Kiranya kita semua mafhum bahwa dunia yang sekarang berlari lintang pukang sedang dilanda banjir bandang informasi, bahkan tsunami informasi. Kuantitas informasi luar biasa banyaknya laksana gunung gelombang membuat kita tercekam dan tercengang; kualitas informasi luar biasa macamnya – dari yang tidak benar ibarat sampah kotor sampai yang benar ibarat air bening sekali – bercampur aduk menjadi satu menjadikan kita tertegun seraya mengernyitkan dahi; dan medium informasi demikian beraneka ragamnya tak jarang membuat kita repot dan kalang kabut. Di sinilah kita dihadapkan pada mahadata (big data) atau maha-informasi (big information), bahkan kemudian mencemplungkan kita ke dalam maha-data atau maha-informasi. Ibaratnya, dengan kesadaran dan keterampilan masing-masing yang bervariasi, kita terapung dan terombang-ambing di tengah samudra informasi yang penuh gelora badai.
Dihela oleh “angin puyuh” revolusi teknologi informasi dan komunikasi atau revolusi digital, samudra informasi yang penuh gelora badai tersebut menjadi sangat(-sangat) melimpah ruah, menerjang apapun, menggelontor kemana pun, lalu meluber ke mana-mana dan mengenang di mana-mana – terlepas kita inginkan atau tidak. Batas-batas dan sekat-sekat informasi jebol, bukan hanya batas dan sekat tempat, tetapi juga ruang dan waktu. Di situ setiap waktu segala macam bentuk, jenis, rupa, dan sifat informasi bercampur aduk menyerbu, menggulung, bahkan “menyeret-menghempaskan” kita semua ke dalam “ruang dan lanskap informasi serba tak terduga, tak pasti, njelimet, dan mendua. Di samping itu, setiap saat informasi dengan segala kuantitas, kualitas, dan mediumnya berseliweran, berlalu lalang, dan berkelebat cepat di dalam dunia-kehidupan kita semua. Hidup kita pun “berada di dalam” dan “tak pernah terlepas sekejab pun” dengan informasi. Di sinilah kita – meminjam kata para ahli – kita mungkin menjadi masyarakat informasi – bahkan mungkin masyarakat informasi baru (digital). Di sini tiba-tiba masyarakat dan informasi berkoeksistensi, saling mengada bersama. Sebab itu, beranalogi dengan proposisi masyhur cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dari Rene Decartes, tak berlebihan dikatakan: informationem ergo sum (aku berinformasi maka aku ada). Eksistensi rang atau sekelompok orang sekarang ditentukan oleh seberapa besar, banyak, dan bermutu pemilikan dan penguasaan mereka atas informasi. Lebih-lebih era sekarang dan akan datang juga dinamai era mahadata (big data) yang menjadikan informasi atau data sangat sentral dalam kehidupan manusia.
Di situlah kemudian kita menyaksikan gejala kesentralan (sentralitas) informasi dalam peri kehidupan bersama dan pribadi manusia. Pada satu sisi, informasi kemudian menjadi salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari manusia – tanpa informasi mereka merasa kelimpungan. Pada sisi lain, informasi yang begitu melimpah ruah dan meluap-luap seperti samudra luas dan bergelora diperebutkan oleh berbagai kepentingan – kepentingan sosial, kultural, politik, ekonomi, religius, dan lain-lain. Ringkas kata, pelbagai kepentingan baik positif maupun negatif masuk dalam udnia informasi. Tak ayal, bermacam-macam kadar dan mutu informasi bertebaran, berhamburan, dan bercampur menjadi satu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bukan hanya informasi yang benar dan akurat, tetapi juga informasi yang salah, dibuat salah, dan atau disampaikan salah untuk kepentingan tertentu berhamburan dan bercampuran. Di sinilah kita bukan hanya berhadapan dengan informasi (dalam arti informasi yang benar dan akurat), tetapi juga misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Dalam hal ini mis-informasi merupakan informasi yang salah yang dipercaya benar oleh penyebarnya tanpa maksud dan niat negatif; dis-informasi merupakan informasi yang salah yang diketahui dan disebarkan oleh penyebarnya demi kepentingan negatif tertentu bagi pihak lain; dan mal-informasi merupakan informasi yang sebenarnya benar dan akurat yang sengaja digunakan oleh pengguna digunakan untuk kepentingan negatif tertentu. Sebab itu, kita sekarang dan ke depan bukan hanya berada di era informasi, tetapi juga berada di era mis-informasi, dis-informasi, dan atau mal-informasi secara serentak dan bertumpang tindih.
