structure of sentences. It
attempts to uncover the underlying principles, or rules for constructing well-formed sentences of a
particular language”. Hal ini ditegaskan oleh Dann (1996), wacana dalam kepariwisataan secara
umum menunjukkan beberapa ciri khas dan struktur yang secara ringkas seperti berikut ini.
a) Banyak memiliki pola atau struktur yang spesifik.
b) Banyak menggunakan adjektiva.
c) Secara semantis mengandung pesan/ promosi.
d) Berkaitan dengan simbol dan kode tertentu.
e) Ada elemen-elemen dialek atau register tertentu untuk menarik perhatian
(Dann, 1996)
1Tuckytasari, Heriyanto, Kasno Pamungkas. Morphological Processes Of Jawa Barat Tourism Destinations
Naming. International Conference on Education and Humanities:Proceedings page 158-162. Istanbul Turkey
Perhatikan contoh paragraf berikut ini:
Kota Bandung sekarang bisa dibangun lebih baik dan lebih indah dari sekedar Parijs van
Java. Pola pembangunan kota ini, tidak perlu meniru-niru kota Hong Kong, Tokyo, New York
atau Jakarta sekalipun yang telah sesak dipenuhi kolom dan pilar beton menjulang tinggi.
Kalau diperhatikan lebih jauh, pada umumnya kota-kota metropolitan miskin akan
bangunan-bangunan kuno yang mempunyai arti sejarah. Dalam hal bangunan tua yang
bersejarah, tidak mustahil Bandung memiliki beberapa kelebihan (Kunto, 1984: 209-210).
Paragraf tadi dapat dibandingkan dengan paragraf berikut ini yang sama-sama menggambarkan
sebuah kota yang menjadi destinasi wisata.
Kota Nanning terkenal sebagai The Green City. Pemerintah kota setempat benar-benar
serius menggarap kota ini sebagai kota yang hijau. Jalan-jalan yang lebar berpadu dengan
pepohonan rindang. Saya sempat melihat di bawah fly over, pemerintah setempat menanam
bibit-bibit pohon. Di kota ini terdapat kurang lebih tiga puluh kelompok etnis. Keberagaman
ini menambah pesona kota Nanning yang juga memiliki peran penting karena kota ini
menjadi pintu masuk ke dan dari Vietnam. Kota ini menjadi pintu penghubung China dengan
negara-negara di Asia Tenggara (Ariyanto, 2010: 65).
Pola spesifik yang tampak pada dua paragraf di atas adalah adanya kalimat pembuka yang
memiliki frasa yang menunjukkan perbandingan atau julukan kota-kota tersebut agar menimbulkan
imajinasi pembaca bahwa kota tersebut mempunyai kelebihan seperti yang diungkapkan dalam
kalimat pembuka, di mana Bandung dijuluki Parijs van Java, sedangkan Nanning disebut sebagai The
Green City. Kalimat-kalimat lain yang mengikutinya memberikan keterangan lebih lanjut akan dua
kota tersebut.
Jika dilihat dengan cermat, dalam dua paragraf di atas terdapat banyak adjektiva untuk
mengungkapkan kelebihan, keunikan atau keindahan kota tersebut sehingga orang tertarik untuk
berkunjung. Adjektiva yang digunakan untuk menggambarkan kelebihan kota Bandung, antara lain:
baik, indah, dan kuno. Bahkan kata tua juga digunakan sebagai sinonim dari kuno yang disandingkan
dengan bersejarah seperti tampak pada frasa nomina bangunan tua yang bersejarah yang selain
digunakan untuk menunjukkan keunikan, di samping adanya nilai sejarah yang penting. Pada
deskripsi kota Nanning yang muncul adalah adjektiva dalam bahasa Inggris green dan padanannya
hijau yang dikaitkan dengan pepohonan rindang serta bibit pohon.
Ditinjau dari makna secara keseluruhan akan terasa adanya upaya untuk memperkenalkan
atau mempromosikan dua kota tersebut yang tercermin dari banyaknya adjektiva maupun keterangan
yang menunjukkan kelebihan atau daya tarik, seperti telah disebutkan di atas. Adjektiva ini penting
untuk menjelaskan objek yang dideskripsikan. Pada deskripsi kota Bandung yang digunakan sebagai
simbol atau identitas adalah bangunan kuno yang bersejarah, sedangkan kota Nanning menonjolkan
“kehijauannya”. Istilah yang sering muncul dalam deskripsi kota Bandung adalah yang berkaitan
dengan sejarah atau “kekunoan” dan yang sering muncul dalam deskripsi kota Nanning adalah yang
berkaitan dengan “kehijauan”, di samping adanya keragaman etnis.
