ArticlePDF Available

Abstract

I. PENDAHULUAN eras (Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman sereal utama, yang menjadi pokok makanan sebagian besar penduduk dunia, terutama negara-negara Asia. Jumlah padi yang dipanen di seluruh dunia kurang lebih sekitar 600 juta ton setiap tahun (Esa, B A R T I K E L ABSTRAK Bekatul, sebagai hasil samping pengolahan padi, memiliki kandungan gizi yang baik dan kaya akan komponen bioaktif. Bekatul telah banyak dilaporkan memiliki manfaat bagi kesehatan, misalnya aktivitas antioksidan, aktivitas kemopreventif kanker, dan aktivitas hipokolesterolemik. Hanya saja, bekatul saat ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan pangan masih sangat terbatas. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai potensi kesehatan bekatul, tidak terstandarnya kualitas bekatul, serta karakteristik bekatul yang mudah mengalami kerusakan menjadikan industri kurang tertarik untuk mengembangkan bekatul, terutama sebagai pangan fungsional. Tantangan yang perlu dipecahkan guna meningkatkan nilai tambah bekatul antara lain edukasi masyarakat mengenai manfaat kesehatan bekatul, cara stabilisasi dan penyimpanan bekatul, hingga strategi pemasaran bekatul. Kata kunci: bekatul, pangan fungsional, pengembangan bekatul, potensi kesehatan ABSTRACT Rice bran, a byproduct of rice milling process, provided good nutritional values and high bioactive compounds. Many reports had shown the health benefits of rice bran, such as antioxidant activity, cancer chemopreventive activity, and hypocholesterolemic activity. Rice bran was now popular for animal feed, while its use for food ingredient was still limited. The lack of public information about its health potentials, the unstandardized quality, and the ease of undergoing deterioration were being as the deriving factors that industry had not interested to develop rice bran yet, especially for functional foods. To increase the added value of rice bran, some challenges that need to be solved included public education about its health benefits, stabilization and storage, as well as marketing strategies. keywords: rice bran, functional food, rice bran development, health potency
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang,
Hambatan, dan Tantangan
Rice Bran Development as Functional Foods: The Opportunities,
Obstacles, and Challenges
Mirna Zena Tuaritaa, Nur Fathonah Sadeka, Sukarnoab, Nancy Dewi Yulianaab,
dan Slamet Budijantoab
a Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, 16680
b Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center,
Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, 16680
Email: slamet.budijanto@gmail.com
Diterima : 12 April 2016 Revisi : 30 Juli 2017 Disetujui : 16 Agustus 2017
I. PENDAHULUAN
eras (Oryza sativa) merupakan salah satu
tanaman sereal utama, yang menjadi
pokok makanan sebagian besar penduduk
dunia, terutama negara-negara Asia. Jumlah
padi yang dipanen di seluruh dunia kurang
lebih sekitar 600 juta ton setiap tahun (Esa,
B
A R T I K E L
ABSTRAK
Bekatul, sebagai hasil samping pengolahan padi, memiliki kandungan gizi yang baik dan
kaya akan komponen bioaktif. Bekatul telah banyak dilaporkan memiliki manfaat bagi
kesehatan, misalnya aktivitas antioksidan, aktivitas kemopreventif kanker, dan aktivitas
hipokolesterolemik. Hanya saja, bekatul saat ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan pangan masih sangat terbatas. Kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai potensi kesehatan bekatul, tidak terstandarnya kualitas
bekatul, serta karakteristik bekatul yang mudah mengalami kerusakan menjadikan industri
kurang tertarik untuk mengembangkan bekatul, terutama sebagai pangan fungsional.
Tantangan yang perlu dipecahkan guna meningkatkan nilai tambah bekatul antara lain edukasi
masyarakat mengenai manfaat kesehatan bekatul, cara stabilisasi dan penyimpanan bekatul,
hingga strategi pemasaran bekatul.
Kata kunci: bekatul, pangan fungsional, pengembangan bekatul, potensi kesehatan
ABSTRACT
Rice bran, a byproduct of rice milling process, provided good nutritional values and high
bioactive compounds. Many reports had shown the health benefits of rice bran, such as
antioxidant activity, cancer chemopreventive activity, and hypocholesterolemic activity. Rice
bran was now popular for animal feed, while its use for food ingredient was still limited. The lack
of public information about its health potentials, the unstandardized quality, and the ease of
undergoing deterioration were being as the deriving factors that industry had not interested to
develop rice bran yet, especially for functional foods. To increase the added value of rice bran,
some challenges that need to be solved included public education about its health benefits,
stabilization and storage, as well as marketing strategies.
keywords: rice bran, functional food, rice bran development, health potency
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
dkk., 2013). Proses penggilingan padi
menghasilkan 70 persen beras (endosperm)
sebagai produk utama, serta beberapa
produk sampingan seperti sekam (20 persen)
dan bekatul (810 persen) (Chen, dkk., 2012).
Hingga saat ini, sebagian besar produk
samping penggilingan padi tersebut
digunakan sebagai pakan ternak.
Bekatul sebagai salah satu produk
samping, mendapatkan perhatian sebagai
pangan fungsional yang semakin meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terkait
fungsionalitas bekatul bagi kesehatan.
Bekatul dilaporkan mengandung sejumlah
senyawa fenolik, serta kaya akan serat
pangan, vitamin, dan mineral (Henderson,
dkk., 2012). Beberapa penelitian mengenai
fungsionalitas bekatul bagi kesehatan antara
lain: antikanker, antihipokolesterolemik, dan
antiaterogenik (Henderson, dkk., 2012 dan
Kharisma, 2015).
Hingga saat ini, upaya pengembangan
bekatul sebagai pangan fungsional masih
terhalang beberapa kendala, antara lain
kurangnya kesadaran masyarakat tentang
manfaat kesehatan bekatul, kualitas bekatul
yang belum terstandar, serta belum banyak
industri hilir yang tertarik untuk
mengembangkan bekatul. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi pengembangan
bekatul mengingat potensinya terhadap
kesehatan yang sangat menjanjikan. Selain
itu, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan selama pengolahan dan
penanganan untuk menjaga kualitas bekatul.
Misalnya saja, kendala yang disebabkan
aktivitas enzim lipase yang menyebabkan
terbentuknya aroma tengik (Budijanto, dkk.,
2010). Hal ini apabila tidak mampu ditangani
dengan baik akan menurunkan penerimaan
konsumen terhadap bekatul.
Artikel ini akan mereview potensi bekatul
sebagai pangan fungsional. Kajian ilmiah
mengenai kandungan fitokimia dan efek
positifnya bagi kesehatan akan diulas pada
artikel ini. Selain itu, hambatan dan tantangan
dalam pengembangan bekatul juga akan
dibahas untuk memberikan gambaran
mengenai pengembangan bekatul,
khususnya di Indonesia.
II. BEKATUL
Beras (Oryza sativa) merupakan salah
satu makanan pokok utama bagi hampir
setengah populasi penduduk di dunia,
termasuk Indonesia. Beras yang umum
dikonsumsi dapat dikelompokkan menjadi
dua jenis utama, yakni Japonica dan Indica.
Jenis beras Japonica umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat Jepang, China, Korea,
Rusia, dan Amerika, sedangkan jenis Indica
umum dikonsumsi oleh masyarakat di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia (Calpe,
2006). Beras Japonica memiliki butiran
berbentuk pendek bulat, dengan rasa nasi
pulen dan lengket. Sebaliknya, beras Indica
memiliki butiran berbentuk lonjong panjang
dengan rasa nasi yang lebih pera. Jenis beras
yang paling banyak ditanam di Indonesia
adalah beras Indica non-pigmen, yakni
varietas Rojolele, Ciherang, dan IR64. Hal ini
dikarenakan adanya dorongan faktor
kesukaan konsumen dan kondisi iklim tropis
yang mendukung (Lestari, dkk., 2014).
Tingginya angka konsumsi beras di
Indonesia, menempatkannya sebagai negara
ketiga terbesar dalam konsumsi beras setelah
China dan India (FAO, 2016). Produksi padi di
Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar
75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), atau
mengalami kenaikan sebanyak 4,51 juta ton
(6,37 persen) dibandingkan tahun 2014.
Kenaikan produksi padi disebabkan oleh
kenaikan luas panen sebesar 0,32 juta hektar
dan peningkatan produktivitas sebesar 2,04
kuintal/hektar (3,97 persen) (BPS, 2016).
Permintaan akan beras diperkirakan terus
meningkat pada beberapa dekade
mendatang yang disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi dan populasi
penduduk, termasuk di negara-negara Asia
dan Afrika. Oleh karena itu, industri beras
diperkirakan akan terus bertahan dalam
waktu yang lama dan produksi produk
samping penggilingan padi juga akan
semakin meningkat (Esa, dkk., 2013).
