Content uploaded by Slamet Budijanto
Author content
All content in this area was uploaded by Slamet Budijanto on Nov 04, 2017
Content may be subject to copyright.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang,
Hambatan, dan Tantangan
Rice Bran Development as Functional Foods: The Opportunities,
Obstacles, and Challenges
Mirna Zena Tuaritaa, Nur Fathonah Sadeka, Sukarnoab, Nancy Dewi Yulianaab,
dan Slamet Budijantoab
a Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, 16680
b Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center,
Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, 16680
Email: slamet.budijanto@gmail.com
Diterima : 12 April 2016 Revisi : 30 Juli 2017 Disetujui : 16 Agustus 2017
I. PENDAHULUAN
eras (Oryza sativa) merupakan salah satu
tanaman sereal utama, yang menjadi
pokok makanan sebagian besar penduduk
dunia, terutama negara-negara Asia. Jumlah
padi yang dipanen di seluruh dunia kurang
lebih sekitar 600 juta ton setiap tahun (Esa,
B
A R T I K E L
ABSTRAK
Bekatul, sebagai hasil samping pengolahan padi, memiliki kandungan gizi yang baik dan
kaya akan komponen bioaktif. Bekatul telah banyak dilaporkan memiliki manfaat bagi
kesehatan, misalnya aktivitas antioksidan, aktivitas kemopreventif kanker, dan aktivitas
hipokolesterolemik. Hanya saja, bekatul saat ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan pangan masih sangat terbatas. Kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai potensi kesehatan bekatul, tidak terstandarnya kualitas
bekatul, serta karakteristik bekatul yang mudah mengalami kerusakan menjadikan industri
kurang tertarik untuk mengembangkan bekatul, terutama sebagai pangan fungsional.
Tantangan yang perlu dipecahkan guna meningkatkan nilai tambah bekatul antara lain edukasi
masyarakat mengenai manfaat kesehatan bekatul, cara stabilisasi dan penyimpanan bekatul,
hingga strategi pemasaran bekatul.
Kata kunci: bekatul, pangan fungsional, pengembangan bekatul, potensi kesehatan
ABSTRACT
Rice bran, a byproduct of rice milling process, provided good nutritional values and high
bioactive compounds. Many reports had shown the health benefits of rice bran, such as
antioxidant activity, cancer chemopreventive activity, and hypocholesterolemic activity. Rice
bran was now popular for animal feed, while its use for food ingredient was still limited. The lack
of public information about its health potentials, the unstandardized quality, and the ease of
undergoing deterioration were being as the deriving factors that industry had not interested to
develop rice bran yet, especially for functional foods. To increase the added value of rice bran,
some challenges that need to be solved included public education about its health benefits,
stabilization and storage, as well as marketing strategies.
keywords: rice bran, functional food, rice bran development, health potency
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
dkk., 2013). Proses penggilingan padi
menghasilkan 70 persen beras (endosperm)
sebagai produk utama, serta beberapa
produk sampingan seperti sekam (20 persen)
dan bekatul (8–10 persen) (Chen, dkk., 2012).
Hingga saat ini, sebagian besar produk
samping penggilingan padi tersebut
digunakan sebagai pakan ternak.
Bekatul sebagai salah satu produk
samping, mendapatkan perhatian sebagai
pangan fungsional yang semakin meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait
fungsionalitas bekatul bagi kesehatan.
Bekatul dilaporkan mengandung sejumlah
senyawa fenolik, serta kaya akan serat
pangan, vitamin, dan mineral (Henderson,
dkk., 2012). Beberapa penelitian mengenai
fungsionalitas bekatul bagi kesehatan antara
lain: antikanker, antihipokolesterolemik, dan
antiaterogenik (Henderson, dkk., 2012 dan
Kharisma, 2015).
Hingga saat ini, upaya pengembangan
bekatul sebagai pangan fungsional masih
terhalang beberapa kendala, antara lain
kurangnya kesadaran masyarakat tentang
manfaat kesehatan bekatul, kualitas bekatul
yang belum terstandar, serta belum banyak
industri hilir yang tertarik untuk
mengembangkan bekatul. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi pengembangan
bekatul mengingat potensinya terhadap
kesehatan yang sangat menjanjikan. Selain
itu, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan selama pengolahan dan
penanganan untuk menjaga kualitas bekatul.
Misalnya saja, kendala yang disebabkan
aktivitas enzim lipase yang menyebabkan
terbentuknya aroma tengik (Budijanto, dkk.,
2010). Hal ini apabila tidak mampu ditangani
dengan baik akan menurunkan penerimaan
konsumen terhadap bekatul.
Artikel ini akan mereview potensi bekatul
sebagai pangan fungsional. Kajian ilmiah
mengenai kandungan fitokimia dan efek
positifnya bagi kesehatan akan diulas pada
artikel ini. Selain itu, hambatan dan tantangan
dalam pengembangan bekatul juga akan
dibahas untuk memberikan gambaran
mengenai pengembangan bekatul,
khususnya di Indonesia.
II. BEKATUL
Beras (Oryza sativa) merupakan salah
satu makanan pokok utama bagi hampir
setengah populasi penduduk di dunia,
termasuk Indonesia. Beras yang umum
dikonsumsi dapat dikelompokkan menjadi
dua jenis utama, yakni Japonica dan Indica.
Jenis beras Japonica umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat Jepang, China, Korea,
Rusia, dan Amerika, sedangkan jenis Indica
umum dikonsumsi oleh masyarakat di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia (Calpe,
2006). Beras Japonica memiliki butiran
berbentuk pendek bulat, dengan rasa nasi
pulen dan lengket. Sebaliknya, beras Indica
memiliki butiran berbentuk lonjong panjang
dengan rasa nasi yang lebih pera. Jenis beras
yang paling banyak ditanam di Indonesia
adalah beras Indica non-pigmen, yakni
varietas Rojolele, Ciherang, dan IR64. Hal ini
dikarenakan adanya dorongan faktor
kesukaan konsumen dan kondisi iklim tropis
yang mendukung (Lestari, dkk., 2014).
Tingginya angka konsumsi beras di
Indonesia, menempatkannya sebagai negara
ketiga terbesar dalam konsumsi beras setelah
China dan India (FAO, 2016). Produksi padi di
Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar
75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), atau
mengalami kenaikan sebanyak 4,51 juta ton
(6,37 persen) dibandingkan tahun 2014.
Kenaikan produksi padi disebabkan oleh
kenaikan luas panen sebesar 0,32 juta hektar
dan peningkatan produktivitas sebesar 2,04
kuintal/hektar (3,97 persen) (BPS, 2016).
Permintaan akan beras diperkirakan terus
meningkat pada beberapa dekade
mendatang yang disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi dan populasi
penduduk, termasuk di negara-negara Asia
dan Afrika. Oleh karena itu, industri beras
diperkirakan akan terus bertahan dalam
waktu yang lama dan produksi produk
samping penggilingan padi juga akan
semakin meningkat (Esa, dkk., 2013).
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Persentase produk samping dari proses
bulir padi menjadi beras tergantung pada
beberapa faktor, antara lain laju penggilingan
dan jenis beras. Proses penggilingan padi
dikatakan ideal apabila menghasilkan 20
persen sekam dan 8–12 persen bekatul
tergantung pada derajat penggilingan, serta
68–72 persen beras sosoh tergantung pada
varietas (Farrel dan Hutton, 1990).
Dalam proses penggilingan padi, bagian
sekam akan terpisah dan diperoleh beras
pecah kulit (brown rice). Tahapan selanjutnya
adalah proses penyosohan beras yang
bertujuan untuk menghilangkan dedak dan
bekatul dari bagian endosperma beras,
sehingga diperoleh beras yang berwarna
putih. Semakin tinggi derajat penyosohan
beras, maka beras yang diperoleh akan
semakin putih, namun semakin miskin zat
gizi. Bekatul merupakan bagian terluar bulir
beras yang terbuang selama proses
penyosohan beras (Thahir, 2010).
Secara morfologi, bekatul terdiri atas
lapisan perikarp, testa dan lapisan aleuron
(Gambar 1). Lapisan-lapisan ini mengandung
sejumlah nutrien seperti protein, lemak dan
serat pangan serta sejumlah vitamin dan
mineral (Tabel 1). Kandungan asam amino
esensial, antara lain dalam bekatul antara
lain: triptofan, histidin, sistein, dan arginin.
Jenis serat pangan terdiri atas selulosa,
hemiselulosa, pektin, arabinosilan, lignin, dan
-glukan. Selain itu, bekatul juga
mengandung beberapa komponen bioaktif,
seperti
-oryzanol, asam ferulat, asam kafeat,
tricine, asam kumarat, asam fitat, isoform
vitamin E (-tokoferol, -tokoferol,
tokotrienol), fitosterol (-sitosterol,
stigmasterol, kampesterol), dan karotenoid
Gambar 1. Struktur Beras (Esa, dkk.,
2013)
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Bekatul (edible grade)
Nutrien
Kandungan (per
100 g)
Nutrien
Kandungan (per 100
g)
Analisis Proksimat
Vitamin
Protein
16,5 g
Biotin
5,5 mg
Lemak
21,3 g
Kolin
226 mg
Mineral
8,3 g
Asam folat
83 μg
Total karbohidrat
kompleks
49,4 g
Inositol
982 mg
Serat kasar
11,4 g
Serat pangan
25,3 g
Mineral
Serat larut air
2,1 g
Besi (Fe)
11,0 mg
Pati
24,1 g
Seng (Zn)
6,4 mg
Gula sederhana
5,0 g
Mangan (Mg)
28,6 mg
Tembaga (Cu)
0,6 mg
Vitamin
Iodin
67 μg
Tiamin (B1)
3,0 mg
Kalsium (Ca)
80 mg
Riboflavin (B2)
0,4 mg
Fosfor (P)
2,1 g
Niasin (B3)
43 mg
Kalium (K)
1.9 g
Asam pantotenat (B5)
7 mg
Natrium (Na)
20,3 g
Piridoksin (B6)
0,49 mg
Magnesium (Mg)
0,9 g
Sumber : Rao, 2000
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
(-karoten, -karoten, lutein, likopen)
(Henderson, dkk., 2012). Berbeda dengan
serealia, seperti jagung, gandum, dan oat,
fraksi lipid bekatul beras mengandung rasio
isoform vitamin E, -oryzanol, dan -sitosterol
yang unik. Damayanti, dkk. (2007)
menyebutkan bahwa komposisi kimia bekatul
bervariasi tergantung pada varietas padi,
lingkungan tanam padi, derajat penggilingan
gabah dan kontaminasi sekam pada proses
penggilingan.
Selain beras yang berwarna putih,
Indonesia juga memiliki beberapa jenis beras
berdasarkan kandungan pigmen warna pada
bagian perikarp dan aleuron, antara lain beras
merah dan hitam. Komponen pigmen tersebut
banyak terkonsentrasi pada bagian
bekatulnya. Bekatul beras merah dan hitam
dilaporkan memiliki kandungan antosianin
yang tidak ditemukan pada beras putih. Jenis
antosianin yang terdapat pada beras merah
dan hitam adalah cyanidin-3-O-glucoside dan
peonidin-3-O-glucoside (Min, dkk., 2012),
yang mana kedua senyawa ini ditemukan
lebih tinggi pada beras hitam dibandingkan
pada beras merah. Selain pigmen antosianin,
bekatul beras berpigmen juga dilaporkan
memiliki kandungan senyawa fenolik yang
lebih tinggi dibandingkan pada beras non-
pigmen (beras putih) seperti yang dipapar
pada Tabel 2. Pada beras merah, senyawa
fenolik yang paling banyak ditemukan antara
lain asam ferulat dan asam protokatekat,
sedangkan pada beras hitam antara lain
asam protokatekat, asam vanilat, asam
kafeat, asam siringat, dan asam p-kumarat
(Min, dkk., 2012).