2.3 Gaya Bahasa dan Promosi Pariwisata
Dalam dunia pariwisata, penggunaan gaya bahasa khususnya metafora dalam
mempromosikan suatu objek wisata sebenarnya sudah tidak asing lagi karena kegiatan pariwisata
sarat dengan imajinasi, harapan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, bahkan bisa pula
mendapatkan status sosial baru, misalnya seorang yang berwisata ke luar negeri akan berubah
statusnya dari kelompok orang yang belum pernah ke luar negeri menjadi ‘anggota’ kelompok
masyarakat yang sudah pernah ke luar negeri, apalagi jika diberi label sebagai ‘raja’ seperti dalam
metafora di negeri kami, anda adalah raja yang mempunyai makna bahwa sang wisatawan akan
diperlakukan layaknya seorang raja, suatu perlakuan sekaligus sanjungan yang mungkin belum pernah
ia dapatkan sebelumnya.
Metafora (gaya bahasa yang membandingkan satu entitas dengan entitas yang lain) yang
merupakan bagian dari gaya bahasa atau figure of speech yang secara umum berupa kata atau frasa
yang biasanya digunakan untuk memberi efek tertentu, dan makna kata atau frasa tersebut bukanlah
dipakai dalam arti yang sebenarnya, tetapi dipakai sebagai kiasan (Palmer, 1979 dan Lakoff, 1980).
Selain metafora, gaya bahasa lain yang umum dipakai adalah personifikasi dan simile (Richards et al.,
1989: 105). Dalam kaitannya dengan kepariwisataan Jawa Barat, metafora juga sering digunakan di
dalam promosinya, misalnya Kota Kembang untuk menyebut Bandung, Kaki Gunung Tangkuban
Perahu untuk menyebut dataran di bawahnya di mana banyak dijumpai sumber/ mata air panas yang
juga bisa dimanfaatkan sebagai destinasi wisata yang cukup populer, misalnya pemandian air panas
Ciater atau Sari Ater dan sebagainya.
Di samping metafora yang sudah sering didengar, orang juga kadang-kadang menciptakan
metafora baru untuk berbagi pengalaman yang menawan dan sekaligus menarik perhatian agar orang
lain mau berkunjung ke suatu destinasi wisata. Penciptaan metafora baru ini dimaksudkan agar
pembaca mendapat kesan yang lain atau unik, yang tidak biasa. Misalnya untuk menggambarkan
keindahan matahari terbenam di pantai, dibuatlah metafora yang terasa agak berlebihan akan tetapi
tidak mudah dilupakan begitu saja, misalnya “Aku takjub dan kehabisan kata saat kupandang si bulat
jingga menuruni tahtanya dan perlahan menghilang di kaki langit (Saduran, Tamasya, September
2014). Kalimat ini sarat dengan metafora dan terasa puitis. Kalimat-kalimat semacam ini sering
muncul dalam tulisan yang menceritakan pengalaman seorang wisatawan, yang langsung maupun
tidak langsung, bisa meningkatkan ketertarikan orang akan pantai yang digambarkannya.
Berikut ini contoh analisis penggunaan gaya bahasa metafora pada teks promosi Pantai Santolo di
Garut (Pamungkas, 2015).
“Sampai-sampai sebagian kalangan menyebut Pantai Santolo bak surga tersembunyi di
selatan Garut. Lautnya terbentang luas membentuk garis horizon di kaki langit biru
dengan deburan ombaknya yang khas. Hamparan atol seluas 35 hektare juga
menyuguhkan pemandangan menakjubkan. Gugusan karang hitam berbagai bentuk
dipadu pasir coklat muda.”
Kutipan promosi Pariwisata Pantai Santolo di atas menggunakan beberapa jenis metafora
seperti penggunaan ungkapan ‘kaki langit biru’ yang merupakan dead metaphor atau metafora mati.
Penggunaan bagian tubuh manusia pada ungkapan tersebut untuk memperjelas bahasa ilmiah lainnya
yakni titik pertemuan antara garis permukaan laut dengan batas langit yang menandakan bahwa
pemandangan laut pantai Santolo sangat luas sepanjang mata memandang. Hal ini diperkuat dengan
ungkapan gaya bahasa simile “Pantai Santolo bak surga tersembunyi di selatan Garut” untuk
mendeskripsikan keindahan Pantai Santolo. Lebih jauh lagi, keindahan Pantai Santolo dideskripsikan
dengan penggunaan metafora standar frase ‘hamparan atol’ pada ungkapan ‘Hamparan atol seluas 35
hektare juga menyuguhkan pemandangan menakjubkan’, dan metafora standar ‘gugusan karang
hitam’ pada ungkapan ‘Gugusan karang hitam berbagai bentuk dipadu pasir coklat muda’.