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Persentase produk samping dari proses
bulir padi menjadi beras tergantung pada
beberapa faktor, antara lain laju penggilingan
dan jenis beras. Proses penggilingan padi
dikatakan ideal apabila menghasilkan 20
persen sekam dan 812 persen bekatul
tergantung pada derajat penggilingan, serta
6872 persen beras sosoh tergantung pada
varietas (Farrel dan Hutton, 1990).
Dalam proses penggilingan padi, bagian
sekam akan terpisah dan diperoleh beras
pecah kulit (brown rice). Tahapan selanjutnya
adalah proses penyosohan beras yang
bertujuan untuk menghilangkan dedak dan
bekatul dari bagian endosperma beras,
sehingga diperoleh beras yang berwarna
putih. Semakin tinggi derajat penyosohan
beras, maka beras yang diperoleh akan
semakin putih, namun semakin miskin zat
gizi. Bekatul merupakan bagian terluar bulir
beras yang terbuang selama proses
penyosohan beras (Thahir, 2010).
Secara morfologi, bekatul terdiri atas
lapisan perikarp, testa dan lapisan aleuron
(Gambar 1). Lapisan-lapisan ini mengandung
sejumlah nutrien seperti protein, lemak dan
serat pangan serta sejumlah vitamin dan
mineral (Tabel 1). Kandungan asam amino
esensial, antara lain dalam bekatul antara
lain: triptofan, histidin, sistein, dan arginin.
Jenis serat pangan terdiri atas selulosa,
hemiselulosa, pektin, arabinosilan, lignin, dan
-glukan. Selain itu, bekatul juga
mengandung beberapa komponen bioaktif,
seperti
-oryzanol, asam ferulat, asam kafeat,
tricine, asam kumarat, asam fitat, isoform
vitamin E (-tokoferol, -tokoferol,
tokotrienol), fitosterol (-sitosterol,
stigmasterol, kampesterol), dan karotenoid
Gambar 1. Struktur Beras (Esa, dkk.,
2013)
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Bekatul (edible grade)
Kandungan (per
100 g)
Nutrien
Kandungan (per 100
g)
Vitamin
16,5 g
Biotin
5,5 mg
21,3 g
Kolin
226 mg
8,3 g
Asam folat
83 μg
49,4 g
Inositol
982 mg
11,4 g
25,3 g
Mineral
2,1 g
Besi (Fe)
11,0 mg
24,1 g
Seng (Zn)
6,4 mg
5,0 g
Mangan (Mg)
28,6 mg
Tembaga (Cu)
0,6 mg
Iodin
67 μg
3,0 mg
Kalsium (Ca)
80 mg
0,4 mg
Fosfor (P)
2,1 g
43 mg
Kalium (K)
1.9 g
7 mg
Natrium (Na)
20,3 g
0,49 mg
Magnesium (Mg)
0,9 g
Sumber : Rao, 2000
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
(-karoten, -karoten, lutein, likopen)
(Henderson, dkk., 2012). Berbeda dengan
serealia, seperti jagung, gandum, dan oat,
fraksi lipid bekatul beras mengandung rasio
isoform vitamin E, -oryzanol, dan -sitosterol
yang unik. Damayanti, dkk. (2007)
menyebutkan bahwa komposisi kimia bekatul
bervariasi tergantung pada varietas padi,
lingkungan tanam padi, derajat penggilingan
gabah dan kontaminasi sekam pada proses
penggilingan.
Selain beras yang berwarna putih,
Indonesia juga memiliki beberapa jenis beras
berdasarkan kandungan pigmen warna pada
bagian perikarp dan aleuron, antara lain beras
merah dan hitam. Komponen pigmen tersebut
banyak terkonsentrasi pada bagian
bekatulnya. Bekatul beras merah dan hitam
dilaporkan memiliki kandungan antosianin
yang tidak ditemukan pada beras putih. Jenis
antosianin yang terdapat pada beras merah
dan hitam adalah cyanidin-3-O-glucoside dan
peonidin-3-O-glucoside (Min, dkk., 2012),
yang mana kedua senyawa ini ditemukan
lebih tinggi pada beras hitam dibandingkan
pada beras merah. Selain pigmen antosianin,
bekatul beras berpigmen juga dilaporkan
memiliki kandungan senyawa fenolik yang
lebih tinggi dibandingkan pada beras non-
pigmen (beras putih) seperti yang dipapar
pada Tabel 2. Pada beras merah, senyawa
fenolik yang paling banyak ditemukan antara
lain asam ferulat dan asam protokatekat,
sedangkan pada beras hitam antara lain
asam protokatekat, asam vanilat, asam
kafeat, asam siringat, dan asam p-kumarat
(Min, dkk., 2012).
III. POTENSI KESEHATAN BEKATUL
Peran bekatul sebagai sumber pangan
fungsional dapat dilihat dari komponen
bioaktif dan serat pangannya. Namun
pengembangannya masih belum terlihat di
masyarakat.
3.1. Aktivitas Antioksidan
Dewasa ini, banyak penyakit yang timbul
akibat stress oksidatif, seperti kanker,
penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
dan stroke. Penyakit tersebut terjadi akibat
terjadinya ketidakseimbangan antara
pembentukan dan netralisasi radikal bebas.
Bekatul kaya akan antioksidan, sehingga
berpotensi sebagai penangkal radikal bebas
(Arab, dkk., 2011). Senyawa antioksidan yang
Tabel 2. Komparasi Kuantitatif Komponen Bioaktif dari Tiga Jenis Bekatul
Komponen
Bioaktif
Bekatul Beras
Putih
Bekatul Beras
Merah
Bekatul Beras
Hitam
Referensi
Asam
Fenolik
Kultivar beras
Thailand berkisar
0,890,99 mg
GAE/ mg ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
1,011,05 mg
GAE/ mg ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
1,081,22 mg
GAE/ mg ekstrak
Muntana dan
Prasong,
2010
Flavonoid
Tidak diteliti
Kultivar Thailand
(beras Mali)
berkisar
0,66±0,01 mg
asam galat
ekuivalen/g
ekstrak
Kultivar beras
Thailand (beras
Chiang Mai) berkisar
1,93±0,03 mg
kuercetin
ekuivalen/g ekstrak
Pengkumsri,
dkk. 2015
Antosianin
Tidak diteliti
Kultivar beras
Thailand berkisar
0,31,4 mg
/100 g ekstrak
Kultivar beras
Thailand berkisar
109,5256,6 mg
/100 g ekstrak
Sompong,
dkk., 2011
Sumber : Saenkod, dkk., 2013.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
terdapat pada bekatul dapat dikelompokkan
ke dalam 8 kelompok, antara lain asam
fenolik, flavonoid, antosianin, proantosianin,
tokoferol, tokotrienol,
-oryzanol dan asam
fitat (Goufo dan Trindade, 2014).
Antioksidan utama pada bekatul adalah
-oryzanol. Gamma-oryzanol tersusun atas
campuran ester asam ferulat dan fitosterol.
Sedikitnya ada sepuluh steril ferulat yang
teridentifikasi pada
-oryzanol, yakni
cycloartenyl ferulate, 24-
methylenecycloartanyl ferulate, campestenyl
ferulate, campesteryl ferulate, stigmastenyl
ferulate, sitosteryl ferulate, 7-stigmatenyl
ferulate, stigmateryl ferulate, campestanyl
ferulate, dan sitostanyl ferulate. Diantara
senyawa tersebut, cycloartenyl ferulate, 24-
methylenecycloartanyl ferulate, campestenyl
ferulate, dan sitosteryl ferulate merupakan
komponen yang paling dominan (Minatel,
dkk., 2016).
Aktivitas antioksidan pada bekatul selain
dipengaruhi oleh varietas padi, juga
dipengaruhi adanya komponen pigmen warna
pada beras. Beras berpigmen dilaporkan
mengandung sumber antioksidan yang
sangat potensial. Penelitian Goufo dan
Trindade (2014) menunjukkan bahwa beras
hitam memiliki aktivitas antioksidan yang
paling tinggi, diikuti oleh beras merah dan
beras coklat (beras putih yang tidak disosoh).
Beras berpigmen juga dilaporkan memiliki
kandungan senyawa fenolik dan flavonoid
yang lebih tinggi dibandingkan beras non-
pigmen, di samping adanya kandungan
antosianin. Jenis antosianin cyanidin-3-O-
glucoside merupakan yang dominan,
sedangkan peonidin-3-O-glucoside
merupakan yang kedua terbanyak pada beras
berpigmen (Min, dkk., 2012).
Berdasarkan pengujian dengan metode
DPPH (2,2 Diphenyl-1-picrylhidrazyl), bekatul
beras hitam dan merah diketahui memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi bila
dibandingkan pada bekatul beras putih
(Budijanto, dkk., 2015; Muntana dan Prasong,
2010). Aktivitas antioksidan juga erat
kaitannya dengan kandungan total fenolik
(Total Phenolic Content, TPC) dan
kandungan total flavonoid (Total Flavonoid
Content, TFC). Bekatul beras hitam dan
merah juga memiliki kandungan total fenolik
dan flavonoid yang lebih tinggi dari bekatul
beras non-pigmen (Saenkod, dkk., 2013 dan
Sompong, dkk., 2011).
