Content uploaded by Restu Budi Sulistiyo
Author content
All content in this area was uploaded by Restu Budi Sulistiyo on Dec 12, 2022
Content may be subject to copyright.
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
55
IDENTIFIKASI EKOFAK MOLUSKA BIVALVA DARI SITUS BENTENG TABANIO, DI
KABUPATEN TANAH LAUT
THE IDENTIFICATION OF BIVALVE MOLLUSC ECOFACTS FROM TABANIO FORT, IN
TANAH LAUT REGENCY
Restu Budi Sulistiyo1*, Laila Abdul Jalil2, Badruzsaufari3, dan Dharmono4
1Pusat Riset Arkeometri, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan 2Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan
Inovasi Nasional, Jalan Raya Condet Pejaten 4, Pasar Minggu, Jakarta; 3Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Ahmad Yani Km 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan; 4Magister
Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjen Hasan Basri, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan; posel: rest014@brin.go.id, lail010@brin.go.id, badruzsaufari@ulm.ac.id, dan dhar66@ulm.ac.id
Diterima 6 September 2022
Direvisi 30 Oktober 2022
Disetujui 1 November 2022
Abstrak. Pada ekskavasi arkeologi di situs Benteng Tabanio yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin ditemukan
berbagai artefak dan ekofak. Ekofak yang banyak ditemukan adalah cangkang moluska. Namun demikian, cangkang
moluska hasil penelitian tersebut belum diidentifikasi secara taksonomis. Pelabelan koleksi ditulis sebagai kerang, cangkang
kerang, atau fragmen cangkang kerang, padahal dalam koleksi tersebut terdapat cangkang moluska bivalvia dan cangkang
gastropoda. Kerancuan identitas ini berakibat pada kesalahan informasi. Pada penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio,
tinggalan ekofaktual moluska bivalvia belum dibahas secara komperehensif. Penelitian ini ditujukan untuk memahami
keberadaan cangkang moluska bivalvia di situs Benteng Tabanio. Identifikasi 101 sampel cangkang marin dilakukan sampai
dengan tingkat genus atau spesies dilakukan menggunakan analisis komparasi morfologi dengan cangkang bivalvia marin
yang didapatkan di luar zona situs. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat ordo dengan tujuh famili dan empat belas
genera atau spesies yang dapat diidentifikasi. Keempat belas genera atau spesies tersebut dapat dikonsumsi, tetapi sisa-
sisa cangkang yang ditemukan di situs Benteng Tabanio menunjukkan tidak adanya pemanfaatan moluska bivalvia sebagai
bahan pangan ataupun bahan bangunan.
Kata kunci: Benteng Tabanio, Ekofak, Bivalvia marin, Taksonomi, Morfologi moluska
Abstract. A variety of artefacts and ecofacts was found during the excavation of Tabanio Fort by the Banjarmasin Institute for
Archaeology. The most common ecofacts found were mollusc shells. However, the mollusc shells collected from the
excavation have not been taxonomically identified. Even though the collection contains shells of bivalve molluscs and
gastropods, the collection labelling was written as shells, clam shells, or clam shell fragments. Such ambiguous identity
results in misinformation. The bivalve mollusc ecofacts recovered from the Tabanio Fort have not been comprehensively
discussed. This research aims to understand the presence of bivalve mollusc shells at the site of Tabanio Fort. The
identification of 101 marine shells was carried out up to the genus or species level by using comparative morphological
analysis with marine bivalve shells obtained beyond the site zone. The research identified four orders, including seven
families and fourteen genera or species of bivalve shells. The fourteen identified genera or species are of edible varieties, but
shell remains recovered from the Tabanio Fort site indicate no use of bivalve molluscs as food or building materials.
Keywords: Tabanio fort, Ecofacts, Marine bivalves, Taxonomy, Mollusc morphology
PENDAHULUAN
Tabanio (disebut pula Tabaneo, Tabunio, Tabaniouw, atau Tabuniouw) merupakan suatu desa di
Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Di lokasi ini pernah berdiri
Benteng Tabanio atau Fort Tabaniouw yang dibangun pada tahun 1789 sebagai usaha untuk memonopoli
perdagangan lada dan usaha lainnya, serta untuk mengawasi dan melindungi diri dari berbagai kemungkinan
ancaman dalam politik perdagangan. Perang Banjar yang dimulai pada 28 April 1859, diawali dengan
penyerangan terhadap tambang batubara Oranje Nassau, yang dikenal pula sebagai Benteng Pengaron, dan
Benteng Tabanio dari arah Martapura melalui Pelaihari (di kabupaten Tanah Laut). Perang Banjar berakhir
pada tahun 1905, dan Benteng Tabanio tidak difungsikan lagi. Selain rusak karena peperangan, Benteng
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
56
Tabanio juga mengalami kerusakan karena faktor alam, dan faktor manusia yang memanfaatkan batu batanya
untuk dijadikan bahan bangunan, seperti masjid, sumur, dan lain-lain (Wibisono et al. 1996).
Ekskavasi arkeologi telah dilakukan pada tahun 1995, 1998, dan 1999 untuk memperoleh data
mengenai denah Benteng Tabanio beserta pola sistem pertahanannya (Atmojo et al. 1999; Wibisono et al.
1996; 1998). Secara geografis, situs Benteng Tabanio berada di Tanjung Silat, diapit oleh Sungai Tabanio dan
pantai yang menghadap ke Laut Jawa (Gambar 1). Karakteristik lapisan tanah situs Benteng Tabanio terdiri
dari lapisan endapan aluvial dan marin. Daratan aluvial terbentuk dari aktivitas pengendapan material yang
dibawa oleh aliran Sungai Tabanio, dan lapisan marin ditunjukkan dengan adanya dataran pasir yang
terbentuk oleh aktivitas pasang surut air laut. Ciri lain dari lapisan marin ini adalah ditemukannya cangkang
moluska laut dengan jenis yang cukup beragam.
Moluska memiliki tubuh lunak, tidak bersegmen, dan sebagian besar memiliki cangkang yang terbuat
dari kalsium karbonat (Marwoto et al. 2020; Salvador 2022). Moluska adalah hewan primitif yang telah ada
sejak masa Cambrian awal atau sekitar 540 juta tahun yang lalu. Keberadaan sisa fauna tersebut dapat
diketahui dari fosil cangkangnya (Gosling 2015; Vinther 2015). Kajian paleontologi terhadap himpunan fosil
moluska dapat menjelaskan lingkungan dan ekologi purba (Aswan et al. 2015; Ponder, Lindberg, and Ponder
2020; Prasetyo et al. 2012; Rahmayani dan Yudha 2017; Yudha dan Suriyanto 2016). Cangkang moluska juga
sering dijumpai pada penelitian arkeologi, meskipun kebanyakan masih berupa subfossil. Subfosil adalah sisa
fauna dan tumbuhan yang terawetkan, namun berumur kurang dari 10.000 tahun atau terjadi setelah zaman
es berakhir, yaitu pada masa Holosen, dan raw materialnya belum tergantikan oleh mineral lain (Allen 2017;
Moody 1994).
Cangkang moluska menjadi data signifikan yang dapat menjelaskan subsistensi manusia pendukung
budaya dan lingkungan suatu situs atau kawasan di Kalimantan (Aziz 2001; Kusmartono dan Hafsari 2021).
Pada penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio, tinggalan ekofaktual cangkang moluska belum dibahas
secara komperehensif. Sebagai contoh, penelitian arkeologi ekskavasi Benteng Tabanio Tahap III secara
garis besar membahas temuan artefaktual dan hanya menyebutkan bahwa banyak fragmen cangkang kerang
yang berfungsi sebagai penguat fondasi (Atmojo et al. 1999). Akan tetapi, pernyataan dalam laporan
penelitian arkeologi tersebut tidak disertai dengan acuan dan analisis data tentang bagaimana cangkang
moluska dapat digunakan sebagai penguat pondasi bangunan. Temuan ekofak tidak dicantumkan dalam
laporan dan tidak disimpan dalam koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin pada penelitian tahun 1999 tersebut.
Ekofak moluska hasil ekskavasi yang berada dalam koleksi Balai Akeologi Banjarmasin tersebut menunjukkan
dua permasalahan utama, yaitu 1) temuan belum dianalisis secara taksonomis; dan 2) identitas koleksi
umumnya hanya ditulis pada label sebagai kerang, cangkang kerang, atau fragmen cangkang kerang. Pada
kenyataannya, koleksi temuan kerang tersebut terdiri dari cangkang kelas bivalvia dan gastropoda, yaitu dua
kelas moluska yang sering ditemukan di situs arkeologi (Allen 2017).
Kondisi tersebut di atas selanjutnya menimbulkan kesalahan informasi, yaitu 1) kata “kerang” digunakan
sebagai sebutan bagi moluska kelas bivalvia, binatang lunak berinsang pipih yang cangkangnya terdiri dari
sepasang katup yang dihubungkan dengan engsel hingga dapat dibuka dan ditutup (Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa 2022); dan 2) kata “siput” atau “keong” untuk penyebutan kelas gastropoda. Selain
itu, cangkang moluska yang disimpan dalam ruang koleksi terus mengalami proses degradasi. Cangkang
makin rapuh dan menjadi fragmentaris apabila tidak ditangani dengan tepat, sehingga makin menyulitkan
proses identifikasi di masa mendatang.
Oleh karena itu, identifikasi taksonomis sebaiknya dilakukan guna mengetahui jenis moluska sekaligus
memperbaiki identitas koleksi. Pada penelitian ini, analisis taksonomi ekofak cangkang bivalvia ditujukan
untuk mengungkap identifikasi hingga tingkat genus atau spesies, dengan menggunakan komparasi morfologi
cangkang bivalvia. Hasil penelitian ini dilakukan untuk mewujudkan koleksi yang diorganisasi dengan baik,
didokumentasi secara penuh, dan memberikan informasi yang baik, sehingga lebih memiliki nilai ilmiah
(Abbott and Dance 2000). Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi basis data kelokalan tentang
keragaman moluska laut di Kalimantan Selatan (Fajeriadi, Zaini, dan Dharmono 2019; Kadarsah, Ekaputri,
dan Gafur 2020; Nugroho, Soendjoto, dan Zaini 2019).
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
57
METODE
Ekofak moluska yang dianalisis merupakan koleksi dari kantor Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan
Selatan (BAPKS). Koleksi ini diperoleh dari penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio Tahap I (1995/1996),
Tahap II (1998), dan Workshop Arkeologi (2011 & 2014). Cangkang moluska yang ditemukan di situs
arkeologi seringkali telah rapuh, tidak utuh, dan telah kehilangan warna, dan hal itu juga terjadi pada
cangkang moluska koleksi BAPKS. Oleh karena itu, diperlukan data pembanding berupa cangkang moluska
yang diperoleh dari zona litoral Pantai Tabanio. Lokasi observasi zona litoral atau permukaan pantai ini
terletak agak jauh dari lokasi Benteng Tabanio, tepatnya di sebelah selatan dari Pantai Wisata Tabanio. Zona
litoral ini dipilih sebagai lokasi observasi, karena kondisi garis pantainya yang masih alami, deposit cangkang
moluska yang cukup melimpah, dan sedikit aktivitas manusia dibandingkan dengan di area Pantai Wisata
Tabanio yang dekat dengan situs Benteng Tabanio (Gambar 1).
Sumber: Badan Informasi Geospasial 2019; GEBCO 2022
Gambar 1 Lokasi Penelitian di Kawasan Pesisir Laut Jawa (digambar oleh penulis)
Metode pengambilan sampel pada observasi lapangan adalah purposive sampling, dengan tujuan
untuk memperoleh variasi cangkang moluska sebanyak mungkin dari kelas bivalvia, baik dari keutuhan
cangkangnya ataupun dari warna yang tersisa. Sampel kemudian dibersihkan dan dikeringkan untuk
dilanjutkan dengan proses dokumentasi dan identifikasi morfologis eksternal. Subjek penelitian hanya dibatasi
pada moluska kelas bivalvia, karena identitas koleksi BAPKS ini ditulis dengan sebutan kerang, cangkang
kerang, atau fragmen cangkang kerang.
Ekofak cangkang moluska koleksi BAPKS diidentifikasi berdasarkan ciri umumnya, kemudian
dipisahkan antara kelas bivalvia dan gastropoda. Analisis cangkang moluska kelas gastropoda dilaksanakan
terpisah dari penelitian ini, karena dua kelas ini memiliki perbedaan morfologi eksternal, sehingga memerlukan
pengamatan dan analisis morfologi yang berbeda. Identifikasi ciri khusus selanjutnya dilakukan pada
cangkang moluska kelas bivalvia.
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
58
Analisis deskriptif mengacu pada panduan identifikasi spesies dan habitat dari moluska (Carpenter and
Niem 1998; Dance 2022; Dharma 1988, 1992; Harasewych and Moretzsohn 2010; Santhanam 2018). Hasil
pengamatan ini dibandingkan dan dilengkapi dengan rujukan dengan sumber pustaka mengenai moluska dan
bivalvia secara khusus beserta ekologinya (Abbott 1985; Gosling 2015; Marwoto et al. 2020). Penamaan
ilmiah secara sistematik menggunakan laman basis data moluska seperti www.molluscabase.org dan
www.marinespecies.org. Seluruh kegiatan analisis dilaksanakan di laboratorium analisis artefak di Co-Working
Space Banjarbaru, Badan Riset dan Inovasi Nasional.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 101 spesimen ekofak moluska yang diteliti, cangkang bivalvia situs Benteng Tabanio dapat
diklasifikasikan menjadi empat ordo, tujuh famili, dan empat belas genera dan/atau spesies (Tabel 1). Ordo
Venerida merupakan ordo yang dominan, terdiri dari dua famili, yaitu Veneridae (lima spesies) dan Chamidae
(satu genus). Ordo berikutnya yaitu Arcida yang terdiri dari famili Arcidae (tiga spesies) dan Glycymerididae
(satu spesies). Ordo Pectinida terdiri dari famili Pectinidae (satu spesies) dan Spondylidae (satu genus). Ordo
Ostreida hanya terdiri dari famili Ostreidae (dua spesies). Berikutnya akan dijelaskan secara rinci taksonomi,
deskripsi morfologi, dan habitat masing-masing genera dan/atau spesies.
Tabel 1 Hasil Identifikasi Ekofak Bivalvia
Ordo
Famili
Genera / Spesies
Jumlah
Ostreida
Ostreidae
Saccostrea echinata (Quoy & Gaimard, 1835)
14
Ostreida
Ostreidae
Saccostrea cuccullata (Born, 1778)
28
Pectinida
Pectinidae
Mimachlamys sanguinea (Linnaeus, 1758)
4
Pectinida
Spondylidae
Spondylus sp.
2
Venerida
Veneridae
Callista erycina (Linnaeus, 1758)
3
Venerida
Veneridae
Dosinia dilecta A. Adams, 1856
15
Venerida
Veneridae
Placamen chloroticum (Philippi, 1849)
3
Venerida
Veneridae
Ruditapes philippinarum (A. Adams & Reeve, 1850)
1
Venerida
Veneridae
Gafrarium divaricatum (Gmelin, 1791)
1
Venerida
Chamidae
Chama sp.