Penggunaan metafora standar pada kedua ungkapan tersebut merupakan upaya komunikasi informal
teks promosi kepada wisatawan yang mampu memunculkan kehangatan emosional antara objek
wisata dan pengunjungnya.
Dalam promosi pariwisata, misalnya, bisa dilihat kekhasan wacananya, tidak hanya
menyangkut gaya bahasa seperti metafora dan simile, tetapi juga pilihan kata yang sedemikian rupa
yang dipadu dengan gambar yang indah dan menarik dengan tujuan untuk menimbulkan imajinasi
agar pembaca/ klien tergerak hatinya untuk mengunjungi destinasi yang dipromosikan (Dann, 1996).
2.3 Semiotik dan Penggunaan Lambang dan Tanda Pariwisata
Semiotika merupakan ilmu yang banyak berkaitan dengan permasalahan tanda sebagai bagian
dari kehidupan sosial secara luas. Ditinjau dari segi etimologi, semiotika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu semeion yang berarti tanda. Di samping itu, terdapat pula pengertian lain dari semiotika atau
semiologi, seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa semiologi adalah “a science that studies
the life of sign within society” (Clarke, 1987: 29).
Semiotika memainkan peran yang sangat penting dalam berbagai bentuk promosi, termasuk
promosi pariwisata, di mana kegiatan pariwisata ini semakin hari menjadi suatu fenomena yang tidak
dapat begitu saja dilepaskan dari kehidupan banyak orang. Dalam setiap kegiatannya, pariwisata
memerlukan alat komunikasi, baik yang berupa tanda visual maupun bahasa dalam interaksi antara
wisatawan dengan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan. Sebagai contoh adalah
promosi pariwisata yang disertai gambar-gambar menarik yang menjadi ciri khas objek wisata
tersebut. Sebagai contoh, objek wisata Pantai Pangandaran digambarkan dengan suasana pantai yang
indah dengan deburan ombak, pasir putih yang bersih, seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Kedua gambar di atas memiliki simbol dan tanda yang sangat menarik untuk mempromosikan sebuah
pantai, yakni warna biru pantulan dari langit cerah yang menggambarkan keindahan, keluasan
cakrawala, kesegaran udara dan kebersihan pantai berpadu dengan pasir putih yang bersih serta
hijaunya pepohonan hutan Cagar Alam Pananjung. Demikian pula dengan warna jingga pada pantai
yang elegan pada saat matahari terbenam di ufuk barat menggambarkan keadaan pantai yang selalu
seirama dengan warna matahari dan langit. Dua gambar yang sarat dengan simbol keindahan sebuah
pantai ini menjadi daya tarik tersendiri sehingga para wisatawan pun berkeinginan untuk berkunjung
dan berpesiar ke pantai Pangandaran.
3. Kesimpulan
Promosi pariwisata yang baik tidak hanya mampu menyampaikan informasi pariwisata yang
ada, tetapi juga mampu memberikan persuasi sehingga mampu mempengaruhi pembaca untuk
berkunjung ke objek wisata yang dipromosikan. Teori linguistik dapat diterapkan pada berbagai aspek
promosi pariwisata, seperti Morfologi pada penamaan produk wisata baik wisata budaya, alam
maupun kuliner, Sintaksis pada penggunaan struktur bahasa promosi pariwisata, semantik pada
penggunaan makna dan gaya bahasa dalam teks promosi pariwisata, dan semiotik pada penggunaan
tanda, lambang dan gambar yang tidak hanya memberikan tampilan fisik yang menarik tetapi
kemudian mampu mengubah pembaca menjadi wisatawan.
4. Daftar Referensi
Ariyanto. 2010. Keliling China Selatan dalam 16 Hari, Bandung: Bentang Pustaka
Bahari, Hamid
_______. 2010a Wisata Alam Pilihan Eksotis Nusantara, Yogyakarta:
Flashbooks
_______. 2000 Cultural Studies: Theory and Practice, London:
Sage Publications
Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Brown, Penelope and Stephen C. Levinson. 1992. Politeness: Some Universals in
Language Usage, Cambridge: Cambridge University Press
Chrzan, Janet Why Study Culinary Tourism?. www.museum.upenn.edu/expedition
Clarke, D.S. 1987. Principles of Semiotics, London: Routledge and Kegan Paul.