3.2 Aktivitas Kemopreventif Kanker
Selain sebagai antioksidan, bekatul
dilaporkan memiliki aktivitas kemopreventif
terhadap kanker kolon, payudara, hati, dan
kulit, yang ditunjukkan dari hasil penelitian in
vitro maupun in vivo. Dapar, dkk. (2013)
menunjukkan bahwa ekstrak etanol bekatul
beras putih varietas IR64 memiliki aktivitas
sitotoksik terhadap sel kanker paru-paru A549
dan kanker kolon HCT 116. Di lain pihak
Tantamango, dkk. (2011) melaporkan bahwa
konsumsi beras pecah kulit (brown rice) pada
subjek manusia mampu menurunkan jumlah
adenoma dan pendarahan usus. Konsumsi
beras pecah kulit sedikitnya sekali dalam
seminggu dapat mengurangi risiko
pembentukan polip kolorektal sebesar 40
persen. Korelasi yang kuat antara konsumsi
beras pecah kulit dengan pencegahan kanker
kolon tersebut berhubungan dengan tingginya
kandungan serat pangan dan komponen
bioaktif pada bekatul.
Pemberian bekatul pada mencit mampu
menurunkan volume tumor payudara MF-1
yang diberikan transplantasi sel kanker
payudara MDA-MB-468. Hasil penelitian in
vivo tersebut didukung oleh hasil penelitian in
vitro yang menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak tricine dari bekatul mampu
menghambat pertumbuhan sel kanker
payudara MDA-MB-468 melalui penghentian
siklus sel pada fase G2/M (Cai, dkk., 2004).
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan tricine
pada bekatul diduga berperan dalam
penghambatan perkembangan kanker
payudara.
Pada penghambatan perkembangan
kanker hati, kandungan peptida dan
tokotrienol pada bekatul diduga memegang
peranan. Pemberian peptida dan
pentapeptida yang diekstrak dari bekatul
secara in vitro mampu menunjukkan
penghambatan proliferasi sel kanker hati
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
HepG2 (Kannan, dkk., 2010). Suplementasi
fraksi kaya tokotrienol pada tikus Sprague
Dawley mampu menurunkan resiko kanker
hati melalui penurunan pembentukan nodul
pada hati. Hal ini diikuti dengan penurunan
level alkalin fosfatase plasma, aktivitas
glutation transferase hati, kadar LDL (Low
Density Lipoprotein), dan peroksidasi lipid
(Iqbal, dkk., 2003).
Penghambatan kanker kulit secara in
vitro dilaporkan oleh Ghoneum dan Agrawal
(2011), yang menunjukkan bahwa pemberian
hemiselulosa bekatul (MGN-3/Biobran)
mampu menghambat proliferasi sel kanker
kulit U266. Hal tersebut terjadi melalui
penghambatan proliferasi sel melalui
pemblokiran sel untuk masuk fase G0-G1.
Suplementasi cycloartenol ferulate yang
diekstrak dari bekatul juga mampu
menghambat perkembangan kanker kulit
stadium II pada mencit ICR, in vivo. Aktivitas
kemopreventif tersebut terjadi melalui
penghambatan inflamasi (Yasukawa, dkk.,
1998).
Adanya perbedaan pigmen warna pada
beras ternyata berpengaruh terhadap
aktivitas kemopreventif kankernya, misalnya
saja pada pencegahan kanker kolon.
Budijanto, dkk. (2015) melaporkan bahwa
ekstrak metanol bekatul beras hitam (varietas
Cempo Ireng) dan merah (varietas Cere)
menunjukkan aktivitas sitotoksik yang lebih
tinggi terhadap sel kanker kolon WiDr
dibandingkan pada bekatul beras putih
varietas Ciherang dan Jepang (Japonica).
Hasil tersebut berkorelasi positif dengan
aktivitas antioksidan bekatul beras hitam dan
merah yang lebih tinggi dibandingkan pada
bekatul beras putih. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Forster, dkk. (2013) yang
menunjukkan bahwa ekstrak metanol bekatul
beras hitam (varietas IAC 600) dan merah
(varietas Red Wells dan IL 121-1-1) memiliki
aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker
kolon SW-480 yang lebih tinggi dibandingkan
pada bekatul beras putih (varietas Jasmine 85
dan Wells). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penghambatan
pertumbuhan sel SW-480 tidak berkorelasi
dengan kandungan
-oryzanol, tetapi
berkorelasi dengan kandungan total fenolik
bekatul beras hitam dan merah yang lebih
tinggi dibandingkan pada bekatul beras putih.
3.3 Aktivitas Hipokolesterolemik
Lecumberri, dkk. (2007) melaporkan
bahwa pemberian serat pangan mampu
menurunkan total kolesterol dan Low Density
Lipoprotein (LDL) plasma tikus
hiperkolesterolemik. Adapun dugaan
mekanisme serat pangan dalam menurunkan
total kolesterol dan LDL adalah melalui
pengikatan asam empedu di usus halus
kemudian mengekskresikannya bersama
feses. Akibatnya, terjadi pemecahan
kolesterol endogen untuk menggantikan
asam empedu yang hilang (kolesterol
merupakan bahan penyusun asam empedu),
sehingga kadar kolesterol akan berkurang.
Asam propionat yang merupakan salah satu
produk fermentasi serat pangan di dalam
kolon juga dilaporkan mampu mencegah
kolesterogenesis di hati, sehingga mampu
menurunkan konsentrasi kolesterol plasma
(Wolever, 1991).
Selain serat pangan, komponen
-oryzanol pada bekatul juga dilaporkan
memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Gamma
oryzanol selain berperan sebagai antioksidan
tetapi juga meningkatkan metabolisme
komponen pangan, misalnya kolesterol
(Minatel, dkk., 2016). Senyawa ini memiliki
efek menurunkan obesitas dan kondisi
dislipidemia pada tikus dengan ransum tinggi
lemak dan tingi fruktosa, melalui normalisasi
trigliserida, LDL, dan total kolesterol dalam
serum, serta meningkatkan High Density
Lipoprotein (HDL). Kemampuan
-oryzanol
dalam menurunkan trigliserida dan level
kolesterol juga terkait dengan
kemampuannya dalam menekan lipogenesis
di hati dan meningkatkan ekskresi lemak fekal
(Wang, dkk., 2015).
Suplementasi bekatul dalam diet terbukti
mampu menurunkan bobot badan,
konsentrasi total kolesterol serum dan hati,
trigliserida dan LDL, serta menaikkan
konsentrasi HDL (High Density Lipoprotein),
tanpa mengubah konsentrasi glukosa darah
mencit (Hernawati, dkk., 2013). Park, dkk.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
(2014) melaporkan efek hipokolesterolemik
bekatul yang terjadi melalui penurunan
sintesis kolesterol hati, yang ditandai dengan
penurunan aktivitas ACAT-2 (acetyl-CoA
acetyltransferase 2), HMG-CoA (3-hydroxy-3-
methyl-glutaryl-coenzyme A) reduktase, dan
SREBP-2 (sterol-regulatory element-binding
protein 2), serta dengan meningkatkan
degradasi kolesterol hati melalui CYP7a1
(human cholesterol 7
-hydroxylase) dan
CYP8b1 (human cholesterol 12
-
hydroxylase) pada mencit yang diberi diet
hiperkolesteromia.
Aktivitas hipokolesterolemik bekatul juga
dapat dipengaruhi oleh perbedaan pigmen
warnanya. Kharisma (2015) melaporkan
perbedaan aktivitas hipokolesterolemik pada
tikus yang diberikan bekatul dengan pigmen
warna yang berbeda. Adapun bekatul yang
digunakan adalah bekatul beras putih
Ciherang, beras merah Cere, dan beras hitam
Cempoireng, yang mana masing-masing
diformulasikan ke dalam beras analog.
Pemberian beras analog dengan dengan
penambahan bekatul beras putih (BAP) dan
bekatul beras hitam (BAH) menyebabkan
efek penurunan total kolesterol, LDL, indeks
aterogenik, dan kadar lemak total hati yang
lebih tinggi bila dibandingkan pada kelompok
yang mendapatkan beras analog dengan
bekatul beras merah (BAM). Perbedaan jenis
bekatul tidak berpengaruh pada kadar HDL.
Kenaikan trigliserida terlihat paling tinggi pada
kelompok yang mendapatkan BAH
dibandingkan BAP dan BAM. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa bekatul beras putih
memberikan aktivitas hipokolesterolemik
yang paling efektif dibandingkan bekatul
beras hitam dan merah.
IV. PEMANFAATAN BEKATUL DAN
HAMBATANNYA
Pemanfaatan bekatul sebagai produk
pangan di Indonesia masih sangat terbatas,
misalnya sebagai makanan tradisional bubur
atau jenang bekatul dan bangket bekatul.