III. POTENSI KESEHATAN BEKATUL
Peran bekatul sebagai sumber pangan
fungsional dapat dilihat dari komponen
bioaktif dan serat pangannya. Namun
pengembangannya masih belum terlihat di
masyarakat.
3.1. Aktivitas Antioksidan
Dewasa ini, banyak penyakit yang timbul
akibat stress oksidatif, seperti kanker,
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
dan stroke. Penyakit tersebut terjadi akibat
terjadinya ketidakseimbangan antara
pembentukan dan netralisasi radikal bebas.
Bekatul kaya akan antioksidan, sehingga
berpotensi sebagai penangkal radikal bebas
(Arab, dkk., 2011). Senyawa antioksidan yang
Tabel 2. Komparasi Kuantitatif Komponen Bioaktif dari Tiga Jenis Bekatul
Komponen
Bioaktif
Bekatul Beras
Putih
Bekatul Beras
Merah
Bekatul Beras
Hitam
Referensi
Asam
Fenolik
Kultivar beras
Thailand berkisar
0,89–0,99 mg
GAE/ mg ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
1,01–1,05 mg
GAE/ mg ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
1,08–1,22 mg
GAE/ mg ekstrak
Muntana dan
Prasong,
2010
Flavonoid
Tidak diteliti
Kultivar Thailand
(beras Mali)
berkisar
0,66±0,01 mg
asam galat
ekuivalen/g
ekstrak
Kultivar beras
Thailand (beras
Chiang Mai) berkisar
1,93±0,03 mg
kuercetin
ekuivalen/g ekstrak
Pengkumsri,
dkk. 2015
Antosianin
Tidak diteliti
Kultivar beras
Thailand berkisar
0,3–1,4 mg
/100 g ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
109,5–256,6 mg
/100 g ekstrak
Sompong,
dkk., 2011
Sumber : Saenkod, dkk., 2013.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
terdapat pada bekatul dapat dikelompokkan
ke dalam 8 kelompok, antara lain asam
fenolik, flavonoid, antosianin, proantosianin,
tokoferol, tokotrienol,
-oryzanol dan asam
fitat (Goufo dan Trindade, 2014).
Antioksidan utama pada bekatul adalah
-oryzanol. Gamma-oryzanol tersusun atas
campuran ester asam ferulat dan fitosterol.
Sedikitnya ada sepuluh steril ferulat yang
teridentifikasi pada
-oryzanol, yakni
cycloartenyl ferulate, 24-
methylenecycloartanyl ferulate, campestenyl
ferulate, campesteryl ferulate, stigmastenyl
ferulate, sitosteryl ferulate, ∆7-stigmatenyl
ferulate, stigmateryl ferulate, campestanyl
ferulate, dan sitostanyl ferulate. Diantara
senyawa tersebut, cycloartenyl ferulate, 24-
methylenecycloartanyl ferulate, campestenyl
ferulate, dan sitosteryl ferulate merupakan
komponen yang paling dominan (Minatel,
dkk., 2016).
Aktivitas antioksidan pada bekatul selain
dipengaruhi oleh varietas padi, juga
dipengaruhi adanya komponen pigmen warna
pada beras. Beras berpigmen dilaporkan
mengandung sumber antioksidan yang
sangat potensial. Penelitian Goufo dan
Trindade (2014) menunjukkan bahwa beras
hitam memiliki aktivitas antioksidan yang
paling tinggi, diikuti oleh beras merah dan
beras coklat (beras putih yang tidak disosoh).
Beras berpigmen juga dilaporkan memiliki
kandungan senyawa fenolik dan flavonoid
yang lebih tinggi dibandingkan beras non-
pigmen, di samping adanya kandungan
antosianin. Jenis antosianin cyanidin-3-O-
glucoside merupakan yang dominan,
sedangkan peonidin-3-O-glucoside
merupakan yang kedua terbanyak pada beras
berpigmen (Min, dkk., 2012).
Berdasarkan pengujian dengan metode
DPPH (2,2 Diphenyl-1-picrylhidrazyl), bekatul
beras hitam dan merah diketahui memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi bila
dibandingkan pada bekatul beras putih
(Budijanto, dkk., 2015; Muntana dan Prasong,
2010). Aktivitas antioksidan juga erat
kaitannya dengan kandungan total fenolik
(Total Phenolic Content, TPC) dan
kandungan total flavonoid (Total Flavonoid
Content, TFC). Bekatul beras hitam dan
merah juga memiliki kandungan total fenolik
dan flavonoid yang lebih tinggi dari bekatul
beras non-pigmen (Saenkod, dkk., 2013 dan
Sompong, dkk., 2011).
3.2 Aktivitas Kemopreventif Kanker
Selain sebagai antioksidan, bekatul
dilaporkan memiliki aktivitas kemopreventif
terhadap kanker kolon, payudara, hati, dan
kulit, yang ditunjukkan dari hasil penelitian in
vitro maupun in vivo. Dapar, dkk. (2013)
menunjukkan bahwa ekstrak etanol bekatul
beras putih varietas IR64 memiliki aktivitas
sitotoksik terhadap sel kanker paru-paru A549
dan kanker kolon HCT 116. Di lain pihak
Tantamango, dkk. (2011) melaporkan bahwa
konsumsi beras pecah kulit (brown rice) pada
subjek manusia mampu menurunkan jumlah
adenoma dan pendarahan usus. Konsumsi
beras pecah kulit sedikitnya sekali dalam
seminggu dapat mengurangi risiko
pembentukan polip kolorektal sebesar 40
persen. Korelasi yang kuat antara konsumsi
beras pecah kulit dengan pencegahan kanker
kolon tersebut berhubungan dengan tingginya
kandungan serat pangan dan komponen
bioaktif pada bekatul.
Pemberian bekatul pada mencit mampu
menurunkan volume tumor payudara MF-1
yang diberikan transplantasi sel kanker
payudara MDA-MB-468. Hasil penelitian in
vivo tersebut didukung oleh hasil penelitian in
vitro yang menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak tricine dari bekatul mampu
menghambat pertumbuhan sel kanker
payudara MDA-MB-468 melalui penghentian
siklus sel pada fase G2/M (Cai, dkk., 2004).
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan tricine
pada bekatul diduga berperan dalam
penghambatan perkembangan kanker
payudara.
Pada penghambatan perkembangan
kanker hati, kandungan peptida dan
tokotrienol pada bekatul diduga memegang
peranan. Pemberian peptida dan
pentapeptida yang diekstrak dari bekatul
secara in vitro mampu menunjukkan
penghambatan proliferasi sel kanker hati
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
HepG2 (Kannan, dkk., 2010). Suplementasi
fraksi kaya tokotrienol pada tikus Sprague
Dawley mampu menurunkan resiko kanker
hati melalui penurunan pembentukan nodul
pada hati. Hal ini diikuti dengan penurunan
level alkalin fosfatase plasma, aktivitas
glutation transferase hati, kadar LDL (Low
Density Lipoprotein), dan peroksidasi lipid
(Iqbal, dkk., 2003).
Penghambatan kanker kulit secara in
vitro dilaporkan oleh Ghoneum dan Agrawal
(2011), yang menunjukkan bahwa pemberian
hemiselulosa bekatul (MGN-3/Biobran)
mampu menghambat proliferasi sel kanker
kulit U266. Hal tersebut terjadi melalui
penghambatan proliferasi sel melalui
pemblokiran sel untuk masuk fase G0-G1.
Suplementasi cycloartenol ferulate yang
diekstrak dari bekatul juga mampu
menghambat perkembangan kanker kulit
stadium II pada mencit ICR, in vivo. Aktivitas
kemopreventif tersebut terjadi melalui
penghambatan inflamasi (Yasukawa, dkk.,
1998).
Adanya perbedaan pigmen warna pada
beras ternyata berpengaruh terhadap
aktivitas kemopreventif kankernya, misalnya
saja pada pencegahan kanker kolon.
Budijanto, dkk. (2015) melaporkan bahwa
ekstrak metanol bekatul beras hitam (varietas
Cempo Ireng) dan merah (varietas Cere)
menunjukkan aktivitas sitotoksik yang lebih
tinggi terhadap sel kanker kolon WiDr
dibandingkan pada bekatul beras putih
varietas Ciherang dan Jepang (Japonica).
Hasil tersebut berkorelasi positif dengan
aktivitas antioksidan bekatul beras hitam dan
merah yang lebih tinggi dibandingkan pada
bekatul beras putih. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Forster, dkk. (2013) yang
menunjukkan bahwa ekstrak metanol bekatul
beras hitam (varietas IAC 600) dan merah
(varietas Red Wells dan IL 121-1-1) memiliki
aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker
kolon SW-480 yang lebih tinggi dibandingkan
pada bekatul beras putih (varietas Jasmine 85
dan Wells). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penghambatan
pertumbuhan sel SW-480 tidak berkorelasi
dengan kandungan
-oryzanol, tetapi
berkorelasi dengan kandungan total fenolik
bekatul beras hitam dan merah yang lebih
tinggi dibandingkan pada bekatul beras putih.
3.3 Aktivitas Hipokolesterolemik
Lecumberri, dkk. (2007) melaporkan
bahwa pemberian serat pangan mampu
menurunkan total kolesterol dan Low Density
Lipoprotein (LDL) plasma tikus
hiperkolesterolemik. Adapun dugaan
mekanisme serat pangan dalam menurunkan
total kolesterol dan LDL adalah melalui
pengikatan asam empedu di usus halus
kemudian mengekskresikannya bersama
feses. Akibatnya, terjadi pemecahan
kolesterol endogen untuk menggantikan
asam empedu yang hilang (kolesterol
merupakan bahan penyusun asam empedu),
sehingga kadar kolesterol akan berkurang.
Asam propionat yang merupakan salah satu
produk fermentasi serat pangan di dalam
kolon juga dilaporkan mampu mencegah
kolesterogenesis di hati, sehingga mampu
menurunkan konsentrasi kolesterol plasma
(Wolever, 1991).
Selain serat pangan, komponen
-oryzanol pada bekatul juga dilaporkan
memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Gamma
oryzanol selain berperan sebagai antioksidan
tetapi juga meningkatkan metabolisme
komponen pangan, misalnya kolesterol
(Minatel, dkk., 2016). Senyawa ini memiliki
efek menurunkan obesitas dan kondisi
dislipidemia pada tikus dengan ransum tinggi
lemak dan tingi fruktosa, melalui normalisasi
trigliserida, LDL, dan total kolesterol dalam
serum, serta meningkatkan High Density
Lipoprotein (HDL). Kemampuan
-oryzanol
dalam menurunkan trigliserida dan level
kolesterol juga terkait dengan
kemampuannya dalam menekan lipogenesis
di hati dan meningkatkan ekskresi lemak fekal
(Wang, dkk., 2015).