Danesi, Marcel. 2004. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication, Toronto: Canadian Scholars’ Press In.
Dann, G. 1996. The Language of Tourism: A Sociolinguistic Perspective. UK: CAB
During, Simon. 1999. The Cultural Studies Reader. London: Routledge
Ernawati. 2006. Pariwisata dan Budaya Indonesia. Bandung: Enam Mandiri
Goddard, Angela. 1998. The Language of Advertising: Written Texts, London:
Routledge
Hudford, James R. dan Brendan Heasley. 1983. Semantics: A Course Book,
Cambridge: Cambridge University Press
Ignjic, Sarah. 2001. Cultural Tourism in the Wet Tropics World Heritage Area:
A Strategic Overview for Rainforest Bama (Cooperative Research Centre)
Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta: Grasindo
Kunto, Haryoto. 1984. Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe, Bandung: PT Granesia
Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By, Chicago: The
University of Chicago Press
McQuarrie, Edward F., and David Glen Mick. 1996. “Figures of Rhetoric in
Advertising Language”, Journal of Consumer Research, 22 (March)
Palmer, F.R. 1979. Semantics, Cambridge: Cambridge University Press
Pamungkas, Kasno dan Tuckytasari, 2016. Figurative Meaning In Promotion Texts Of Nature
Tourism Object: A Study In Garut Regency, West Java-Indonesia. International
Conference on Education and Humanities:Proceedings page 163-171. Istanbul
Turkey.
Pamungkas, Kasno. 2015. Gaya Bahasa pada Teks Promosi Pariwisata Alam Kabupaten
Garut. FIB Unpad: Penelitian Mandiri.
Riley, Philip. 2008. Language, Culture and Identity: An Ethnolinguistic Perspective,
London: Continuum
Russo, Antonio P., dan Jan van der Borg. 2002. Planning Considerations in Cultural
Tourism dalam Journal of Tourism Management: Elsevier Science Ltd
Salkie, Raphael. 1995. Text and Discourse Analysis, London: Routledge
Sardar, Ziauddin dan Borin van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginners,
terjemahan Alfathri Aldin, Bandung: Mizan
Silverman, David. 1995. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk,
Text and Interaction. London: SAGE Publications
Theobald, William F. 2005. Global Tourism, New York: Library of Congress.
Tuckytasari, Heriyanto, Kasno Pamungkas. Morphological Processes Of Jawa Barat Tourism
Destinations Naming. International Conference on Education and
Humanities:Proceedings page 158-162. Istanbul Turkey.
Tuckytasari, Heriyanto, Kasno Pamungkas. 2015. Metafora dalam Promosi Pariwisata
Budaya di Jawa Barat. Kemristekdikti: Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
Tuckytasari, Heriyanto, Kasno Pamungkas. 2015. Figures of Speech in Jawa Barat Tourism
Destinations Promotion Texts: Proceeding International Conference and Language Scienific
Meeting.
Undang-undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Worsdall, Vivien. 1976. Special English Tourism. Collier Macmillan International Inc
Weaver, David & Martin Oppermann. 2000. Tourism Management. Brisbane: John
Wiley Ltd
Woodford, Kate dan Guy Jackson (Managing Editors). 2003. Cambridge Advanced
Learner’s Dictionary. Cambridge: Cambridge University Press
Tuckytasari, Heriyanto, Kasno Pamungkas. 2015. Metaphors in Jawa Barat Tourism Destinations
Promotion Texts. International Journal of Humanities and Social Sciences (IJHSS) p-
ISSN: 1694-2620/ e-ISSN: 1694-2639
Article
Full-text available
Indonesian language should be encouraged through tourism promotion, especially in the tourism sector, to describe the form of tourism promotion and implementation. Bahasa Indonesia, as a domestic tourism promotion, also describes the role of Bahasa Indonesia as tourism communication to develop and internationalise Bahasa Indonesia in the Department of Tourism and Cultural of North Toraja Regency. This research aims to describe the tourism promotion form in the Department of Tourism and Cultural of North Toraja Regency. Data collection techniques with in-depth interviews through the Snowball Sampling technique for the stakeholder included the private management of tourism attractions, tour guide, and visitors at tourist destination areas. The conclusion of this research is the promotional language to use in the Department of Tourism and Cultural of North Toraja Regency through two options of language: Bahasa Indonesia and English language, but also uses a traditional or local vocabulary which is often used for tourist attraction and describe the local language.
ResearchGate has not been able to resolve any references for this publication.