Conference PaperPDF Available

TIPE MORFOLOGI DAN ANATOMI KULIT BATANG POHON INANG ANGGREK EPIFIT DI PETAK 5 BUKIT PLAWANGAN, TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI Morphology and Anatomy of Bark of Epiphytic Orchids Host Trees in Sector 5 of Plawangan Hill, Mount Merapi National Park

Authors:

Abstract and Figures

The result of some relocation efforts of epiphytic orchids which have been done in Mount Merapi National Park (TNGM) are limited because the barl of the host trees are unsuitable for the orchids. This research aim to know the character of the trees of epiphytic orchids in Plawangan Hill, to obtained the suitable bark type for epiphytic orchids omit to support future relocation effort of natural orchids at TNGM. The contoh of epiphytic orchids host were collected trough exploration activity in Plawangan Hill area. A contoh of 10 X 10 cm size of the bark of orchid host were collected. A total of eight tree species which have association with orchids were collected. The morphology of these host trees generally have persistent bark, the texture is rough, hard, brown, and has no resin. While the bark anatomy character generally the structure is divided by 2 layers of tissues (periderm and secondary phloem), thick epiderm (> 1 mm), radial-attenuate epiderm cell form, the epiderm cell wall is thick (> 3 μm), the position of phelogen as a circle in cortex, has lenticell, and the skin slightly acidic. Keywords: anatomy, epiphytic orchid, host bark, morphology
Content may be subject to copyright.
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159 ISBN 978-979-99448-6-3
TIPE MORFOLOGI DAN ANATOMI KULIT BATANG POHON INANG ANGGREK
EPIFIT DI PETAK 5 BUKIT PLAWANGAN, TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
Morphology and Anatomy of Bark of Epiphytic Orchids Host Trees
in Sector 5 of Plawangan Hill, Mount Merapi National Park
Muhammad Bima Atmaja1*) dan Asri Cahyaning Pamuji1)
1)Program Sarjana Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
Jalan Teknika Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta
*)E-mail: bima.orch.id@gmail.com
Abstract
The result of some relocation efforts of epiphytic orchids which have been done in Mount Merapi National
Park (TNGM) are limited because the barl of the host trees are unsuitable for the orchids. This research aim
to know the character of the trees of epiphytic orchids in Plawangan Hill, to obtained the suitable bark type
for epiphytic orchids omit to support future relocation effort of natural orchids at TNGM. The contoh of
epiphytic orchids host were collected trough exploration activity in Plawangan Hill area. A contoh of 10 X
10 cm size of the bark of orchid host were collected. A total of eight tree species which have association with
orchids were collected. The morphology of these host trees generally have persistent bark, the texture is
rough, hard, brown, and has no resin. While the bark anatomy character generally the structure is divided
by 2 layers of tissues (periderm and secondary phloem), thick epiderm (> 1 mm), radial-attenuate epiderm
cell form, the epiderm cell wall is thick (> 3 μm), the position of phelogen as a circle in cortex, has lenticell,
and the skin slightly acidic.
Keywords: anatomy, epiphytic orchid, host bark, morphology
PENDAHULUAN
Taman Nasional Gunung Merapi atau lebih
dikenal dengan singkatan TNGM merupakan
salah satu habitat asli dari berbagai jenis anggrek.
Kawasan TNGM meliputi hutan, bukit, sungai dan
lembah yang terdapat di lereng gunung Merapi.
Anggrek yang terdapat di kawasan TNGM
bermacam-macam jenisnya, mulai dari anggrek
saprofit, terestrial, semiterestrial, dan yang paling
banyak adalah anggrek epifit. Anggrek epifit khas
hutan TNGM adalah Vanda tricolor, namun
anggrek tersebut saat ini semakin sulit ditemukan
di habitat aslinya. Semakin langkanya anggrek
yang tumbuh alami di hutan TNGM dikarenakan
berbagai sebab, antara lain adalah terbakarnya
hutan akibat letusan gunung Merapi yang
menyebabkan rusaknya habitat asli berbagai jenis
anggrek di TNGM serta banyaknya penjarahan
anggrek yang terjadi.
Untuk menjaga kelestarian anggrek alam di
TNGM, perlu dilakukan upasa konservasi baik
secara ex situ maupun in situ. Upaya konservasi -
ex situ anggrek epifit Vanda tricolor pernah
dilakukan pada tahun 2002 dengan merelokasikan
anggrek tersebut ke pohon-pohon di Tlogo
Muncar, kawasan Hutan Wisata dan Cagar Alam
Plawangan-Turgo. Berdasar pengamatan Metusala
[1] pada tahun 2004 dari
80 individu anggrek
yang direlokasi, hanya sekitar 20 individu yang
mampu tumbuh normal, sisanya dalam kondisi
kritis. Pada tahun 2009, penulis mengamati
beberapa individu anggrek yang masih tersisa di
tempat relokasi. Dari hasil pengamatan tersebut
terlihat bahwa akar anggrek yang direlokasi sukar
dan lambat untuk dapat beradaptasi dan menempel
pada pohon inangnya sehingga anggrek tidak
dapat tumbuh optimal. Jenis pohon tempat
ditempelkannya anggrek tersebut ternyata berbeda
dengan pohon tempat anggrek tersebut menempel
(pohon inang) di habitat aslinya. Habitat sangat
berpengaruh bagi suksesnya relokasi anggrek
epifit ke pohon inang yang baru. Jenis pohon yang
menjadi inang anggrek epifit [2]. Di habitat
aslinya, berbagai macam anggrek epifit juga
ditemukan menempel tidak pada semua jenis
pohon inang, melainkan hanya pada beberapa
jenis pohon inang saja. Tidak jarang beberapa
jenis tumbuhan epifit hanya ditemukan pada jenis
pohon tertentu [3].
Kulit pohon yang dimiliki setiap jenis
pohon memiliki ciri dan sifat fisik yang khas.
Beberapa sifat dan ciri kulit pohon yang
mempengaruhi kehadiran tumbuhan epifit antara
lain stabil, kasar, keras, mampu menangkap air,
keasaman netral, dan adanya hara pada kulit
batang [4][5]. Penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari sifat-sifat morfologi serta karakter
anatomi kulit batang pohon inang anggrek epifit
yang tumbuh alami di bukit Plawangan Petak 5
253
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159
TNGM guna mendukung keberhasilan dalam
upaya konservasi anggrek alam di TNGM
BAHAN DAN METODE
Pada penelitian ini digunakan bahan berupa
potongan kulit pohon inang anggrek berukuran 10
cm x 10 cm yang diambil dari Bukit Plawangan
Petak 5 TNGM. Pengambilan contoh dilakukan
dengan metode jelajah di Petak 5 Bukit
Plawangan dari kaki bukit hingga puncak bukit
Plawangan pada ketinggian 900-1.280 m dpl.
Pohon inang anggrek dicatat jenisnya dan diambil
sebagian kulitnya di dekat tempat anggrek
menempel. Setiap contoh yang didapat
dimasukkan dalam plastik bening dan diberi label
yang bertuliskan data contoh yang meliputi nomor
dan nama pohon. Catatan sifat dan ciri
pengamatan morfologi yang teramati di lapangan
dicatat dalam tabel, termasuk catatan jenis
anggrek yang menempel pada pohon yang
dipengambilan contoh. Contoh yang didapat
kemudian dibawa ke laboratorium Taksonomi
Tumbuhan Fakultas Biologi untuk diidentifikasi
dan diamati lebih mendetail meliputi struktur
anatominya di laboratorium mikroteknik
tumbuhan. Pengukuran pH dilakukan terlebih
dahulu sebelum dilakukan pengamatan yang lain.
Untuk membuat preparat potongan
melintang kulit pohon inang, mula-mula contoh
difiksasi dengan alkohol 70 %, kemudian dibuat
irisan-irisan melintang dengan menggunakan
sliding microtome dengan ketebalan 20-30
mikrometer. Irisan ditampung dalam petridish
yang diberi alkohol 70 %. Kemudian direndam
dengan safranin 1 % dalam alkohol 70 % selama
24 jam. Safranin kemudian dibuang dan diganti
alkohol bertingkat. Setelah itu, dilakukan proses
dealkoholisasi. Irisan diatur di atas gelas benda
ditutup dengan gelas penutup dengan pemberian
balsam kanada terlebih dahulu. Preparat
dikeringkan di atas hot plate dengan temperatur
450 C hingga balsam kering. Preparat diamati
menggunakan mikroskop cahaya untuk melihat
sifat anatominya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari observasi yang dilakukan saat
pengambilan contoh kulit batang pohon inang
anggrek, diketahui terdapat delapan jenis pohon
inang anggrek di Petak 5 Bukit Plawangan pada
ketinggian 900-1.280 m dpl. Pohon inang yang
ditemukan semuanya tergolong dalam tumbuhan
Spermatophyta. Delapan pohon ini berasosiasi
dengan berbagai macam anggrek. Hasil
inventarisasi ini terlihat pada Gambar 1.