Saat ini bekatul lebih banyak digunakan
sebagai pakan ternak. Bekatul terkadang juga
menjadi limbah yang mencemari lingkungan,
terutama di sentra produksi padi saat panen
musim penghujan (Widowati, 2001). Keadaan
ini sangatlah berbeda dengan beberapa
negara lain di dunia, seperti Amerika Serikat
dan Jepang, yang sudah banyak
mengembangkan bekatul sebagai produk
pangan, misalnya sebagai sereal sarapan
dan minyak bekatul (rice bran oil).
Peluang pengembangan bekatul sebagai
pangan fungsional masih sangat terbuka. Hal
ini dikarenakan angka produksi gabah kering
giling di Indonesia mencapai 75,36 juta ton
pada tahun 2015 (BPS, 2016), sehingga
jumlah bekatul yang dapat dimanfaatkan
kurang lebih 67,54 juta ton (bekatul yang
dihasilkan dari penggilingan beras sekitar
812 persen). Adapun jumlah dan kualitas
bekatul yang diperoleh dapat dipengaruhi
oleh sistem penggilingan padi.
Saat ini unit penggilingan padi yang
banyak ditemui di Indonesia adalah
penggilingan skala kecil (25 ton beras per
hari) dan skala menengah (kapasitas
produksi hingga 10 ton beras per hari).
Penggilingan padi skala kecil menggunakan
sistem diskontinyu dengan satu unit mesin
pemecah kulit dan satu unit mesin sosoh,
sehingga cenderung bekatul dengan mutu
kurang baik dan rendemen yang sedikit.
Penggilingan dengan skala menengah yang
lebih besar menggunakan sistem diskontinyu
dan kontinyu mampu menghasilkan bekatul
dengan rendemen yang lebih banyak dan
mutu yang lebih baik. Hal ini dikarenakan
penggilingan skala menengah menggunakan
dua unit mesin penyosoh. Bekatul yang
dihasilkan dari mesin sosoh kedua akan
terpisah dengan dedak (bekatul kasar) yang
dihasilkan dari mesin sosoh pertama. Bekatul
kualitas baik yang akan dimanfaatkan
sebagai bahan pangan berasal dari hasil
penyosohan mesin kedua, karena tidak lagi
tercampur dengan dedak dan serpihan sekam
(Widowati, 2001). Tidak terstandarnya
kualitas bekatul yang dihasilkan oleh unit
penggilingan padi merupakan salah satu
hambatan dalam pengembangan bekatul. Hal
ini juga menyebabkan kurang terjaminnya
pasokan bekatul bagi industri.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Hambatan lain dalam pengembangan
bekatul berasal dari karakteristik bekatul itu
sendiri, yakni adanya aktivitas enzim lipase.
Enzim lipase pada bekatul mampu
menghidrolisis kandungan minyak menjadi
gliserol dan asam lemak bebas. Konversi ini
menyebabkan terbentuknya aroma tengik,
sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen
(Budijanto, dkk., 2010). Oleh karena itu,
pengolahan bekatul sebagai bahan pangan
harus dilakukan sesegera mungkin, dalam
waktu yang tidak lebih dari 24 jam. Hal ini
tentu menyulitkan industri hilir dalam
mengembangkan bekatul sebagai produk
pangan, sehingga diperlukan adanya solusi
untuk mendapatkan bekatul yang berkualitas
baik.
V. TANTANGAN PENGEMBANGAN
BEKATUL SEBAGAI PANGAN
FUNGSIONAL
Sifat bekatul yang tidak stabil
memudahkannya untuk membentuk aroma
tengik (off flavor). Hal ini diakibatkan oleh
kerusakan kandungan minyak pada bekatul
akibat aktivitas enzim lipase, yang mampu
menghidrolisis trigliserida dan menghasilkan
asam lemak bebas yang sangat mudah
dioksidasi (Budijanto, dkk., 2010). Bekatul
memiliki kandungan lemak sebesar 20 persen
yang kaya akan asam lemak tidak jenuh (70
90 persen), khususnya asam oleat dan
linoleat (Rao, 2000).
Teknologi stabilisasi menjadi sebuah
hal yang sangat penting untuk meningkatkan
nilai tambah dan daya saing bekatul. Proses
stabilisasi bertujuan untuk merusak aktivitas
enzim lipase. Beberapa metode stabilisasi
bekatul telah banyak diteliti. Metode yang
paling umum diaplikasikan adalah
pemanasan. Pemanasan menggunakan
ekstruder pada suhu lebih dari 140OC dapat
merusak kualitas bekatul, sehingga tidak
direkomendasikan. Sebaliknya, pemanasan
di bawah 100OC tidak mampu meningkatkan
lama umur simpan (Randall, dkk., 1985).
Stabilisasi bekatul menggunakan single
screw conveyor dengan kecepatan ulir 15 Hz
pada suhu 120oC dapat menurunkan kadar
asam lemak bebas hingga di bawah 10
persen diiringi dengan kerusakan -tokoferol
dan
-oryzanol yang minimal (Kurniawati,
dkk., 2013) Penggunaan metode tersebut
dirasa mudah untuk diaplikasikan untuk
industri bekatul, karena memungkinkan untuk
dilakukan dalam skala besar secara kontinyu
dengan biaya yang lebih terjangkau.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah lama waktu tunggu bekatul yang
diperoleh dari penggilingan padi menuju
proses stabilisasi. Budijanto, dkk. (2010)
melaporkan pola kenaikan asam lemak bebas
pada bekatul dipengaruhi oleh varietas padi.
Pengamatan dalam kurun waktu 24 jam
menunjukkan bahwa bekatul beras Sintanur
memiliki peningkatan asam lemak yang paling
tinggi dibandingkan pada varietas Pandan
Wangi, Ciherang, dan IR 64. Kadar asam
lemak bebas sebesar 5 persen pada bekatul
beras Sintanur tercapai dalam waktu 3 jam.
Pada beras Pandan Wangi dan Ciherang,
kadar asam lemak tersebut dicapat dalam
waktu 5 jam, sedangkan pada beras IR 64
dicapai pada waktu 7 jam. Oleh karena itu,
salah satu tantangan dalam pengembangan
bekatul adalah integrasi sistem stabilisasi
bekatul pada lokasi penggilingan padi.
Semakin singkat jeda waktu antara bekatul
yang telah diperoleh untuk distabilisasi, maka
kemungkinan terbentuknya aroma tengik
semakin rendah.
Penanganan bekatul yang telah
distabilisasi perlu dilakukan secara cermat
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Tingginya kandungan lemak pada bekatul
(21,3 persen) memungkinkan terjadinya
kerusakan akibat oksidasi atau hidrolisis
lemak. Bekatul terstabilisasi dapat dikemas
menggunakan bahan polyethylene (PE), yang
mampu memberikan perlindungan terhadap
pencemaran dan kerusakan fisik, serta
mampu menahan perpindahan gas dan uap
air (Marsh dan Bugusu, 2007). Selain itu,
untuk melindungi bekatul terstabilisasi dari
mikroorganisme perusak, bekatul sebaiknya
disimpan pada tempat yang dingin dan kering,
dengan kadar air berkisar 67 persen
(Oliveira, dkk., 2012).
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Untuk menarik minat masyarakat untuk
mengkonsumsi bekatul sebagai pangan
fungsional perlu dilakukan strategi
pemasaran, terutama dengan menonjolkan
manfaat kesehatannya. Sebuah pemetaan
dapat dibuat untuk memberikan informasi
mengenai manfaat bekatul dari jenis beras
tertentu dengan target kesehatan yang lebih
spesifik. Pemaparan sebelumnya
menunjukkan bahwa bekatul dari beras putih
(non-pigmen) memiliki aktivitas
hipokolesterolemik yang paling efektif bila
dibandingkan dengan bekatul dari jenis beras
merah dan hitam. Untuk penyakit yang terkait
dengan stress oksidatif, seperti kanker,
bekatul beras merah dan hitam lebih cocok
untuk dikonsumsi karena memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi. Dengan
demikian, positioning dalam strategi
pengenalan bekatul sebagai pangan
fungsional akan lebih jelas dan membantu
konsumen dalam memilih jenis bekatul untuk
dikonsumsi sesuai kebutuhannya.
VI. KESIMPULAN
Bekatul kaya akan kandungan nutrisi dan
komponen bioaktif sehingga telah banyak
dilaporkan memiliki manfaat bagi kesehatan,
seperti antioksidan, kemopreventif kanker,
dan hipokolesterolemik. Bekatul sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pangan fungsional, namun pemanfaatannya
seringkali terhambat oleh kualitas bekatul
yang tidak terstandar dan kerentanan bekatul
untuk mengalami kerusakan. Guna
mendukung keberlangsungan industri
pengembangan bekatul sebagai pangan
fungsional, perlu dilakukan upaya
pencegahan kerusakan bekatul dengan
meningkatkan kualitas dan keseragaman
mutu bekatul. Selain itu, positioning jenis
bekatul terhadap jenis penyakit tertentu perlu
dilakukan guna mendukung strategi
pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arab F., Alemzadehb I., dan Maghsoudi V. 2011.