16
Arcida
Arcidae
Anadara gubernaculum (Reeve, 1844)
3
Arcida
Arcidae
Tegillarca nodifera (E. von Martens, 1860)
2
Arcida
Arcidae
Barbatia foliata (Forsskål, 1775)
5
Arcida
Glycymerididae
Glycymeris reevei (Mayer, 1868)
4
Total
101
Sumber: MolluscaBase eds. 2022a
Taksonomi, Deskripsi, dan Habitat
Saccostrea echinata (MolluscaBase eds. 2022l)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Ostreida
Superfamili: Ostreoidea
Famili: Ostreidae
Subfamili: Saccostreinae
Genus: Saccostrea
Cangkang sepsies Saccostrea echinata dari situs Benteng Tabanio berwarna gelap hingga putih
tergantung kondisi, dengan permukaan kasar, tebal, serta tajam (Gambar 2a), karena itu sering disebut
dengan spiny oyster atau spiny rock oyster (tiram berduri atau tiram batu berduri). Spesies memiliki katup
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
59
tebal dan padat, dengan margin katup bagian dalam berbentuk lonjong, atau oval. Engsel sangat kuat tipe
isodont, dengan permukaan nacreous yang terlihat di dalam tiram adalah permukaan halus berwarna putih
seperti mutiara.
Sumber: Dok. Sulistiyo 2022
Gambar 2a-2n Jenis-jenis Ekofak Bivalvia Situs Benteng Tabanio
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
60
Bekas otot aduktor umumnya sudah hilang pada ekofak. Substrat berupa batuan sering ditemukan
masih menempel pada cangkang. Di lain pihak, cangkang yang baru memiliki cincin berwarna hitam atau
disebut bibir, sehingga tiram ini sering juga dikenal sebagai blacklip oyster (tiram bibir hitam). Spesies ini
hidup menempel di habitat bebatuan atau fitur permanen di sepanjang daerah pasang surut, terutama di hutan
bakau dan muara sungai, dengan wilayah persebaran di Pasifik Tengah bagian barat, Laut Cina Selatan,
Indonesia, dan Palau (Dharma 1992; Gosling 2015; Li et al. 2021; Rohmayani et al. 2021; Santhanam 2018;
Suharsono 2014). Di Tabanio, cangkang Saccostrea echinata ditemukan di kotak TP 3, TP 5 (1995), TP 13
(1996), dan S12 (2014).
Saccostrea cuccullata (MolluscaBase eds. 2022k)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Ostreida
Superfamili: Ostreoidea
Famili: Ostreidae
Subfamili: Saccostreinae
Genus: Saccostrea
Bentuk cangkang spesies Saccostrea cuccullata hampir membulat atau lonjong atau kurang lebih oval
(Gambar 2b), sering kali dengan garis luar yang tidak teratur, namun tidak setajam dan sekasar spesies S.
echinata. Spesies ini memiliki katup tebal dan padat, katup bawah cembung dan tidak memiliki ukiran di dekat
umbo, yang digunakan untuk melekat pada substrat. Katup atas datar dan lebih kecil dari katup bawah.
Margin katup dilipat dan dipasang dengan rapi. Ligamen bersifat internal dan engsel bertipe isodont. Katup
kanan memiliki beberapa dentikel kecil pada margin internal yang sesuai dengan alur di margin katup kiri,
yang disebut dengan chomata (Carpenter and Niem 1998). Kedua katup disatukan oleh satu otot aduktor yang
besar sehingga meninggalkan bekas di bagian dalam setiap katup. Warna coklat keunguan di bagian luar
katup menjadi ciri khas spesies ini, dan masih tampak pada ekofak.
Bagian dalam pada cangkang baru berwarna putih berbingkai hitam. Spesies S. cuccullata dapat
tumbuh hingga ukuran maksimal 12 cm. Spesies ini hidup di habitat bebatuan di zona intertidal; kisaran
kedalaman 0-15 meter (m); di antara rumput laut, dinding pelabuhan, tiang pancang, dan struktur bawah air
lainnya dengan wilayah persebaran mencakup Pantai Afrika Barat tropis, Samudera Hindia, dan Samudera
Pasifik Barat tropis termasuk Filipina (Carpenter and Niem 1998; Dharma 1992; Gosling 2015; Ponder et al.
2020; Santhanam 2018). Di Tabanio, cangkang Saccostrea cuccullata ditemukan terdeposit di zona litoral,
dan di kotak TP 5 (1995), TP 13 (1996), dan S12 (2014).
Mimachlamys sanguinea (MolluscaBase eds. 2022i)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Pectinida
Superfamili: Pectinoidea
Famili: Pectinidae
Subfamili: Pedinae
Genus: Mimachlamys
Cangkang spesies Mimachlamys sanguinea padat, berukuran sedang, dan garis luarnya berbentuk
bulat telur (Gambar 2c). Kedua katup berbentuk cembung dan kurang setara. Katup kanan (bawah) sedikit
lebih rata dari katup kiri (atas). Telinga spesies ini sangat berbeda dalam ukuran, dan bagian anterior dua kali
lebih panjang daripada yang posterior. Sisi ventral telinga anterior kanan memiliki takik byssal yang dalam.
Rusuk radial dari masing-masing katup berjumlah 20-26, membulat dengan ulir radial sekunder yang halus.
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
61
Telinga berusuk dan kebanyakan rusuk dorsal telinga anterior kanan agak menonjol dan dihiasi dengan duri
tegak. Interior mengkilap, rusuk radial bagian dalam bulat dan rendah sesuai dengan ukiran luar. Cangkang
luar berwarna ungu kusam, coklat, atau jingga, seringkali beraneka ragam dengan bercak-bercak pucat.
Interior berwarna sama, diliputi warna putih pada rongga umbo dan engsel yang bertipe isodont.
Spesies Mimachlamys sanguinea memiliki panjang maksimal hingga 8 cm. Spesies ini hidup di habitat
dasar berpasir atau pasir berlumpur dengan kerikil, puing-puing karang, pecahan atau hancuran cangkang
atau batu, dilekatkan oleh byssus-nya ke elemen keras. Pada tahapan dewasa, mereka hidup menempel di
antara puing-puing karang atau bebatuan pada sedimen lunak di kisaran kedalaman 0--610 m. Spesies M.
sanguinea memiliki wilayah persebaran mencakup Indo-Pasifik Barat, dari Afrika Timur, termasuk Madagaskar
ke Melanesia, utara ke Filipina, dan selatan ke Queensland, Kaledonia Baru, serta Selandia Baru (Atlanta,
Ambarwati, and Mujiono 2022; Carpenter and Niem 1998; Dharma 1992; Santhanam 2018; Suharsono 2014).
Di Tabanio, cangkang spesies ini terdeposit dengan melimpah di zona litoral, dan ditemukaan di kotak C33
(2011) dan S12 (2014).
Spondylus sp.
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Pectinida
Superfamili: Pectinoidea
Famili: Spondylidae
Genus: Spondylus Linnaeus, 1758 (MolluscaBase eds. 2022m)
Garis cangkang Spondylus sp. berbentuk oval, namun pada cangkang dewasa baru bentuknya sulit
dikenali karena biasanya tertutup duri tajam di tepi katupnya (Gambar 2d). Area di sekitar umbo biasanya
relatif bebas dari duri. Engsel di sekitar umbo kuat, bertipe isodont. Duri-duri pada Spondylus dapat tumbuh
hingga panjang dan memberikan sarana kamuflase jika fauna ini hidup di habitat yang terlindungi. Pada
cangkang mati yang ada di pantai ataupun ekofak koleksi BAPKS, duri-durinya telah patah dan hanya tersisa
sedikit karena rapuh, sehingga menyulitkan proses identifikasi.
Genus Spondylus terdiri dari 257 spesies dan memiliki habitat di terumbu karang dan di lepas pantai
(MolluscaBase eds. 2022m). Genus ini memiliki persebaran di Indo-Pasifik dan Filipina, (Abdulla-AI-Asif et al.
2021; Carpenter and Niem 1998; Dharma 1992; Santhanam 2018; Setiawan et al. 2019; Suharsono 2014). Di
Tabanio, cangkang Spondylus sp. ditemukan cukup melimpah di zona litoral dan kotak C33 (2011).