ISBN 978-979-99448-6-3
Berdasarkan hasil deskripsi tipe morfologi
dari delapan contoh kulit pohon inang yang
berasosiasi dengan anggrek epifit, maka beberapa
sifat dan ciri kulit pohon yang dapat dibandingkan
antara lain kestabilan kulit, kekasaran/tekstur kulit
pohon, kekerasan kulit, warna kulit, dan ada
tidaknya getah. Hasil perbandingan sifat dan ciri
morfologi delapan kulit pohon inang yang telah
diamati disajikan pada Tabel 1. Pada umumnya,
kulit pohon inang anggrek epifit memiliki kulit
yang stabil atau tidak mudah mengelupas, kecuali
pada pohon Pusponiah (Rhododendron loerningii)
dan Sarangan (Castanopsis argantea). Pada pohon
Pinus (Pinus merkusii), walaupun kulitnya mudah
mengelupas, namun tetap stabil dan tidak mudah
mengelupas seperti Pusponiah dan Sarangan. Hal
ini karena floem sekunder pada Pusponiah dan
Sarangan memiliki serabut sklerenkim yang
bersifat mudah lapuk sehingga menyebabkan
mudah mengelupas.
Kulit pohon yang stabil lebih banyak
disukai oleh anggrek epifit sebagai tempat
hidupnya karena kulit yang stabil lebih mampu
menahan massa anggrek dan lebih kokoh sebagai
tempat melekatnya anggrek. Pada pohon yang
berkulit labil sedikit dijumpai anggrek epifit
karena kulit pohon yang labil akan mudah
mengalami pelapukan yang menyebabkan
kulitnya mudah mengelupas sehingga tidak
mampu mempertahankan keberadaan anggrek
epifit.Ditinjau dari tekstur kulit pohonnya, kulit
pohon inang di petak 5 Bukit Plawangan terbagi
menjadi dua tipe yaitu halus dan kasar. Pada tipe
kasar, ditunjukkan dengan tekstur kulit retak-retak
dengan celah dangkal sampai bercelah dalam,
sedangkan untuk tipe halus mempunyai
permukaan kulit yang rata dan ada yang rata
namun terdapat benjolan karena adanya duri
seperti
pada pohon Dadap
(Erythrina
sumbumbrans). Apabila jumlah pohon inang
yang memiliki perbedaan tekstur kulit
diperbandingkan, maka terlihat bahwa pohon
inang yang memiliki tipe kulit kasar 62,5 % (50 %
retak-retak bercelah dangkal dan 12,5 % retak-
retak bercelah dalam), sedangkan untuk kulit
halus berjumlah 37,5
%
(25 % rata
bergelombang/bebenjolan) dan 12,5 % rata).
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
keberadaan anggrek epifit lebih banyak pada
pohon dengan tekstur retak-retak bercelah
dangkal. Hal ini karena pohon inang yang
memiliki alur dan celah akan menyebabkan
anggrek epifit tumbuh dengan subur sedangkan
pohon inang yang rata/licin menyebabkan anggrek
epifit sulit untuk melekat dan tumbuh pada pohon
tersebut [6].
254
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159 ISBN 978-979-99448-6-3
Gambar 1. Morfologi kulit pohon inang A. Dadap (Erythrina sumbumbrans (Hassk.) Merr.), B. Kemarung
(Streblus spinosus (Blume) Corner), C. Pinus (Pinus merkusii Junghun. & de Vriese.), D. Puspa
(Schima wallichii (D.C.) Korth.), E. Puspaniah (Rhododendrum loerningii J.J.S.), F. Sarangan
(Castanopsis argentea (Blume) DC.), G. Tambal (Enggelhardia serrata Bl), H. Bawangan
(Vitex vestita Wall. ex Schan.)
Tabel 1. Perbandingan sifat dan ciri morfologi delapan jenis kulit pohon inang anggrek epifit di Petak 5
Bukit Plawangan, TNGM
Sifat Morfologi (tekstur, kekerasan, stabilitas
No. Jenis Pohon kulit, warna permukaan kulit, getah) Anggrek Epifit
dan pH Kulit Batang Pohon
1 Pinus (Pinus merkusii tekstur retak-retak, bercelah dalam, keras, stabil, Dendrobium sagittatum, D.
Junghun. & de Vriese.) coklat tua, bergetah kuning jernih, mutabile
6,21
2 Sarangan (Castanopsis tekstur rata, bopeng, keras, labil, coklat tua-hitam, Pholidota carnea,
argentea (Blume) DC.) tidak bergetah, Coelogyne speciosa,
6,02 Appendicula sp.
3 Dadap (Erythrina tekstur retak-retak jarang, bergelombang, berduri, Eria sp., D. mutabile
sumbumbrans (Hassk.) Merr.) lunak, stabil, coklat muda, bergetah merah,
6,51
4 Puspa (Schima wallichii tekstur retak-retak, bercelah dangkal, keras, stabil, D. sagittatum,
(D.C.) Korth.) coklat tua, tidak bergetah, Eria retusa, D. mutabile,
6,43 Apendicula sp., Coelogyne
speciosa
5 Bawangan (Vitex vestita Wall. tekstur retak-retak, bercelah dangkal, keras, stabil, Bulbophyllum flavescens
ex Schan.) coklat - coklat kekuningan, tidak bergetah,
6,20
6 Tambal (Engelhardia serrata tekstur retak-retak, bercelah dangkal, keras, stabil, D. mutabile
Blume) coklat tua, tidak bergetah,
6,31
7 Pusponiah (Rhododendron tekstur retak-retak halus, keras, labil, coklat - coklat E. retusa,
loerningii J.J.S.) tua, tidak bergetah Pholidota carnea
6,33
8 Kemarung (Streblus spinosus tekstur rata, keras, stabil, coklat, tidak bergetah, Apendicula sp.,
(Blume) Corner) 6,35 D. mutabile
255
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159
Hasil pengamatan kekerasan kulit batang
pohon inang menunjukkan bahwa pada umumnya
bersifat keras, namun dijumpai pula anggrek yang
hidup di pohon yang mempunyai kulit batang
lunak seperti Dadap. Dari seluruh contoh yang
ditemukan diketahui bahwa pohon inang yang
kulitnya keras berjumlah tujuh spesies yang terdiri
atas kulit pohon: Pinus, Sarangan, Puspa (Schima
wallichii), Bawangan (Vitex vestita), Tambal
(Enggelhardia serrata), Pusponiah, dan
Kemarung (Streblus spinosus). Dari hasil tersebut,
diketahui bahwa anggrek epifit lebih menyukai
kulit pohon yang keras. Anggrek epifit lebih
banyak berada pada pohon yang berkulit keras
karena kulit pohon yang keras lebih mampu
mempertahankan ikatan akar anggrek yang
menempel pada kulit pohon sehingga dapat
mempertahankan keberadaan tumbuhan anggrek
di pohon tersebut.
Warna kulit pohon inang yang berasosiasi
dengan anggrek epifit pada dasarnya berwarna
coklat. Warna coklat ini cukup bervariasi antara
satu pohon dengan pohon lainnya, seperti coklat,
coklat tua, coklat muda, coklat kehitaman, dan
coklat kekuningan. Perbedaan warna kulit ini
dapat terjadi karena faktor umur, kondisi
lingkungan sekitar pohon tersebut berada, dan
intensitas sinar matahari yang menyinari pohon
tersebut. Dari data yang di dapat, seluruh kulit
pohon memiliki warna coklat dan tanpa adanya
warna hijau yang menunjukkan bahwa tempat
tumbuh anggrek epifit berada pada permukaan
kulit batang pohon yang telah dewasa atau tua.
Pada penelitian ini anggrek epifit banyak
dijumpai pada jenis-jenis pohon yang kulitnya
tidak bergetah. Dari delapan contoh yang didapat,
terdapat dua jenis pohon yang memiliki getah
yaitu Dadap yang getah kulitnya berwarna merah
dan Pinus yang getahnya berwarna kuning jernih.
Lebih banyaknya anggrek yang ditemukan pada
pohon yang yang kulitnya tidak bergetah
menunjukkan bahwa anggrek epifit kurang
menyukai kulit pohon yang memiliki getah. Hal
ini dikarenakan getah dimungkinkan memiliki zat-
zat yang berbahaya bagi kelangsungan hidup
anggrek tersebut. Dengan demikian, kebijakan
dari pengelola TNGM merelokasi anggrek pada
pohon yang bergetah adalah kurang tepat.