Determination of Antioxidant Component
and Activity of Rice Bran Extract. Scientia
Iranica, Transactions C: Chemistry and
Chemical Engineering. Vol. 18(6) : 1402
1406.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi
Tahun 2015 Naik 6,37 Persen.
https://bps.go.id/brs/view/id/1271 [diakses
pada 10 Desember 2016].
Budijanto S., Sukarno, dan Kusbiantoro B. 2010.
Inaktivasi Enzim Lipase untuk Stabilisasi
Bekatul (Maksimum FFA 5%) 4 Varietas
Padi sebagai Bahan Ingredien Pangan
Fungsional yang Dapat Disimpan 6 Bulan.
Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Budijanto S, Yuliana N.D., dan Tuarita M.Z. 2015.
Anticancer Profile of Indonesia and
Japanese Rice Brans of Several Variety and
Its Potential as Functional Food Ingredients.
Laporan Penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi, Institut Pertanian Bogor.
Cai H., Hudson E.A., Mann P., Verschoyle R.D.,
Greaves P., Manson M.M., Steward W.P.,
dan Gescher AJ. 2004. Growth-Inhibitory
and Cell Cycle-Arresting Properties of the
Rice Bran Constituent Tricin in Human-
Derived Breast Cancer Cells In Vitro and in
Nude Mice In Vivo. British Journal of
Cancer. Vol. 91 : 13641371.
Calpe C. 2006. Rice International Commodity
Profile. Food and Agriculture Organization
of the United Nations. Markets and Trade
Division.
Chen M.H., Choi S.H., Kozukue N., Kim H.J., dan
Friedman M. 2012. Growth-Inhibitory
Effects of Pigmented Rice Bran Extracts
and Three Red Bran Fractions Against
Human Cancer Cells: Relationships with
Composition and Antioxidative Activities.
Journal of Agricultural and Food Chemistry.
Vol. 60 : 91519161.
Damayanti E., Kustiyah L., Khalid M., dan Farizal
H. 2010. Aktivitas Antioksidan Bekatul Lebih
Tinggi daripada Jus Tomat dan Penurunan
Antioksidan Serum setelah Intervensi
Minuman Kaya Antioksidan. Jurnal Gizi dan
Pangan. Vol. 5(3) : 205210.
Dapar M.L.G., Garzon J.F., dan Demayo C.G.
2013. Cytotoxic activity and Antioxidant
Potentials of hexane and Methanol extracts
of IR64 Rice bran against Human Lung
(A549) and Colon (HCT116) Carcinomas.
International Research Journal of Biological
Sciences. Vol. 2(5). May : 1923.
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Esa N.M., Ling T.B., dan Peng L.S. 2013. By-
products of Rice Processing: An Overview
of Health Benefits and Applications. Journal
of Rice Research. Vol. 1(1) : 107117.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the
United Nations. 2016. Rice in the World.
http://www.fao.org/wairdocs/tac/x5801e/x5
801e08.htm [diakses pada 9 Desember
2016].
Forster G.M., Raina K., Kumar A., Kumar S.,
Agarwal R., Chen M.H., Bauer J.E.,
McClung A.M., dan Ryan E.P. 2013. Rice
Varietal Differences in Bioactive Bran
Components for Inhibition of Colorectal
Cancer Cell Growth. Food Chemistry. Vol.
141 : 15451552.
Ghoneum M. dan Agrawal S. 2011. Activation of
human monocyte-derived dendritic cells in
vitro by the biological response modifier
arabinoxylan rice bran (MGN-3/Biobran).
International Journal of Immunopathology
and Pharmacology. Vol. 24 : 941948.
Goufo P. dan Trindade H. 2014. Rice Antioxidants:
Phenolic Acids, Flavonoids, Anthocyanins,
Proanthocyanidins, Tocopherols,
Tocotrienols, -Oryzanol and Phytic Acid.
Food Science and Nutrition. Vol. 2(20) : 75
104.
Henderson A.J., Ollila C.A., Kumar A., Borreses
E.C., Raina K., Agarwal R., Ryan E.P. 2012.
Chemopreventive Properties of Dietary Rice
Bran: Current Status and Future Prospects.
Advances in Nutrition. Vol. 3 : 643653.
Hernawati, Manalu W., Suprayogi A., dan Astuti
D.A. 2013. Perbaikan Parameter Lipid
Darah Mencit Hiperkolesterolemia dengan
Suplemen Pangan Bekatul. Majalah
Kedokteran Bandung. Vol. 45(1) : 19.
Iqbal J., Minhajuddin M., dan Beg Z.H. 2003.
Suppression of 7,12-dimethylbenz[alpha]
anthracene-Induced Carcinogenesis and
Hypercholesterolaemia in Rats by
Tocotrienol-Rich Fraction Isolated from Rice
Bran Oil. European Journal of Cancer
Prevention. Vol. 12 : 447453.
Kannan A., Hettiarachchy N.S., Lay J.O., dan
Liyanage R. 2010. Human Cancer Cell
Proliferation Inhibition by a Pentapeptide
Isolated and Characterized from Rice Bran.
Peptides. Vol. 31 : 16291634.
Kharisma T. 2015. Studi hipokolesterolemik beras
analog secara in vivo pada tikus sprague
dawley (SD). Tesis di Institut Pertanian
Bogor.
Kurniawati M. 2013. Stabilisasi Bekatul dan
Penerapannya Pada Beras Analog. Tesis di
Institut Pertanian Bogor.
Lecumberri E., Mateos R., Pulido M.I., Rupe ́rez
P., Goya L., dan Bravo L. 2007. Dietary
Fibre Composition, Antioxidant Capacity
and Physico-Chemical Properties of a
Fibre-Rich Product from Cocoa (Theobroma
cacao L.). Food Chemistry. Vol. 104 : 948
954.
Lestari P., Reflinur, dan Koh H.J. 2014. Prediction
of Physicochemical Properties of
Indonesian Indica Rice Using Molecular
Markers. HAYATI Journal of Biosciences.
Vol. 21(2). Jun : 7686.
Marsh K. dan Bugusu B. 2007. Food Packaging
Roles, Materials, and Environmental Issues.
Journal of Food Science. Vol 72(3) : 3955.
Min B., Gu L., McClung A., Bergman C.J., dan
Chen M.H. 2012. Free and Bound Total
Phenolic Concentrations, Antioxidant
Capacities, and Profiles of
Proanthocyanidins and Anthocyanins in
Whole Grain Rice (Oryza sativa L.) of
Different Bran Colours. Food Chemistry.
Vol. 133 : 715722.
Minatel I.G., Francisqueti F.V., Correa C.R., dan
Lima G.P.P. 2016. Antioxidant Activity of γ-
Oryzanol: a Complex Network of
Interactions. International Journal of
Molecular Science. Vol. 17 : 11071121.
Muntana N. dan Prasong S. 2010. Study on Total
Phenolic Contents and Their Antioxidant
Activities of Thai White, Red and Black Rice
Bran Extracts. Pakistan Journal of
Biological Sciences. Vol. 13(4) : 170174.
Oliveira M.G.C., Bassinello P.Z., Lobo V.L.S., dan
Rinaldi M.M. 2012. Stability and
Microbiological Quality of Rice Bran
Subjected to Different Heat Treatments.
Ciência e Tecnologia de Alimentos. Article
ID 005249.
Park Y., Park E., Kim E., dan Chung I. 2014.
Hypocholesterolemic Metabolism of Dietary
Red Pericarp Glutinous Rice Rich in
Phenolic Compounds in Mice Fed a High
Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan
Mirna Zena Tuarita, Nur Fathonah Sadek, Sukarno, Nancy Dewi Yuliana, dan Slamet Budijanto
Cholesterol Diet. Nutrition Research and
Practice. Vol. 8(6). Dec : 632637.
Pengkumsri N., Chaiyasut C., Saenjum C., Sirilun
S., Peerajan S., Suwannalert P., Sirisattha
S., dan Sivamaruthi B.S. 2015.
Physicochemical and Antioxidative
Properties of Black, Brown and Red Rice
Varieties of Northern Thailand. Food
Science and Technology. Vol. 35(2). Jun :
331338.
Randall J.M., Sayre R.N., Schultz W.G., Fong
R.Y., Mossman A.P., Tribelhorn R.E., dan
Saunders R.M. 1985. Rice Bran
Stabilization by Extrusion Cooking for
Extraction of Edible Oil. Journal of Food
Science. Vol. 50(2) : 361368.
Rao B.S.N. 2000. Nutritive Value of Rice Bran.
Nutrition Foundation of India : 58.
Saenkod C., Liu Z., Huang J., dan Gong Y. 2013.
Anti-Oxidative Biochemical Properties of
Extracts from Some Chinese and Thai Rice
Varieties. African Journal of Food Science.
Vol. 7(9). Sep : 300305.
Sompong R.S., Ehn S.S., Martin L.G., Berghofer
E. 2011. Physicochemical and Antioxidative
Properties of Red and Black Rice Varieties
from Thailand, China, and Sri Lanka. Food
Chemistry. Vol. 124 : 132140.
Tantamango Y.M., Knutsen S.F., Beeson W.L.,
Fraser G., dan Sabate J. 2011. Foods and
Food Groups Associated with the Incidence
of Colorectal Polyps: the Adventist Health
Study. Nutrition and Cancer. Vol. 63(4) :
565572.
Thahir R. 2010. Revitalisasi Penggilingan Padi
melalui Inovasi Pendukung Swasembada
Beras dan Persaingan Global. Buletin
Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 3(3)
: 171183.
Wang O., Liu J., Cheng Q., Guo X., Wang Y., Zhao
L., Zhou F., dan Ji B. 2015. Effects of Ferulic
Acid and -Oryzanol on High-Fat and High-
Fructose Diet-Induced Metabolic Syndrome
in Rats. PLoS ONE. Vol. 10 : 114.
Widowati S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping
Penggilingan Padi dalam Menunjang
Sistem Agroindustri di Pedesaan. Buletin
AgroBio. Vol. 4(1) : 3338.
Wolever T.M., Spadafora P., dan Eshuis H. 1991.
Interaction between Colonic Acetate and
Propionate in Humans. American Journal of
Clinical Nutrition. Vol. 53: 681687.
Yasukawa K., Akihisa T., Kimura Y., Tamura T.,
dan Takido M. 1998. Inhibitory Effect of
Cycloartenol Ferulate, a Component of Rice
Bran, on Tumor Promotion in Two-Stage
Carcinogenesis in Mouse Skin. Biological
and Pharmceutical Bulletin. Vol. 21 : 1072
1076.
BIODATA PENULIS :
Mirna Zena Tuarita dilahirkan di Dili, 3 April
1992. Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Hasil Perikanan, Universitas Brawijaya tahun
2013; S2 Ilmu Pangan, Insititut Pertanian Bogor
(2013-sekarang).
Slamet Budijanto dilahirkan di Madiun, 2 Mei
1961. Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor tahun
1985, S2 Food Chemistry, Tohoku University,
Jepang tahun 1990, dan S3 Food Chemistry,
Tohoku University, Jepang tahun 1993.
Nur Fathonah Sadek dilahirkan di Banyuwangi,
23 Januari 1988. Menyelesaikan pendidikan S1
Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian
Bogor tahun 2010, S2 Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2012, dan S3 Ilmu
Pangan, Institut Pertanian Bogor tahun 2016.
Sukarno dilahirkan di Pati, 27 Oktober 1960.
Menyelesaikan pendidikan S1 Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor tahun
1985, S2 Food Science and Technology,
Hokkaido University, Jepang tahun 1991 dan
S3 Food Science and Technology, Hokkaido
Universtity, Jepang tahun 1993.
Nancy Dewi Yuliana dilahirkan di
Tasikmalaya, 27 Januari 1970. Menyelesaikan
pendidikan S1 Teknologi Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor tahun 1994, S2
Pharmacognosy, Leiden University, Belanda
tahun 2007 dan S3 Pharmacognosy, Leiden
University, Belanda tahun 2011.
... The bioactive components such as flavonoids and anthocyanins are functioning as antioxidants that have a role as antidotes to free radicals associated with acute and chronic diseases. [6][7][8][9][10] Flavonoids are polyphenolic compounds commonly found in plants. A type of flavonoid that is often found in plants is anthocyanin. ...
... Research on the content of these compounds can be empirical evidence of red rice bran extract and can be used for health benefits. 6 Based on this background, this research aims to determine the total flavonoids and anthocyanins in ethanol extract of red rice bran as a preliminary study for the basis before the experiment to see the potential benefits for prevention or disease healing. ...
... 11 In the pericarp layer of the red-pigmented rice bran, several anthocyanin compounds are accumulated . 6,25 The level of anthocyanin in the ethanol extract of red rice bran is measured by using spectrophotometer that measures the purple color absorbance of anthocyanins in ethanol solvent at a wavelength of 535 nM. 26 Table 2 presents the total anthocyanins in 100 g ethanol extract of red rice bran. ...
Conference Paper
Full-text available
Red rice bran is a by-product of rice milling commonly used as an ingredient in animal. It contains bioactive components, proteins, lipids, fibers, vitamins, and minerals. Previous studies reported that there was an analysis of flavonoid and anthocyanin in unpigmented rice bran and red rice bran extract with other extraction methods. The extraction process and pigmentation influences compounds of red rice bran such as flavonoid and anthocyanin which have been reported can act as an antioxidant. This research aimed to determine the concentration of flavonoid and anthocyanin in the ethanol extract of red rice bran. The bioactive compounds were extracted from the red rice bran through maceration using ethanol. The level of flavonoid was measured by using FeCl3 followed by spectrophotometry, and the level of anthocyanin was evaluated by spectrophotometry alone. The study found that the levels of flavonoid and anthocyanin in 100 g the ethanol extract of red rice bran were 456.40 mg and 340.24 mg, respectively. The results showed that the ethanol extract of red rice bran contains higher flavonoid and anthocyanin than unpigmented rice bran and red rice bran extract with other extraction methods. Keywords: anthocyanin, ethanol extract of red rice bran, total flavonoid
... Jumlah bekatul tersebut sangat melimpah, namun hanya digunakan sebagai pakan ternak (Rai Widarta and Arnata, 2014). Bekatul memiliki senyawa antioksidan yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu asam fenolik, tokoferol, avanoid, asam tat, polifenol, tokotrienol, γ-oryzanol, antosianin, dan proantosianin (Tuarita et al., 2017). Pemanfaatan bekatul menjadi produk dengan nilai gizi yang tinggi dapat dilakukan dengan mengolahnya bersama dengan yoghurt susu kambing (Sajidan et al., 2021). ...
Article
Full-text available
Background: Goat milk yogurt is a functional food made from processed food of animal origin with the help of LAB fermentation, which is healthy for the body. The utilization of red rice bran flour as an additional ingredient in making yogurt can increase the level of antioxidant activity and become a food fiber content in yogurt. Purpose: This study aims to determine the effect of refrigerated storage temperatures (4℃) of goat milk yogurt with the addition of red rice bran flour on total LAB and antioxidant activity. Methods: Using a CRD with five treatments and four replications. The treatment included 0, 1, 2, 3, and 4 weeks of storage. Each treatment group will be calculated for total LAB using the TPC method and antioxidant activity testing using the DPPH method. The data obtained were analyzed using the One Way ANOVA Test followed by the Duncan Test to determine the effect between treatment groups. Results: The results showed that storage time significantly affected (p<0.01) total LAB and antioxidant activity. The results of total LAB successively from 0 to 4 weeks of storage were 8,0 x 108 CFU/ml, 7,8 x 107 CFU/ml, 7,6 x 107 CFU/ml, 6,4 x 106 CFU/ml, and 6,3 x 106 CFU/ml. The results of antioxidant activity successively from 0 to 4 weeks of storage were 534,29 mg/ml, 443,96 mg/ml, 358,61 mg/ml, 282,32 mg/ml, and 230,88 mg/ml. Conclusion: Goat’s milk yogurt with the addition of brown rice bran flour is recommended to be consumed for up to 2 weeks of storage.
... Antibacterial substances in plants can be in the form of bioactive compounds such as flavonoid compounds, phenolics, tannins, steroids, triterpenoids, or plant pigment substances. One part of the plant that is rich in antibacterial compounds is red rice bran [3]. A pigmented natural ingredient will contain more bioactive compounds such as red rice, as well as red rice bran [4]. ...
... Rice bran is often wasted due to skin breaking or grinding of rice or used as animal feed. Red rice bran is a type of bran that contains bioactive components such as flavonoids, anthocyanins, vitamin E (tocotrienols and tocopherols), and ℽ-oryzanol (Esa et al., 2013;Goufo & Trindade, 2014;Tuarita et al., 2017). These bioactive components function as antioxidants that play a role in warding off free radicals and can control blood glucose (Prawitasari, 2019). ...
... Bekatul beras merah merupakan hasil dari proses penggilingan padi beras merah pada bagian terluar atau kulit ari beras merah dengan bentuk serbuk halus berwarna cream atau coklat muda. Upaya pemanfaatan bekatul sebagai pangan fungsional masih terhalang beberapa kendala, antara lain kurangnya kesadaran masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan dan belum banyak industri hilir yang tertarik untuk mengembangkan bekatul (Tuarita et al., 2017). Salah satu cara mengembangkan bekatul beras merah adalah dengan membuat produk makanan atau minuman berbahan dasar bekatul beras merah melalui kegiatan agroindustri. ...