Suplementasi bekatul dalam diet terbukti
mampu menurunkan bobot badan,
konsentrasi total kolesterol serum dan hati,
trigliserida dan LDL, serta menaikkan
konsentrasi HDL (High Density Lipoprotein),
tanpa mengubah konsentrasi glukosa darah
mencit (Hernawati, dkk., 2013). Park, dkk.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
(2014) melaporkan efek hipokolesterolemik
bekatul yang terjadi melalui penurunan
sintesis kolesterol hati, yang ditandai dengan
penurunan aktivitas ACAT-2 (acetyl-CoA
acetyltransferase 2), HMG-CoA (3-hydroxy-3-
methyl-glutaryl-coenzyme A) reduktase, dan
SREBP-2 (sterol-regulatory element-binding
protein 2), serta dengan meningkatkan
degradasi kolesterol hati melalui CYP7a1
(human cholesterol 7
-hydroxylase) dan
CYP8b1 (human cholesterol 12
-
hydroxylase) pada mencit yang diberi diet
hiperkolesteromia.
Aktivitas hipokolesterolemik bekatul juga
dapat dipengaruhi oleh perbedaan pigmen
warnanya. Kharisma (2015) melaporkan
perbedaan aktivitas hipokolesterolemik pada
tikus yang diberikan bekatul dengan pigmen
warna yang berbeda. Adapun bekatul yang
digunakan adalah bekatul beras putih
Ciherang, beras merah Cere, dan beras hitam
Cempoireng, yang mana masing-masing
diformulasikan ke dalam beras analog.
Pemberian beras analog dengan dengan
penambahan bekatul beras putih (BAP) dan
bekatul beras hitam (BAH) menyebabkan
efek penurunan total kolesterol, LDL, indeks
aterogenik, dan kadar lemak total hati yang
lebih tinggi bila dibandingkan pada kelompok
yang mendapatkan beras analog dengan
bekatul beras merah (BAM). Perbedaan jenis
bekatul tidak berpengaruh pada kadar HDL.
Kenaikan trigliserida terlihat paling tinggi pada
kelompok yang mendapatkan BAH
dibandingkan BAP dan BAM. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa bekatul beras putih
memberikan aktivitas hipokolesterolemik
yang paling efektif dibandingkan bekatul
beras hitam dan merah.
IV. PEMANFAATAN BEKATUL DAN
HAMBATANNYA
Pemanfaatan bekatul sebagai produk
pangan di Indonesia masih sangat terbatas,
misalnya sebagai makanan tradisional bubur
atau jenang bekatul dan bangket bekatul.
Saat ini bekatul lebih banyak digunakan
sebagai pakan ternak. Bekatul terkadang juga
menjadi limbah yang mencemari lingkungan,
terutama di sentra produksi padi saat panen
musim penghujan (Widowati, 2001). Keadaan
ini sangatlah berbeda dengan beberapa
negara lain di dunia, seperti Amerika Serikat
dan Jepang, yang sudah banyak
mengembangkan bekatul sebagai produk
pangan, misalnya sebagai sereal sarapan
dan minyak bekatul (rice bran oil).
Peluang pengembangan bekatul sebagai
pangan fungsional masih sangat terbuka. Hal
ini dikarenakan angka produksi gabah kering
giling di Indonesia mencapai 75,36 juta ton
pada tahun 2015 (BPS, 2016), sehingga
jumlah bekatul yang dapat dimanfaatkan
kurang lebih 6–7,54 juta ton (bekatul yang
dihasilkan dari penggilingan beras sekitar
8–12 persen). Adapun jumlah dan kualitas
bekatul yang diperoleh dapat dipengaruhi
oleh sistem penggilingan padi.
Saat ini unit penggilingan padi yang
banyak ditemui di Indonesia adalah
penggilingan skala kecil (2–5 ton beras per
hari) dan skala menengah (kapasitas
produksi hingga 10 ton beras per hari).
Penggilingan padi skala kecil menggunakan
sistem diskontinyu dengan satu unit mesin
pemecah kulit dan satu unit mesin sosoh,
sehingga cenderung bekatul dengan mutu
kurang baik dan rendemen yang sedikit.
Penggilingan dengan skala menengah yang
lebih besar menggunakan sistem diskontinyu
dan kontinyu mampu menghasilkan bekatul
dengan rendemen yang lebih banyak dan
mutu yang lebih baik. Hal ini dikarenakan
penggilingan skala menengah menggunakan
dua unit mesin penyosoh. Bekatul yang
dihasilkan dari mesin sosoh kedua akan
terpisah dengan dedak (bekatul kasar) yang
dihasilkan dari mesin sosoh pertama. Bekatul
kualitas baik yang akan dimanfaatkan
sebagai bahan pangan berasal dari hasil
penyosohan mesin kedua, karena tidak lagi
tercampur dengan dedak dan serpihan sekam
(Widowati, 2001). Tidak terstandarnya
kualitas bekatul yang dihasilkan oleh unit
penggilingan padi merupakan salah satu
hambatan dalam pengembangan bekatul. Hal
ini juga menyebabkan kurang terjaminnya
pasokan bekatul bagi industri.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Hambatan lain dalam pengembangan
bekatul berasal dari karakteristik bekatul itu
sendiri, yakni adanya aktivitas enzim lipase.
Enzim lipase pada bekatul mampu
menghidrolisis kandungan minyak menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Konversi ini
menyebabkan terbentuknya aroma tengik,
sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen
(Budijanto, dkk., 2010). Oleh karena itu,
pengolahan bekatul sebagai bahan pangan
harus dilakukan sesegera mungkin, dalam
waktu yang tidak lebih dari 24 jam. Hal ini
tentu menyulitkan industri hilir dalam
mengembangkan bekatul sebagai produk
pangan, sehingga diperlukan adanya solusi
untuk mendapatkan bekatul yang berkualitas
baik.
V. TANTANGAN PENGEMBANGAN
BEKATUL SEBAGAI PANGAN
FUNGSIONAL
Sifat bekatul yang tidak stabil
memudahkannya untuk membentuk aroma
tengik (off flavor). Hal ini diakibatkan oleh
kerusakan kandungan minyak pada bekatul
akibat aktivitas enzim lipase, yang mampu
menghidrolisis trigliserida dan menghasilkan
asam lemak bebas yang sangat mudah
dioksidasi (Budijanto, dkk., 2010). Bekatul
memiliki kandungan lemak sebesar 20 persen
yang kaya akan asam lemak tidak jenuh (70–
90 persen), khususnya asam oleat dan
linoleat (Rao, 2000).
Teknologi stabilisasi menjadi sebuah
hal yang sangat penting untuk meningkatkan
nilai tambah dan daya saing bekatul. Proses
stabilisasi bertujuan untuk merusak aktivitas
enzim lipase. Beberapa metode stabilisasi
bekatul telah banyak diteliti. Metode yang
paling umum diaplikasikan adalah
pemanasan. Pemanasan menggunakan
ekstruder pada suhu lebih dari 140OC dapat
merusak kualitas bekatul, sehingga tidak
direkomendasikan. Sebaliknya, pemanasan
di bawah 100OC tidak mampu meningkatkan
lama umur simpan (Randall, dkk., 1985).
Stabilisasi bekatul menggunakan single
screw conveyor dengan kecepatan ulir 15 Hz
pada suhu 120oC dapat menurunkan kadar
asam lemak bebas hingga di bawah 10
persen diiringi dengan kerusakan -tokoferol
dan
-oryzanol yang minimal (Kurniawati,
dkk., 2013) Penggunaan metode tersebut
dirasa mudah untuk diaplikasikan untuk
industri bekatul, karena memungkinkan untuk
dilakukan dalam skala besar secara kontinyu
dengan biaya yang lebih terjangkau.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah lama waktu tunggu bekatul yang
diperoleh dari penggilingan padi menuju
proses stabilisasi. Budijanto, dkk. (2010)
melaporkan pola kenaikan asam lemak bebas
pada bekatul dipengaruhi oleh varietas padi.
Pengamatan dalam kurun waktu 24 jam
menunjukkan bahwa bekatul beras Sintanur
memiliki peningkatan asam lemak yang paling
tinggi dibandingkan pada varietas Pandan
Wangi, Ciherang, dan IR 64. Kadar asam
lemak bebas sebesar 5 persen pada bekatul
beras Sintanur tercapai dalam waktu 3 jam.
Pada beras Pandan Wangi dan Ciherang,
kadar asam lemak tersebut dicapat dalam
waktu 5 jam, sedangkan pada beras IR 64
dicapai pada waktu 7 jam. Oleh karena itu,
salah satu tantangan dalam pengembangan
bekatul adalah integrasi sistem stabilisasi
bekatul pada lokasi penggilingan padi.
Semakin singkat jeda waktu antara bekatul
yang telah diperoleh untuk distabilisasi, maka
kemungkinan terbentuknya aroma tengik
semakin rendah.
Penanganan bekatul yang telah
distabilisasi perlu dilakukan secara cermat
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Tingginya kandungan lemak pada bekatul
(21,3 persen) memungkinkan terjadinya
kerusakan akibat oksidasi atau hidrolisis
lemak. Bekatul terstabilisasi dapat dikemas
menggunakan bahan polyethylene (PE), yang
mampu memberikan perlindungan terhadap
pencemaran dan kerusakan fisik, serta
mampu menahan perpindahan gas dan uap
air (Marsh dan Bugusu, 2007). Selain itu,
untuk melindungi bekatul terstabilisasi dari
mikroorganisme perusak, bekatul sebaiknya
disimpan pada tempat yang dingin dan kering,
dengan kadar air berkisar 6–7 persen
(Oliveira, dkk., 2012).
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Untuk menarik minat masyarakat untuk
mengkonsumsi bekatul sebagai pangan
fungsional perlu dilakukan strategi
pemasaran, terutama dengan menonjolkan
manfaat kesehatannya. Sebuah pemetaan
dapat dibuat untuk memberikan informasi
mengenai manfaat bekatul dari jenis beras
tertentu dengan target kesehatan yang lebih
spesifik. Pemaparan sebelumnya
menunjukkan bahwa bekatul dari beras putih
(non-pigmen) memiliki aktivitas
hipokolesterolemik yang paling efektif bila
dibandingkan dengan bekatul dari jenis beras
merah dan hitam. Untuk penyakit yang terkait
dengan stress oksidatif, seperti kanker,
bekatul beras merah dan hitam lebih cocok
untuk dikonsumsi karena memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi. Dengan
demikian, positioning dalam strategi
pengenalan bekatul sebagai pangan
fungsional akan lebih jelas dan membantu
konsumen dalam memilih jenis bekatul untuk
dikonsumsi sesuai kebutuhannya.
VI. KESIMPULAN
Bekatul kaya akan kandungan nutrisi dan
komponen bioaktif sehingga telah banyak
dilaporkan memiliki manfaat bagi kesehatan,
seperti antioksidan, kemopreventif kanker,
dan hipokolesterolemik. Bekatul sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pangan fungsional, namun pemanfaatannya
seringkali terhambat oleh kualitas bekatul
yang tidak terstandar dan kerentanan bekatul
untuk mengalami kerusakan. Guna
mendukung keberlangsungan industri
pengembangan bekatul sebagai pangan
fungsional, perlu dilakukan upaya
pencegahan kerusakan bekatul dengan
meningkatkan kualitas dan keseragaman
mutu bekatul. Selain itu, positioning jenis
bekatul terhadap jenis penyakit tertentu perlu
dilakukan guna mendukung strategi
pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arab F., Alemzadehb I., dan Maghsoudi V. 2011.
Determination of Antioxidant Component
and Activity of Rice Bran Extract. Scientia
Iranica, Transactions C: Chemistry and
Chemical Engineering. Vol. 18(6) : 1402–
1406.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi
Tahun 2015 Naik 6,37 Persen.
https://bps.go.id/brs/view/id/1271 [diakses
pada 10 Desember 2016].