Hasil pengamatan struktur kulit batang
pohon secara anatomi dapat diamati dari
ISBN 978-979-99448-6-3
penampang melintang kulit batang pohon yang
disajikan pada Gambar 2. Dari pengamatan
tersebut diketahui bahwa pada umumnya kulit
batang pohon terdiri dari dua lapis jaringan.
Kedua jaringan tersebut adalah periderm dan
floem sekunder. Namun pada pohon Pinus kedua
jaringan tersebut tersusun berbeda dengan pohon
lainnya, periderm dan floem sekunder tersusun
berlapis-lapis dan saling bertumpuk. Susunan
yang berlapis-lapis tersebut menambah ketebalan
kulit batang pohon, menimbulkan tekstur retak,
dan bercelah dalam, namun sifat kulitnya tetap
stabil. Kulit batang pohon yang bercelah dalam
dan bersifat stabil sangat baik untuk penempelan
akar anggrek epifit. Pada kulit batang pohon jenis
Pusponiah, periderm dan floem sekunder juga
tersusun bertumpuk berlapis-lapis, namun pada
jenis ini kulitnya bersifat labil. Sifat kulit yang
labil kurang dapat mempertahankan posisi
tumbuhan epifit yang menempel pada kulit
tersebut [7], sehingga jenis anggrek epifit yang
menempel pada pohon jenis ini adalah anggrek
epifit dengan ukuran kecil seperti Eria retusa dan
Pholidota carnea.
Berdasarkan pengamatan anatomi, terdapat
keseragaman sifat pada bentuk sel kulit luar
batang pohon inang yang diamati, yaitu pipih
radial. Dua jenis pohon memiliki bentuk sel kulit
luar yang agak berbeda, yaitu membulat. Kedua
jenis pohon itu adalah Pusponiah dan Kemarung.
Sifat lain yang membedakan kedelapan jenis
pohon tersebut adalah tebal kulit luarnya. Pada
penelitian ini tiga jenis pohon memiliki kulit luar
yang tipis (< 1 mm), sisanya memiliki kulit luar
yang tebal (> 1 mm). Ketebalan kulit luar pohon
mempengaruhi jenis tumbuhan epifit yang dapat
menempel pada pohon tersebut. Selain itu dalam
penelitian ini enam jenis pohon inang memiliki
kulit keras dan berdinding sel kulit tebal (> 3 µm).
Data tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan
anggrek lebih optimal hidup pada kulit pohon
yang tebal dan bersifat keras. Sifat kulit pohon
yang keras disebabkan oleh dinding sel kulit luar
yang tebal. Namun selain itu, kestabilan kulit
pohon juga berpengaruh, hal tersebut ditunjukkan
oleh ditemukannya anggrek epifit tumbuh pada
pohon yang memiliki kulit luar yang tipis (Dadap,
Bawangan dan Kemarung) dan pada pohon jenis
yang memiliki kulit lunak (Dadap) namun sifat
kulitnya stabil.
256
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159
a
c
f
ISBN 978-979-99448-6-3
b
d
e
g
h
Gambar 2. Penampang melintang kulit batang pohon inang anggrek epifit di Petak V Bukit Pawangan; a.
Pinus (Pinus merkusii), b. Sarangan (Castanopsis argentea), c. Dadap (Erythrina
sumbumbrans), d. Puspa (Schima wallichii), e. Bawangan (Vitex vestita), f. Tambal
(Engelhardia serrata), g. Pusponiah (Rhododendron loerningii), h. Kemarung (Streblus
spinosus); 1. periderm, 2. floem sekunder, 3. floem sekunder yang terisolasi oleh periderm, 4.