Article
Full-text available
CV. Pantiboga Natural Food Specialist is a producer of processed products made from brown rice bran and spices, named “Red Bran” instant red rice bran. During running the business, CV. Pantiboga Natural Food Specialist ihas several problems related to product marketing. This study aims to identify strengths, weakness, opportunities, and threats, formulate alternative marketing strategies, and determining priority strategies that can be applied in the marketing of instant brown rice bran. The basic method used is descriptive analysis. The types of data used are primary and secondary data. Methods of data analysis using matrix analysis of IFE, EFE, Grand Strategy, SWOT, and QSPM. The results of this research show the IFE matrix analysis at CV. Pantiboga Natural Food Specialist is strong in utilizing strengths and overcoming weakness. The EFE matrix also shows that CV. Pantiboga Natural Food Specialist is strong in taking advantage of opportunities and avoiding threats. The SWOT position is in quadrant 1 which supports the company in pursuing an aggressive strategy. The SWOT matrix results obtained four alternative strategies which were then assessef for their attractiveness in the QSPM matrix. The value of attractiveness (TAS) shows the strategic priority by improving product quality in order to maintain customer loyalty and acquire new customers
... Kualitas bekatul yang beragam, dapat dilihat dari tekstur, komposisi dan bau bekatul [7]. Bekatul dapat berperan sebagai pakan fungsional dan berpotensi sebagai prebiotik ternak [8,9]. Pemalsuan bekatul biasanya ditambahkan dengan sekam dan pemalsuan tepung ikan biasanya ditambahkan dengan urea [10]. ...
Article
Full-text available
p class="MDPI17abstract"> Objective: The research aimed examine the quality adulteration of bran and fish meal in the Central Java region. Methods: The materials used are rice bran and fish meal originating from 17 regions in Central Java which include Rembang, Jepara, Batang, Solo, Boyolali, Pekalongan, Kendal, Temanggung, Magelang, Ungaran, Pati, Purwodadi, Demak, Salatiga, Kudus, Klaten and Semarang. The research method uses descriptive method. Sampling was carried out by purposive random sample to represent the area of the area used as the research site (10 shops in 1 region with different districts and / or villages). Measurement of the parameters of adulteration on bran used Phloroglucinol test, buoyancy test and specific gravity test, while fish meal used urea test. Results: The results showed that the bran which was tested for Phloroglucinol and positive buoyancy was faked by adding husks, and was found in the Pati and Demak areas. Density test describes rice bran with non-standard density in Purwodadi, Kendal, Temanggung, Demak and Semarang. Fish meal adulteration occurred in the Boyolali and Pati regions with positive urea content. Conclusions: The conclusion of this research is that good quality of rice bran based on phloroglucinol test, husk floating test and bulk density test were found in Rembang, Jepara, Solo, Boyolali, Magelang, Ungaran, Salatiga and Kudus areas, the quality of fish meal indicated for adulteration based on the urea test was Pekalongan and Purwodadi areas.</p
Conference Paper
Full-text available
The college student is a group of people who are at risk with unhealthy eating behavior. Knowledge of nutrition is also the cause of nutritional problems. The Covid-19 pandemic has caused changes in eating behavior that have an impact on nutritional status. This research aims to analyze the impact of eating behavior and nutritional knowledge on the nutritional status of college students during the online lecture in the Covid-19 pandemic and to examine the probability of the dependent variable to be able to predict the independent variable. The method used in this research was analytic observational with a cross-sectional design with multistage cluster random sampling as many as 220 respondents. The eating behavior data was measured using the Dutch Eating Behavior Questionnaire (DEBQ). The nutritional knowledge data was measured using a questionnaire of the research by Florence in 2017. The nutritional status data was measured according to BMI and obtained through measurement of body weight (kg) and height (m2). The result of the bivariate analysis using the Pearson Rank Spearman Test showed that there was a significant positive relationship between eating behavior and college students nutritional status (p <0.05), and r = 0.265 or sufficient, however, the nutritional knowledge had an insignificant positive relationship with the college student nutritional status ( p>0.05), and r=0.095 or very feeble. The result of the multivariate analysis with multinominal logistic regression showed that the variable of eating behavior and nutritional knowledge affected the nutritional status by 10.6%. It was concluded that bad eating behavior which had an impact on the nutritional status, however, the level of nutritional knowledge had no impact on the nutritional status. By this research, the authors hope that students can maintain eating behavior during online lectures, hence students can have normal nutritional status during the Covid-19 pandemic.
Conference Paper
Full-text available
The 2nd International Nursing and Health Sciences Symposium (INHSS), was successfully held in collaboration with School of Nursing and Nutrition Department, Faculty of Medicine, Universitas Brawijaya, Malang, East Java, Indonesia, at virtual conference using Zoom Apps from 28-30th October 2021. More than one-hundred participants from three countries: Indonesia, Malaysia and Taiwan gathered to discuss their contribution in making the health field a better place for both health professionals and patients. The articles contained in this Proceedings cover a wide range of topics including: nursing sciences, nutritional issues as well as other health sciences related topics. Thank you to all committee for their encouragement in preparation of these proceedings.
Article
Susu bekatul adalah produk susu yang berbahan dasar bekatul dengan menambahkan beberapa bahan tambahan untuk meningkatkan citarasa susu sehingga dapat disukai oleh masyarakat sehingga bekatul memiliki nilai jual yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi dan daya terima panelis terhadap empat produk susu berbahan dasar bekatul yang telah dibuat. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional deskriptif. Dilakukan uji mutu hedonik dan uji hedonik dengan parameter warna, aroma, tekstur, dan rasa terhadap keempat formula tersebut. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan software microsoft office excel dan SPSS dengan uji Kruskall Wallis, data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa produk susu bekatul ini diterima oleh panelis terlatih dan panelis tidak terlatih. Adapun formula terbaik dari parameter warna, aroma, tekstur, dan rasa adalah formula 1 dengan konsentrasi bekatul yang rendah dan bahan tambahan yang tinggi. Formula dengan konsentrasi bekatul yang rendah dan bahan tambahan yang tinggi adalah formula terbaik dari semua formula.
Article
Full-text available
The research about the mixture of moringa leaf flour and rice bran on the growth of orgainic chicken on Joper chicken. var as a source of learning biology aims to determine the effect of feed from the mixture of moringa leaf flour (Moringa oleifera L) and rice bran on the growth of organic chickens (Gallus-gallus domesticus L. Joper chicken. var), then to find out certain variations of the mixture of moringa leaf flour (Moringa oleifera L) and rice bran which gives the best influence and to make posters that are used as a source of high school biology learning. The method used is a completely randomized design (CRD), experiments conducted with 3 treatments and 1 control. Control (0% moringa leaf flour), P1 (2.5% moringa leaf flour), P2 (5% moringa leaf flour) and P3 (7.5% moringa leaf flour). The parameters observed were weight, length, and diameter of the joper body.The results of the study were tested using a non-parametric statistical test or commonly called the kruskal wallis test. Kruskal wallis test results on chicken weight obtained X2value 4.09 <X2table 14.07 at α 0.05 means Ho is accepted, length measurements obtained results X2value = 3.61 <X2table = 14.07 at α 0.05 means Ho is accepted, diameter measurements obtained results X2 value = 4.2 <X2 table = 14.07 at α 0.05 means Ho is accepted.The conclusion from this study was the feed from the mixture of moringa leaf flour and rice bran did not have a significant effect on the growth of joper. The results of the used ranking from 5% Moringa leaf flour gave the best effect for weight gain of joper. Based on the results of the validation of learning resources shows that learning resources in the form of posters that are made were feasible to be used as a source of learning biology for high school students.Kata kunci: super java chicken, Indigofera, alternative feed, poster learning resources
Article
Full-text available
Rice bran is a byproduct of rice milling process which contains significant amount of natural phytochemicals. The IR64 rice variety is a high-yielding, semi-dwarf and mostly grown variety in the tropics. This study aims to determine the cytotoxic and antioxidant potentials of IR64 rice bran. The sample was subjected to sequential extraction using hexane and ethanol. The concentrated extracts were diluted in dimethyl sulfoxide (DMSO). The cytotoxic activity of hexane and ethanol extracts was analyzed using the Methyl Thiazol Tetrazollium (MTT) Assay for human lung and colon carcinomas. Both extracts were also analyzed by Cytotoxicity Assay using lymphocytes from normal blood. The antioxidant property was evaluated by free radical diphenyl-picrylhydrazyl (DPPH) scavenging assay. The result of MTT Assay revealed that ethanol extract inhibit proliferation of human lung and colon carcinomas at 10181 µg/ml and 6650 µg/ml, respectively. The ethanol extract demonstrated 79.79% inhibition against DPPH. Based on the cytoxicity assay conducted, it shows that the sample is not toxic to normal cells (lymphocytes) having an average of only 14 cells died at a 193 cell population (7.25 per 100 cells) compared to the base cell medium as untreated control and 2.5% DMSO in phosphate buffered saline (PBS). No cytotoxicity and antioxidant potentials were exhibited by the hexane extract. It was concluded that IR64 rice bran ethanol extract is a potential source of bioactive compound/s against both human lung and colon carcinomas and a potential antioxidant against free radicals.
Article
Full-text available
Dietary fiber is widely used as a functional food and recommended to reduce blood lipid level to prevent hypercholesterolemia. An experiment was conducted on the effects of rice bran that has high dietary fiber content on blood lipid parameters of hypercholesterolemic male mice, which was conducted at the Biology Education Department animal cages, Indonesia University of Education and the Veterinary Medicine Faculty Laboratory, Bogor Agricultural Institute from August 2011 to March 2012. The mice were randomly assigned into groups with 5 different treatments: negative control group i.e. normocholesterol mice with a standard diet without rice bran; positive control group i.e. hypercholesterolemic mice with a standard diet without rice bran; and groups with hypercholesterolemic mice with 16%, 38%, and 75% rice bran supplements. The parameters were body weight as well as blood serum, liver and feces cholesterol, triglyceride, high density lipoprotein (HDL-c), low density lipoprotein (LDL-c) and glucose levels. Body weight, blood serum and liver cholesterol as well as triglyceride and LDL concentrations decreased while serum HDL-c and feces cholesterol increased without any significant effect on blood glucose concentration with rice bran supplement. Supplementation of rice bran by 57% (14.30% of nonsoluble dietary fiber content) decreased body weight, total serum cholesterol, triglyceride, and LDL-c of 10.31%, 17.28%, 28.63%, and 79.35%, respectively, and increased HDL-c by 24.41%. Rice bran supplement reduced liver cholesterol levels by 57.76% and increased fecal cholesterol excretion by 39.68%. In conclusion, 57% rice bran supplementation is effective to improve blood lipid parameters of hypercholesterolemic male mice by increasing feces excretion and decreasing body weight with no change in blood glucose level.
Article
Full-text available
Physicochemical properties determine the palatability and cooking quality of rice, which must be determined efficiently in order to satisfy consumer demand. To date, little information exists on the use of molecular markers to predict physicochemical properties of the “indica” rice varieties found in Indonesia. The objective of this study was to investigate physicochemical properties and genetic variation of Indonesian rice varieties, and to formulate regression equations to analyze sets of DNA markers which could predict amylose content (AC), protein content (PC) and pasting properties of the varieties. A total of 24 Indonesian indica rice varieties were chosen based on their genetic background and agricultural characteristics. We then measured selected physicochemical properties, and genotyped the varieties using 30 DNA markers. The chosen varieties showed favorable values for PC, AC, and six rapid viscosity analyzer (RVA) pasting properties, which was supported by molecular data. As demonstrated by principal component analysis (PCA), markers could provide a complementary method for differentiating rice varieties, as an alternative to measuring physicochemical properties. PCA analysis also allowed us to establish marker sets using multiple regression analysis. We formulated eight model regression equations comprising data regarding 15 to 19 markers with high coefficients (R2=0.98-0.99). The formulas provided results that consistently correlated and therefore predicted the physicochemical properties of indica rice. Further validation of these marker sets may provide rapid and efficient means for predicting the physicochemical properties of Indonesian-bred indica rice in the future.
Article
Full-text available
Ƴ-oryzanol (Orz), a steryl ferulate extracted from rice bran layer, exerts a wide spectrum of biological activities. In addition to its antioxidant activity, Orz is often associated with cholesterol-lowering, anti-inflammatory, anti-cancer and anti-diabetic effects. In recent years, the usefulness of Orz has been studied for the treatment of metabolic diseases, as it acts to ameliorate insulin activity, cholesterol metabolism, and associated chronic inflammation. Previous studies have shown the direct action of Orz when downregulating the expression of genes that encode proteins related to adiposity (CCAAT/enhancer binding proteins (C/EBPs)), inflammatory responses (nuclear factor kappa-B (NF-κB)), and metabolic syndrome (peroxisome proliferator-activated receptors (PPARs)). It is likely that this wide range of beneficial activities results from a complex network of interactions and signals triggered, and/or inhibited by its antioxidant properties. This review focuses on the significance of Orz in metabolic disorders, which feature remarkable oxidative imbalance, such as impaired glucose metabolism, obesity, and inflammation.
Article
Full-text available
Our study was centred on the increasing literature associated with rice by-products and main components, especially those intended to combat cancer, improve plasma lipid levels or control the blood glucose levels. Rice byproducts, such as rice straw, rice husks, rice bran, rice germ and broken rice, are extensively abundant agricultural wastes from the rice industry, and the percentage of their production depends on the milling rate and type of rice. Among all rice by-products, rice bran has been extensively studied. It contains phytochemicals such as γ-oryzanol, vitamin E, mainly tocotrienols and dietary fibre. This paper reviews the existing literature on the potential role of rice by-products, focusing not only on the role of rice bran but also on the roles of other rice by-products, such as rice germ and rice husk, in the management of the diseases, investigating their various potential uses in the food industry and all possible properties that may contribute to these effects.
Article
Full-text available
Rice, the seed of Oryza species, is the major cereal crop in most of the developing countries. Nearly 95% of global rice production is done in Asian countries, and about half of the world’s population consumes it. Some speciality rices are not commonly consumed. Colored rice is one of such variety. In these varieties, high amounts of anthocyanin pigment are deposited in the rice coat to form its black (also known as purple), brown and red colors. Minimum studies are there to explain the properties of these rice varieties of Thailand. Thus, the current study was aimed to assess the physicochemical and antioxidative properties of three rice varieties (Chiang Mai Black rice, Mali Red rice and Suphanburi-1 Brown rice) of different cultivars of northern Thailand. Rice bran extracts of these three cultivars were prepared with different solvents (polar and non-polar) for the evaluation of total phytochemical content and anti-oxidant free-radical-scavenging properties. Chiang Mai Black rice contained higher concentration of phenolic acid, flavonoids, and anthocyanins (Cyanidin 3-glucoside, peonidin 3-glucoside, cyanidin chloride). Chiang Mai Black rice is richer in free-radical-scavenging compounds and activities than the other tested varieties. Polar extractions of rice bran are high in anti-oxidative compounds and activities than non-polar extractions. © 2015, Sociedade Brasileira de Ciencia e Tecnologia de Alimentos, SBCTA. All rights reserved.
Article
Full-text available
Recently, many foods were identified contain high antioxidant substances such as tomatoes and rice bran. The objectives of this research were to observe their total antioxidant activity values and the effect of intervention of high-antioxidant beverages (tomato juice and rice bran beverage) to total antioxidant activity on breast cyst women patient’s blood serum. Subject consumed each of the beverages for 14 days. Blood samples were taken before the intervention, at the end of tomato juice intervention period and at the end of rice bran beverage intervention period. Total antioxidant activity on serum was determined by DPPH method. The ascorbic acid equivalent antioxidant capacity (AEAC) of rice bran greater than tomato juice is 28.74 mg/100g and 1.87 mg/100g respectively. The total antioxidant activity on serum was decreasing after tomato juice intervention (p>0.05) but the decreasing of it was significantly shown after rice bran intervention (p
Article
Full-text available
The high morbidity of metabolic dysfunction diseases has heightened interest in seeking natural and safe compounds to maintain optimal health. γ-Oryzanol (OZ), the ferulic acid (FA) ester with phytosterols, mainly present in rice bran has been shown to improve markers of metabolic syndrome. This study investigates the effects of FA and OZ on alleviating high-fat and high-fructose diet (HFFD)-induced metabolic syndrome parameters. Male SD rats were fed with a regular rodent diet, HFFD, or HFFD supplemented with 0.05% FA or 0.16% OZ (equimolar concentrations) for 13 weeks. Food intake, organ indices, serum lipid profiles, glucose metabolism, insulin resistance (IR) index and cytokine levels were analyzed. The mechanisms were further investigated in oleic acid-stimulated HepG2 cells by analyzing triglyceride (TG) content and lipogenesis-related gene expressions. In the in vivo study, FA and OZ exhibited similar effects in alleviating HFFD-induced obesity, hyperlipidemia, hyperglycemia, and IR. However, only OZ treatment significantly decreased liver index and hepatic TG content, lowered serum levels of C-reactive protein and IL-6, and increased serum concentration of adiponectin. In the in vitro assay, only OZ administration significantly inhibited intracellular TG accumulation and down-regulated expression of stearoyl coenzyme-A desaturase-1, which might facilitate OZ to enhance its hepatoprotective effect. OZ is more effective than FA in inhibiting hepatic fat accumulation and inflammation. Thus, FA and OZ could be used as dietary supplements to alleviate the deleterious effects of HFFD.
Chapter
The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) is an autonomous agency within the United Nations system. The organization had a membership of 180 countries in 2001.