Budijanto S., Sukarno, dan Kusbiantoro B. 2010.
Inaktivasi Enzim Lipase untuk Stabilisasi
Bekatul (Maksimum FFA 5%) 4 Varietas
Padi sebagai Bahan Ingredien Pangan
Fungsional yang Dapat Disimpan 6 Bulan.
Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Budijanto S, Yuliana N.D., dan Tuarita M.Z. 2015.
Anticancer Profile of Indonesia and
Japanese Rice Brans of Several Variety and
Its Potential as Functional Food Ingredients.
Laporan Penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi, Institut Pertanian Bogor.
Cai H., Hudson E.A., Mann P., Verschoyle R.D.,
Greaves P., Manson M.M., Steward W.P.,
dan Gescher AJ. 2004. Growth-Inhibitory
and Cell Cycle-Arresting Properties of the
Rice Bran Constituent Tricin in Human-
Derived Breast Cancer Cells In Vitro and in
Nude Mice In Vivo. British Journal of
Cancer. Vol. 91 : 1364–1371.
Calpe C. 2006. Rice International Commodity
Profile. Food and Agriculture Organization
of the United Nations. Markets and Trade
Division.
Chen M.H., Choi S.H., Kozukue N., Kim H.J., dan
Friedman M. 2012. Growth-Inhibitory
Effects of Pigmented Rice Bran Extracts
and Three Red Bran Fractions Against
Human Cancer Cells: Relationships with
Composition and Antioxidative Activities.
Journal of Agricultural and Food Chemistry.
Vol. 60 : 9151–9161.
Damayanti E., Kustiyah L., Khalid M., dan Farizal
H. 2010. Aktivitas Antioksidan Bekatul Lebih
Tinggi daripada Jus Tomat dan Penurunan
Antioksidan Serum setelah Intervensi
Minuman Kaya Antioksidan. Jurnal Gizi dan
Pangan. Vol. 5(3) : 205–210.
Dapar M.L.G., Garzon J.F., dan Demayo C.G.
2013. Cytotoxic activity and Antioxidant
Potentials of hexane and Methanol extracts
of IR64 Rice bran against Human Lung
(A549) and Colon (HCT116) Carcinomas.
International Research Journal of Biological
Sciences. Vol. 2(5). May : 19–23.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Esa N.M., Ling T.B., dan Peng L.S. 2013. By-
products of Rice Processing: An Overview
of Health Benefits and Applications. Journal
of Rice Research. Vol. 1(1) : 107–117.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the
United Nations. 2016. Rice in the World.
http://www.fao.org/wairdocs/tac/x5801e/x5
801e08.htm [diakses pada 9 Desember
2016].
Forster G.M., Raina K., Kumar A., Kumar S.,
Agarwal R., Chen M.H., Bauer J.E.,
McClung A.M., dan Ryan E.P. 2013. Rice
Varietal Differences in Bioactive Bran
Components for Inhibition of Colorectal
Cancer Cell Growth. Food Chemistry. Vol.
141 : 1545–1552.
Ghoneum M. dan Agrawal S. 2011. Activation of
human monocyte-derived dendritic cells in
vitro by the biological response modifier
arabinoxylan rice bran (MGN-3/Biobran).
International Journal of Immunopathology
and Pharmacology. Vol. 24 : 941–948.
Goufo P. dan Trindade H. 2014. Rice Antioxidants:
Phenolic Acids, Flavonoids, Anthocyanins,
Proanthocyanidins, Tocopherols,
Tocotrienols, -Oryzanol and Phytic Acid.
Food Science and Nutrition. Vol. 2(20) : 75–
104.
Henderson A.J., Ollila C.A., Kumar A., Borreses
E.C., Raina K., Agarwal R., Ryan E.P. 2012.
Chemopreventive Properties of Dietary Rice
Bran: Current Status and Future Prospects.
Advances in Nutrition. Vol. 3 : 643–653.
Hernawati, Manalu W., Suprayogi A., dan Astuti
D.A. 2013. Perbaikan Parameter Lipid
Darah Mencit Hiperkolesterolemia dengan
Suplemen Pangan Bekatul. Majalah
Kedokteran Bandung. Vol. 45(1) : 1–9.
Iqbal J., Minhajuddin M., dan Beg Z.H. 2003.
Suppression of 7,12-dimethylbenz[alpha]
anthracene-Induced Carcinogenesis and
Hypercholesterolaemia in Rats by
Tocotrienol-Rich Fraction Isolated from Rice
Bran Oil. European Journal of Cancer
Prevention. Vol. 12 : 447–453.
Kannan A., Hettiarachchy N.S., Lay J.O., dan
Liyanage R. 2010. Human Cancer Cell
Proliferation Inhibition by a Pentapeptide
Isolated and Characterized from Rice Bran.
Peptides. Vol. 31 : 1629–1634.
Kharisma T. 2015. Studi hipokolesterolemik beras
analog secara in vivo pada tikus sprague
dawley (SD). Tesis di Institut Pertanian
Bogor.
Kurniawati M. 2013. Stabilisasi Bekatul dan
Penerapannya Pada Beras Analog. Tesis di
Institut Pertanian Bogor.
Lecumberri E., Mateos R., Pulido M.I., Rupe ́rez
P., Goya L., dan Bravo L. 2007. Dietary
Fibre Composition, Antioxidant Capacity
and Physico-Chemical Properties of a
Fibre-Rich Product from Cocoa (Theobroma
cacao L.). Food Chemistry. Vol. 104 : 948–
954.
Lestari P., Reflinur, dan Koh H.J. 2014. Prediction
of Physicochemical Properties of
Indonesian Indica Rice Using Molecular
Markers. HAYATI Journal of Biosciences.
Vol. 21(2). Jun : 76–86.
Marsh K. dan Bugusu B. 2007. Food Packaging—
Roles, Materials, and Environmental Issues.