Callista erycina (MolluscaBase eds. 2022d)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Veneridae
Subfamili: Callorcardiinae
Genus: Callista
Cangkang spesies Callista erycina ini besar, kuat, menggembung dengan bentuk seperti kapal dengan
umbo (Gambar 2e), yang menonjol ke depan dan engsel eksternal yang panjang. Engsel bertipe heterodont
ini terdiri dari tiga gigi cardinal yang terletak di tengah dekat dengan umbo. Bagian depan ujungnya lebih
membulat daripada bagian belakangnya. Rusuk memiliki jarak dan luas yang sama, permukaannya pipih
dengan alur sempit.
Pada cangkang moluska yang baru, biasanya bekas otot terlihat jelas dan ligamennya panjang. Bagian
luar berwarna krem, coklat pucat dan jingga-merah dengan semburat coklat kemerahan. Bagian dalamnya
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
62
berwarna putih kekuningan dengan tepian berwarna jingga-merah. Spesies ini hidup di habitat pasir saat air
surut, dan memiliki wilayah persebaran di perairan Indo-Pasifik (Abdulla-AI-Asif et al. 2021; Dance 2022;
Ginting et al. 2017; Harasewych and Moretzsohn 2010; Sonak 2017). Di Tabanio, cangkang spesies Callista
erycina ditemukan sangat melimpah di zona litoral dan di kotak C33 (2011) dan S12 (2014).
Dosinia dilecta (MolluscaBase eds. 2022f)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Veneridae
Subfamili: Dosiniinae
Genus: Dosinia
Cangkang spesies Dosinia dilecta sangat padat, dua bagian dari bivalvia menyatu erat satu sama lain
dengan agak datar. Cangkang berbentuk hampir seperti lingkaran, kecuali paruhnya yang kecil mengarah ke
anterior (Gambar 2f). Ada tiga gigi cardinal di setiap paruh umbo. Cangkang berwarna putih dan dapat
mencapai diameter 7,5 cm. Permukaannya ditandai dengan banyak rusuk konsentris dengan jarak seragam
yang makin lebar ke arah batas ventral.
Pada cangkang baru, sinus pallialis berbentuk kerucut. Periostracum atau penutup cangkang translusen
dan seperti pernis. Warna cangkangnya putih pucat sampai kuning terang. Ukuran umumnya adalah 7,5 cm,
dan panjang sekitar 1,5 cm dicapai dalam waktu 1 tahun. Spesies ini hidup dalam substrat pasir atau lumpur
berpasir dengan wilayah persebaran di perairan Indo-Pasifik (Alwi, Wahab, and Bisi 2020; Ambarwati, Faizah,
and Trimulyono 2016; Ginting et al. 2017). Di Tabanio, cangkang spesies Dosinia dilecta ditemukan sangat
melimpah di zona litoral dan di kotak C33 (2011) dan S12 (2014).
Placamen chloroticum (MolluscaBase eds. 2022j)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Veneridae
Subfamili: Venerinae
Genus: Placamen
Bentuk cangkang spesies Placamen chloroticum hampir segitiga, padat, dengan rusuk konsentris yang
terlihat sangat jelas dan tegak dengan jarak yang bervariasi (Gambar 2g). Umbo berukuran sedang dengan
paruh yang cukup kecil. Engsel bertipe heterodont dengan posisi gigi kardinal tepat di dekat paruh. Cangkang
kuat dan berwarna kecoklatan.
Spesies ini hidup di substrat pasir dan lumpur berpasir sedalam 0-50 cm. P. chloroticum ini memiliki
wilayah persebaran mencakup Indo-Pasifik Barat, dari Afrika Timur ke Melanesia, utara ke Jepang dan
selatan ke Australia Selatan (Dharma 1992; Suharsono 2014; Wijaya and Ambarwati 2021). Di Tabanio,
cangkang spesies Placamen chloroticum ditemukan di kotak C33 (2011) dan S12 (2014).
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
63
Ruditapes philippinarum (MolluscaBase eds 2022)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Veneridae
Subfamili: Tapetinae
Genus: Ruditapes
Cangkang spesies Ruditapes philippinarum padat, setara, dan tidak sama sisi. Paruh terletak di bagian
anterior dan secara garis besar berbentuk agak oval (Gambar 2h). Ligamen disisipkan dan tidak
disembunyikan. Ukiran rusuk radial dengan alur konsentris. Tahap pertumbuhan terlihat jelas, margin
cangkang halus. Tiga gigi kardinal ada di setiap engsel bertipe heterodont.
Cangkang moluska baru sangat bervariasi dalam warna dan pola; bagian luar berwarna putih, kuning
atau coklat muda, terkadang dengan semburat, garis, bercak, atau pola zigzag berwarna cokelat gelap dan
sedikit mengkilat. Bagian dalam cangkang putih mengkilat dengan warna oranye, terkadang berwarna ungu di
area yang luas di bawah umbo. R. philippinarum dapat tumbuh hingga panjang maksimal 8,0 cm. Spesies ini
hidup di perairan laut dan payau (kisaran salinitas: 13,5–35,0 ppt (part-per-thousand)), mengubur diri hingga
kedalaman sekitar 10 cm di berbagai substrat, dari lumpur, pasir, dan kerikil di sepanjang daerah pasang surut
dengan kisaran kedalaman air 0--100 m.
Spesies ini memiliki wilayah persebaran Atlantik, Mediterania, dan Samudra Pasifik, dari India dan Sri
Lanka ke Mikronesia, utara ke Sakhalin, Laut Jepang, Inggris dan Hawaii (diintroduksi secara tidak sengaja
bersama Crassostrea gigas untuk percobaan akuakultur dan perikanan komersil), serta selatan ke Indonesia
(Carpenter and Niem 1998; Gosling 2015; Humphreys et al. 2015; Kanazawa and Sato 2008; Ponder et al.
2020; Santhanam 2018). Spesies ini endemik di Jepang, Cina, dan Filipina (Menzel 1991). Di Tabanio,
cangkang Ruditapes philippinarum ditemukan di zona litoral dan di kotak TP 5 (1995).
Gafrarium divaricatum (MolluscaBase eds. 2022g)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Veneridae
Subfamili: Gouldiinae
Genus: Gafrarium
Cangkang spesies Gafrarium divaricatum berbentuk lingkaran dengan ujung agak runcing, tebal, dan
kompak (Gambar 2i). Rusuk memiliki pola radial, berornamen, dan teratur, terdapat juga rusuk halus yang
sejajar dengan tepi cangkang. Gigi kardinal terletak persis dekat paruh. Ligamen agak lurus di posisi posterior.
Cangkang baru untuk spesies ini berwarna putih, biasanya dengan pola garis-garis gelap tipis yang tegak
lurus dengan tepi cangkang. G. divaricatum dapat tumbuh hingga panjang maksimal 6 cm. Spesies ini hidup di
daerah pasang surut di pasir kasar dan kerikil pada kisaran kedalaman 0–20 m dengan wilayah persebaran
mencakup Indo-Pasifik Barat, dari Afrika Timur dan Selatan hingga Filipina, utara ke Jepang, dan selatan ke
Malaysia (Carpenter and Niem 1998; Dance 2022; Dharma 1992; Santhanam 2018; Sonak 2017; Wijaya and
Ambarwati 2021). Di Tabanio, cangkang Gafrarium divaricatum ditemukan di zona litoral dan di kotak C33
(2011).
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
64
Chama sp.
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Heteroconchia
Superordo: Imparidentia
Ordo: Venerida
Superfamili: Veneroidea
Famili: Chamidae
Genus: Chama Linnaeus, 1758 (MolluscaBase eds. 2022e)
Cangkang moluska Chama sp. memiliki bentuk cangkang yang tidak beraturan, permukaan
cangkangnya terlihat sangat kasar seperti duri-duri kecil (Gambar 2j). Rusuk terlihat konsentris namun tidak
beraturan. Margin pada pertemuan antar katup di bagian internal cangkang berbentuk lingkaran, cangkang
cukup kuat dan tebal. Gigi pada engsel berupa pachyodont.
Cangkang moluska yang baru berwarna kuning tua sampai kuning kecoklatan. Genus Chama memiliki
239 spesies (recent dan fosil), dan kondisi cangkang yang terdegradasi cukup menyulitkan dalam identifikasi
spesies. Habitat Chama umumnya menempel pada bebatuan ataupun permukaan keras lainnya, biasanya di
perairan dangkal hingga kedalaman 20 m dengan wilayah persebaran Indo-Pasifik (Carpenter and Niem 1998;
Dance 2022; Dharma 1992; Santhanam 2018). Di Tabanio, cangkang Chama sp. ditemukan di zona litoral, di
kotak TP 5 (1995), C33 (2011), dan S12 (2014).
Anadara gubernaculum (MolluscaBase eds. 2022b)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Arcida
Superfamili: Arcoidea
Famili: Arcidae
Genus: Anadara
Cangkang spesies Anadara gubernaculum padat, putih, namun tidak seperti mutiara. Bentuk cangkang
terkompresi secara lateral dan hampir persegi, sisinya tidak sama, memiliki striasi, dan dua kali lebih panjang
daripada tingginya (Gambar 2k). Katup kiri ujungnya menonjol dan ukurannya lebih besar daripada katup
kanan. Terdapat 25 hingga 33 rusuk rendah dan rata.
Pada cangkang moluska baru, biasanya terdapat periostracum yang berambut berwarna cokelat tua
atau kehitaman. Area engsel panjang dan sempit dengan gigi taxodont. Bagian umbo yang mengarah ke
anterior kecil. Margin internal memiliki krenulasi yang sesuai dengan rusuk radial eksternal. Cangkang luar
berwarna keputihan dan bagian dalam berwarna putih, dengan semburat keabu-abuan ke arah luar.
Cangkang tidak memiliki celah byssal dan panjang cangkang maksimal adalah 5 cm. Spesies A.
gubernaculum hidup di dasar pasir dan lumpur di daerah litoral dan sublittoral dengan kedalaman air 0--25 m.
Spesies ini memiliki wilayah persebaran di Indo-Pasifik Barat (Alwi et al. 2020; Ambarwati et al. 2016;
Ambarwati and Trijoko 2011; Carpenter and Niem 1998; Ginting et al. 2017). Di Tabanio, cangkang Anadara
gubernaculum ditemukan di zona litoral dan di kotak C33 (2011).
Tegillarca nodifera (MolluscaBase eds. 2022n)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Arcida
Superfamili: Arcoidea
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
65
Famili: Arcidae
Genus: Tegillarca
Cangkang spesies Tegillarca nodifera ini setara, agak menggembung, dan padat. Garis luar berbentuk
lonjong bulat telur, dan lebih panjang daripada tingginya (Gambar 2l). Umbo berukuran sedang, menonjol, dan
daerah kardinal agak sempit dengan gigi taxodont sepanjang engsel. Ada 19–23 rusuk radial di setiap katup,
dan rusuk ini cukup sempit serta tajam dengan kerutan atau gelombang yang jelas serta terdapat bintil-bintil
bulat di atasnya. Periostracum agak tipis dan halus, tidak terdapat celah byssal. Margin internal memiliki
krenulasi yang kuat sesuai dengan rusuk eksternal. Bagian luar cangkang berwarna putih, di bawah
periostracum berwarna agak coklat, sedangkan sisi dalamnya berwarna putih susu.
Spesies T. nodifera dapat tumbuh hingga panjang maksimal 6 cm. Spesies ini hidup di perairan
intertidal dan sublitoral dangkal antara 0 hingga 10 m, pada substrat pasir dan lumpur dengan wilayah
persebaran mencakup Indo-Pasifik Barat, dari Myanmar ke Filipina, utara ke Laut Cina Timur dan selatan ke
Malaysia (Ambarwati et al. 2016; Ambarwati and Trijoko 2011; Carpenter and Niem 1998; Santhanam 2018;
Sulistiyaningsih and Arbi 2020). Di Tabanio, cangkang Tegillarca nodifera ditemukan di zona litoral di kotak
C33 (2011) dan S12 (2014).
Barbatia foliata (MolluscaBase eds. 2022c)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Arcida
Superfamili: Arcoidea
Famili: Arcidae
Genus: Barbatia
Cangkang spesies Barbatia foliata setara besarnya, sama sisi, dan padat. Terdapat 45 hingga 55 baris
paralel growth lines pada permukaannya. Rusuk radial jelas, menonjol menjadi banyak bintil kecil bersisik;
rusuk konsentris kadang jelas atau samar, kadang-kadang berhias (Gambar 2m). Umbo membulat,
punggungan tepat di bawah daerah umbo lebih tebal ke bagian anterior. Cangkang terkompresi dengan celah
byssal lebar antara tepi bawah katup. Ligamen sepanjang engsel berbentuk agak melengkung, gigi taxodont
terlihat jelas.
Cangkang moluska baru berwarna putih, di atasnya terdapat periostrakum gelap coklat dan berambut
dengan pola konsentris, bagian dalamnya putih mengkilat. Spesies B. foliata dapat tumbuh maksimal hingga
7.5 cm. Spesies ini hidup di bawah karang dekat pantai, dengan wilayah persebaran mencakup Indo-Pasifik,
dari Afrika Timur dan Selatan, termasuk Madagaskar, Laut Merah, dan Teluk Persia, hingga Polinesia timur,
lalu ke utara ke Jepang dan Hawaii, dan selatan ke Queensland (Atlanta et al. 2022; Carpenter and Niem
1998; Dance 2022; Harasewych and Moretzsohn 2010; Santhanam 2018; Setiawan et al. 2019; Sonak 2017;
Suharsono 2014). Di Tabanio, cangkang Barbatia foliata ditemukan di zona litoral dan di kotak S12 (2014).
Glycymeris reevei (MolluscaBase eds. 2022h)
Subkelas: Autobranchia
Infrakelas: Pteriomorphia
Ordo: Arcida
Superfamili: Arcoidea
Famili: Glycymerididae
Genus: Glycymeris da Costa, 1778
Cangkang spesies Glycymeris reevei menggembung miring di bagian depan, dan miring di setiap sisi
umbo (Gambar 2n), dengan gigi taxodont yang terlihat samar, karena cangkang sudah aus. Rusuk berpola
radial, luas, dan teratur. Margin internal memiliki krenulasi yang sesuai dengan rusuk radial eksternal.
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
66
Cangkang moluska spesies ini yang baru memiliki warna coklat, dengan alur kekuningan di antara
rusuk dan bercak putih di ujung depan. Cangkangnya dapat dibedakan dengan garis luar berbentuk
menyerupai segi empat. Spesies G. reevei hidup di substrat pasir di air dangkal dengan wilayah persebaran di
Pasifik Barat Daya (Carpenter and Niem 1998; Dance 2022; Kusnadi, Triandiza, and Hernawan 2008;
Suharsono 2014). Di Tabanio, cangkang Glycymeris reevei ditemukan di zona litoral dan di kotak C33 (2011)
dan S12 (2014).
Distribusi dan Transportasi
Cangkang S. echinata dan S. cuccullata dari famili Ostreidae sekilas mirip dengan cangkang Spondylus
sp. karena bentuk permukaannya yang kasar. Akan tetapi, famili Spondylidae berkerabat lebih dekat dengan
M. sanguinea (Pectinidae) dengan ciri memiliki bagian cuping pada engselnya (Gambar 3a). Famili Ostreidae,
Spondylidae, dan Pectinidae merupakan famili dengan ciri yang sama yaitu memiliki engsel tipe isodont
dengan karakteristik berupa ball and socket (Gambar 3b). Banyaknya variasi bentuk, warna, dan duri pada
genus Spondylus membuat identifikasi menjadi sulit, terlebih dengan kondisi cangkang yang telah
terdegradasi seperti pada ekofak koleksi BAPKS. Kesulitan yang sama juga terjadi pada identifikasi cangkang
Chama sp., karena kebanyakan spesies dari genus ini hidup di daerah tropis, memiliki beberapa variasi duri
dan hiasan berwarna yang menjadi ciri khas spesies tersebut (Abbott and Dance 2000), yang umumnya tidak
terpreservasi dengan baik ketika fauna ini mati.
Sumber: dok. Sulistiyo 2022
Gambar 3a dan 3b M. sanguinea (kiri) dan Spondylus sp. (kanan)
Jenis cangkang dari anggota famili Veneridae merupakan yang paling banyak ditemukan di situs
Benteng Tabanio, yaitu sebanyak lima spesies. Hal ini dikarenakan famili Veneridae hidup dalam substrat
lumpur berpasir (Ambarwati et al. 2016; Wijaya and Ambarwati 2021). Substrat lumpur berpasir menyediakan
makanan bagi famili Veneridae yang merupakan suspension feeder (Gosling 2003). Famili Arcidae juga cukup
banyak ditemukan di situs Benteng Tabanio. Moluska dari famili ini sangat umum dikonsumsi sebagai
makanan laut di Indonesia dan mudah diperoleh (Ambarwati and Trijoko 2011; Sulistiyaningsih and Arbi
2020). Moluska ini pada umumnya hidup di perairan dangkal yang hangat, dan hanya sedikit yang hidup di
perairan dalam. Moluska dari famili Arcidae ini memiliki engsel yang dilengkapi dengan sederetan gigi
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
67
taxodont (Gambar 4), yang jumlahnya bervariasi baik antarspesies maupun dalam spesies itu sendiri
(Santhanam 2018; Sonak 2017).
Empat belas jenis bivalvia tersebut di atas secara umum dijumpai dan tersebar di kawasan Indo-Pasifik.
Indo-Pasifik merupakan kawasan yang terluas dan terkaya di dunia akan keragaman spesies moluskanya,
yang membentang dari pantai Afrika Timur ke arah timur melalui Hindia Timur hingga Polinesia; kawasan
tersebut banyak dicirikan dengan perairan tropis dangkal dan terumbu karang. Perairan ini terkenal akan
kelimpahan cangkang yang berwarna-warni dan mendukung banyak moluska dengan bentuk yang aneh dan
unik (Dance 2022). Pantai dengan arus ombak yang tidak terlalu kuat mengandung jenis bivalvia yang lebih
beragam daripada pantai dengan arus air laut yang kuat (Setiawan et al. 2019). Tipe substrat sangat
mempengaruhi keberadaan serta penyebaran hewan-hewan tersebut (Akhrianti, Bengen, dan Setyobudiandi
2014).
Sumber: dok. Sulistiyo 2022
Gambar 4 Deretan Gigi Taxodont pada A. gubernaculum (atas), T. nodifera (tengah), dan B. foliata (bawah)
Semua jenis bivalvia tersebut merupakan moluska yang dapat dimakan. Moluska bivalvia dengan
bentuk cangkang yang unik dan berduri seperti Chama sp. dan Spondylus sp. juga dikonsumsi di berbagai
negara seperti Indonesia, Filipina, dan Fiji (Santhanam 2018). Meskipun demikian, indikasi bahwa bivalvia
yang ada di situs Benteng Tabanio ini merupakan cangkang bekas di konsumsi manusia tidak ditemukan.
Berdasarkan distribusi kuantitasnya, jumlah sampel cangkang yang diteliti tersebut terlalu sedikit untuk
dapat dikategorikan sebagai sampah dapur (Gambar 5). Kuantitas yang ditemukan didasarkan pada jumlah
katup, dan tidak bisa mewakili jumlah individu. Dari segi kualitas, beberapa cangkang bivalvia masih
berukuran kecil, yaitu di bawah 2 cm. Jika mengacu pada hal tersebut, maka kuantitas dan kualitas moluska
bivalvia yang ada pada temuan ekskavasi ini bisa dikatakan tidak memenuhi kategori yang bisa dikonsumsi
ataupun menunjukkan gejala sampah kerang atau shell midden.
Cangkang moluska memiliki kandungan kalsium karbonat (CaCO3), sama seperti yang terdapat pada
terumbu karang dan batu gamping (limestone). Bahan-bahan tersebut diketahui dapat digunakan sebagai
bahan bangunan dan bahan baku pembuatan semen, dengan cara harus diproses terlebih dahulu untuk
menghasilkan kapur (lime) (Suharsono 2014). Bahan-bahan tersebut harus di dipanaskan pada suhu 900--
1100ºC untuk menguraikan CaCO3 menjadi kalsium oksida (CaO) dan karbon dioksida (CO2). Proses
penguraian disebut dengan kalsinasi (Amin and Kurniasih 2016). “Kapur hidup” atau CaO ini yang bisa
digunakan sebagai bahan bangunan dengan cara dicampur air dan menghasilkan Ca(OH)2 atau ”kapur mati”.
Cangkang bivalvia dari situs Benteng Tabanio tidak memiliki tanda-tanda kalsinasi dan kepadatannya juga
masih cukup kokoh sebagai cangkang. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang bivalvia dari situs Benteng
Tabanio bukan sebagai bahan bangunan ataupun penguat pondasi.
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
68
Sumber: olah data Sulistiyo 2022
Gambar 5 Distribusi Jumlah Sampel Ekofak Moluska Bivalvia di Situs Benteng Tabanio
Keberadaan cangkang moluska di situs Benteng Tabanio disebabkan oleh transportasi endapan marin,
mengingat situs ini hanya berjarak sekitar 200 m dari bibir pantai pada masa sekarang. Hal ini terlihat dari
asosiasi jenis bivalvia yang ditemukan, yang terdiri dari bivalvia epifauna dan infauna (Gambar 5). Bivalvia
epifauna merupakan bivalvia yang hidup di atas substrat, misalnya berjalan atau menempel pada permukaan
keras seperti batuan, terumbu karang, atau struktur buatan manusia lainnya. Bivalvia infauna hidup di dalam
substrat, yaitu membenamkan diri di dalam lumpur dan pasir. Cangkang bivalvia epifauna dan infauna yang
ditemukan dalam satu asosiasi menandakan bahwa mereka tidak mati dan terdeposisikan secara in situ.
Besar kemungkinan cangkang ini merupakan cangkang mati yang tertransportasi oleh ombak, dan
terdeposisikan di zona pasang surut. Gejala tersebut nampak jelas pada ekofak dari kotak C33 spit 3 dan
kotak S12 spit 5 di mana komposisi ekofak pada kotak ekskavasi tersebut paling mendekati dengan komposisi
deposit cangkang moluska yang ada di garis pasang di zona litoral pada masa sekarang (Gambar 5). Ini
berarti ada kemungkinan bahwa lokasi tersebut pernah menjadi zona intertidal pada masa lalu.
PENUTUP
Identifikasi taksonomis terhadap cangkang moluska dari situs arkeologis sangat penting untuk
dilakukan. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 14 genera dan/atau spesies dari 101 spesimen. Semua jenis
yang ditemukan dapat dikonsumsi oleh manusia. Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa cangkang
moluska di situs Benteng Tabanio bukan sisa makanan dan tidak ada indikasi pemanfaatannya oleh manusia.
Keberadaannya di Benteng Tabanio disebabkan oleh faktor alam, yaitu transportasi endapan marin. Hasil
analisis juga menunjukkan bahwa asumsi awal cangkang moluska digunakan sebagai bahan fondasi
bangunan tidak benar. Kuantitas yang sedikit dan kondisi cangkang bivalvia yang ditemukan tidak
mengindikasikan penggunaannya sebagai bahan fondasi bangunan.
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
69
Spesimen pembanding dari lokasi yang sama atau di sekitarnya akan sangat membantu dalam
identifikasi hingga tingkat spesies. Tindakan yang perlu dilakukan selanjutnya adalah identifikasi taksonomis
terhadap kelas gastropoda dari situs Benteng Tabanio. Hal yang sama juga dapat dilakukan terhadap sisa
fauna dari situs lain yang belum diidentifikasi. Kegiatan ini dapat menjadi langkah baru perbaikan tata kelola
koleksi ekofak di kantor Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil identifikasi tersebut dapat menjadi
basis data keanekaragaman fauna di Kalimantan Selatan. Informasi dari penelitian ini dapat digunakan dalam
penelitian dan pengembangan lanjutan, sebagai contoh buku panduan identifikasi spesies, buku panduan
lapangan (field guide), buku ilmiah populer, dan sebagainya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan (BAPKS) yang telah menyediakan spesimen untuk diteliti
beserta literatur pendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, Robert Tucker. 1985. Sheashells of the World a Guide to the Better-Known Species. New York:
Golden Press.
Abbott, Robert Tucker, and Stanley Peter Dance. 2000. Compendium of Seashells: A Color Guide to More
than 4200 of the World’s Marine Shells. 8th Edition. California: Odyssey Publishing.
Abdulla-AI-Asif, Hadi Hamli, Abu Hena Mustafa Kamal, Mohd Hanafi Idris, Geoffery James Gerusu, Johan
Ismail, and Muyassar H. Abualreesh. 2021. “Bivalves (Mollusca: Bivalvia) in Malaysian Borneo: Status
and Threats.” Journal of Threatened Taxa 13(11):19553–65. doi: 10.11609/jott.7287.13.11.19553-19565.
Akhrianti, Irma, Dietriech G. Bengen, and Isdrajad Setyobudiandi. 2014. “Distribusi Spasial dan Preferensi
Habitat Bivalvia di Pesisir Perairan Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.” Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis 6(1):171–86.
Allen, Michael J. 2017. Molluscs in Archaeology: Methods, Approaches and Applications. Vol. 3. Oxford:
Oxbow Books.
Alwi, Djainudin, Iswandi Wahab, and Ilham Bisi. 2020. “Komposisi dan Kelimpahan Bivalvia di Ekosistem
Lamun Perairan Juanga Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara.” Jurnal Laot Ilmu Kelautan
2(1):31. doi: 10.35308/jlaot.v2i1.2363.
Ambarwati, Reni, Ulfi Faizah, and Guntur Trimulyono. 2016. “Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia di
Pantai Modung, Kabupaten Bangkalan Madura.” Sains & Matematika 5(1):23–28.
Ambarwati, Reni, and Trijoko. 2011. “Kekayaan Jenis Anadara (Bivalvia: Arcidae) di Perairan Pantai Sidoarjo.”
Berkala Penelitian Hayati 4B:1–7.
Amin, Muhammad, and Anisa Kurniasih. 2016. “Pengaruh Ukuran dan Waktu Kalsinasi Batu Kapur terhadap
Tingkat Perolehan Kadar CaO.” Pp. 74–82 in Seminar Nasional Sains Matematika Informatika dan
Aplikasinya IV. Vol. 4. Lampung: Fakultas MIPA Universitas Lampung.
Aswan, Yahdi Zaim, Yan Rizal, and Unggul Prasetyo. 2015. “Molluscan Evidence for Slow Subsidence in the
Bobotsari Basin during the Plio-Pleistocene, and Implications for Petroleum Maturity.” Journal of
Mathematical and Fundamental Sciences 47(2):185–204. doi: 10.5614/j.math.fund.sci.2015.47.2.6.
Atlanta, Viola, Reni Ambarwati, and Nova Mujiono. 2022. “Keanekaragaman Jenis Bivalvia di Pesisir
Jembatan Suramadu Surabaya (Diversity of Bivalvia in Estuarine of Suramadu Bridge of Surabaya ).”
Jurnal Moluska Indonesia 6(April):1–11.
Atmojo, Bambang Sakti Wiku, Bambang Sulistyanto, Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, Nfn Hartatik,
Attaberani Kusuma, Wawan Suhawan, Normalina, and Indradi Agus Wahyudi. 1999. “Ekskavasi Situs
Benteng Tabanio Tahap III Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.” Laporan Penelitian Arkeologi.
Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Aziz, Fadhila Arifin. 2001. “Limbah Cangkang Moluska dari Situs Gua Babi: Kajian Model Subsistensi.” Amerta
21:19–40.
Badan Informasi Geospasial. 2019. “Indonesia Geospatial Portal.” Retrieved September 12, 2022
(https://tanahair.indonesia.go.id/portal-web).
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
70
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2022. “Hasil Pencarian - KBBI Daring.” Retrieved September
12, 2022 (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kerang).
Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. The
Living Marine Resources of the Western Central Pacific Vol. 1. 6 vols. Rome: FAO.
Dance, S. Peter. 2022. Shells. New York: DK Publishing.
Dharma, Bunjamin. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells) I. Jakarta: PT. Sarana Graha.
Dharma, Bunjamin. 1992. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells) II. Wiesbaden: Verlag Christa
Hemmen.
Fajeriadi, Hery, Muhammad Zaini, and Dharmono Dharmono. 2019. “Keanekaragaman Siput Ordo
Mesogastropoda dan Neogastropoda pada Zona Eulitoral di Kawasan Pesisir Pulau Sembilan,
Kabupaten Kotabaru.” Buletin Oseanografi Marina 8(1):17. doi: 10.14710/buloma.v8i1.22544.
GEBCO. 2022. “GEBCO Gridded Bathymetry Data.” Retrieved September 12, 2022
(https://www.gebco.net/data_and_products/gridded_bathymetry_data/).
Ginting, Eryana Dhalia Drajad, Ipanna Enggar Susetya, Pindi Patana, and Desrita Desrita. 2017. “Identifikasi
Jenis-Jenis Bivalvia Di Perairan Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara.” Acta Aquatica: Aquatic
Sciences Journal 4(1):13–20. doi: 10.29103/aa.v4i1.318.
Gosling, Elizabeth. 2003. Bivalve Molluscs Biology, Ecology and Culture. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Gosling, Elizabeth. 2015. Marine Bivalve Molluscs. 2nd Edition. Oxford: John Wiley & Sons, Ltd.
Harasewych, M. G., and Fabio Moretzsohn. 2010. The Book of Shells: A Life-Size Guide to Identifying and
Classifying Six Hundred Seashells. Chicago: The University of Chicago Press.
Humphreys, John, Matthew R. C. Harris, Roger J. H. Herbert, Paul Farrell, Antony Jensen, and Simon M.
Cragg. 2015. “Introduction, Dispersal and Naturalization of the Manila Clam Ruditapes Philippinarum in
British Estuaries, 1980-2010.” Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom
95(6):1163–72. doi: 10.1017/S0025315415000132.
Kadarsah, Anang, Cynthia Agustina Ekaputri, and Abdul Gafur. 2020. “Study of Molluscs Diversity as
Ecosystem Engineer from Beach of Sungai Bakau Village, Tanah Laut, South Kalimantan.” Indonesian
Journal of Biotechnology and Biodiversity 4(2):77–88. doi: 10.47007/ijobb.v4i2.65.
Kanazawa, Taku, and Shin’ichi Sato. 2008. “Environmental and Physiological Controls on Shell Microgrowth
Pattern of Ruditapes Philippinarum (Bivalvia: Veneridae) from Japan.” Journal of Molluscan Studies
74(1):89–95. doi: 10.1093/MOLLUS/EYM049.
Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti, and Ni Luh Gde Dyah Mega Hafsari. 2021. “Faunal Remains from Diang
Mahang in Kalimantan: Taxonomic Identification and Their Archaeological Context.” Purbawidya
10(2):137–54. doi: https://doi.org/10.24164/pw. v10i2.399.
Kusnadi, Agus, Teddy Triandiza, and Udhi Eko Hernawan. 2008. “Inventarisasi Jenis Dan Potensi Moluska
Padang Lamun Di Kepulauan Kei Kecil , Maluku Tenggara.” Biodiversitas 9(1):30–34.
Li, Yafang, Lei Xu, Xuehui Wang, Delian Huang, Lianggen Wang, Jiajia Ning, Shuangshuang Liu, and Feiyan
Du. 2021. “The Complete Mitochondrial Genome of the Tropical Oyster Saccostrea Echinata (Bivalvia:
Ostreidae) from the South China Sea.” Mitochondrial DNA Part B 6(2):384–86. doi:
10.1080/23802359.2020.1869610.
Marwoto, Ristiyanti M., Heryanto, Nur R. Isnaningsih, Nova Mujiono, Alfiah, and R. Prihandini. 2020. Moluska
Jawa (Gastropoda Dan Bivalvia). 1st Edition. Bogor: PT. Penerbit IPB Press.
Menzel, Winston. 1991. Estuarine and Marine Bivalve Mollusk Culture. Florida: CRC Press, Inc.
MolluscaBase eds. 2022a. “Molluscabase.” Retrieved September 15, 2022 (https://www.molluscabase.org/).
MolluscaBase eds. 2022b. “WoRMS - World Register of Marine Species - Anadara Gubernaculum (Reeve,
1844).” Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=
504352).
MolluscaBase eds. 2022c. “WoRMS - World Register of Marine Species - Barbatia Foliata (Forsskål, 1775).”
Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=207774).
MolluscaBase eds. 2022d. “WoRMS - World Register of Marine Species - Callista Erycina (Linnaeus, 1758).”
Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=216543).
MolluscaBase eds. 2022e. “WoRMS - World Register of Marine Species - Chama Linnaeus, 1758.” Retrieved
Naditira Widya Vol.16 No.1 April 2022 -Balai Arkeologi Provinsi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125
71
September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=137775).
MolluscaBase eds. 2022f. “WoRMS - World Register of Marine Species - Dosinia Dilecta A. Adams, 1856.”
Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=507595).
MolluscaBase eds. 2022g. “WoRMS - World Register of Marine Species - Gafrarium Divaricatum (Gmelin,
1791).” Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=362562).
MolluscaBase eds. 2022h. “WoRMS - World Register of Marine Species - Glycymeris Reevei (Mayer, 1868).”
Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=504511).
MolluscaBase eds. 2022i. “WoRMS - World Register of Marine Species - Mimachlamys Sanguinea (Linnaeus,
1758).” Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=393737).
MolluscaBase eds. 2022j. “WoRMS - World Register of Marine Species - Placamen Chloroticum (Philippi,
1849).” Retrieved September 12, 2022
(https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=507870).
MolluscaBase eds. 2022k. “WoRMS - World Register of Marine Species - Saccostrea Cuccullata (Born,
1778).” Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=181316).
MolluscaBase eds. 2022l. “WoRMS - World Register of Marine Species - Saccostrea Echinata (Quoy &
Gaimard, 1835).” Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=
taxdetails&id=506736).
MolluscaBase eds. 2022m. “WoRMS - World Register of Marine Species - Spondylus Linnaeus, 1758.”
Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=138518).
MolluscaBase eds. 2022n. “WoRMS - World Register of Marine Species - Tegillarca Nodifera (E. von Martens,
1860).” Retrieved September 12, 2022 (https://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=
504472).
MolluscaBase eds. 2022. “WoRMS - World Register of Marine Species - Ruditapes Philippinarum (A. Adams &
Reeve, 1850).” Retrieved September 12, 2022 (https://marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=
231750).
Moody, Richard. 1994. Field Guide Fossils. London: Chancellor Press.
Nugroho, Bimo Aji, Mochamad Arief Soendjoto, and Muhammad Zaini. 2019. “Gastropod Density and Diversity
in the Mangrove Forest of Pagatan Besar Village, Tanah Laut Regency, Indonesia.” Ilmu Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Sciences 24(4):179–85. doi: 10.14710/ik.ijms.24.4.179-185.
Ponder, Winston F., David R. Lindberg, and Juliet M. Ponder. 2020. Biology and Evolution of the Mollusca
Volume I. Florida: Taylor & Francis Group, LLC.
Prasetyo, Unggul, Aswan Aswan, Yahdi Zaim, and Yan Rizal. 2012. “Perubahan Lingkungan Pengendapan
Pada Beberapa Daerah Di Pulau Jawa Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi
Moluska.” Jurnal Teknologi Mineral XIX(4):173–80.
Rahmayani, Dian Nisa Anna, and Donan Satria Yudha. 2017. “Keanekaragaman Fosil Kerang (Bivalva dan
Gastropoda) di Situs Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.” Jurnal Sangiran (60):40–51.
Rohmayani, V., E. Tunjung Sari M., Nurhidayatullah Romadhon, and H. Ichda Wahyuni. 2021. “Diversity of
Bivalvia, Gastropoda and Holothuroidea in Intertidal Zone of North Javan Sea Coastal, Indonesia.” Jurnal
Biologi UNAND 9(1):1. doi: 10.25077/jbioua.9.1.1-7.2021.
Salvador, Andreia. 2022. Fascinating Shells: An Introduction to 121 of the Wold’s Most Wonderful Mollusks.
Chicago: The University of Chicago Press.
Santhanam, Ramasamy. 2018. Biology and Ecology of Edible Marine Bivalve Molluscs. Waretown: Apple
Academic Press, Inc.
Setiawan, Rendy, Sudarmadji, Budi Putra Mulyadi, and Revika Hilda Hamdani. 2019. “Preferensi Habitat
Spesies Kerang Laut (Moluska: Bivalvia) Di Ekosistem Intertidal Tanjung Bilik Taman Nasional Baluran.”
Natural Science: Journal of Science and Technology 8(3). doi: 10.22487/25411969.2019.v8.i3.14601.
Sonak, Sangeeta M. 2017. Marine Shells of Goa. Goa: Springer International Publishing.
Suharsono. 2014. Biodiversitas Biota Laut Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI.
Sulistiyaningsih, Eka, and Ucu Yanu Arbi. 2020. “Aspek Bio-Ekologi Dan Pemanfaatan Kerang Marga Anadara
(Mollusca: Bivalvia: Arcidae).” Oseana 45(2):69–85. doi: 10.14203/oseana.2020.vol.45no.2.95.
Vinther, Jakob. 2015. “The Origins of Molluscs.” Palaeontology 58(1):19–34. doi: 10.1111/pala.12140.
Wibisono, Sonny Ch., Novida Abbas, Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, Agung Sukardjo, Attaberani
Identifikasi Ekofak Kerang (Moluska: Bivalvia) Situs Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut- Restu Budi Sulistiyo, Laila Abdul Jalil,
Badruzsaufari, dan Dharmono (55-72)
Doi: 10.24832/nw.v16i1.504
72
Kusuma, Normalina, Harry Widianto, Abdul Hamid, Wawan Suhawan, and A. W. Indradi. 1996.
“Ekskavasi Situs Benteng Tabanio Tahap I, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.”
Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Wibisono, Sonny Ch., Novida Abbas, Siswanti, Wawan Suhawan, and Normalina. 1998. “Ekskavasi Situs
Benteng Tabanio Tahap II Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.” Laporan Penelitian Arkeologi.
Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Wijaya, Vira Maulida, and Reni Ambarwati. 2021. “Kemelimpahan dan Food Safety Bivalvia Edible di Pantai
Kecamatan Sreseh, Madura.” LenteraBio : Berkala Ilmiah Biologi 10(1):58–66. doi:
10.26740/lenterabio.v10n1.p58-66.
Yudha, Donan Satria, and Rusyad Adi Suriyanto. 2016. “Marine-Mollusc Fossils (Mollusca: Bivalvia and
Gastropoda) and Their Paleoenvironmental Interpretation from the Situs Manusia Purba Sangiran Area.”
AIP Conference Proceedings 1744(June). doi: 10.1063/1.4953486.