ritidoma
Berdasarkan pengamatan posisi letak
jaringan felogen, pada umumnya pohon inang
anggrek dalam penelitian ini felogennya terletak
di dalam korteks sebagai lingkaran. Sifat khas
mengenai posisi letak jaringan felogen ini
ditunjukkan oleh pohon inang jenis Pinus dan
Sarangan. Pada kedua jenis pohon tersebut,
jaringan felogen terletak di dalam floem sekunder
sebagai bercak-bercak. Pohon inang yang
ditemukan dalam penelitian ini semuanya
memiliki lentisel pada kulit batangnya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa lentisel merupakan
karakter pohon inang yang keberdaannya penting
bagi anggrek epifit. Lentisel adalah pori gabus
yang digunakan untuk pertukaran udara pada
batang pohon. Adanya lentisel yang menonjol di
atas permukaan kulit ini akan menyebabkan
permukaan kulit batang menjadi tidak licin,
sehingga dapat digunakan sebagai tempat
menempelnya akar-akar merekat lebih kuat
tumbuhan anggrek. Hasil pengukuran pH
menunjukkan bahwa anggrek epifit di Petak 5
257
Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159
Bukit Plawangan menempel pada kulit pohon
inang dengan rerata pH adalah 6,29. Dari data
terebut diketahui anggrek epifit di Petak 5 Bukit
Plawangan hidup pada kulit pohon dengan pH
agak asam yang mendekati netral.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tipe kulit pohon inang anggrek epifit di
petak 5 Bukit Plawangan pada umumnya memiliki
sifat dan ciri kulit pohon inang dengan kulit yang
stabil sampai labil, dengan tipe kulit rata sampai
kasar yang bertekstur retak-retak dangkal sampai
dalam, kekerasan kulit lunak dan keras, berwana
coklat muda sampai coklat tua, serta bergetah dan
tidak memiliki getah. Karakter anatomi kulit
batang pohon inang anggrek epifit secara umum
adalah memiliki dua lapis jaringan (periderm dan
floem sekunder), kulit luar tebal (> 1 mm), bentuk
sel kulit luar pipih radial, dinding sel kulit luar
tebal (> 3 µm), letak felogen di dalam korteks,
dan memiliki lentisel, dengan sifat kulit batang
pohon sedikit asam (pH 6,29).
Beberapa sifat di luar sifat yang disebutkan
di atas juga dapat menunjang tumbuhnya anggrek
epifit dengan syarat pH yang sesuai dan sifat kulit
yang stabil. Penelitian lebih lanjut mengenai hal
lain misalnya seperti nutrien pada pohon inang
anggrek epifit dan kemampuan pohon inang
menangkap unsur kimia atau air masih diperlukan
untuk mengoptimalkan upaya konservasi anggrek
epifit. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian
sejenis terhadap pohon yang tidak ditumbuhi
anggrek agar data yang didapat dapat
dibandingkan dengan karakter pohon inang
anggrek epifit.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Drs.
Heri Sujadmiko dan Drs. Sutikno, S.U. (Fakultas
Biologi Universitas Gadjah Mada) yang telah
membimbing kami dalam penelitian ini, kepada
Niswati Zulfah, Pak Hartono dan Pak Barjo, serta
semua pihak yang telah membantu kami dalam
penelitian ini baik secara langsung maupun secara
tidak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Dickson, W. C. 2000. Integrative Plant Anatomy.
A Harcourt Science and Technology
Company. California.
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.
ITB. Bandung.
ISBN 978-979-99448-6-3
Jarman, J. and B. A. Fuhrer. 1995. Mosses and
Liverworts of Rainforest in Tasmania and
South-Eastern Australia. CSIRO Australia
and Forestry Tasmania. Tasmania.
Smith, A. J. E.. 1982. Bryophyte Ecology.
Champman and Gall. London, New York.
Watthana, Santi and H. A. Pedersen. 2008.
Phorophyte Diversity, Substrate
Requirements and Fruit Set in Dendrobium
scabrilingue Lindl. (Asparagales:
Orchidaceae): Basic Observations for Re-
introduction Experiments. The Natural
History Journal of Chulalongkorn
University 8(2): 135-142.
Wolf, J. H. D.
2005. Diversity, Ecology, and
Phytogeography of Epiphytes in The
Canopy of The Tropical Montane Cloud
Forest.
http://www.treenail.nl/kronendak/publical.h
tm. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2010.
258
... Sifat morfologi kulit kayu laban: tekstur retak-retak, bercelah dangkal, keras, stabil, cokelat-cokelat tua, tidak bergetah serta memiliki pH kulit 6,43 (Atmaja & Pamuji, 2015). ...
... Sumber: (Juniawan et al., 2015) Gambar 18. Kulit Kayu Laban Sumber: (Atmaja & Pamuji, 2015) Laban tersebar di Indo-Malaysia mencakup Kalimantan; Sabah, Sarawak dan semua provinsi di Kalimantan. Indonesia, Utara ke India, Sri Lanka dan Kamboja. ...
Book
Full-text available
Kalimantan memiliki banyak potensi tumbuhan obat yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lingkungannya. Bahkan potensi tersebut dapat dijadikan dalam bentuk komersial skala rumah tangga yang mempunyai dampak peningkatan terhadap perekonomian mereka. Alternatif yang ditawarkan adalah membuat produk aplikatif “Teh Celup” yang merupakan salah satu produk herbal instan dengan menggunakan teknologi tepat guna skala rumah tangga sehingga dapat dengan mudah dan cepat diproduksi oleh masyarakat. Pengolahan ini berdasarkan pada petunjuk penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik untuk usaha di bidang obat tradisional yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Buku ini bertujuan untuk memberikan contoh teknis pengolahan teh celup herbal skala rumah tangga dengan peralatan sederhana yang ada di lingkungan rumah tangga. “Teh Celup Herbal” merupakan salah satu tradisi minum jamu yang ada di Indonesia, dimana perkembangannya sejak zaman leluhur sampai kini, tersaji lengkap pada Bab 1. Selanjutnya dalam menentukan jenis yang akan dibuat harus mengacu pada ketepatan spesies dan identifikasi botani. Contoh jenis yang dapat dibuat menjadi “Teh Celup Herbal” dari ekosistem hutan Dipterokarpa dapat disimak pada Bab 2. Sedangkan untuk contoh proses pengolahan/pembuatan “Teh Celup Herbal” pada skala rumah tangga dapat dicermati pada Bab 3. Dan yang terakhir, contoh produk “Teh Celup Herbal” hasil riset terkini dan yang telah didiseminasikan terdapat pada Bab 4. “Teh Celup Herbal” merupakan produk minuman teh dalam bentuk tunggal atau campuran herbal yang dikemas dalam kantong celup kekinian, sehingga memberikan efek praktis dan berdaya tarik. “Teh Celup Herbal” ini dapat dikonsumsi baik sebagai minuman penyegar sekaligus berkhasiat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Yang tak kalah penting “Teh Celup Herbal” memberikan efek ramah lingkungan dengan nilai ekonomis yang layak diperhitungkan.
Article
Full-text available
In February-March 2007 a population of the epiphytic orchid, Dendrobium scabrilingue, from Salawin Wildlife Sanctuary (province of Mae Hong Son, northern Thailand), was studied with regard to substrate diversity, demography and fruit set. Among the 10 tree species that occurred in the 50 × 50 m study plot, all but Aporosa villosa served as phorophytes for D. scabrilingue. The orchid was found growing at (1-)2-4(-7) m above the ground, usually on bark densely covered with lichens (Aporosa villosa was the only tree species with bark consistently devoid of lichens). The orchid population was dominated by small individuals, thus demonstrating successful reproduction by seed. As indicated by a positive correlation between plant size and frequency of flowering, larger individuals appear to be of major importance for the sexual reproduction. A low relative fruit set in the population (18.5 %), and the shape of a Lorenz curve plotted from fruit set data, suggest a mainly allogamous breeding system operated by insects (probably bees, judging from the floral morphology). Based on our observations of this natural population, specific recommendations are given that may increase the success rates in re-introduction experiments with the rare D. scabrilingue.
Diversity, Ecology, and Phytogeography of Epiphytes in The Canopy of The Tropical Montane Cloud Forest
  • J H D Wolf
Wolf, J. H. D. 2005. Diversity, Ecology, and Phytogeography of Epiphytes in The Canopy of The Tropical Montane Cloud Forest.
Integrative Plant Anatomy. A Harcourt Science and Technology Company. California
  • Daftar Pustaka Dickson
DAFTAR PUSTAKA Dickson, W. C. 2000. Integrative Plant Anatomy. A Harcourt Science and Technology Company. California.
Bryophyte Ecology. Champman and Gall
  • A J E Smith
Smith, A. J. E.. 1982. Bryophyte Ecology. Champman and Gall. London, New York.
  • J Y Ewusie
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung. ISBN 978-979-99448-6-3
Integrative Plant Anatomy. A Harcourt Science and Technology Company
  • W C Dickson
Dickson, W. C. 2000. Integrative Plant Anatomy. A Harcourt Science and Technology Company. California.
Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung
  • J Y Ewusie
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung. ISBN 978-979-99448-6-3