Journal of Food Science. Vol 72(3) : 39–55.
Min B., Gu L., McClung A., Bergman C.J., dan
Chen M.H. 2012. Free and Bound Total
Phenolic Concentrations, Antioxidant
Capacities, and Profiles of
Proanthocyanidins and Anthocyanins in
Whole Grain Rice (Oryza sativa L.) of
Different Bran Colours. Food Chemistry.
Vol. 133 : 715–722.
Minatel I.G., Francisqueti F.V., Correa C.R., dan
Lima G.P.P. 2016. Antioxidant Activity of γ-
Oryzanol: a Complex Network of
Interactions. International Journal of
Molecular Science. Vol. 17 : 1107–1121.
Muntana N. dan Prasong S. 2010. Study on Total
Phenolic Contents and Their Antioxidant
Activities of Thai White, Red and Black Rice
Bran Extracts. Pakistan Journal of
Biological Sciences. Vol. 13(4) : 170–174.
Oliveira M.G.C., Bassinello P.Z., Lobo V.L.S., dan
Rinaldi M.M. 2012. Stability and
Microbiological Quality of Rice Bran
Subjected to Different Heat Treatments.
Ciência e Tecnologia de Alimentos. Article
ID 005249.
Park Y., Park E., Kim E., dan Chung I. 2014.
Hypocholesterolemic Metabolism of Dietary
Red Pericarp Glutinous Rice Rich in
Phenolic Compounds in Mice Fed a High
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Cholesterol Diet. Nutrition Research and
Practice. Vol. 8(6). Dec : 632–637.
Pengkumsri N., Chaiyasut C., Saenjum C., Sirilun
S., Peerajan S., Suwannalert P., Sirisattha
S., dan Sivamaruthi B.S. 2015.
Physicochemical and Antioxidative
Properties of Black, Brown and Red Rice
Varieties of Northern Thailand. Food
Science and Technology. Vol. 35(2). Jun :
331–338.
Randall J.M., Sayre R.N., Schultz W.G., Fong
R.Y., Mossman A.P., Tribelhorn R.E., dan
Saunders R.M. 1985. Rice Bran
Stabilization by Extrusion Cooking for
Extraction of Edible Oil. Journal of Food
Science. Vol. 50(2) : 361–368.
Rao B.S.N. 2000. Nutritive Value of Rice Bran.
Nutrition Foundation of India : 5–8.
Saenkod C., Liu Z., Huang J., dan Gong Y. 2013.
Anti-Oxidative Biochemical Properties of
Extracts from Some Chinese and Thai Rice
Varieties. African Journal of Food Science.
Vol. 7(9). Sep : 300–305.
Sompong R.S., Ehn S.S., Martin L.G., Berghofer
E. 2011. Physicochemical and Antioxidative
Properties of Red and Black Rice Varieties
from Thailand, China, and Sri Lanka. Food
Chemistry. Vol. 124 : 132–140.
Tantamango Y.M., Knutsen S.F., Beeson W.L.,
Fraser G., dan Sabate J. 2011. Foods and
Food Groups Associated with the Incidence
of Colorectal Polyps: the Adventist Health
Study. Nutrition and Cancer. Vol. 63(4) :
565–572.
Thahir R. 2010. Revitalisasi Penggilingan Padi
melalui Inovasi Pendukung Swasembada
Beras dan Persaingan Global. Buletin
Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 3(3)
: 171–183.
Wang O., Liu J., Cheng Q., Guo X., Wang Y., Zhao
L., Zhou F., dan Ji B. 2015. Effects of Ferulic
Acid and -Oryzanol on High-Fat and High-
Fructose Diet-Induced Metabolic Syndrome
in Rats. PLoS ONE. Vol. 10 : 1–14.
Widowati S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping
Penggilingan Padi dalam Menunjang
Sistem Agroindustri di Pedesaan. Buletin
AgroBio. Vol. 4(1) : 33–38.
Wolever T.M., Spadafora P., dan Eshuis H. 1991.
Interaction between Colonic Acetate and
Propionate in Humans. American Journal of
Clinical Nutrition. Vol. 53: 681–687.
Yasukawa K., Akihisa T., Kimura Y., Tamura T.,
dan Takido M. 1998. Inhibitory Effect of
Cycloartenol Ferulate, a Component of Rice
Bran, on Tumor Promotion in Two-Stage
Carcinogenesis in Mouse Skin. Biological
and Pharmceutical Bulletin. Vol. 21 : 1072–
1076.
BIODATA PENULIS :
Mirna Zena Tuarita dilahirkan di Dili, 3 April
1992. Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Hasil Perikanan, Universitas Brawijaya tahun
2013; S2 Ilmu Pangan, Insititut Pertanian Bogor
(2013-sekarang).
Slamet Budijanto dilahirkan di Madiun, 2 Mei
1961. Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor tahun
1985, S2 Food Chemistry, Tohoku University,
Jepang tahun 1990, dan S3 Food Chemistry,
Tohoku University, Jepang tahun 1993.
Nur Fathonah Sadek dilahirkan di Banyuwangi,
23 Januari 1988. Menyelesaikan pendidikan S1
Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian
Bogor tahun 2010, S2 Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2012, dan S3 Ilmu
Pangan, Institut Pertanian Bogor tahun 2016.
Sukarno dilahirkan di Pati, 27 Oktober 1960.
Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor tahun
1985, S2 Food Science and Technology,
Hokkaido University, Jepang tahun 1991 dan
S3 Food Science and Technology, Hokkaido
Universtity, Jepang tahun 1993.
Nancy Dewi Yuliana dilahirkan di
Tasikmalaya, 27 Januari 1970. Menyelesaikan
pendidikan S1 Teknologi Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor tahun 1994, S2
Pharmacognosy, Leiden University, Belanda
tahun 2007 dan S3 Pharmacognosy, Leiden
University, Belanda tahun 2011.