Hidup di tengah era (mis-/dis-/mal-)informasi tersebut menuntut kita melek informasi, selalu berhati-hati dan tidak gegabah ketika berhadapan dengan informasi – informasi apapun. Untuk itu, kata para ahli dan pekerja informasi, kita memerlukan literasi informasi – yang tentu saja kontennya bisa bermacam-macam meliputi pelbagai lapangan kebudayaan atau kehidupan manusia. Literasi informasi menjadikan kita sadar atau melek mana yang informasi ‘beneran”, mana yang mis-informasi, mana yang dis-informasi, dan mana yang mal-informasi. Berhubung sekarang, lebih-lebih ke depan, kita tak hanya berada di kuadran dunia lisan dan dunia naskah, namun juga dunia cetak dan dunia digital secara serentak, maka literasi informasi yang harus kita kuasai tak hanya bertumpuan kelisanan dan kenaskahan, namun sekaligus juga bertumpuan keberaksaraan dan kedigitalan (atau disebut juga kelisanan sekunder). Di sinilah kita jadi mafhum bahwa literasi informasi tak hanya berkenaan dengan membaca atau daya baca, tetapi juga menyimak atau daya simak; tak hanya memerlukan kemahiran atau kemampuan membaca, namun juga kemahiran atau kemampuan menyimak; tak hanya memerlukan aktivitas membaca, tetapi juga aktivitas menyimak secara bersamaan atau serentak. Kapasitas membaca diperlukan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber tertulis (naskah dan cetakan lain), sedangkan kapasitas menyimak atau mendengarkan dibutuhkan untuk memperkuat literasi informasi yang berasal dari sumber-sumber lisan dan digital. Bahkan kapasitas membaca dan mendengarkan diperlukan secara serempak ketika kita berhadapan dengan informasi dari dunia digital.
Sehubungan itu, dapat dikatakan di sini bahwa menyimak dan membaca sama-sama pentingnya untuk menguasai dan memperkuat literasi informasi di tengah dunia yang diharu-biru oleh revolusi digital, revolusi komunikasi dan informasi, dan revolusi ilmu pengetahuan khususnya bioteknologi. Secara khusus dapat dikatakan di sini bahwa kemahiran atau kemampuan menyimak diperlukan setiap orang untuk menemukan informasi yang benar, akurat, dan tepat pada masa sekarang dan akan datang. Seiring dengan perubahan revolusioner disruptif sekarang, yang membawa banjir bandang atau tsunami informasi pada satu sisi dan pada sisi lain menimbulkan mis-informasi, dis-informasi, dan mal-informasi, maka yang kita perlukan bukan hanya menyimak literal (biasa) dan menyimak komprehensif, tapi juga menyimak kritis, menyimak kreatif, bahkan menyimak reflektif. Dengan menyimak literal dan menyimak komprehensif kita akan mampu menangkap dan memahami informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu dengan medium tertentu. Akan hal tersebut tidak cukup karena kita pun harus mampu menilai dan menerka dampak sebuah informasi yang kita peroleh dari aktivitas menyimak, bahkan kita juga harus mampu menggunakan informasi hasil simakan untuk kepentingan kebaikan. Di sinilah kita juga memperlukan menyimak kritis, menyimak kreatif, dan menyimak reflektif. Jadi, selain bermacam ragam membaca, kita juga memerlukan bermacam ragam menyimak agar memiliki literasi informasi yang baik, konstruktif, dan berfaedah bagi kehidupan bersama.
Untuk mencapai hal tersebut, bukan hanya buku-buku pengetahuan dan panduan membaca yang kita perlukan, namun juga buku-buku pengetahuan dan panduan menyimak. Di sinilah setiap buku yang ditulis dan diterbitkan oleh seseorang atau beberapa pihak tentang membaca dan atau menyimak perlu disambut gembira dan diapresiasi karena memperkaya khazanah dunia literasi informasi di samping bisa menjadikan kita bisa meningkatkan kapasitas membaca dan menyimak. Dalam konteks seperti inilah saya menyambut gembira dan mengapreasi atas terbitnya buku Menyimak Kritis dengan Bahan Ajar Epub Responsif Budaya Lokal karya Susi Darihastining, Aang Fatihul Islam, dan Heny Sulistyowati. Dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, buku ini dapat memperkaya pengetahuan dan kiat menyimak di tengah era (mis-/dis-/mal-)informasi. Selamat menikmati buku yang terbit pada waktu yang tepat ini, dalam arti pada waktu kita dihantam tsunami informasi yang menjadikan kita harus mencari pegangan! (Djoko Saryono, pendidik di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang).